Malam Tahun Baru Terakhir
Sesiang tadi kamu sibuk keluar-masuk salon dan sekarang telah mengenakan gaun terindah yang kamu miliki. Tubuhmu wangi. Kamu tak mau tampil asal-asalan malam ini. Malam ini malam tahun baru. Sebuah malam yang selalu membuat birahimu kian menggebu. Apalagi, kemarin kekasihmu berulang kali sudah mengingatkanmu, ”Jangan lupa besok malam. Jam delapan tepat aku jemput kamu. Kita akan merayakannya di tempat biasa.”
Kamu tersenyum melihat dandanan dan lekak-lekuk tubuhmu di depan cermin. Meski usiamu menginjak empatpuluh lima, kamu masih kelihatan cantik. Tubuhmu langsing dan bugar. Otot-ototmu panjang, lentur dan liat. Gerak-gerikmu juga lincah, tak kalah dengan gadis-gadis muda usia. Itulah sebabnya, mengapa teman-temanmu kerap iri kepadamu. Tentang resep kecantikanmu, kamu selalu bilang, ”Selain ke salon dan spa, sering-seringlah ke gym supaya tetap cantik, seksi dan enerjik. Atau paling nggak, lari pagi. Udara pagi sangat bagus buat tubuh.”
Kamu lirik arloji mungil yang melingkar di pergelangan tangan kirimu. Pukul 19.00. Masih ada waktu untuk sekedar mereguk wine sembari menunggu kedatangan kekasihmu. Dengan lembut bibirmu yang merah semangka menyesap wine, lalu tersenyum. Bayangan kekasihmu berkelebat. Sudah berapa kali kamu merasakan kejantanannya? Ah, pasti tak terhitung lagi. Dia membuatmu mabuk, ingin lagi dan lagi. Bersama lelaki bertubuh atletis itu, kamu mendapati ritme permainan yang lebih panjang, variatif, panas dan tentu saja penuh gelegak birahi. Dia memang lelaki paling lelaki. Amat tak sebanding dengan pemuda ganteng yang kamu pacari sehari menjelang perayaan malam tahun baru kemarin itu. Barngkali kamu masih ingat bagaimana pemuda tampan itu menggelepar justru pada saat permainan baru dimulai. Kamu betul-betul geram waktu itu. Selain birahi binalmu yang tak lunas, teman-temanmu sesama toy girl juga mengejekmu habis-habisan.
”Sungguh malang nasibmu, Zi. Kamu cantik sekaligus tolol! Kamu tak bisa membedakan mana sapi perah, mana kuda jantan.”
”Mending kau di rumah saja, Zi. Bermain-mainlah dengan barang-barang sintetis sepuasmu. Hahahaha!!!”
”Kembalilah ke lokalisasi, Zi! Profesi pelacur lebih cocok untukmu. Kau pasti mendapatkan pelanggan seperkasa Hulk, Hercules ataupun Conan.”
Telingamu selalu berdenyut bila teman-temanmu mengulang-ulang ejekan itu. Tapi, tenang. Malam ini kamu akan menghabiskan malam pergantian tahun bersama kekasihmu. Sejak pertama kali bertemu dengannya, kamu tahu jika lelaki gagah berotot itu lebih dari sekedar kuda jantan. Pertemuan kalian sendiri tak ubahnya roman-roman yang banyak diputar di tivi-tivi. Kalian bertubrukan di sebuah hypermarket, di antara aneka macam barang yang tak bosan-bosan membisiki telinga setiap orang, ”Beli kami atau kau akan menyesal seumur hidup....” Selanjutnya, kalian tukar-menukar nomor handphone, kencan pertama, saling tertarik, jadian, menikmati waktu di atas ranjang.
Ujung telunjukmu yang lentik mengusir seekor nyamuk yang tiba-tiba hinggap di hidungmu. Mungkin anopheles betina yang dengki pada hidung bangirmu. Ya, bentuk dan ukuran hidungmu memang serasi dengan wajah cantik dan tubuh idealmu. Sungguh kamu seorang wanita yang dikaruniai banyak kelebihan. Kelebihan yang membuatmu berbeda dengan teman-temanmu. Jika mereka harus susah-susah pasang tampang dan bayar mahal, kamu justru jadi idaman banyak lelaki. Bagimu, mendapatkan atau melemparkan lelaki sama mudahnya. Semudah menyemprotkan ingus atau mengedipkan mata. Hari ini dapat, hari ini pula bisa kamu sungkurkan.
