Tribute to Maria Kristin Yulianti- an Indonesian Badminton Women Single Player
My story? It’s exactly same as your story, just one chapter behind. – Norrington (Pirates of Carribean)
1998- a day before go, a new life.
Malam selalu saja didominasi dengan warna hitam. Meski gelap tetapi masih ada gemerlap bintang yang selalu membuat malam penuh dengan kesan. Aku menatap bintang penuh harap. Seolah mereka benar-benar bisa mengabulkan harapku. Dengan kedua tangan memeluk kedua kakiku, aku memejamkan mata. Sebutir airmata berhasil menembus bendunganku. Kau tahu harapanku? Hanya satu. Aku ingin menjadi yang terbaik. Sesederhana itu saja.
“Kenapa belum tidur?”, seorang wanita menanyaiku.
“Aku ingin menjadi seperti mereka yang tersenyum bahagia di televisi tadi siang! Aku tahu mereka belum berhasil, aku ingin membawanya kembali ke Indonesia!”, tekadku polos.
Wanita itu membelai rambut panjangku pelan. “Kau pasti akan bisa melakukannya. Besok kau akan berangkat untuk menjadi seperti mereka!”, wanita itu tersenyum padaku. Senyumnya penuh keyakinan.
“Mama yakin?”, aku menengadahkan kepalaku menatap wajah sendunya.
“Kau pasti bisa sayang! Kau pasti akan menjadi seseorang yang mereka elu-elukan seperti itu juga!”, wanita itu membawaku dalam dekapannya.
“Ya, Ria akan berusaha!”, aku berjanji padanya.
*
2008- Uber Cup Final INA vs CHN
Jakarta, Indonesia
Sepuluh tahun sudah berlalu sejak malam itu. Aku bukan lagi anak kecil berumur tigabelas tahun. Mereka yang tersenyum bahagia di televisi siang itu sudah menjadi inspirasiku untuk terus berjuang. Harapanku masih sama, aku ingin menjadi yang terbaik. Karena harapan itulah aku berusaha sejauh ini.
Kata-kata Mama sepuluh tahun yang lalu itu benar. Sekarang. Di depan publikku sendiri aku akan membawa piala itu pulang kembali. Ya, aku akan membawa Piala Uber itu pulang lagi ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Partai puncak perhelatan itu digelar malam ini. Aku diberi kepercayaan turun sebagai tunggal pertama. Entah apa yang akan terjadi nanti di lapangan. Tetapi aku melihat banyak orang membawa bendera. Mereka dengan bangga berteriak Indonesia. Sungguh, aku benar-benar tak ingin mengecewakan mereka. Aku ingin berjuang demi mereka.
Aku melangkah keluar menuju lapangan. Serangan gugup menyerangku tiba-tiba. Melihat banyaknya orang yang memadati Istora. Tempat turnamen ini dilaksanakan. Mereka tentu menginginkan kami membawa pulang piala Uber yang berkilau megah di dalam kotak kacanya. Sungguh, aku benar-benar ingin menyentuhnya. Ingin membuktikan kalau aku bisa.
Kejadian yang sepuluh tahun lalu hanya kutonton lewat televisi. Kini tervisualisasikan sudah. Aku bisa merasakan bagaimana perasaan seorang Susi Susanti saat akan tampil di depan publik Hongkong. Hanya perbedaannya, sepuluh tahun yang lalu mereka berada di tengah-tengah orang yang pendukung negara dengan lima bintang di benderanya itu. Kini, aku berada di tengah lautan Merah-putih yang membuat dadaku sesak dengan perasaan haru.
Aku gagal. Seperti dulu tim Indonesia gagal merebut Uber Cup sepuluh tahun yang lalu. Aku gugup ketika harus tampil di tengah banyaknya orang yang berharap padaku. Aku malah memupuskan harapan bangsaku sendiri. Aku kecewa. Bahkan aku lebih kecewa lagi saat kegagalanku ternyata tidak membuat rekan-rekanku terlecut. Kami malah harus menyerah kalah dalam kedudukan telak 3-0. Kami membuat orang-orang yang berteriak IN-DO-NE-SIA sekeras-kerasnya harus bungkam. Karena yang berkibar tinggi adalah bendera merah dengan lima bintang kuning. Bendera yang sama dengan yang berkibar di Hongkong sepuluh tahun yang lalu.
