Kawan2 SP tercinta... Seperti yang sudah didiskusikan sebelumnya, saya akan mengupload cerpen yang nantinya akan dibahas waktu sekolah menulis dimulai (Minggu, 10.00 pagi, jangan telat). Silakan dibaca, dipahami, diresapi, dimengerti maknanya, diambil hikmahnya, kemudian siapkan kritik dan saran sepedas2nyaaaaaa!!!
Ini bukan cerpen buatan saya. Sekali lagi, bukan!! Cerpen ini bukan saya yang buaaattt!!!
Judul Karya: The Asylum 2Maafkan aku. Aku terlalu takut menghadapi semuanya. Aku terlalu lemah untuk tetap bertahan dengan kenyataan. Bukan, bukan karena aku membencimu. Bukan karena aku menginginkanmu pergi. Aku tidak ingin kau tumbuh menjadi orang yang bengis sepertiku. Aku tidak ingin kau tumbuh dan hidup di “dunia”ku. Aku sangat menyayangimu…
“Ada apa dengan pasien ini?” tanya dokter Jane, Sp.KJ, seorang dokter jiwa yang berpraktek di sebuah asylum yang terletak di sebuah bukit jauh dari keramaian. Telepon yang berdering terus menerus membuatnya harus membatalkan acara kencannya dengan Mike, pacarnya yang datang dari kota, pagi ini.
Sedikit kesal dia mengambil status pasien yang sedari tadi dipegang oleh seorang perawat bertubuh kekar. Kebanyakan perawat di asylum ini bertubuh kekar karena tenaga mereka dibutuhkan untuk menangani pasien gila yang mengamuk.
“Tidak pernah ada catatan medis yang berkaitan dengan kejiwaan,” guman Jane saat membuka status itu. Kosong. Hanya secarik kertas bertuliskan hasil anamneses (tanya jawab antara dokter dan pasien) yang dilakukan oleh seorang dokter muda lulusan sebuah universitas di UGD. Jane sendiri ragu saat melihat hasil anamneses itu. Bukan karena kurang mampunya dokter-dokter muda jaman sekarang yang notabene bisa mencicipi fakultas kedokteran dengan 90% uang-biasa dibayarkan saat penerimaan mahasiswa baru-dan 10% otak, tetapi karena menurutnya jawaban pasien sama sekali tidak menunjukkan adanya kelainan jiwa. Jane mendengus sebal.
“Kalian memanggilku untuk kasus seperti ini?” tanya Jane sambil tersenyum ke arah dua orang perawat yang menemaninya. Mereka berdua mengangguk. Jane tertawa kecil.
“Panggil dokter Bryan. Dia masih memerlukan pengalaman dalam berinteraksi dengan pasien. Kuserahkan pasien ini padanya,” katanya. Bryan adalah seorang dokter yang baru saja mendapat gelar spesialis jiwa sekaligus dokter spesialis termuda di rumah sakit itu. Jane hendak pergi ketika salah seorang perawat menahan tangannya.
“Tetapi pasien ini lain, Dok,” kata perawat itu. Suaranya menggelegar, namun entah mengapa Jane menangkap ada rasa takut dari mata perawat itu. Dia berbalik dan menatap si perawat.
“Kau… kau takut?” tanya Jane. Wajar jika dia menanyakan hal tersebut. Perawat-perawat di rumah sakit ini tidak pernah merasa takut dengan pasien gila macam apapun. Tanpa terduga, perawat itu mengangguk pelan.
“Pasien ini telah membunuh tiga orang anak kandungnya pagi tadi.”
+++
“Apa-apaan kau? Aku telah membanting tulang membiayai kuliahmu, tapi hanya ini balasanmu?! Biaya kuliahmu tidak murah, kau tahu itu! Seharusnya kau berpikir seribu kali untuk menghadapku pagi ini dengan membawa nilai burukmu itu!”
