The Stranger at Soekarno-Hatta Airport
‘Rara…’. Kekasihku memanggil namaku dengan lemah lembut. Sore ini kami sedang berada di taman dekat komplek rumahnya. Kami sedang berduaan. Saling menjalin kasih.
‘Ya, ada apa sayang…’. Kataku kepadanya, sambil menyentuh pipinya dengan lembut. Kebiasaan ini sudah lama aku lakukan semenjak kami baru menjadi sepasang kekasih. Semenjak 3 tahun yang lalu, ketika ia menyatakan cintanya di depan pasang mata pada sebuah cafĂ© di Kemang. Setelah lama berunding dengan hati dan pikiranku, akhirnya aku menerima cintanya sepenuh hati.
‘Ada yang ingin ku katakan…’. Sekali lagi ia mengucapkannya dengan lemah lembut. Tetapi ada yang berbeda dengan raut wajahnya. Tampak wajahnya mengeras, sepertinya ada hal yang serius yang ingin disampaikannya kepadaku. Ah, mungkin hanya kata-kata ‘Aku cinta kamu’, atau ‘Aku sayang kamu’. Itu sudah biasa ia katakana kepadaku dengan raut wajah yang sama seperti sekarang ini. Tak sabar aku ingin mendengar dia mengucapkan kalimat tersebut, aku pun berkata.
‘Ya, katakanlah sayang…’. Aku tersenyum manis kepadanya.
‘Aku harus mengejar mimpi-mimpiku sejauh-jauhnya…’. Jawabnya sambil membuang mukanya kearah air mancur yang terletak ditengah-tengah taman tersebut.
‘Aku harus melanjutkan study ku ke perguruan tinggi…’. Lanjutnya masih tetap memandangi air mancur tersebut. Tanpa sedikitpun menoleh ke arah ku.
‘Rara…’. Panggilnya lagi, kali ini ia balik memandang wajahku penuh perhatian. Ada sesuatu yang ingin dia sampaikan saat ini juga, dan itu mulai membuatku merinding. Merinding bukan dalam artian tertentu, tetapi merinding karena takut ia mengucapkan kata-kata yang dapat membuat hatiku hancur lebur. Aku tak ingin berpisah dengannya. Aku mencintainya sepenuh jiwa dan ragaku. Tak siap mendengar kata ‘berpisah’ atau ‘putus’. Namun karena penasaran dengan apa yang ingin diucapkannya, aku pun terpaksa menjawabnya.
‘Ya, ada apa?’. Jawabku menatap ke wajah tampannya itu. Sekarang aku telah siap mendengar kalimat yang mungkin dapat merusak hubungan kami berdua itu, mungkin.
‘Aku akan pergi ke Australia untuk melanjutkan study disana’. Seketika itu pula, jantungku terasa mau copot. Seperti ada tekanan yang membuat sesak nafasku. Sepertinya aku mengalami shock, setelah mendengar pernyataan kekasihku itu.
‘Ke…kenapa? Kenapa harus ke Australia?? Di Jakarta juga banyak Universitas yang tak kalah bagusnya dengan disana…’. Air mata melengkapi rasa sedihku. Perasaanku tak karuan. Rasanya dunia ingin kiamat saja. Buru-buru ia menyeka air mataku dengan tangannya, lalu menarikku kedalam pelukannya.
‘Aku... aku gak mau kamu pergi! Tolong… jangan… aku gak mau. Aku gak mau dan gak bakalan bisa!!’. Ternyata emosiku lebih kuat dari yang kukira. Tanpa sadar, aku telah berteriak dan membentak-bentak dirinya. Aku memukul-mukul dadanya. Aku terus berontak dalam pelukannya. Sedangkan dirinya, tetap berusaha menenangkan diriku dengan cara mempererat pelukannya tersebut.
‘Ra… Tolong tenanglah…’. Katanya berbisik ditelingaku. Rupanya wajahnya telah berada tepat disampingku. Ia manaruhnya dipundakku. Membuatku merasakan kasih sayang yang sama yang telah kuberikan kepadanya. Tetapi itu belum cukup untuk membuatku tenang. Seharusnya ia membatalkan niatnya tersebut, agar aku dapat tenang.
‘Enggak! Bagaimana bisa tenang… kamu akan pergi besok. Seharusnya kamu bicarain dulu sama aku’. Aku mulai mendorong-dorong tubuhnya agar tubuhku dapat menjauh dari dekapannya.