Pukul 20.20. Kamu terkejut melihat arloji seakan baru menyadari jika waktu bisa berlari cepat. Secepat gelisah yang tiba-tiba datang menyergapmu. Kamu berjalan mondar-mandir sambil meremas jari-jemari. Denting bel dan bunyi mobil direm di halaman rumah belum jua terdengar. Tidak biasanya kekasihmu tidak tepat waktu. Jangan-jangan... berbagai dugaan kini mengetuk-ngetuk tempurung kepalamu. Tuk! Tuk! Tuk! ”Tidak!” kamu mendesis. Kamu tahu kadar kesetiaan kekasihmu itu. Kamu juga percaya dia tetap akan menjemputmu. Tapi... kenapa... ah... Kamu menenggak wine. Tak peduli menetes, membasahi gaunmu.
Pukul sembilan tepat. Batang hidung kekasihmu belum juga tampak. Dengan kesabaran yang nyaris mendekati ambang batas kamu meneleponnya. Sia-sia usahamu. Nada sibuk yang menyambutmu. Bukan kata-kata mesra yang melompat dari mulutnya. Kamu mendengus. Kesabaranmu sudah habis! Kesal dan kecewa bercampur jadi satu. Cepat tanganmu menyabet clutch Chanel hitam, lalu masuk kamar mengambil kunci mobil. ”Persetan dengan dia,” batinmu mnedesisi. Hmm... rupanya, bersama atau tanpa dia, kamu tetap akan merayakan malam ini. Melakukannya dengan lelaki lain. Bahkan, kalau perlu dengan banyak lelaki.
Gerimis dan udara dingin menyambutmu. Keredap lampu warna-warni yang membentuk ucapan-ucapan bernuansa tahun baru redup oleh rinai gerimis. Gerak wiper yang menghapus bulir-bulir air di kaca seperti pendulum yang malas berayun. Kamu memperlambat laju mobil. Dahimu berkerut melihat sepanjang jalan yang kamu lalui begitu nyenyat. Kecuali mobilmu, tak ada kendaraan lain yang melintas. Sepasang matamu sebal menatap kucing-kucing kurus yang menggigil kedinginan di emperan toko dengan rolling door tergembok mati. Mereka seolah ingin menyindirmu. Dulu, kamu adalah seorang bocah yang banyak menghabiskan waktu di kolong jembatan, di trotoar dan di emperan toko bersama seorang ibu yang sakit-sakitan. Sepanjang hari kamu selalu berkelahi melawan hantu-hantu lapar yang tak pernah lelah memuntir ususmu yang keriput. Saat asma meremas-remas paru-paru ibumu, kamu pun harus pontang-panting mengemis obat dan roti barang sekerat dua kerat. Tetapi, kamu hanya mendapatkan sekian mulut yang nyinyir mengumpat sehingga sedikit demi sedikit, dengan sendirinya, jiwamu dijejali dendam kesumat. Puncaknya, kamu berbisik di telinga ibumu, “Diizinkan atau tidak kauizinkan, aku akan jadi pelacur, Mak.” Kamu begitu yakin jika menjajakan tubuh adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan hidupmu dan ibumu. Akan tetapi, beberapa hari setelah resmi jadi pelacur, kamu menemukan ibumu mati bunuh diri.
Seketika kamu menggenjot pedal gas dalam-dalam seperti ada yang menyentakmu. Pesta pasti sudah digelar, pikirmu. Tapi, belum begitu jauh mobilmu melaju, kakimu tergopoh-gopoh menginjak rem manakala matamu menabrak lautan manusia. Ratusan, bahkan mungkin ribuan jumlahnya. Semua bersimpuh menengadahkan tangan. Sesekali suara tangis berguguran dari mulut mereka. Gerimis dan hawa dingin yang semakin memartil tulang tak menghalangi kekhusyukan.