Aku iri melihat para srikandi negeri Tirai Bambu itu. Ketika mereka bisa menekan pressure yang dibuat oleh para penonton. Ketika mereka bisa mengeluarkan semua kemampuan yang mereka miliki. Kini mereka tersenyum lagi. Mereka membawa pulang piala itu untuk yang kesebelas kalinya. Seperti piala milik Betty Uber itu punya mereka saja.
Aku ingin membahagiakan negeriku. Aku ingin membuat orang mengenalku sebagai seorang tunggal putri Indonesia. Selain Susi Susanti. Aku ingin mencatatkan namaku. Aku ingin berada di hati para penggemar bulutangkis atas namaku sendiri. Bukan atas nama orang lain. Aku, ya Maria Kristin Yulianti. Bukan orang lain. Lihat saja, aku akan berjuang dan berlatih sekeras yang kubisa. Aku toh sudah memberikan semuanya pada Bulutangkis.
*
2002- Amusement Park
Roller Coaster berputar dengan cepat di hadapanku. Aku masih saja termenung melihat putarannya dan teriakan senang banyak orang di dalamnya. Teman-temanku sudah berebutan naik sedari tadi. Tapi aku masih saja berdiri disini menatapi dengan penuh minat, namun tak ingin berdesakan dengan banyak orang.
“Yuk naik!”, Siska sahabatku mengajakku untuk menaiki Roller Coaster bersamanya. Aku mengangguk dan menggandeng tangan Siska. Kami berjalan bersisian menuju Roller Coaster.
“Mau main apa lagi?”, Siska bertanya padaku yang masih duduk setelah menaiki Roller Coaster.
“Tunggu dulu Sis!”, aku menahan Siska agar tidak mengajakku ke wahana lain.
“Ayolah Ria..”, rajuknya padaku.
Aku berkeras. Siska akhirnya terduduk di sebelahku.
“Aku ingin naik Roller Coaster lagi!”, aku menarik tangan Siska.
“Eehh… kok kita naik Roller Coaster lagi?”, Siska bertanya padaku.
“Karena…”, aku terdiam. “Karena aku suka!”, ucapku tiba-tiba.
“Riaaa….”,
*
2008- Indonesia Open Superseries
Jakarta, Indonesia
Indonesia Open adalah sebuah turnamen berbintang yang rutin dilaksanakan setiap tahunnya. Aku harus membayar hutangku pada Indonesia kali ini. Beberapa waktu yang lalu, aku tak mampu menunjukkan performa terbaikku di depan para pendukung Indonesia. Sekarang, aku sudah berlatih keras untuk mendapatkan sebuah gelar bagi Indonesia. Aku harus berusaha perlahan untuk mencatatkan namaku. Bukan sebagai orang lain. Seperti yang kukatakan sejak dulu.
Istora benar-benar bergemuruh ketika aku menyelesaikan poin terakhir. Aku mengepalkan tangan kiriku pertanda bahagia. Aku berhasil menjejak final turnamen ini setelah menaklukan salah satu legenda tunggal putri Cina. Aku berhasil membuatnya terkejut. Bahkan aku mengejutkan dunia. Tak ada yang percaya kalau aku mampu mengirim peraih medali emas Olimpiade Athena itu pulang lebih cepat. Tapi aku melakukannya. Banyak orang mengelu-elukan namaku. Ini baru awal. Jalur Roller Coasterku baru saja menanjak naik. Aku harus menjaga jalurnya agar tak cepat turun.
Pertandingan final benar-benar menguras emosi. Lawanku berulangkali memprotes wasit. Hingga sebuah kartu merah di dapatnya dan aku mendapat angka cuma-cuma. Sayangnya, merobohkan tembok Cina tak semudah yang dibayangkan. Mental lawanku benar-benar bagus. Kartu merah yang didapatnya tak mengusik konsentrasinya. Malah aku harus menyerah kalah. Tapi aku terima. Karena aku harus belajar lebih banyak lagi untuk menjadi penakluk deretan tembok Cina. Hanya berdiri di podium kedua tak membuatku ragu untuk tersenyum. Walaupun bukan menjadi juara, aku sudah berhasil. Berhasil membuat publikku bangga.
*
1992- Live Broadcast Olympics Gold Medal Match
Indonesia akhirnya mendapatkan emas dari Olimpiade. Emas itu didapatkan dari cabang yang baru dipertandingkan. Namanya bulutangkis. Begitu kata komentator yang kudengar di televisi. Umurku baru tujuh tahun saat Indonesia berhasil meraih dua medali emas itu. Aku melihat kebahagiaan orang-orang ketika momen-momen keberhasilan itu. Mereka begitu bahagia dengan keberhasilan Indonesia.