‘Kamu egois! Kamu gak ngertiin perasaanku!’. Pada akhirnya aku dapat terlepas dari genggamannya. Kini aku telah berlari dari hadapannya. Sesegera mungkin aku pun sampai di rumahku. Lalu bergegas masuk kedalam kamar, menutup pintu dan meloncat keatas ranjangku. Air mata terus mengalir, membasahi wajah dan bantal kesayanganku. Tanpa sadar, aku telah tertidur kelelahan akbiat terlalu lama mengeluarkan air mata.
Ke esokkan harinya, saat matahari tengah berada tepat diatas kepala. Aku pun terbangun dari tidurku yang lelap. Ternyata dari sore hari kemarin hingga malam hari, aku terus berada dalam kamar. Mengurungkan diri, tanpa makan atau pun minum sedikitpun. Rasanya tenggorokanku kering, sedangkan mataku bengkak dan merah. Kuangkat sedikit kepalaku agar tubuhku dapat terduduk, tetapi tak dapat kulakukan. Kepalaku terasa amat berat, mungkin akibat tidur seharian. Sejenak aku berbaring diatas ranjang. Kucoba meraih handphone yang terletak diatas meja samping tempat tidurku. Lalu membuka kotak pesan, dan ternyata aku telah menerima banyak pesan dan miss-call dari sang kekasih. Kemudian kubuka satu persatu pesannya itu dan kubaca dalam hati. Dan sampailah aku pada pesan yang terakhir.
From : Mike
26-Feb-2011
11.31
Rara, kenapa tidak diangkat? Aku hanya ingin mengucapkan kalimat bahwa aku sayang kepadamu, sebelum aku berangkat. Mungkin apabila kamu ingin menemuiku, pesawatku berangkat pukul 14.40 siang ini. Tanpa bertele-tele aku pun bergegas mencuci mukaku yang kusam ini lalu mengganti pakaianku. Kutengok jam tanganku, ternyata sekarang telah jam 12 siang. Kemudian aku pun berlari keluar komplek perumahanku. Lalu menghentikan taksi yang lewat dihadapanku.
‘Pak, Bandara Soekarno-Hatta… tolong cepat’. Kataku kepada supir taksi tersebut setelah masuk dan menutup pintu mobilnya.
‘Baik…’. Katanya sigap. Lalu supir yang sudah tampak berusia itu pun membawa mobilnya melesat dengan cepat.
Tubuhku gemetaran, pikiranku kemana-mana, perasaanku tak karuan. Aku sedang dilanda perasaan galau. Sepanjang perjalanan, yang kupikirkan hanyalah dia seorang, Mike, kekasihku. Aku belum siap kehilangan orang yang sangat kucintai itu.
Kemudian kulihat waktu pada dashboard mobil tersebut, tertera disana sekarang pukul 13.30, sedangkan pesawat Mike berangkat pukul 14.40. Ya, Tuhan! Jakarta memang kota yang penuh sesak. Buktinya, kemacetan telah melanda jalur yang kulalui ini. Apakah aku sempat mengejar pesawat Mike?
‘Neng, kembaliannya…’. Sahut supir taksi tersebut. Karena panik, aku telah membayar argo taksi tersebut dengan seluruh uang yang kumiliki dalam dompetku, lalu masuk kedalam lobby bandara tersebut.
Setelah aku masuk kedalam lobby bandara tersebut, aku pun melayangkan mataku ke segala arah. Aku bingung untuk mulai mencari dari mana. Aku pun berlari kesana-kemari, tanpa tujuan yang jelas.
‘Maaf, boleh saya lihat tiket anda?’. Seorang pria bertubuh besar dan berseragam menghentikan langkahku. Rupanya dia adalah petugas tiket.
‘Saya kehilangan adik saya… mungkin dia di dalam sana’. Kucoba membodoh-bodohi petugas tersebut. Namun sepertinya tak berhasil. Malahan petugas itu berkata dengan sopan dan bernada tegas.
‘Maaf, anda tak boleh masuk tanpa tiket pesawat. Sebaiknya anda melaporkan adik anda pada bagian keamanan disana…’. Sambil menunjukkan arah yang dimaksudkannya dengan jempolnya, petugas itu berkata kepadaku dengan professional.
