SINDIKAT PENULIS
Silakan login dahulu, biar lebih asyik.
Kalau belum bisa login, silakan daftar dahulu.
Setelah itu, selamat bersenang-senang...
SINDIKAT PENULIS
Silakan login dahulu, biar lebih asyik.
Kalau belum bisa login, silakan daftar dahulu.
Setelah itu, selamat bersenang-senang...
SINDIKAT PENULIS
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.


Kami adalah penulis, dan kami tidak butuh persetujuan dari siapa pun!
 
IndeksLatest imagesPencarianPendaftaranLogin
"Jika ada buku yang benar-benar ingin kamu baca, tapi buku tersebut belum ditulis, maka kamu yang harus menuliskannya." ~ Toni Morrison

 

 Cerbung "True Soulmate????" Part 3

Go down 
PengirimMessage
Dwiya A Rizkani
Penulis Pemula
Penulis Pemula
Dwiya A Rizkani


Jumlah posting : 102
Points : 153
Reputation : 1
Join date : 08.07.12
Age : 34
Lokasi : Makassar

Cerbung "True Soulmate????" Part 3 Empty
PostSubyek: Cerbung "True Soulmate????" Part 3   Cerbung "True Soulmate????" Part 3 EmptySat 28 Jul 2012 - 8:29

Bau obat menghinggapi indera penciumanku begitu aku melangkah memasuki rumah sakit itu. Dengan langkah pelan, kususuri lorong rumah sakit sembari menengok ke masing-masing kamar untuk mencari tempat Melly dirawat. Akhirnya aku sampai di sebuah ruangan VIP bertuliskan nama Melly. Ragu-ragu kuketuk pintu kamar itu.

“Masuk.” Sebuah suara pelan mempersilahkanku masuk.

Kudorong pelan daun pintu kamar lalu kulongokkan kepalaku. Mataku bertemu selama sepersekian detik dengan mata sayu Melly. Ekspresi wajahnya yang pucat tampak terkejut. Mungkin dia tak pernah mengira aku akan datang.

“Ando! Apa yang kamu lakukan disini?” Tanyanya dengan suaranya yang serak.
Terdapat secercah emosi dalam suaranya yang pelan.

Aku tersenyum sembari melangkah ke samping tempat tidurnya. Kutarik bangku yang ada di sebelah tempat tidur agar lebih dekat ke arahnya.

“Mina yang mengabariku.” Jawabku pelan sambil menaruh karangan buah dan bunga di samping nakas di dekat tempat tidurnya.

Melly lalu menarik napas sambil memejamkan matanya. Kelopak matanya tampak membiru. Wajahnya Nampak letih.

“Kau tak perlu datang Ando.” Gumamnya pelan. Masih sambil menutup mata.

Aku terdiam. Keheningan melingkupi kami untuk beberapa saat. Yang kugunakan untuk mengedarkan pandanganku di seluruh penjuru ruangan. Tampak Kaki kiri Melly digips hingga paha. Begitu juga dengan lengan kirinya. Pipinya tampak tirus. Beberapa selang di masukkan di tangan dan hidungnya.

“Apa Ami tahu kau datang kemari? “Tanyanya. Kali ini ditatapnya wajahku dengan pandangan sayu yang pernah kusuka dulu.
Aku menguatkan hatiku ketika desir perasaan masa lalu menggelayuti pikiranku. Aku tak boleh mengkhianati Ami.

“Ami yang menyuruhku kemari. Pagi tadi, Mina menelponku, dan setelah meminta izin pada Ami, aku datang kemari. Apa kau tidak suka? Aku bisa pergi jika kamu tak berkenan aku disini. “ Jawabku sambil menatap matanya.

Melly tersenyum lemah sambil menggeleng pelan.

“Tak ada yang bilang seperti itu, Ando. Aku senang kau mau datang kemari. Hanya saja..” kata-katanya terhenti. Ia tampak kesakitan dan terpaksa menghentikan kata-katanya.

“Apa kau baik-baik saja?” Tanyaku dengan nada khawatir. Dia tampak sangat lemah.

“Aku katakan-apa. Aku hanya takut aku kembali merusak hubunganmu dengan Ami.”