Aulia menatap ayahnya yang sedang marah dengan tidak percaya. Lidahnya kelu. Ah! Bahkan nilai IPK nyaris sempurna, summa cumlaude, tidak mampu membuat sang ayah berhenti membencinya! Pagi ini dia menghadap sang ayah di ruang kerjanya dan meminta beliau menghadiri acara wisudanya besok pagi. A
palagi yang harus kulakukan agar ayah berhenti membenciku?
“Pak, jangan kasar kepadanya. Aulia itu anakmu, Pak,” kata seorang wanita setengah baya yang sejak tadi berdiri sambil mengelus-elus dada sang suami.
“Aku tidak bisa menerima pembalasan darinya, Bu. Aku sudah menghabiskan banyak uang untuk membiayai kuliahnya! Inikah balasan darinya, ketidak sempurnaan?” kata sang ayah berang. Aulia hanya bisa menundukkan kepalanya. Air matanya meleleh.
“Ketidak sempurnaan apa yang kau maksud, Pak? Lihatlah puteri kita! Dia cerdas! Dia lulus dengan predikat summa cumlaude! Nyaris sempurna!” kata sang ibu sambil terisak.
“Tapi masih ada yang lebih baik darinya!”
“Tidak ada manusia yang sempurna, Pak! Ingat itu!”
“Setidaknya dia bisa menjadi yang terbaik! Bodohnya kau! Membiayai sekolah anakmu itu sama saja dengan menghambur-hamburkan uangku!”
“Pak! Tega-teganya kau berpikiran seperti itu pada anakmu! Kau sama saja dengan membunuh perasaannya!”
“Kalau bisa aku akan membunuhnya sekarang juga!”
“Cukup!” teriak Aulia. Dia menutup kedua telinganya dan menggeleng-gelengkan kepala. “Cukup! Cukup kubilang! Cukup!”
Aulia berlari ke luar ruangan.
+++
Dr. Jane menghembuskan nafas panjang. Dia tidak pernah merasa setegang ini setiap kali menangani pasien. Dia mengamati seorang wanita berumur dua puluh tahunan terduduk santai di kursi ruang periksa.
Sial, kenapa aku bisa merasa setegang ini? rutuk Jane.
“Kau tidak perlu ketakutan begitu, Dok. Aku tidak berbahaya seperti pasien-pasien lain di asylum ini,” kata si pasien, Aulia, sambil menoleh ke arah Dr. Jane. Jane menelan ludah. Hey, dia seperti memiliki indera keenam! Batinnya. Dr. Jane tersenyum dan duduk di seberang pasien.
“Aku hanya mengamatimu saja. Aku tidak tegang,” kata Dr. Jane sambil meletakkan kedua tangannya di meja. Aulia tersenyum.
“Kau tahu, Dok? Meja periksa di rumah sakit jiwa selalu dibuat bulat untuk berjaga-jaga seandainya pasien mengamuk. Dokter yang memeriksanya bisa sedikit mengulur waktu dengan berlari mengelilingi meja bulat itu sebelum para perawat menolongnya,” katanya datar. Dr. Jane sedikit kaget.
Aku yang dokter jiwa saja tidak pernah memikirkan hal sepele seperti itu! Batinnya heran.
“Pengetahuanmu luas. Tampaknya kau pasien yang cerdas,” kata Dr. Jane memuji. Aulia yang sejak tadi tersenyum langsung membentak, “Jangan katakan kalau aku cerdas! Ayahku bilang aku adalah manusia terbodoh di dunia ini!”
Dr. Jane kaget. Aulia terkikik geli. “Tenang saja, Dok. Kalau kau takut, kau boleh berlari mengelilingi meja bulat ini,” katanya. Dr. Jane menelan ludah. Pasien yang satu ini selalu bisa menebak jalan pikirannya.
“Oke, aku akan mengajukan beberapa pertanyaan untukmu. Kuharap kau bisa menjawabnya dengan baik. Aku akan dipecat jika gagal meng-anamnesesmu,” bisik Jane. Aulia tersenyum.