Pada akhirnya aku pun menyerah. Aku pun mengundurkan diri dari hadapan petugas tersebut. Berjalan menuju kursi tunggu dalam lobby tersebut kemudian duduk sebentar disana. Kulihat jam dinding yang tergantung diatas sana, sekarang pukul 14.50. Pesawat yang membawa Mike ke Australia telah berangkat 10 menit yang lalu. Sia-sialah usahaku datang kemari. Aku seperti seorang gadis bodoh yang mengejar sesuatu yang tak mungkin dapat kukejar. Tanpa kusadari, air mataku telah membasahi pipiku. Kutundukkan kepalaku, kusembunyikan wajahku dibalik kedua tanganku. Tak ingin seorang pun melihat kesedihanku ini. Terutama seorang pria yang sedang duduk disampingku ini.
‘Ini…’. Rupanya pria yang duduk disebelahku itu menyadarinya. Ia memberikanku sapu tangannya. Tanpa ragu-ragu aku pun mengambilnya dan menyeka air mataku. Kemudian kuangkat daguku, hendak berterima kasih kepadanya. Tampaklah bagiku wajah seorang pemuda tampan menatapku cemas. Ia mengenakan kacamata berwarna hitam. Sedangkan penampilannya, ia memakai kemeja lengan panjang berwarna putih yang digulungnya dengan rapih dan celana jeans. Sedangkan usianya, kisaran 2 atau 3 tahun diatasku. Dapat kupastikan dari wajahnya yang masih terlihat muda itu.
‘Terima kasih…’.
‘Sudah baikan?’. Tanya pria itu sambil menatapku cemas.
‘Ya…’. jawabku dengan singkat. Kurasa dengan begitu, pria ini dapat membiarkanku untuk sendiri. Tetapi kenyatannya tidak. Ia masih duduk disampingku, dan berkata.
‘Boleh tahu… ada apa denganmu? Apa kamu ketinggalan pesawat yang berangkat ke Paris itu?’. Dia menatapku dengan heran. Menantikan informasi yang keluar dari mulutku. Tetapi aku tak menjawab pertanyaannya tersebut, malahan aku balik bertanya.
‘Kenapa kamu bisa ngomong gitu?’.
‘Yah… tadi aku lihat ada rombongan mahasiswa masuk ke pesawat yang kamu tuju tadi. Kupikir kamu salah satu dari rombongan itu yang ketinggalan’. Jelasnya secara mendetail sambil menatap kearah petugas yang melarangku untuk masuk kedalam pesawat itu. Tetapi untung saja aku tak masuk kedalam pesawat tersebut. Aku tak ingin terjebak didalam pesawat yang membawaku tersesat di Paris. Mungkin, tidak untuk kali ini. Kenyataannya juga, Mike tak mungkin naik pesawat yang menuju Paris itu.
‘Bukan…’. Jawabku, tidak sependapat dengan pikirannya.
‘Lalu? Kenapa kamu menangis? Apa kamu ketinggalan pesawat yang membawa orangtua mu pergi berlibur ke Bali?’. Tanyanya lagi membuatku jengkel. Sudah cukup pembicaraan ini. Aku hanya ingin sendiri, tetapi pria ini malah terus menggangguku dengan pertanyaan-pertanyaan yang bertubi-tubi. Apa tidak dilihatnya bahwa aku sedang menyendiri. Setidaknya, setelah ia memberikanku sapu tangannya dan menanyai keadaanku, seharusnya ia sudah tahu bahwa aku sedang tidak ingin diganggu.
‘Hey, kau sendiri sedang apa? Apa gak sebaiknya segera pergi, mungkin kau ketinggalan pesawat juga?’. Kali ini aku beranjak berdiri dan berjalan pergi dari hadapannya. Aku berjalan keluar dari bandara tersebut. Keluar membawa hati yang kosong. Kosong karena telah ditinggal oleh penghuninya yaitu, kekasihku.
Setelah lama aku berjalan tanpa tujuan. Akhirnya aku sadar, sebaiknya aku segera pulang. Hari mulai gelap. Aku sendiri masih berputar-putar sekitar Bandara Soekarno-Hatta. Hanya kata hati lah yang menuntunku berjalan semenjak tadi. Dan sekarang giliranku yang mengontrol diriku sendiri. Dan tujuanku sekarang adalah kembali ke rumah. Mungkin aku dapat menjernihkan pikiranku disana, tidak seperti ini, berkeliling tanpa tujuan. Hanya membuat kedua kakiku sakit.