Aku mendengar setiap kata-katanya dengan perasaan tercabik-cabik. Aku telah menyakitinya dulu karena ketamakanku. Padahal aku tahu, dia benar-benar mencintaiku. Dan rusaknya hubunganku dulu bukan karena kesalahan Melly.

“Mungkin, sekarang saat yang tepat untuk memberitahumu sesuatu. Mungkin aku tak akan bertemu denganmu lagi. Jadi, saat ini adalah saat yang tepat.” Ucapnya pelan sambil lagi-lagi menarik napas panjang.

Aku mengerutkan kening karena bingung akan maksud perkataannya.

“Kau ingat, 3 tahun lalu apa yang pernah kita lakukan bersama?” Tanyanya. Ditatapnya mataku dengan tajam.

Aku terdiam sembari memutar memoriku bersama Melly 3 tahun yang lalu. Berusaha mencerna maksud kata-katanya. Bulan-bulan bersama Melly yang saat indah. Tak ada hari tanpa kebahagiaan saat bersamanya. Apa lagi saat itu kami telah….

“Apa maksudmu?” Aku tersentak ketika terlintas sebuah pemikiran konyol dibenakku tentang apa yang telah kami lakukan bersama.

“Ya. Kau pasti tak menyangka, apa yang telah kita perbuat dulu, telah membuahkan hasil yang tak pernah kau duga.”

Aku gemetar ketika menangkap maksud kata-kata Melly. Dulu kami pernah melakukan hal yang semestinya belum boleh kami lakukan. Aku pikir tak akan menghasilkan apa-apa, tapi sekarang…

“Hari itu, saat aku tahu kau sebenarnya berpacaran dan telah bertunangan dengan gadis lain, saat itu aku ingin memberitahumu bahwa aku… aku hamil.” Airmata Melly berlinang ketika mengatakan hal itu padaku.

“Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku tak mau merusak hubunganmu dengan Ami. Hanya Mina yang tahu hal ini. Dia juga yang menguatkan hatiku dan mau menerimaku untuk menumpang di rumahnya. Kau tahu kan aku sama sekali tak punya keluarga. Aku dibesarkan atakana asuhan. Aku memutuskan mengundurkan diri dari perusahaan karena aku tak mau membuatmu bingung. Aku tahu kau terkejut mendengar hal ini. Maafkan aku.” Diusapnya airmata yang mengalir deras di pipinya.

Aku tak mampu berbicara apa-apa lagi. Aku memiliki seorang anak. Hal yang sangat kuidam-idamkan sejak menikah dengan Ami. Sedih, senang, takut, dan beragam perasaan, berbaur di dalam benakku. Tapi, aku kembali teringat akan Ami. Hal ini pasti akan sangat menyakiti hatinya.

“Perempuan atau laki-laki?” desisku pelan

“Anak laki-laki. Aku memberinya nama Ardian. Dia baru saja merayakan ultahnya yang ke-3” Jawab Melly.

Mungkin Melly melihat ekspresi wajahku yang tegang. Ketakutan, tapi jelas senang mendengar kata Melly. Perasaan yang tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Perasaan yang seketika berubah setelah mengingat Ami.

“Aku tak bisa bertahan lama lagi, Ando. Ginjalku rusak karena kecelakaan itu. Salah satu paru-paruku juga sudah tak berfungsi. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan mengingat Adrian akan sendirian sepeninggalku.” Melly melanjutkan kata-katanya dengan nada lelah.

Kupalingkan wajahku agar tak menatap wajahnya.

“Aku bukan meminta pertanggung jawabanmu. Aku hanya….”
Melly menarik nafas panjang sebelum melanjutkan permintaannya.

“Aku hanya mau kau merawat dan membesarkannya, seandainya kamu mau menerimanya. Dia akan sendirian. Benar-benar sendirian setelah aku meninggal.
Kau tak usah mengakuinya sebagai anak. Kau hanya perlu membesarkannya. Itu saja.” Pintanya

"Aku…”

Melly memotong kata-kataku sebelum aku melanjutkan perkataanku.

“Kau boleh mengaku padanya bahwa kau bukan ayahnya. Toh, aku selalu bercerita pada anak itu bahwa ayahnya sudah meninggal. Sudah pergi.”