“What brings you here, Aulia?” tanya Dr. Jane sambil diam-diam menyalakan tape recorder di saku bajunya. Aulia menghembuskan nafas panjang. “Aku mengantarkan ketiga anak kandungku ke surga pagi ini,” jawabnya tenang.
“Membunuh, maksudmu?” tanya Dr. Jane, mencoba mempertegas. Aulia menggeleng. “Aku mengantarkan mereka ke surga. Aku tidak ingin mereka tumbuh menjadi orang sepertiku,” jawabnya.
“Oke, itu berarti kau menghilangkan nyawa ketiga anakmu pagi ini,” kata Dr. Jane dengan menggunakan sedikit pelunakan dengan kata membunuh. Kali ini Aulia tampak setuju. Dia mengangguk.
“You can tell me, if you want,” kata Jane. Aulia tersenyum. “Aku tidak yakin kau akan memahaminya. It’s kind of complicated,” jawabnya. Dr. Jane tersenyum.
“It’s okay. Anggaplah aku sebagai teman curhatmu, bukan dokter yang sedang memeriksamu,” katanya sambil melepas jas putih yang dikenakannya dan meletakkan di atas meja.
“Aku sangat mencintai ketiga anakku. Itulah alasan mengapa aku mengantarkan mereka ke surga. Aku tidak ingin mereka tumbuh sepertiku. Tumbuh dalam rasa penyesalan dan direndahkan seumur hidup karena mereka tidak akan pernah menjadi sempurna di mataku, apa lagi ayahku.”
“Tapi tidak ada orang yang sempurna di muka bumi ini, bukan?” tanya Dr. Jane sambil menatap mata Aulia. Sang pasien menatap tajam.
“Aku tahu, tetapi ayahku tidak.”
+++
“Magister ya,” kata Aulia saat seorang teman laki-lakinya menyerahkan selembar brosur padanya. Brosur penerimaan mahasiswa magister.
“Entahlah, mungkin aku tidak akan melanjutkan studiku,” kata Aulia.
“Ada apa denganmu, Lia? Kau cerdas dan brilliant! Sayang sekali jika kau melepaskan kesempatan besar itu! Kau bisa kuliah gratis di universitas terbaik di Indonesia!” kata laki-laki itu. Aulia tersenyum. “Baiklah, aku akan mempertimbangkannya,” katanya.
Aulia membawa brosur itu pulang. Keraguan terbersit di hatinya. Akankah ayah mengijinkanku mengambil kesempatan ini? Batinnya bingung. Aulia membuka pintu ruang kerja sang ayah dan mendapati ayahnya sedang duduk dengan setumpuk buku.
“Ayah?” panggil Aulia.
“Ada apa?” tanya sang ayah singkat. Aulia menarik sebuah kursi dan duduk berhadapan dengan ayahnya.
“Aulia ingin melanjutkan kuliah,” kata Aulia takut-takut sambil meyerahkan brosur yang ada di tangannya. Sang ayah menatap puterinya heran.
“Tidak. Tidak boleh. Aku tidak akan membuang uangku untuk hal yang sia-sia,” kata sang ayah sambil membuang brosur ke lantai. Aulia mendesah panjang dan menundukkan kepala. “Mengapa ayah selalu berpikiran seperti ini pada Aulia?” tanyanya lirih.
“Apa kau bilang?!” bentak sang ayah sambil berdiri dari kursinya. Aulia terkesiap.
“Kau bertanya mengapa aku selalu bersikap seperti ini padamu? Simpel! Kau tidak pernah membuatku bangga!” katanya. Aulia semakin menundukkan kepalanya.
“Puluhan juta kuhabiskan hanya untuk membiayai kuliahmu! Untuk membiayai pendidikanmu! Tapi apa balasanmu? Ketidaksempurnaan! Kau tidak bisa menjadi apa yang kuinginkan! Kau mengecewakanku!”
“Ayah! Sadarkah ayah kalau selama ini Aulia berusaha sebaik mungkin menjadi apa yang ayah inginkan!”
