Krisis ekonomi memang sedang melanda keluargaku. Aku termenung di atas balkon rumahku. Sesekali kupanjatkan doa kepada Tuhan untuk memohon rejeki.
Suara handphone membuyarkan lamunanku. Tertera alaram “HBD Nina” aku teringat akan sesuatu. Oh iya! Sahabatku Nina besok lusa berulang tahun yang ke 11 tahun. Aku berniat memberinya sebuah hadiah.
Aku ingin meminta uang pada ibuku, aku berniat memberinya sebuah Novel. Nina adalah orang pertama yang kuberi hadiah. Tapi aku mengurungkan niat tuk meminta uang. Rupanya ibu sedang benar-benar tak ada uang. Ayahku sedang sakit.
Akhirnya kuputuskan untuk membongkar celenganku yang selama setahun kusimpan. Sebenarnya uang itu kusimpan untuk membeli baju baru. Tapi demi sahabatku, aku rela menunda niatku untuk membeli baju.
Seusai membongkar celengan. Ibu memanggilku. Langsung saja aku menghampirinya. Sesampainya aku di hadapan ibu. Ternyata ibu ingin meminjam tabunganku untukmembeli beras dan lauk pauk yang kebetulan persediaannya telah habis.
Karena tak tega, aku pun merelakan memberikan uang tabunganku. Ini demi mencukupkan kebutuhan keluargaku. Aku rela. Walau sejujurnya aku kecewa. Tapi aku akan berusaha merelakan uang itu.
Aku kembali naik ke balkon rumahku dan merenung sejenak
“sekarang apa yang harus kulakukan?”
keinginan untuk membeli Novel pun terurung.
“Tuhan…beri aku petunjuk”aku terus memanjatkan doa
Tak lama sebuah niat muncul di otak dan hatiku. Entah. Mungkin ini jawaban daridoaku. Tapi aku berfikir lagi untuk melakukannya.
“hhm......” aku mendengus kecewa “anak usia sepertiku mana mungkin bekerja. Lagipula tak akan ada yang mau menerimaku,” aku masih merenung memikirkan niatku tadi.
***
Terik dan silaunya matahari di siang bolong sangat menguras tenagaku. Semalam aku masih merenung, dan kini aku sudah memantapkan niatku. Dan sekaranglah waktunya aku untuk menjalankannya.
Aku berkeliling pasar mencari pekerjaan walau uang yang kuterima tak seberapa. Tapi lumayan. Hampir setengah hari aku mencari uang. Akhirnya terkumpulah 50.000
“hmm kurasa ini sudah cukup,” aku tersenyum senang melihat hasil kerja kerasku tak sia-sia.
Kuputuskan untuk pulang ke rumah. Tapi, Sesuatu mengejutkanku dan membuatku merasa kecewa untuk yang kedua kalinya. Setibanya di rumah, ibu menghampiriku saat aku masih berdiri di ambang pintu ketika hendak melepas sepatu.
“Ani?” ibu memanggilku.
Aku mengangkat kepala dan memandang ibu dengan tatapan penuh tanda tanya.
“maafkan ibu” perkataan ibukutadi membuatku semakin heran. “maafkan ibu. Ibu harus meminjam uangmu lagi”
Aku tertegun mendengar ucapan ibuku barusan. Pinjam uang? Untuk apa lagi? Bukankah sudah kuberikan semua uang tabunganku yang berjumlah hampir ratusan ribu itu?
Rupanya ibu mengetahui mimik wajahku yang sedih.
“ibu benar-benar minta maaf” ibu meminta maaf lagi padaku “ibu terpaksa. Ini untuk menebus obat ayahmu” suara ibu terdengar sangau. Dikarenakan kondisinya yang sedang tidak baik.
Aku merasa bersalah memperlihatkan ekspresi wajahku tadi kepada ibu. Walau aku kecewa, tapi kupaksakan senyum menghiasi wajahku
“tak apa bu.. ibu butuh berapa?”
“45.000 … nak”
Demi ayahku. Kurelakan uang 45000 itu. kini yang tersisa ditanganku hanyalah selembar uang 5000. Apa yang bisa kubeli dengan uang 5000 ini? . aku kembali termenung di balkon.Ya! Tempat ini lah yang menjadi tempatku saat bersedih dan ketika sedang mencari solusi. Seperti saat ini.