Leherku tercekat oleh kata-kata. Kesedihan memuncak di benakku. Anakku, telah mengira ayahnya sudah meninggal. Apa lagi yang bisa lebih menyedihkanku sekarang?

“Jadi Ando, maukah kau mengabulkan permintaan terakhirku?” pinta Melly. Ia menatapku dengan pandangannya yang sendu. Entah mengapa melihat mata yang dulu sangat kusuka itu, hatiku tergerak untuk menerimanya. Aku tidak mungkin mengatakan tidak dan melukai hati Melly yang sedang sekarat. Lagipula ini menyangkut anakku. Darah dagingku.

“Kau boleh melakukan tes DNA jika tidak mempercayainya. Tapi yang jelas, kau tak perlu mengakui bahwa kau adalah ayahnya. Sudah terlambat. “ kata Melly lagi.

Aku mengangguk. Kekerasan hati Melly dari kata-katanya membuatku enggan membantahnya. Meskipun di pikiranku telah tersusun berjuta ide. Anak itu, anakku, harus tahu. Aku adalah ayahnya. Ayah kandungnya.

Tiba-tiba kami dikejutkan dengan suara di depan pintu. Aku lalu beranjak keluar kamar dan mendapati Ami, sedang berlari meninggalkan kamar Melly. Aku shock melihatnya. Apa mungkin ia sudah mendengarkan semua pembicaraan kami? Aku lalu berlari mengejar Ami. Tidak memperdulikan teriakan Melly yang bertanya ada apa padaku. Tapi aku kehilangan Ami. Ia tak kutemukan di manapun. Bahkan diparkiran. Aku lalu merogoh kantung celanaku dan mengambil HP-ku. Dan dengan cepat menghubungi HP Ami. Tapi yang kudapatkan hanya suara operator telepon yang mengatakan telepon sedang tidak aktif.

Frustasi dengan amat sangat, membuatku kembali ke kamar Melly. Melly menatapku prihatin.

“Tadi itu Ami.” Ucapku lelah

Mellly menutup mulutnya karena terkejut dengan salah satu tangannya yang tidak terinfus.

“Mengapa kau tidak mengejarnya?”

“Aku tidak menemukannya dimanapun. Aku harus pergi dan mencari Ami. Mungkin ia sudah mendengar pembicaraan kita.” Kataku dan mengambil jaketku dari kursi.
Melly menatapku sedih. Seperti tidak akan bertemu denganku lagi.

“Aku akan tetap menjalankan janjiku, Melly. Apapun yang terjadi. Aku akan merawat anak kita.” Janjiku. Mencoba menenangkannya dengan kata-kataku. Aku tak sanggup menatap matanya yang memancarkan kekhawatiran.

Melly tersenyum kecil mendengarnya. Bukan senyum kemenangan karena aku mau mengasuh anak kami. Tapi senyum pahit. Aku sendiri tak mampu menguraikan makna senyumannya.

“Pergilah, Ando. Kau harus menemukan Ami. Tak usah memperdulikanku.” Ucap Melly pelan.

Aku mengangguk dan bergegas meninggalkan kamarnya dan menuju mobilku di parkiran.

Selama perjalanan aku terus mencoba menghubungi nomor Ami. Tapi hasilnya nihil. HP-nya masih tidak aktif. Aku ketakutan karenanya. Yang paling kutakutkan adalah jika Ami mendengar pembicaraanku dengan Melly. Kecemasan meliputiku seketika. Aku memacu mobilku menuju rumahku yang besar. Tampak pintu pagar rumahku masih tertutup rapat. Aku lalu membunyikan klakson. Berharap Ami yang akan membukakan pintu. Tapi yang keluar adalah Mbok Midah, pembantuku.

“Ami kemana, Mbok?” tanyaku cepat.

“Tidak tahu, Den. Tadi begitu Aden keluar nyonya juga ikut keluar. Dia Cuma bilang mau keluar sebentar sama saya.” Jawab pembantuku itu.

Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Aku lalu berbalik dan kembali ke jalanan, meskipun tidak tahu harus kemana mencari Ami. Aku menjalankan mobilku ke rumah orang tua Ami yang tidak begitu jauh dari rumahku. Kedua orang tua Ami sudah meninggal. Dan kini, hanya Adiknya yang menghuni rumah itu. Tidak lama kemudian aku sudah sampai di depan rumahnya dan mendapati Mira, adik Ami tengah menyiram tanaman di kebun depan rumah. Mira yang melihat mobilku, segera menghentikan kegiatannya dan menyongsong mobilku.

“Kak Ando, ada apa nih?” Sapanya.

"Apa Ami datang kemari?”Aku balik bertanya. Dari ekspresiku Mira pasti bisa menyimpulkan ada yang tidak beres di antara kami.

“Kak Ami nggak ada disini. Memang ada apa? Pertengkaran rumah tangga?” Godanya.

Aku memaksakan diri tersenyum dan menggeleng.

“Tidak apa-apa. Tadi pagi ia pergi dan tidak bilang padaku. Aku khawatir dan mencarinya sekarang. Oh, iya. Kalau ia datang kemari tolong bilang aku mencarinya. Dan tolong HP-nya diaktifkan. Dari tadi aku menghubunginya tapi tidak nyambung juga.” Pintaku.

Mira mengangguk pelan. Aku lalu kembali menaiki mobilku. Diiringi tatapan penuh Tanya Mira. Sekarang aku bingung dimana harus mencari Ami. Untuk beberapa lama aku memutar-mutar mobilku di beberapa tempat yang mungkin di datangi Ami. Di taman kota, pantai, Supermarket, dan sebagainya. Sampai lewat tengah hari aku benar-benar kehilangan jejak Ami.

Deringan telepon mengejutkanku kemudian. Kulihat ID penelpon menuliskan nama Mina. Aku segera mengangkatnya.

“Halo. Ando.” Kata suara di seberang telepon.

“Halo, Mina sekarang bukan waktu yang tepat---“

“Ami tadi kemari, Ando.” Kata Mina memotong perkataanku.

Aku terkejut mendengarnya. Ya, mengapa aku tak mencari Ami di rumah Mina. Tapi bukankah setelah kejadian 3 tahun lalu antara aku dan Melly, Ami tak pernah ke rumah Mina lagi.

“Apa yang ia lakukan disana?”tanyaku. Leherku tercekat oleh rasa takut yang tak bisa kuartikan dari mana datangnya.

“Ia menemui Ardian. Ia tahu. Dan aku ingin bertanya padamu, mengapa kau biarkan ia tahu? Apa kau belum cukup menyakitinya?” Mina memberondongku dengan pertanyaan.

“Ia mengikutiku ke rumah sakit, Mina. Aku bahkan tidak tahu sampai aku mendengarnya tadi dari Melly kalau aku punya anak darinya.” Aku mencoba menjelaskannya pada Mina.

“ Apa sekarang Ami masih ada disitu?”

“Tidak. Setelah memaksaku bicara ia langsung pergi. Ando tolong, aku tak tahan melihat Ami menderita. Aku sudah cukup merasa bersalah dengan kejadian 3 tahun yang lalu. Dia harus bahagia Ando. Tolong..” Pinta Mina.

Aku mematikan telepon dan bersandar di jok mobilku. Aku lelah. Ami tahu semuanya tentang Ardian sekarang. Anak yang belum pernah kutemui. Anak yang menurut Melly adalah darah dagingku. Anakku. Aku memacu mobilku ke rumah Mina. Aku mau membawa Ardian saat menemui Ami. Toh sekarang dia sudah tahu. Dan dia juga harus tahu janjiku pada Melly. Aku telah bersedia merawat Ardian. Dan berarti Ami juga.

20 menit kemudian aku sampai di depan rumah kontrakan Mina. Hampir 3 tahun lamanya aku tidak berkunjung ke rumah ini. Aku lalu membuka pagar dan melangkah masuk ke dalam. Seorang anak kecil menyambutku. Aku memperhatikan anak laki-laki itu dengan saksama. Matanya, bibirnya. Dan saat itu aku langsung percaya. Bocah ini adalah Ardian. Anakku..

“Om cari ciapa??” lidahnya yang cadel menyapaku. Bajunya agak kusam dan sandal yang dikenakannya sudah usang. Hatiku miris melihatnya.