‘Ayo mbak…’. Seorang supir taksi menyapaku dengan sopan. Supir ini sama sopannya dengan supir taksi sebelumnya, yang mengantarkanku ke bandara ini. Tetapi dia lebih muda dari supir yang sebelumnya.
‘Ohh… enggak kok pak’. Buru-buru kujawab ajakannya untuk menggunakan jasanya tersebut. Aku sadar bahwa uangku sudah habis. Seharusnya aku tidak panik tadi. Akibatnya aku sampai lupa untuk meminta kembalian uang argo taksi tadi, astaga! Aku pulang naik apa. Apa sebaiknya aku naik bus saja, tetapi aku belum pernah menggunakan angkutan umum seperti itu. Jangankan belum pernah, route-routenya saja aku tidak tahu. Astaga, aku sadar selama ini aku terlalu dimanja oleh kehidupanku yang serba mewah itu!
Hari semakin larut malam. Sedangkan aku masih saja berkeliaran disekitar bandara tersebut. Aku berjalan mengelilingi bandara tersebut, sama seperti pikiranku yang terus berkeliling mencari jalan keluar dari masalah ini. Seharunya aku tak seledor seperti ini, sehingga lupa membawa handphone atau pun uang yang cukup untuk dapat digunakan sebagai alat pertolonganku saat seperti ini. Apa yang harus aku lakukan sekarang.
Tiba-tiba sebuah mobil menghentikan langkahku. Orang yang mengendarai mobil tersebut mengklaksonkan diriku beberapa kali. Membuatku geram mendengar suara bising tersebut. Kutengok kebelakang untuk melihat siapa dibalik aksi konyol tersebut. Namun ketika aku hendak memalingkan wajahku kebelakang. Mobil tersebut melesat kedepanku, membuatku terkejut dengan gerakannya yang tiba-tiba. Lalu kaca jendela mobil tersebut terbuka. Dan tampaklah seorang pria yang kukenali.
‘Hai…’. Pria itu menyapaku. Ternyata dia adalah pria yang menggangguku di lobby bandara tadi. Pria yang menyebalkan. Entah kenapa aku bisa begitu kesal kepadanya, padahal kan dia sudah berbaik hati menanyai keadaanku. Tapi, kalau memang dia mempunyai niat yang baik. Kenapa juga dia harus menguntiti ku. Atau jangan-jangan dia mempunyai maksud tertentu selama ini membantuku, astaga!
‘Kau mengikutiku!?’. Tanyaku dengan nada tinggi. Sepertinya kali ini emosiku tak dapat aku tahan lagi. Sepertinya aku sudah terlanjur jengkel terhadapnya.
‘Eh… tidak-tidak. Itu bukan keahlianku’. Ia melambai-lambaikan kedua tanganya. Sepertinya memang ia tidak ada maksud mengikutiku. Tetapi kenapa dia bisa menemuiku disini. Sudah pasti dia mengikutiku, ya pasti!
‘Lalu, apa keahlianmu!?’. Tanyaku lagi dengan nada tinggi. Kupasang wajah seganas mungkin, agar ia dapat melihat bahwa aku tidak takut kepadanya.
‘Hahaha… kamu benar-benar ingin tahu?’. Katanya dengan sombong. Lalu pria menyebalkan itu pun keluar dari mobilnya dan berjalan menghampiriku. Kali ini aku dapat melihat dengan jelas postur tubuhnya yang tinggi itu. Kali ini ada yang berbeda dengan penampilannya itu. Ia terlihat mengenakan jaket kulit berwarna hitam yang menutupi kemeja putihnya itu. Ditambah dengan kacamata yang dikenakannya itu, terlihat begitu memesona. Tanpa kusadari, aku terpesona melihat pria itu. Sehingga membuat jantungku berdetak kencang ketika ia berjalan menghampiriku. Tetapi apa yang akan dilakukannya selanjutnya. Apa dia akan melakukan tindakan kriminal terhadapku.