Tiba-tiba saja timbul di benakku untuk membelikannya sebuah coklat berukuran kecil yang seharga dengan uang yang ku miliki. Langsung saja tanpa pikir panjang aku pergi ke toko untuk membeli coklat.
Tapi saat di perjalanan seorang anak kecil merebut uangku. Aku sedikit ternganga melihat itu. tapi tanpa pikir panjang aku lengsung mengejarnya. Hampir 30 menit aku kejar-kejaran dengannya. Sampai akhirnya kebenaran berpihak padaku.
Aku mendapatkannya. Ku genggam tangan kanan anak lelaki yang berkisar berusia 6 tahun itu.
“kembalikan uangku!” aku berusaha menahan dan merebut uang itu dari tangannya. Ia menghempaskan tangannya dan ia berhasil kabur. Dengan gesit, aku terus mengejarnya.
Maklum lah… di tempat aku tinggal. Uang senilai 1000 pun sangat berharga. Di tempat aku tinggal sangat banyak orang-orang yang miskin sepertiku. Handphone yang kumiliki saat ini saja hanya second . itu pun seharga 100.000 . aku termasuk orang yang beruntung karena masih bisa sekolah.
Di jalan aku menginjak sesuatu yang tajam hingga membuat kakiku terasa sakit dan nyeri, bahkan aku merasa kakiku terasa basah dan sangat pedih. Rupanya aku menginjak paku yang menakibatkan kaki kananku berdarah.
Tapi demi sahabatku, aku rela melakukan ini. Aku harus bisa mendapatkan uang itu kembali. Akhirnya, kudapatkan bocah itu lagi. Dan kali ini aku mendapatkan uang itu kembali, walau pun aku harus ditampar ayahnya dahulu karena aku sudah memukul tangan anaknya. Sungguh ini sangat tidak adil.
Tapi tak apa lah. Demi sahabatku Nina. Cokelat sudah kubeli. Dengan pita berwarna merah menghiasi cokelat itu. dengan keadaan kakiberdarah, wajah sedikit memar dan tangan tergores, aku pulang ke rumah larut malam.
Tapi sampai di rumah aku bertemu dengan sepupuku. Dia melihat aku membawa cokelat. Dia merengek ingin cokelat itu. tapi aku mempertahankan cokelat itu agar tetap bersamaku.
“Ani! Berikan cokelat itu padaku” pinta sepupuku dengan memaksa
“tidak! Ini miliku. Kau tak berhak mengambilnya”aku berusaha untuk tetap mempertahankan cokelat itu.
“ibu!” akhirnya ia memanggil ibunya. “Ani tak mau memberikan cokelatnya padaku Bu!” tak lama ibunya datang.
“Ani! Berikan cokelat itu pada Rika” tiba-tiba saja bibiku –adik dari ayahku- datang dan membela anaknya yang ia panggil Rika tadi.
“tidak bibi! Ini milikku, Rika tak berhak mendapatkannya” aku membela diri dengan nada sopan. Karena aku masih menghargainya sebagai adik ayahku.
“kurang ajar kau!” bibi mulai membentakku “berani kau menolak permintaan anakku? Rasakan ini”
PLAAAK!
bibi menamparku. Aku hampir mrnangis karena sakitnya tamparan yang mendarat di pipi kananku. Bahkan sangking kerasnya hingga mengeluarkan darah di ujung bibirku. Sontak ibu marah.
Rika hanya menatapku dengan tatapan sinis sambil melipat kedua tangannya ke depan.
“kejam sekali kau pada anakku! Dia masih anak-anak,jangan kau sakiti dia” ibu membelaku. Namun bibi juga menampar ibuku. Aku sangat marah melihat ibuku diperlakukan seperti itu.
“cukup Bibi!” aku mulai membentak bibiku sendiri “jangan sakiti ibuku lagi” perkataanku membuat bibiku semakin marah. Hingga aku dihukum tidur di luar.
“Ani, biarkan ibu saja yang di luar” ibu berusaha menolongku dengan cara bertukar posisi. Tapi aku tak mau. Biarlah saja aku yang di luar. Daripada aku melihat ibuku kedinginan. Belum lagi di luar tiba-tiba hujan lebat. Maklum lah. Aku ibu, ayah, dan adikku hanya tinggal menumpang di rumah Bibi. Jadi Bibi berkuasa di rumah ini.