Bahkan teman-temanku yang tak mengetahui apa sebenarnya yang terjadi, juga ikut bahagia. Aku dengan konsentrasi memperhatikan bola kecil dari bulu angsa itu dipukul. Sementara pemainnya berlarian di lapangan untuk mengejarnya. Ketika mereka merebut poin, ada-ada saja ekspresinya.
Tapi peraih medali emas tunggal putri itu benar-benar menyita perhatianku. Gerakannya seperti menari, tekniknya sangat baik. Belakangan aku tau dari Ayah kalau namanya Susi Susanti. Dia adalah pemain terhebat yang pernah kulihat. Masih informasi dari Ayahku. Ternyata peraih medali emas tunggal putra dan tunggal putri itu adalah pasangan kekasih. Mereka dijuluki pengantin Olimpiade.
Susi Susanti, aku mengaguminya. Aku ingin menjadi sepertinya. Aku mengatakan hal itu pada Ayah. Ketika ditanya apakah aku serius, aku hanya mengangguk. Jadilah aku belajar bulutangkis. Karena aku ingin menjadi seperti Susi Susanti. Jalur Roller Coasterku baru saja dimulai.
*
2008- Summer Olympics
Beijing, China
Enambelas tahun yang lalu aku masih melihat perhelatan olahraga sejagat ini dari televisi. Tapi, kini aku berdiri dengan sebuah kokarde tergantung sebagai peserta. Aku bisa mewujudkan impianku. Setelah enambelas tahun berjuang mempertahankan mimpi itu.
Ada rasa sakit yang mengganjal di lutut kananku. Tapi aku harus menghiraukannya. Seolah rasa itu tak ada. Karena jika aku memilih untuk merasakannya tentu akan sangat menyakitkan ketika bergerak. Aku akan berjuang untuk merebut kembali kejayaan yang dulu. Disini. Didepan pendukung tembok Cina. Aku harus membuat mereka kecewa. Itu tekadku.
Jalanku tak mudah. Para pemain hebat dunia ada disini. Mereka juga berjuang demi negara mereka. Mereka juga sudah berlatih keras demi berdiri di podium. Namun, lewat pertarungan melelahkan, aku masih bisa mengirim mereka pulang lebih cepat. Meski harus bermain dalam tiga game di setiap pertandingannya. Biarlah, tak apa. Yang penting aku bisa menjejak semifinal.
Hanya ada tiga tunggal putri Cina dan aku di semifinal. Banyak orang yang tak percaya kalau aku mampu menjejak semifinal. Aku sendiripun juga tak percaya akan hal ini. Pelatihku tersenyum puas padaku. Dia percaya sepenuhnya akan kemampuanku. Setiap kali aku melihat ke arahnya, dia selalu tersenyum.
“Kamu bisa Ria!”, dia meyakinkanku ketika aku menjejak semifinal.
Aku bertemu dengan lawan yang sangat senior. Dia adalah salah satu tunggal putri terhebat Cina yang masih bermain. Walau umurnya sudah melewati tigapuluh tekadnya untuk meraih medali emas sekali lagi sangat besar. Aku cukup kesulitan meredamnya. Dia bermain dengan sangat baik. Meski aku yakin dengan penuh tekanan karena bermain di publik sendiri. Tapi dia berhasil mengalahkan tekanan itu. Begitu juga dengan cidera lutut yang sedang dideranya. Dia mampu membuat dirinya menang.
Aku tak berhasil menahannya seperti beberapa bulan yang lalu kulakukan. Dia menjadi lebih kuat ketika bertanding di negaranya sendiri. Tekadnya sangat besar untuk membalas kekalahan yang dideritannya. Pelatihku berkata tak apa-apa ketika aku merasa telah mengecewakan Indonesia. Aku toh masih bisa berjuang untuk merebut medali perunggu.
Bendera Cina berkibar dimana-mana. Banyak orang yang membawa-bara bendera berwarna merah terang itu. Perebutan medali perunggu kali ini, aku dihadapkan kembali dengan pemain Cina. Namanya Lu Lan. Berulangkali kami bertemu di kejuaraan Internasional. Aku pernah mengalahkan Lu Lan. Diapun juga pernah mengalahkanku. Kami saling mengalahkan. Tapi disini. Di rumahnya sendiri. Tentu saja Lu Lan tak ingin kalah. Cina pasti ingin melakukan aksi sapu bersih.