“Tapi apa hasil dari usahamu itu? Bah! Kosong! Menjadi yang terbaik saja kau tidak bisa! Itu yang kau bilang berusaha?!”
“Tapi ayah, Aulia berjanji…”
“Umbar terus janji-janjimu itu padaku! Keputusanku mutlak. Aku tidak akan mengeluarkan uang sepersenpun untukmu,” kata sang ayah geram.
Tiba-tiba Aulia menjatuhkan dirinya didepan kaki sang ayah. “Aulia mohon, Ayah. Beri Aulia satu kesempatan lagi. Tolonglah.”
“Sekali tidak tetap tidak!”
+++
“Mereka anakku. Bayu, Indra, dan Laksma. Aku sangat sayang pada ketiganya. Mereka anak-anak yang manis,” kata Aulia saat Dr. Jane bertanya tentang ketiga anaknya. Dr. Jane tersenyum.
“Kau sudah berkeluarga Dok?” tanya Aulia. Jane menggeleng. “Kalau begitu kau harus segera mencari pendamping hidup. Kutaksir umurmu sekitar tiga puluhan. Tidak baik menjomblo terlalu lama, apalagi kita wanita. Sistem reproduksi kita tidak sebaik pria,” kata Aulia. Kontan Dr. Jane terkikik geli.
“Pengetahuanmu luas,” kata Dr. Jane. Aulia tersenyum.
“Ayah benar-benar tidak mengijinkanku mengambil magister itu, Dok. Untunglah ibu berhasil membujuknya. Akhirnya aku berhasil menyelesaikan magisterku dengan nilai sempurna,” lanjutnya. Dr. Jane membelalak.
“Kau… kau mendapat nilai sempurna?” tanya Jane. Aulia mengangguk. “Bidang apa yang kau tekuni?” tanya Dr. Jane lagi.
“Biomedis.”
Tepat. Pasien ini cerdas. Dia tidak gila, batin Dr. Jane. Diam-diam dia kagum dengan pasien barunya ini. Berhasil lulus dengan nilai sempurna di bidang biomedis sama sekali bukan hal yang buruk, batin Dr. Jane.
“Tapi lagi-lagi ayahku kecewa padaku. Saat malam penganugerahan, aku menjadi mahasiswa terbaik kedua karena ternyata aku kalah abjad dengan temanku. Aku kembali mengecewakannya. Ayahku pergi dari acara itu begitu saja,” lanjut Aulia. Dr. Jane menatap pasiennya dengan iba.
“Lima tahun kemudian aku bertemu dengan suamiku. Kami menjalin hubungan selama satu tahun dan memutuskan untuk menikah,” kata Aulia. Wajahnya berrsemu merah.
“Dia adalah pria idamanku. Dokter yang sholeh, rajin beribadah, bertanggung jawab, dan tampan,” kata Aulia.
“Oke, ceritakan padaku bagaimana caramu mengantarkan ketiga anakmu ke surga,” kata Dr. Jane memotong cerita Aulia. Dia sedikit cemburu mengingat kencannya yang gagal. Aulia tersenyum geli.
“Maaf kalau kau terpaksa menunda kencanmu karena kau harus menanganiku,” katanya. Jane tercenung.
“Dari mana kau tahu?” tanya Dr. Jane heran. Aulia hanya tersenyum dan menghirup nafas panjang dan melanjutkan ceritanya.
“Ketiganya sedang pulang sekolah siang itu,” katanya.
+++
“Bunda… Laksma pulang.”
Terdengar suara langkah kecil berlarian memasuki rumah. Aulia yang sedang beristirahat di kamar langsung keluar.
“Laksma! Berapa kali Bunda bilang, jangan lari-lari di dalam rumah! Kamu ini ngerti nggak sih!” teriaknya. Laksma langsung terdiam. “Maaf Bunda,” katanya.
Aulia menyeret sang anak menuju kamarnya dan mengganti bajunya dengan kasar. “Bunda, Laksma dapat nilai sembilan,” kata Laksma berusaha menenangkan ibunya yang saat itu terlihat sangat marah.