“Tante Mina ada? Bilang Om Ando mau ketemu.” Aku sebisa mungkin menjaga suaraku agar tenang. Air mataku sudah hampir tumpah saat berbicara dengan bocah itu.

Anak itu lalu berlari ke dalam rumah dan berteriak memanggil nama Mina. Tidak lama kemudian, Mina keluar ke ruang tamu untuk menemuiku.

“Mau apa kamu kemari?” tanyanya kasar.

“Aku mau mengambil Ardian.” Jawabku mantap. Bocah laki-laki itu lalu menatapku dengan matanya yang bening.

“Untuk apa?? Aku gak akan membiarkan kamu menyianyiakan anak ini. Kamu sudah cukup menyianyiakan dia selama 3 tahun.” seru Mina kesal.

“Percayalah. Aku bahkan tak tahu aku punya anak dengan Melly. Aku bahkan tak tahu kalau aku punya darah daging darinya.”

Bocah kecil itu meringkuk ketakutan di belakang Mina. Ia tampak takut melihat pertengkaran dua orang dewasa di depannya. Aku lalu mendekati anak itu dan merengkuhnya dalam gendonganku. Kuciumi kepala dan wajahnya. Melepaskan kerinduanku padanya. Sebelum itu aku tak pernah tahu mempunyai anak ini. Anak kandungku. Darah dagingku. Bocah itu masih tetap berada di pelukanku. Anehnya, ia tampak tenang dan mau saja kugendong. Seakan-akan ia tahu aku adalah ayah kandungnya.

“Melly memintaku merawatnya. Aku sudah tahu kondisinya.” Kataku.

“Dan Ami?? Apa kau berpikir tentang pendapat Ami?”

Aku menggeleng. Aku belum bertemu dengan Ami dan otomatis aku belum tahu apa yang ada di benak istriku itu tentang anak ini.

“Sampai kau mendapat persetujuan dari Ami, aku tidak akan menyerahkan Ardian padamu. Disini akulah wali Ardian. Dan akan terus seperti itu sampai kau sudah cukup siap merawatnya” Mina mengakhiri pertengkaran kami. Ia mengambil Ardian dari gendonganku dan mendorongku keluar dari ruang tamunya dan menguncinya dari dalam. Masih sempat kulihat wajah lucu bocah kecil itu. Pandangannya bertanya-tanya melihat kondisi yang barusan di lihatnya.

Mina benar. Aku harus mendengar pendapat Ami dulu. Bagaimanapun juga, Ami istriku. Kulirik jam tanganku. Sudah hampir senja. Aku lalu mencoba menelpon ke rumah. Berharap istriku akan mengangkatnya. Tetapi hasilnya nihil. Pembantuku mengatakan Ami belum pulang ke rumah. HP Ami juga masih belum aktif. Bingung dan sedih membuatku hampir kehilangan akal. Aku kehilangan arah untuk mencari Ami. Tiba-tiba tak sengaja aku melihat atakan dashboard. Kulihat foto kami berdua di bawah jembatan Barombong dengan panorama matahari terbenam yang indah. Saat ada masalah, biasanya kami kesana. Mencoba mendinginkan kepala dan berunding dalam damai. Aku lalu mengarahkan mobilku ke tempat itu. Berharap, meskipun tak sebesar tadi. Berharap Ami tengah menantiku di sana.

Sosok yang kurindukan sejak tadi itu tengah berdiri menatap riak gelombang air. Pandangannya menyapu pertemuan sungai dan laut di bawah jembatan itu. Mobilnya yang pertama kukenali sebelum melihat tubuhnya yang langsing tengah bersedekap membelakangiku. Ia berbalik saat mendengar deru mobilku. Kuparkir tepat di samping mobilnya.

Aku lalu segera turun dari mobil dan mendekatinya dan berdiri di sampingnya.

“Aku tidak butuh penjelasan.” Katanya saat melihatku akan membuka mulut.

Matanya yang indah menatapku di sela silau mentari senja. Membuatnya agak menyipitkan mata.

“Aku sudah tahu semua. Dan…. Kurasa sudah saatnya juga aku memberitahumu sesuatu. Hal yang bahkan sudah kusembunyikan sejak kita pacaran dulu. Aku ingin semuanya jelas sekarang”

Aku menatap Ami dengan pandangan penuh Tanya. Bingung dengan kata-katanya.