Lu Lan bermain baik. Dengan penuh semangat dia mengejar semua penempatanku. Meski bermain baik, tapi aku bisa melihat kegugupannya. Bermain dibawah tekanan untuk mempersembahkan yang terbaik. Tak akan mudah bagi Lu Lan.
Perlahan, aku mencoba memperbaiki penampilanku. Aku tak mau menyerah begitu saja. Aku berhasil. Berhasil membuat publik Cina terhentak. Berhasil memberikan kado indah bagi kemerdekaan Indonesia. Berhasil menggagalkan sapu bersih Cina. Berhasil melawan cidera yang menderaku. Berhasil membuat air mata berebutan keluar dari kedua mata sipit milik Lu Lan. Inikah puncak Roller Coasterku? Kuharap tidak. Aku ingin bersinar lebih lagi. Aku ingin berdiri di podium pertama. Aku ingin membuat pelatih yang sedang memelukku sekarang bangga padaku. Karena kerja kerasnya tak sia-sia.
*
2009- Sudirman Cup.
Guangzhou, China
Kejuaran bergengsi campuran yang memperebutkan piala bergilir Sudirman dihelat. Aku termasuk salah satu pemain Indonesia yang akan berlaga. Banyak orang kembali menaruh harapan pada kami. Kini aku bersiap untuk menghadapi Cina kembali. Pelatihku mewanti-wanti untuk bermain hati-hati. Karena kecemasan dalam dirinya akan cideraku memang sangat besar.
“Ria mau main Ko!”, ucapku pada pelatihku dengan yakin. Dia hanya tersenyum dan menepuk pundakku.
Aku masih bisa menahan cideraku. Pemain muda Cina ini belum terlalu baik. Hanya saja, aku yakin dalam beberapa tahun lagi dia pasti akan menjelma menjadi juara dunia baru. Postur tingginya, smash tajam dan lob kerasnya membuat Wang Yihan dipercaya untuk menghadapiku. Aku harus mengalah. Cedera yang mendera lututku sudah membuatku kesusahan bergerak. Tapi aku tak mau mengalah karena cidera. Biarlah kuselesaikan saja rubber game ini. Nanti biar teman-temanku yang menyelesaikan tugas untuk mengalahkan Cina.
Aku mulai bertanya, inikah awal dari turunan dalam jalur Roller Coaster milikku?
*
2008 – When it all begin..
Pelatnas Cipayung.
Setiap atlit pasti pernah cidera. Entah itu keseleo, terkilir, patah, ligamen robek atau cidera lainnya. Aku juga mengalami hal yang sama. Setelah latihan beban, aku melanjutkan latihanku dengan latihan stroke. Namun aku merasa kalau lutut kananku sakit. Aku memilih untuk membiarkannya. Rasa sakit itu ternyata tak berkurang meski aku mengabaikannya. Bahkan ketika aku menaiki tangga rasa itu semakin membuat lututku nyeri.
Aku tak mau cidera yang kuhadapi semakin parah. Aku memilih untuk memeriksakannya. Ternyata tak ada masalah dengan otot lututku. Semuanya baik-baik saja. Dokter hanya menyarankan pemeriksaan lebih lanjut. Aku menyetujui. Semoga saja semuanya tak apa-apa. Aku memejamkan mataku. Berharap semuanya baik-baik saja.
*
2010- Sorrowful decision
Berulangkali sudah aku mendapat teguran untuk didegradasi. Prestasiku merosot total. Tak ada lagi gelar juara yang mau mampir padaku. Lutut kananku selalu saja menjadi persoalannya. Roller Coasterku sudah total berada jalur terendahnya.
Cedera itu ternyata bukan pada otot lututku. Tapi pada cairan yang berada di dalam sendinya. Cairan itu berkurang secara perlahan. Sehingga setiap gesekan membuat lututku selalu sakit. Aku masih memiliki semangat untuk terus berlatih. Karena itulah aku masih mengayunkan raketku.
“Aku ingin keluar Sis!”, sebutku pada Siska suatu hari.
“Kenapa Ria?”, Siska bertanya padaku heran.
“Udah gak mungkin lagi Ria disini! Kasih ke orang lain ajalah tempatnya! Biar Ria balik ke klub sama kamu lagi!”, aku membeberkan alasanku dan memeluk Siska.
“Udahlah Ria! Jangan nangis! Kamu pasti bisa!”, Siska menepuk pundakku pelan menenangkanku.