“Sembilan?! Sembilan katamu?!” bentak Aulia. Laksma terkesiap. Dia tidak tahu apa yang salah dengan nilai sembilan.
“Kau hanya mendapat nilai sembilan dan berani menghadapku?! Kau tahu berapa banyak uang yang kuhabiskan untuk membiayai sekolahmu?! Dasar bodoh! Sampai kapan kau akan mengecewakanku, hah!”
“Bunda…”
Laksma menatap sang bunda dengan tidak percaya. Dia berlari ke kamarnya. Aulia segera menyadari kesalahannya. Dia bergegas mengejar Laksma dan meminta maaf padanya. Untunglah Laksma mau mengerti. Tak lama kemudian Indra dan Bayu kembali dari sekolah. Dengan bangga mereka bercerita tentang nilai ulangannya yang sempurna. Aulia tersenyum senang. Diam-diam Laksma memandang iri kedua saudara kandungnya dari lantai atas.
“Bunda pilih kasih,” kata Laksma pada Bayu dan Indra saat mereka makan siang bersama. Bayu dan Indra menatap Laksma heran.
“Apa katamu?” tanya mereka hampir bersamaan.
“Bunda lebih sayang pada kalian,” kata Laksma lagi. Bayu dan Indra meletakkan sendoknya masing-masing.
“Apa maksudmu?” tanya Bayu. Laksma melirik cuek dan melanjutkan makan siangnya.
“Bunda sayang sama kami karena kami selalu mendapat nilai sepuluh. Kau kan bodoh. Berapa sih, nilaimu? Sembilan? Delapan? Itu tidak cukup untuk membuat bunda bangga padamu,” kata Indra. Laksma kontan marah. Dia berteriak memaki saudaranya.
“Apa katamu! Kau yang bodoh!” teriak Laksma.
“Orang bodoh nggak akan merasa kalau dirinya bodoh, kan? Itu semakin memperlihatkan kebodohanmu, tahu!” benta Indra. Laksma membawa garpunya dan melukai tangan sang kakak. Bayu yang melihatnya tidak terima. Dia menerjang maju dan memukul Laksma. Mereka saling berteriak. Aulia yang sedang memasak terkaget-kaget saat Bayu sedang memukuli sang adik.
“Laksma! Bayu! Indra! Hentikan!” kata Aulia histeris. Dia hendak melerai ketiga anaknya namun tiba-tiba bayangan sang ayah yang hendak membunuhnya dulu kembali muncul. Aulia terduduk di lantai dan memegangi kepalanya.
Ayah! Jangan bunuh anak-anakku karena aku tidak bisa mendidik mereka dengan baik! Bunuh aku saja, Ayah. Tolong jangan bunuh mereka, batinnya.
“Kau bodoh!”
“Kau yang bodoh!”
“Kupukul kau!”
“Aduh! Awas kau!”
Aulia semakin tidak tahan. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya berkali-kali. Ayah, ini salahku! Aku yang tidak dapat mendidik mereka! Bunuh aku saja, jangan mereka!
Tidak tahan mendengar teriakan ketiga anaknya, sekonyong-konyong Aulia berlari ke dapur dan mengambil sebilah pisau. Dia mengacungkan benda itu ke ketiga puteranya seraya berteriak, “Hentikan! Hentikan atau aku akan membunuh kalian semua!”
Indra, Bayu, dan Laksma tersentak kaget.
“Bunda…”
+++
“Aku akan memberimu sedikit saran tentang mendidik anak, Aulia. Jika kau membesarkan mereka dengan caci maki, mereka akan tumbuh dengan…”
“Aku tahu itu. Aku pernah membacanya di buku,” potong Aulia saat Dr. Jane hendak memberinya saran. Dr. Jane menggelengkan kepalanya.
“Kau benar-benar mengetahuinya, Aulia? Tapi kenapa kau mendidik ketiga anakmu dengan cacian seperti itu? Itu tidak baik bagi pertumbuhan mental mereka!”