“Aku tidak punya rahim.” Katanya lagi. Kali ini dengan nada ringan. Seperti tanpa beban. Seperti tengah membicarakan hal ringan yang tidak penting.

Aku terkejut mendengar kata-katanya. Badanku limbung ke belakang. Aku masih berharap dia hanya bercanda. Aku masih berharap semua ini mimpi.

“Kau bergurau kan?” tanyaku tak percaya.

Ia berbalik menatapku dan menggeleng. Dia menggeser badannya agar benar-benar berhadapan denganku.

“Aku tidak bercanda. Aku tidak akan pernah mempunyai anak. Bahkan bayi tabung sekalipun.” Jawabnya. Masih dengan suara tenang. Tanpa emosi.

“Tapi bagaimana mungkin?? Setiap bulan kau menstruasi, kau mengalami masa pra menstruasi, dan…. Aku tak percaya. Kau jangan membohongiku Ami.”

“Aku memang membohongimu Ando. Ya.. aku membohongimu karena aku begitu mencintaimu. Aku tak ingin kehilanganmu. Aku egois.”

Ami membalik badannya dan kembali menatap air di depan kami. Riak gelombangnya yang tenang malah berkebalikan dengan suasana hatiku yang tergoncang.

“Semua masa menstruasi yang kukatakan, saat-saat PMS-ku, semuanya hanya kamuflaseku. Aku sebenarnya sudah akan mengatakannya sejak dulu. Tapi aku tak punya keyakinan. Aku tak percaya diri. Aku takut kau akan meninggalkanku. Apalagi sejak kejadian dengan Melly, aku sudah yakin akan hancur saat itu.” Ami mencoba menjelaskannya padaku. Pandangannya tetap kedalam air di depannya. Sedangkan aku masih termangu di hadapannya.

“Dulu aku sempat merasa pesimis dengan keadaanku. Rasa marah, dan sakit hati yang kurasakan saat tahu tak memiliki rahim sejak dulu berangsur-angsur pulih. Kupikir aku bisa tetap hidup tanpa itu. Aku berharap seseorang nanti akan datang padaku dan menerima kekosongan dalam tubuhku ini. Tapi aku menulikan telinga dan membutakan hatiku saat bertemu denganmu. Aku terlalu mencintaimu. Meskipun aku tahu, suatu saat nanti, semua kebohonganku akan terkuak juga.” Jelas Ami.

Aku masih tak bisa berkata apa-apa. Pikiranku kosong. Semua kejadian hari ini seakan-akan mengguncang duniaku. Dan membuatku tak bisa berpikir.

“Aku mengerti kalau kau mau meninggalkanku sekarang. Anak itu butuh ayahnya saat ibunya tak ada lagi di dekatnya. Dan itu berarti kamu. Anak itu akan sendirian tanpamu. Aku harap kau mau merawat anak itu. Mungkin aku juga akan merawat anak itu nanti. Suatu saat. Aku tak akan marah atau menuntut apa-apa. Aku salah. Tak ada yang diragukan lagi dari rasa bersalahku ini. Dan aku hanya mau atakana kalau aku minta maaf. Kau mau kan memaafkanku?“ Ami melanjutkan kata-katanya.

Aku dalam keadaan bingung dan frustasi hanya mengangguk. Meskipun hatiku tiba-tiba terasa hampa. Pikiranku melayang.

Ami kembali menatapku sebelum beranjak meninggalkanku yang termangu. Berdiri mematung. Ami lalu naik ke mobilnya dan meninggalkanku sendirian. Dia tak berbalik, atau sedikitpun memelukku atau menatapku lagi. Aku linglung dengan keadaanku. Aku jatuh terduduk di atas bebatuan di pinggir sungai di bawah jembatan itu. Memeluk lututku dan memandangi gelombang-gelombang kecil di sudut sungai itu. Matahari sebentar lagi benar-benar tenggelam. Aku tertunduk menatap bongkahan-bongkahan batu di sekitarku. Hati dan pikiranku hampa. Aku tak benar-benar memahami kata-katanya. Seakan-akan semua masalah ini datang beruntun menimpaku tanpa sempat memberiku kesempatan untuk bernapas.