“jangan berani kamu membantu Ani di luar. Kalau sampai itu kamu lakukan, Ani akan ku siksa!”Bibi mengancam berteriak dari dalam rumah.
“sudahlah bu… aku tak apa-apa. Ibu istirahat saja” aku memeluk ibuku dengan erat dan ibu membalas pelukanku. Selang beberapa detik aku melepas pelukan ibuku,
“Rina, jaga ibu ya..”pintaku pada adik perempuanku
“baik kak. Rina akan jaga ibu”adikku tersenyum “loh? kak.. kaki kakak berdarah, aku obati ya” perkataan adikku menyadarkanku bahwa kakiku masih berlumuran darah. Sontak ibu jadi kaget.
Tak lama adikku membawakan obat P3K, ibu langsung mengobatiku. Usai mengobatiku, ibu pun masuk ke dalam dan disusul adikku Rina. Dengan keadaan menggigil aku berbaring di kursi panjang dengan masih mengenggamcokelat.
Walau saat ini begitu banyak rasa sakit yang kurasakan.Tapi aku cukup senang karena bisa mempertahankan sebuah cokelat untuk sahabatku.
***
Sepanjang jalan ke sekolah aku selalu saja memperhatikancokelat yang ada dalam genggamamku saat ini. Sambil membayangkan apakah yangakan ia ucapkan saat menerima hadiah dariku? Apakah ucapan terima kasih? Atau yang lainnya? .
Hingga tak terasa aku tiba di sekolah. Langsung sajakuhampiri sahabatku. Walau dengan keadaan sedikit pincang dikarenakan kejadian kemarin dan dengan sedikit lesu. Aku mulai merasa demam. Mungkin akibat hujan tadi malam.
“Selamat Ulang Tahun Nina. Ini hadiah untuk kamu” ucapku sambil memberikan cokelat kecil berpita merah.
“terima kasih Ani. Tapi kamu tak usah repot-repot” ia mulai menolak
“tak apa. Aku ikhlas, walaupun hanya sebatang cokelat kecil. Tapi ini hadiah untuk sahabatku” ucapku tersenyum.
“tak usah Ni”
“paling tidak kau hargai pemberianku ini. Jika kau tak suka berikan saja pada orang lain” kataku tersenyum paksa. Walau sebenarnya aku ingin menangis.
“tidak usah. Ini merepotkanmu” akhirnya ia menolak. Sungguh... Hatiku menangis.
“Tidak Nin! Aku…” belum sempat aku selesai berbicara, ia sudah memotong pembicaraanku
“maaf ya an. Aku harus pergi... Dah,,,,,,,,”pamitnya
“tapi, ini aku dapatkan dengan….”padahal aku ingin memberitahunya bahwa perlu pengorbanan untuk mendapatkan cokelat ini. Tapi ia sudahberlalu dari hadapanku. Aku hanya bisa menatap kepergiannya.
Dari jauh aku melihat dia menerima sebuah kado berukuran besar dan lebih indah dari punyaku. Akhirnya kuputuskan untuk masuk ke kelas. Sepanjang berjalannya aktifitas di sekolah, aku melihatnya tertawa dengan teman-temannya.
Dia melupakanku. Sungguh...... Sungguh menyakitkan.
***
Di perjalanan pulang, aku hanya bisa meneteskan air mata secara perlahan mengingat tingkah dan ucapannya ketika menolak pemberianku. Sungguh ia sangat tega. Aku pertaruhkan segalanya untuk cokelat ini hanya untuk menyenangkan hatinya di hari istimewanya. Tapi apa? Dia sama sekali tidak mengerti.
Aku rela panas-panasan, lari-larian, kedinginan, kesakitanhanya untuk dia. Inikah Sahabat?. Aku sungguh sakit hati dan kecewa padanya. Aku sadar! Dia memang tak pantas menerima hadiahku karena hadiah dariku tak ada apa-apanya dan tak ada bagusnya dibanding pemberian dari temannya yang bagu-bagus itu.
Inikah Sebuah Pengorbanan Yang Tak Dihargai? Dan Inikah yang dinamakan Sahabat yang mau menghargai apapun pemberian sahabatnya?
“Ungkapan yang basi!”aku berjalan pulang dengan masih menggenggam cokelat yang ia tolak tadi.
TAMAT -----
comment nya yaa kakak kakak semua.. maap typoo