Kamu seringsecara tak sengajamelihat orang berdo’a di tempat-tempat ibadah yang setiap hari kamu lewati. Bahkan, ketika suamimu masih hidup kamu pernah melakukannya meski sebatas pura-pura. Bicara tentang suamimu, sungguh dia hartawan yang sangat mencintaimu. Dialah yang mengentasmu dari kubangan lumpur hingga kamu bisa bernafas lega di sebuah rumah mewah. Hingga kamu bisa hidup nyaman. Hingga kamu bisa berlagak layaknya nyonya-nyonya jetset. Hingga kamu tak pernah mengizinkan janin bercokol dalam rahimmu. Hingga kerakusan tumbuh sebenih demi sebenih di dalam otakmu. Hingga kamu sampai hati membubuhkan sianida pada kopi yang dia minum dan mencemplungkan mayatnya ke dalam septic tank. Hingga kamu merasa sangat bebas dan tak perlu mengenangnya, meski kadang kamu mendengar suara yang amat kamu kenal melonjak dari dalam kloset: ”Sampai mati pun aku tetap mencintaimu, Zi....”
Berkali-kali kamu memencet klakson dengan harapan bunyinya akan menjelma tongkat Musa yang sanggup membelah lautan manusia di depanmu. Tapi telinga mereka telah pekak. “Apa sih mau orang-orang alim itu? Nggak tahu orang telat apa? Huh!” gerutumu menggebrak kemudi. Terpaksa kamu memutar, mengambil arah lain. Kamu ingin selekasnya sampai di tempat pesta. Selangkanganmu sudah gatal ingin segera disentak. Nanah dalam liang selangkanganmu telah menggelegak. Birahi nyaris membuat kepalamu meledak.
Setiba di tempat pesta gerimis reda, meski mendung masih menggayuti langit. Lagi-lagi dahimu berkerinyut. Sebab, kamu cuma mendapati lampu-lampu yang menyala temaram, pintu-pintu yang terkatup rapat dan seorang penjual terompet yang buru-buru mengemasi barang dagangannya sambil mendongak langit kelam. Tak satu pun penggila pesta berkeliaran. Karena itu, kamu segera menghubungi teman-temanmu. Percuma, satu pun tak ada yang menghidupkan telepon sehingga batinmu pun meracau tak karuan, ”Heran! Sudah tololkah mereka sampai-sampai melewatkan malam ini? Akankah aku menelan kekecewaan kembali? Ow, tidak! Tidak! Itu tidak boleh terjadi. Aku harus merayakannya. Harus! ”
“Kenapa Nyonya masih di sini?” ucapan penjual terompet mengejutkanmu.
”Malam tahun baru kemarin ternyata pesta terakhir yang dapat kita rayakan. Mulai malam ini dan seterusnya tidak akan ada pesta lagi, Nyonya. Sebaiknya Nyonya cepat pulang sebelum semuanya menjadi kasip.”
“Memang kenapa? Pemerintah melarangnya?”
“Apakah Nyonya belum mendengar kabar itu? Awalnya saya tidak mempercayai kabar itu. Baru beberapa saat lalu saya bisa percaya setelah melihat dia sudah di sana,” kata penjual terompet sungguh-sungguh.
Kamu sedikit mengangkat bahu. Acuh tak acuh.
”Lihatlah langit, Nyonya,” penjual terompet menunjuk langit. ”Tengah malam nanti dia akan meniup terompetnya.” Usai berkata seperti itu, penjual terompet segera pergi dengan keranjang terompet menindih punggung. Wajahnya panik.
Tinggallah dirimu sendirian. Perlahan kamu menggerakkan kepala. Mendongak. Samar-samar kamu melihat sesosok makhluk sedang menyiagakan terompet di depan dadanya. Sepasang sayap di kedua pundaknya yang sesekali bergerak pelan menerbitkan suasana misterius dan mencekam. Tapi kamu malah mencibir. Dan... cibiran di mulutmu berganti senyuman begitu sepasang bola matamu menangkap seekor Alaskan Mullates jantan berlari-lari menghampirimu dan menjilati betismu. “Hmm... akhirnya aku bisa merayakan malam ini. Thanks, God...” girangmu seraya membawa kewan itu ke dalam mobil.
+++
Tirtonadi, Januari 2010