“Jangan mengusik mereka lagi. Mereka sudah aman di surga,” kata Aulia sambil mengulas senyum. Dr. Jane menatap Aulia bingung. “Aman?” tanyanya. Aulia mengangguk. “Mereka aman dari pembunuhan yang akan dilakukan oleh ayahku,” jawabnya. Dr. Jane terdiam. Apa lagi ini? Pasien ini tidak sedang mencoba mempermainkanku, kan? Batinnya.
“Aku tidak ingin ayahku membunuh mereka karena mereka tidak sempurna sepertiku. Mereka lebih bodoh dariku. Aku tidak ingin mereka mati ditangannya. Aku memutuskan untuk mengantar mereka ke surga sore itu, saat mereka sedang tidur, agar mereka aman dari perlakuan kakek mereka sendiri,” kata Aulia. Dr. jane menatap Aulia.
“Apakah ayahmu pernah mencoba melakukan pembunuhan kepadamu?” tanyanya hati-hati.
Tiba-tiba Aulia tertawa. “Dia pria yang baik, Dok. Hanya saja… sepertinya dia selalu ingin membunuhku,” jawabnya singkat. Dr. Jane menggelengkan kepalanya. Ini kesalahan sang ayah, batinnya iba.
“Bagaimana caramu membunuh… ehm maksudku, menghilangkan nyawa anakmu?” tanya Jane. Tiba-tiba dia mendapati mata Aulia berkaca-kaca.
+++
“Lia..”
Aulia yang sedang menemani ketiga buah hatinya tidur siang langsung terjaga.
“Lia… Aku datang untuk membunuh ketiga anakmu.”
Aulia bergidik ngeri. Dia mencari-cari sumber suara itu namun tidak ditemuinya satu orangpun. “Siapa kau?!” bentak Aulia.
“Aku ayahmu.”
Aulia terdiam. Ayah datang untuk membunuh ketiga anakku! Batinnya. Serta merta Aulia berlutut di lantai.
“Tolong, jangan bunuh anak-anakku, Ayah. Ini salahku yang tidak bisa menjaga mereka dengan baik. Bunuh aku saja,” kata Aulia. Dia sama sekali tidak menyadari bahwa suara itu hanya hayalannya.
“Kau tidak ingin aku membunuh anak-anakmu?”
Aulia mengangguk berkali-kali. Terdengar suara tawa menggelegar di ruangan itu. Aulia semakin ketakutan.
“Kau mengecewakanku lagi, Aulia! Selama hidupmu kau selalu menjadi sumber kekecewaanku! Kau tidak pernah menjadi sempurna di mataku, apalagi ketiga anakmu! Kau bodoh Aulia! Kau bodoh!”
Aulia semakin ketakutan. Kalap, dia mengambil bantal kemudian menutup wajah ketiga anaknya. Dia menatap Bayu, Indra, dan Laksma meregang nyawa.
“Bagus, Aulia. Kau anak kebanggaanku.”
Aulia tersenyum dan menatap ketiga buah hatinya yang sudah tidak bernyawa lagi. Dia mendengus puas. “Terimakasih, Ayah.”
Aulia bersikap seolah-olah tidak terjadi apapun saat sang suami kembali dari kantor. Agung, suami Aulia, segera menanyakan anak-anak mereka karena tidak biasanya rumah sangat sunyi saat dia pulang.
“Mereka sedang tidur, Mas,” jawab Aulia. Sang suami memandang Aulia heran. “Mereka sudah shalat?” tanyanya. Aulia menggeleng. Agung menggelengkan kepalanya dan segera masuk ke kamar ketiga buah hatinya.
“Bayu, Indra, Laksma,” panggil Agung. Dia duduk di samping ketiga buah hatinya yang terlelap. “Kita shalat maghrib dulu yuk,” ajaknya. Wajahnya tersenyum. Sama sekali tidak ada respon dari Bayu, Indra, maupun Laksma.
“Nak, bangun,” kata Agung sambil membelai pipi Bayu. Dingin. Agung terkesiap.
“Bayu?” katanya bingung. Dia meraba seluruh tubuh Bayu, Indra, dan Laksma. Dingin. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Agung berteriak panik.
“Aulia! Aulia! Apa yang terjadi dengan ketiga anakku?”
Aulia masuk dan menekan saklar lampu. Tampak tubuh Bayu, Indra, dan Laksma yang telah memucat. Agung meraba denyut nadi ketiganya dan semakin panik saat tidak ada satupun yang teraba.
“Aulia! Apa yang terjadi?” tanya Agung bingung. Aulia hanya berdiri mengamati Agung yang sedang kebingungan.
“Sedang apa kau disana? Cepat panggil ambulance!” teriak Agung. Aulia tersenyum dan tetap berdiri mengamati sang suami yang tengah panik. Agung berteriak geram dan menggendong Bayu, Indra, dan Laksma ke mobilnya.
“Siapa yang melakukan ini semua, Aulia?” tanya Agung. Aulia hanya tersenyum. “Katakan siapa yang melakukan ini semua!” bentak Agung. Aulia masih tersenyum.
“Ayahku,” jawabnya enteng. Agung mencengkeram tangan Aulia.
“Aku akan membalas perbuatannya! Aku akan membunuh ayahmu!”
+++
“Jadi kau merasa bangga setelah mengantarkan anakmu ke surga hanya karena suara itu mengatakan bahwa kau menjadi anak kebanggaan ayahmu?” tanya Jane heran. Aulia mengangguk berkali-kali. You are insane! Batin Jane.
Dr. Jane sedang mencoba menggabungkan beberapa informasi yang ada di otaknya untuk mendiagnosis penyakit pasien saat seorang pria dengan kursi roda masuk.
“Lia?”
Aulia kontan menoleh. Dr. Jane hendak melarang pria itu masuk karena pemeriksaan masih berlangsung namun terhalang oleh Aulia yang berlari kemudian berlutut di kaki pria itu.
“Ayah,” kata Aulia tidak percaya.
“Maafkan aku, Nak,” kata pria itu sambil menatap sang puteri yang masih bersimpuh di hadapannya. Aulia tersenyum dan menggeleng.
“Ayah, jangan meminta maaf padaku,” katanya. Dr. Jane kontan kaget. Pasien ini masih bisa bersikap manis pada ayahnya setelah perlakuan buruk yang dia terima selama ini? Batinnya.
“Aku salah, Nak. Seharusnya aku tidak bersikap seperti ini padamu. Aku yang membuatmu menjadi seperti ini. Maafkan aku. Aku selalu membanding-bandingkanmu dengan almarhumah anak kandungku sendiri yang selalu meraih prestasi terbaik selama hidupnya. Aku menganggapmu bodoh karena latar belakangmu yang berasal dari sebuah panti asuhan kumuh di sebuah desa. Aku memaksamu sesuai dengan keinginanku. Maafkan aku, Nak,” kata pria itu. Tangisnya pecah. Aulia segera mendekapnya erat.
“Ayah melakukannya dengan baik.”
“Apa maksudmu, Nak?”
“Ayah telah membunuh ketiga anakku.”
Tiba-tiba…
“Aaaaaarrghh!!!”
Darah menyembur dari tubuh pria itu. Dr. Jane terbelalak kaget. Dia segera memanggil perawat untuk membantunya. Tak lama kemudian beberapa orang perawat masuk. Betapa kagetnya mereka saat melihat sebilah pisau menancap di dada pria itu sampai tembus ke punggung. Aulia masih mendekap erat sang ayah.
“Ayah, Aulia sayang ayah. Ijinkan Aulia mengantarkan ayah ke surga. Aulia tidak ingin ayah mati di tangan suami Aulia. Aulia sayang ayah.”
Dr. Jane hanya mematung di tengah ruangan.
+++
Harap diperhatikan, jangan mengisi komentar di bawah yah. Simpan komentarnya buat hari-H, biar rame!!
Salam...