Karya Muhammad Haekal“Lebih baik kau pulang! Apa yang engkau janjikan tidak pernah kau buktikan!” Makian Cek Din menggema di dalam ruang sekretariat desa. Semua orang di ruangan itu tertunduk. Suasana hening. “Saya harap Saudara tenang. Tahun kemarin keadaan sedikit sulit. Ada beberapa daerah yang harus diprioritaskan pembangunannya. Dan tahun ini giliran daerah bapak. Saya jamin,” kata lelaki berkacamata yang duduk di depan Cek Din. Dia menjawab dengan tenang. Mimik wajahnya bagai seorang lelaki tua yang bijak.
“Dan lagi pula, saya yakin di dalam ruangan ini tidak ada yang mengenal calon nomor dua,” lelaki itu menambahkan. Dua lelaki yang berdiri di samping Cek Din saling menatap. “Keluar! Kami tidak butuh kau,” jawab Cek Din, sambil meremas-remas selebaran kampanye dan melemparkannya ke muka si lelaki.
***
Beberapa tahun lalu, saat kampanye sedang berlangsung, lelaki yang sama datang ke kampung kami. Dia membawa sebuah map berisi dua lembar kertas. Lembaran pertama berisi harapan kami: Bangunan apa yang ingin kami bangun, jalan bagian mana yang ingin kami aspal, atau berapa ekor ternak yang kami butuhkan. Terserah kami mau menulis apa. Lembaran kedua berisi pernyataan dukungan: Perjanjian bahwa kami semua pasti akan memilih si calon. Tak lupa kami sertakan kopian Kartu Tanda Penduduk.
Saat itu, kami semua tersenyum. Pak Sulaiman berseri-seri wajahnya membayangkan sekolah dasar kami akan direnovasi. Dindingnya akan dicat, kursi dan meja akan diganti, dan loteng akan ditambal. Janda Halimah tidak kalah girangnya. Dia tersenyum membayangkan beberapa bulan lagi seekor sapi betina akan terikat di belakang rumahnya. Dan dia pun terlihat sibuk bertanya kepada Bang Ali tentang biaya membangun sebuah kandang. Hal yang sama juga terjadi pada mamakku. Dia bilang, “Mat, tak lama lagi mamak bisa menjahit. Ada seorang dermawan yang mau menyedekahkan mesin jahit buat kita.” Singkat kata, dalam beberapa bulan itu, tidur masyarakat selalu dihiasi oleh mimpi-mimpi akan kesejahteraan.
***
“Gimana ini, pak? Kenapa sapi bantuan belum tiba? Uang saya sudah habis untuk membangun kandang!” suara Janda Halimah menggelegar di meunasah. “Iya pak! Anak-anak sekolah juga setiap hari bertanya kepada saya kapan sekolah mereka direnovasi. Saya tidak bisa mengelak lagi,” kata Pak Sulaiman yang turut menyambung keluh kesah warga.
Warga saling berbisik. Mereka khawatir mimpi mereka selama ini tidak akan menjadi kenyataan.
“Bapak-bapak dan ibu-ibu harap tenang. Perlu saya jelaskan, saya telah berulangkali menghubungi langsung pihak terkait. Bahkan, kemarin saya juga pergi langsung ke rumah beliau. Tapi belum ada jawaban pasti,” kini giliran Cek Din, kepala desa kami, yang angkat bicara. Raut mukanya terlihat lelah. Rambutnya juga acak-acakan.
Hampir setahun lebih pengumuman hasil pemilihan kepala daerah diumumkan. Belum ada tanda-tanda harapan kami akan terlaksana. Kini senyum kami telah digantikan oleh rasa kesal yang amat besar. Kami dibohongi oleh orang yang sekarang memimpin kami.
Decitan rem mobil terdengar samar. Blam-blam, suara dua pintu mobil saat dibanting bersamaan. Tok-tok-tok. Aku kaget suara ketukan di pintu rumahku. Siang-siang begini siapa sih! Dengan hati kesal dan kantuk yang mulai menguap hilang, pintu pun aku buka. “Wa’alaikum salam. Cari siapa, bang?” Ternyata dua orang abang yang turun dari mobil pick-up tadi. “Maaf dek menganggu. Kami bingung mencari rumah Halimah. Apa adek tahu di mana?” tanya seseorang yang memakai topi pet hitam. “Halimah ada dua orang, bang. Yang satu masih gadis, satunya lagi janda. Abang cari yang mana?”
“Ehem, sepertinya yang janda. Di kertas ini hanya tertera nama ‘Halimah’, tidak lebih. Lgi pula, saya tidak pernah mendengar ada gadis yang memesan lembu.”
“Oh, kalau yang janda, di ujung jalan itu, bang. Abang lihat di situ ada pohon mangga? Nah, belok kanan, dan cari rumah yang di depannya ada pohon jamblang. Itu rumah janda Halimah.”
“Cukup jelas, dek. Terima kasih banyak. Kami pergi dulu.”
“Sama-sama bang. Ngomong-ngomong, Bu Halimah sepertinya sedang banyak uang ya, di zaman sulit ini masih mampu membeli lembu. Oke lah, hati-hati di jalan bang.”
“Baik, dek. Tapi sepertinya bukan ibu Halimah yang membeli lembu ini. Ini bantuan dari gubernur.”
“Gubernur beserta jajarannya melakukan kunjungan ke Panti Asuhan. Para rombongan disambut oleh tarian ranub lampuan yang dimainkan langsung oleh anak-anak panti asuhan. Dalam sambutannya, gubernur menyebutkan bahwa tujuan dari kunjungan untuk berbagi kasih. Demikian laporan kami dari Panti Asuhan.”
“Lihat, Mat! Itu orang yang menipu kita!” kata Bang Wan sambil menepuk pundakku dan menunjuk ke televisi 14 inc yang sedang berkoar-koar. Kami sedang minum kopi di warung. Larutan hitam itu terasa begitu kelat, dan semakin kentara kelatnya kala melihat sesosok figur yang bergerak di televisi: figur yang telah menipu, memainkan hati, dan melupakan kami. Kalaupun beberapa tahun kemudian ada bantuan lembu ke desa kami, bisa dipastikan lembu kurapan, dan mati setelah beberapa bulan diserahkan.
“Tapi Mat, setidaknya dengan ini kita belajar,” kata Bang Wan lagi, lalu dia cukup lama terdiam. Sepertinya dia merenung. “Pilihlah calon kepala daerah yang sudah kau kenal. Kenal orangnya dan kenal rekam jejak perbuatannya.” Kepulan asap rokok berputar-putar dari mulut Bang Wan. Agaknya dia cukup puas dengan kata-katanya itu. Aku hanya mengangguk saja. Jujur aku kurang paham dan bingung.
“Dan satu lagi, Mat,”
“Apa, bang?”
“Jangan lupa kau pilih aku di pemilihan kepala desa nanti! Kalau aku terpilih, aku akan memperluas lapangan kerja. Tidak akan ada lagi pengangguran. “Oke-oke.” Aku meneguk kopi sampai habis. Dalam hatiku: Bagaimana dia akan memperluas lapangan kerja, dia sendiri masih pengangguran!
*Muhammad Haekal,
mahasiswa IAIN Ar-Raniry Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris- "barang bukti":