Saat mulai gelap, aku berlalu menuju mobilku dan mengemudi pulang ke rumah. Aku tak tahu harus berkata apa-apa pada Ami di rumah nanti. Kecewa, marah, sedih, semua perasaan berkecamuk di benakku. Dan aku tak benar-benar bisa berpikir lagi sekarang. Aku mengemudikan mobilku seperti orang mabuk yang tidak tahu arah. Aku tak tahu harus berbuat apa. Tak kusadari bunyi klakson dan tiba-tiba dari arah depan sebuah mobil dengan lampu yang menyilaukan membutakanku. Lalu semua gelap dan rasa sakit adalah hal yang terakhir yang kurasakan.
***

--Ami---

Aku masih belum percaya dengan kenyataan yang baru-baru saja kuhadapi. Kepergian seorang kekasih dan hidupku itu. Belahan jiwaku. Aku masih belum percaya dia pergi tepat setelah aku memberitahunya kenyataan. Rasa bersalah menyelimutiku bahkan setelah jasadnya dikebumikan di samping wanita yang dulu pernah mencintainya juga. Aku yakin rasa cintanya seperti cintaku pada pria di dalam kuburan itu. Bahkan mungkin lebih besar. Sebab dia mampu menghadapi kehidupan 3 tahun tanpa ayah dari anaknya yang ia besarkan sendirian itu. Yang juga telah berpulang tepat setelah Ando menghembuskan nafas terakhirnya. Hanya berselang 1 menit dari kepergian Ando. Aku belum percaya bahkan saat butiran-butiran tanah mulai menutupi liang lahat tempat peristirahatan terakhirnya itu. Setelah berjuang 3 hari dalam koma. Aku masih belum percaya. Bahkan air mataku tak bisa tumpah lagi karena terlalu banyak kukuras. Aku masih belum percaya…

“Ami, ayo kita pergi. Biarkan ia istirahat dengan tenang di sana.” Tangan Mina memegang lembut pundakku dan mengajakku pulang. Matanya sembab oleh air mata yang dia coba tutupi dengan kacamata hitam. Di sampingnya, Ardian, bocah kecil anak Melly dan Ando tersenyum manis ke arahku. Belum sadar bahwa ia telah kehilangan kedua orang tuanya. Sepertiku yang masih belum sepenuhnya sadar ditinggalkan untuk selamanya oleh Ando.

Aku segera berdiri setelah mencium ujung nisan Ando. Membiarkannya tertidur lelap dalam ketenangan di dalam sana. Aku lalu meraih Ardian dalam pelukanku. Aku berjanji dalam hati akan merawat anak yang tidak akan pernah kupunyai itu. Ia akan menjadi anakku. Dan sampai akhir hayatku akan mendapat limpahan kasih sayangku.

Kini aku memahami, konsep belahan jiwa itu tergantung bagi siapa yang merasakannya. Belahan jiwa, bukan berarti orang yang terus bersama dengan kita. Bagi Melly, Ando mungkin adalah belahan jiwanya. Sehidup semati dengannya. Bagi Ando, mungkin Melly adalah Jiwanya, begitu juga denganku. Ia telah membagi hatinya sama banyak untuk kami. Merasakan cintanya, mendapatkan kasih sayangnya meskipun bagi Melly mungkin tak sepenuhnya ia rasakan. Tapi bagiku, Ando adalah belahan jiwaku yang telah membawa separuh jiwaku bersamanya. Dan kini, separuh jiwaku yang disimpannya bersamaku, akan sepenuhnya menjadi milik bocah kecil di gendonganku ini. Menjadi belahan jiwanya bersamaku.
***

Kembali Ke Atas Go down
 
Cerbung "True Soulmate????" Part 3
Kembali Ke Atas 
Halaman 1 dari 1
 Similar topics
-
» Cerbung "True Soulmate????" Part 2
» Cerbung "True Soulmate????" Part 1
» Cerbung "Love Resistance" Part 1
» Cerbung "Love Resistance" Part 2
» Cerbung "Love Resistance" Part 3

Permissions in this forum:Anda tidak dapat menjawab topik
SINDIKAT PENULIS :: Arena Diskusi :: Cerpen-
Navigasi: