tukangtidur Penulis Senior
Jumlah posting : 831 Points : 988 Reputation : 19 Join date : 30.04.10 Age : 42 Lokasi : Depok
| Subyek: (Draft) DAUN Mon 5 Dec 2011 - 11:49 | |
| Saat itu usiaku delapan tahun. Keningku menempel di lengan kananku, dan lengan kananku menempel di tiang listrik yang dingin. Sepasang mataku menatap tanah. Malam itu—seperti biasa—aku mendapat giliran jaga dalam permainan petak umpat. Aku harus menghitung dari satu sampai seratus.
“34… 35… 36….”
Aku menghitung dengan suara keras. Terdengar langkah-langkah berlari.
“43… 44… 45….”
Kali ini terdengar suara-suara tawa tertahan.
“79… 80… 81….”
Tak terdengar lagi suara langkah berlari. Suasana mulai sunyi. Mereka tentu sudah bersembunyi. Sepasang mataku masih menatap tanah. Angin malam meniup leher belakangku. Dingin. Hitunganku sebentar lagi selesai.
“98… 99… 100!”
Aku mengeraskan suaraku tepat di hitungan ke seratus. Aku segera membalikkan tubuhku. Inilah bagian yang paling aku benci. Di satu sisi aku harus menjaga tiang listrik tempat aku berjaga atau biasa disebut inglo, di sisi lain aku harus menemukan teman-temanku yang sedang bersembunyi. Jika aku tidak beranjak jauh dari tiang listrik, teman-temanku akan berteriak, “Jaganya jaga endok, endok-nya takut pecah!”
Mau tidak mau aku harus berani berada jauh dari tiang listrik, dan mulai mencari di mana gerangan teman-temanku bersembunyi.
Hmm. Pasti ada yang bersembunyi di balik tembok rumah bercat biru itu. Aku melihat pohonnya bergoyang-goyang tidak wajar. Siapa, ya? Aku mendekati tembok rumah biru itu dengan langkah perlahan. Namun tiba-tiba Ahmad muncul dari tembok rumah bercat kuning yang berada di seberang rumah bercat biru, dan kemudian berlari menuju tiang listrik. Aku tidak sempat mengejarnya. Langkahnya cepat sekali.
“Inglo!” ujar Ahmad sambil menyentuh tiang listrik itu.
Aku menghela napas kesal. Namun belum sempat aku berbuat sesuatu, tiba-tiba Rio melompat dari tembok rumah bercat biru, berlari kencang menuju tiang listrik, dan… “Inglo!” teriaknya sambil melompat kegirangan. Aku kecolongan lagi.
Aku memang tidak pandai bermain petak umpat. Aku selalu mendapat hukuman jaga inglo. Namun aku tahu, sebodoh apa pun aku bermain petak umpat, aku harus tetap bermain. Bukankah sangat tidak menyenangkan jika kita menyaksikan teman-teman kita asyik bermain petak umpat, sedangkan diri kita hanya melamun menyaksikan permainan tersebut? Dalam permainan petak umpat, aku tidak pandai bersembunyi dan juga tidak pandai menemukan teman-temanku yang sedang bersembunyi. Dunia ini luas, bagaimana mungkin aku bisa menemukan seseorang yang sedang bersembunyi di tempat yang aku tidak pernah tahu? Namun anehnya, jika aku yang bersembunyi, teman-temanku selalu berhasil menemukanku.
Ahmad dan Rio sudah berhasil menyentuh inglo. Berarti tinggal tiga orang lagi yang masih bersembunyi. Wahyu. Agam. Halim. Kini posisiku berada dekat dengan tiang listrik. Aku tidak ingin kecolongan lagi. Kapok. Malam ini aku sudah jaga inglo tiga kali. Harus sampai berapa kali aku jaga?
“Jaganya jaga endok, endok-nya takut pecah!” Ahmad dan Rio bernyanyi-nyanyi mengejekku.
“Iya… iya… aku tidak akan jaga endok lagi!” ujarku sambil perlahan menjauhi tiang listrik. Selangkah demi selangkah. Sambil terus memelihara waspada.
Grusak!
Aku menoleh ke arah rumah yang terdapat pohon rambutan besar. Pasti ada yang bersembunyi di situ. Aku segera menghampirinya. Baru lima langkah, aku mendengar suara langkah kaki dari arah belakang tubuhku. Aku menoleh. Sial. Aku melihat Wahyu, Agam, dan Halim sedang berlari bersama-sama menuju tiang listrik. Aku tidak bisa berbuat apa-apa ketika mereka secara bersama-sama berteriak: “INGLO!”
Aku kembali mendapat giliran jaga. Ini adalah yang keempat. Aku kepingin pulang. Tapi tidak bisa. Nanti aku dituduh curang dan semacamnya.
Dengan lemah aku berjalan menuju tiang listrik itu. Lengan kananku menempel di tiang listrik, dan keningku menempel di lengan kananku. Wajahku kembali menghadap tanah. Seseorang mencolekku dari belakang. Aku menoleh. Ahmad terlihat sedang memperlihatkan sepuluh jarinya di hadapanku. Aku harus memilih, kira-kira tadi Ahmad mencolek punggungku dengan memakai jari apa, ya.
Teman-teman yang lain berkerumun. Aku memilih jari telunjuk kanan Ahmad.
“Sepuluh!” Teriak teman-teman bersamaan. Ya, satu jari bernilai sepuluh. Jika tebakanku tadi benar, maka aku hanya menghitung sampai sepuluh saja. Dan itu tentu saja menyenangkan. Mereka tidak akan punya cukup waktu untuk bersembunyi.
Namun sialnya tadi aku salah tebak.
Kini aku memilih jari kelingking kiri Ahmad.
“Dua puluh!” Teman-teman kembali berteriak. Aku salah lagi. Jangan-jangan seperti tadi, aku tidak dapat menjawab dengan benar, sehingga aku terpaksa menghitung sampai seratus.
Berkali-kali aku memilih pilihan yang salah.
“Lima puluh!”
“Enam puluh!”
“Tujuh puluh!”
Aku terdiam sebentar. Tersisa tiga jari lagi. Kelingking kanan, telunjuk kiri, jempol kanan.
Aku memilih kelingking kanan Ahmad.
“Delapan puluh!” teriak Ahmad sambil berlari menjauh mencari tempat persembunyian. Tebakanku benar! Berarti aku harus menghitung sampai 80. Aku segera menghadap tiang listrik dan menempelkan keningku di lengan kananku. Aku menghitung sambil menghadap tanah.
Pada hitungan ke-43,aku melihat sehelai daun melayang-layang dan jatuh tepat di depan ibu jari kakiku. Daun itu berwarna merah, bercahaya, dan berkerlap-kerlip seperti kunang-kunang. Aku berhenti menghitung. Daun itu sungguh membuatku terpesona. Aku belum pernah melihat daun berkerlap-kerlip seperti itu.
Aku menunduk, menjulurkan tangan kananku, meraih daun itu. Setelah ujung jariku menyentuh permukaan daun itu, tubuhku terpental ke belakang. Punggungku menabrak tembok rumah tetanggaku. Jantungku berdetak cepat. Aku menatap telapak tanganku yang sedang berdenyut hebat. Terdapat pola daun di telapak tanganku. Aku mencari daun bercahaya itu, tapi tidak ada.
“Jaganya jaga endok!!” teriak salah seorang temanku.
Aku menoleh ke arah suara itu. Astaga. Aku melihat Wahyu sedang jongkok sambil terlihat waspada. Padahal, saat itu Wahyu sedang berada di balik tembok! Aku bisa melihatnya! []
| |
|
ilhammenulis Penulis Senior
Jumlah posting : 1114 Points : 1203 Reputation : 18 Join date : 23.07.11 Age : 34 Lokasi : Bandung
| Subyek: Re: (Draft) DAUN Mon 5 Dec 2011 - 13:17 | |
| wahahaha.. bisa liat nembus tembok euy.. | |
|
Ruise V. Cort Penulis Parah
Jumlah posting : 6382 Points : 6522 Reputation : 45 Join date : 28.04.11 Age : 31 Lokasi : *sibuk dengan dunianya sendiri jadi nggak tahu sekitar*
| Subyek: Re: (Draft) DAUN Mon 5 Dec 2011 - 22:08 | |
| Wala~~ Hanya tembok atau ada lagi nih Kak? | |
|
de_wind Penulis Sejati
Jumlah posting : 3494 Points : 3669 Reputation : 52 Join date : 29.03.11 Age : 39 Lokasi : Bekasi
| Subyek: Re: (Draft) DAUN Tue 6 Dec 2011 - 1:43 | |
| dolanan nih...jd inget masa kecil... ditunggu lanjutannya... | |
|
ilhammenulis Penulis Senior
Jumlah posting : 1114 Points : 1203 Reputation : 18 Join date : 23.07.11 Age : 34 Lokasi : Bandung
| Subyek: Re: (Draft) DAUN Tue 6 Dec 2011 - 14:27 | |
| gak akan dilanjutin deh kayaknya.. *ngacir | |
|
tukangtidur Penulis Senior
Jumlah posting : 831 Points : 988 Reputation : 19 Join date : 30.04.10 Age : 42 Lokasi : Depok
| |
de_wind Penulis Sejati
Jumlah posting : 3494 Points : 3669 Reputation : 52 Join date : 29.03.11 Age : 39 Lokasi : Bekasi
| |
ilhammenulis Penulis Senior
Jumlah posting : 1114 Points : 1203 Reputation : 18 Join date : 23.07.11 Age : 34 Lokasi : Bandung
| |
tukangtidur Penulis Senior
Jumlah posting : 831 Points : 988 Reputation : 19 Join date : 30.04.10 Age : 42 Lokasi : Depok
| Subyek: Re: (Draft) DAUN Wed 7 Dec 2011 - 9:08 | |
| | |
|
de_wind Penulis Sejati
Jumlah posting : 3494 Points : 3669 Reputation : 52 Join date : 29.03.11 Age : 39 Lokasi : Bekasi
| Subyek: Re: (Draft) DAUN Sat 10 Dec 2011 - 11:42 | |
| tau dah ya...gak pernah liat wajah aselinya...minimal kalo meng-iya-kan, jadi gak ngerasa bersalah... wkwkwkwk.... | |
|