Siska sahabatku sejak kami berdua memulai karir. Mungkin karirku lebih baik daripada Siska. Tapi Siska tak perlu mendera cidera sepertiku. Hidupnya aman tanpa bayang-bayang cidera yang mungkin akan menghantuinya setiap melangkah. Siska selalu menyemangatiku. Seperti yang dulu dia lakukan.
Ingin rasanya aku menutup telinga atas cibiran orang-orang. Mereka tak tahu kalau aku juga benar-benar ingin bangkit seperti yang selalu mereka katakan. Banyak tuntutan dari mereka untuk mendegradasiku dari Pelatnas. Mereka seolah melupakan apa yang sudah kucapai dulu. Tak ada yang mengungkit apa yang sudah kulakukan dulu. Aku juga tak ingin sebenarnya. Tapi mereka seolah melupakan hal itu. Setiap kali aku membaca kritikan mereka, setiap kali pulalah air mata menetes dari kedua pelupuk mataku. Aku tak mampu menahannya.
Bukankah menjadi atlet di Indonesia adalah suatu keputusan yang tidak mudah. Keputusan yang tak ada jalan kembali sesudahnya. Keputusan yang harus menyiapkan diri untuk tak dihargai, tak dipedulikan bahkan dipandang sebelah mata. Aku sudah lama mengetahui hal itu. Tapi ketika aku mengalaminya sendiri. Aku benar-benar merasa jatuh. Bukan hanya masyarakat yang tak peduli. Tetapi, mereka yang dulu memuji dan menyemangatiku. Malah berbalik tak peduli dan berusaha menendangku dari Pelatnas. Tempat yang sudah membuatku bangga berada di dalamnya.
Mungkin aku memang harus pergi dari Pelatnas. Memberikan jalan bagi orang lain. Melanggar janjiku sendiri untuk berlaga di Olimpiade London. Tapi aku tetap akan memberikan yang terbaik. Aku akan pergi.
*
2011- Recovery is not progress. Time to giving up?
Aku masih Ria yang dulu. Ria yang menyukai Roller Coaster. Bahkan hidup yang kujalani seperti Roller Coaster dengan jalur menurunnya yang terlalu ekstrim. Bukankah itu jalur yang kusukai? Jalur yang menantang adrenalin. Tapi jalur itu malah terjadi di hidupku.
Tiga tahun yang lalu, aku berdiri dengan senyum merekah di podium Olimpiade. Meski hanya dengan sekeping perunggu. Tapi aku diberikan senyum bangga oleh seluruh rakyat Indonesia. Mereka berharap banyak padaku. Mereka mendukungku. Aku merasa menjadi pahlawan saat itu.
Saat cedera menderaku. Mereka bahkan tak peduli. Mereka melupakanku. Mereka malah mencari orang lain yang prestasinya sedang menanjak. Begitukah manusia? Mungkin mereka tak tahu kalau aku juga tak ingin begini. Aku ingin sembuh. Tapi jika melakukan operasi, aku takut tak akan bisa mengayunkan raket lagi. Aku tak ingin direnggut dari dunia yang kucintai dengan sepenuh hati.
Beruntung, masih banyak yang peduli denganku. Mereka masih ada di sisiku. Masih mau untuk tersenyum padaku. Menyemangatiku. Agar aku dapat bangkit kembali. Berdiri di podium lagi. Mengibarkan bendera Indonesia lagi di mata dunia. Menghidupkan kembali impianku untuk menangis haru ketika lagu Indonesia Raya didendangkan dengan khidmat. Saat medali emas Olimpiade terkalung di leherku. Aku ingin menjelang saat itu.
Meski aku bersemangat. Namun kondisiku tak lagi mau bekerjasama dengan hati dan pikiranku. Mereka seolah sudah berjalan sendiri-sendiri. Tak bisa lagi dipaksakan. Apa aku benar-benar harus menyerah? Harus berhenti sampai disini. Apa aku sudah bisa diingat sebagai Maria Kristin Yulianti? Bukan sebagai orang lain. Apa impian untuk menangis haru itu harus berhenti? Aku sudah mundur dari Pelatnas. Kini apa sudah saatnya untuk menyerah dan menarik diri dari Bulutangkis?
Roller Coasterku mungkin sudah berhenti diujungnya. Apapun yang akan kuhadapi. Apa aku ingin turun dan mencoba permainan lain. Ataukah duduk kembali dan menaiki Roller Coaster sekali lagi. Nanti aku akan memutuskan. Setelah aku mengeringkan airmata ini.
*
5.18pm
Kritik dan sarannya akan sangat membantu