Setelah ia memutari mobilnya itu dan berdiri tepat dihadapanku, ia membuka kacamatanya. Aku pun kembali terpesona ketika melihat wajahnya yang tampan. Sepertinya wajahku menjadi merah-padam. Tak kuat berlama-lama menatap wajahnya itu, aku pun membuang wajahku sendiri. Kedua tanganku kusilangkan pada dadaku. Lalu kututup kedua mataku. Berdirilah bulu romaku. Aku pun menjadi ketakutan. Ketakutan karena mungkin nantinya ia akan melakukan hal yang seronok.
‘Hei… kenapa kamu takut?’. Dapat kudengar suara pria tersebut diiringi dengan tawa gelinya. Mungkin bagi dia, aku terlihat bodoh melakukan tindakan seperti itu. Tetapi bagiku, ini adalah hal yang penting, melindungi bagian tertentu dari lelaki hidung belang seperti dia.
Aku pun membuka mataku perlahan-lahan. Dan tampaklah bagiku pria tersebut masih tetap berdiri dihadapanku. Tetapi tangannya sedang memegang sesuatu yaitu, gagang pintu mobil tersebut. Lalu ia membuka pintu tersebut dan berkata.
‘Ayo masuk…’. Sambungnya sambil tersenyum kepadaku.
‘Apa!? Kau kira aku gadis seperti itu!!’. Dan untuk kesekian kalinya, amarahku melonjak keluar. Aku sudah muak dengannya. Dipikirnya aku gadis murahan yang dapat dibawanya ke hotel dan diperlakukan sesukanya.
‘Ha? Gadis seperti apa?’. Tampak wajanya begitu polos mendengar pernyataanku itu. Apa dia tidak mengerti dengan kata-kataku tadi, atau mungkin dia hanya berpura-pura.
‘Sudahlah!’. Kali ini aku benar-benar muak berbicara dengannya. Aku pun melangkah meninggalkannya. Berjalan setengah berlari. Kupikir dengan begitu ia tidak dapat membuntutiku lagi. Tetapi tetap saja pria menyebalkan itu mengikutiku, malahan ia terus memanggil-manggilku.
‘Hei… tunggu…’. Panggilnya sambil terus mengikutiku dari belakang. Ketika ia hampir dekat denganku, ia pun menyentuh tanganku dan membuat langkahku terhenti. Lalu aku pun membalikkan badanku dan mendaratkan tangan kananku tepat dipipi kirinya. Aku menamparnya, ya aku menamparnya dengan keras. Setelah menamparnya, ada kekuatan yang keluar dari dalam diriku yang membuatku lebih berani lagi kepada lelaki hidung belang ini. Mungkin ini adalah kekuatan wanita sesungguhnya.
‘Kurang ajar! Kau kira aku ini apa!?’. Aku berteriak kepadanya. Tampak wajahku merah padam. Kali ini bukan karena terpesona terhadap dirinya. Terlebih karena amarah yang telah merasuki diriku.
Sesudah itu, ia pun melepaskan genggamannya dari tangannku. Lalu aku pun kembali berjalan meninggalkannya. Sepertinya ia sudah kapok menerima tamparan keras dariku. Dan kali ini sudah pasti dia tidak mengikutiku lagi. Lalu kulirik kebelakang untuk memastikan apakah dia sudah tidak mengikutiku lagi, tetapi kenyataanya tidak. Ia masih tetap mengikutiku. Kali ini keberanian yang baru saja menghampiriku, lenyap, sirnah begitu saja. Kali ini aku ketakutan. Sepertinya dia akan melakukan tindakan jahat terhadapku yang menyebabkan namaku tercantum sebagai korban pemerkosaan dalam koran-koran atau dalam berita di TV. Ya Tuhan, apa yang telah aku lakukan… astaga!
‘Apa yang kau inginkan dariku!? Jangan mengikutiku…’. Kataku tanpa berteriak keras kepadanya. Aku pun menghentikan langakhku. Sepertinya sampai disini kemampuanku untuk berjalan. Kakiku mulai terasa sakit. Aku terlalu lama berjalan-jalan dari tadi. Setidaknya aku sudah siap untuk berhadapan dengannya. Apabila terjadi tindakan yang tak diinginkan, aku akan berteriak meminta pertolongan sekeras-kerasnya.
‘Hei nona… tolong kembalikan sapu tanganku itu’. Kata pria itu kepadaku sambil menunjuk ke arah sapu tangannya yang ku genggam ditangan kiriku. Oh! Astaga! aku lupa. Aku lupa mengembalikan sapu tangannya. Kini wajahku merah padam, karena malu. Apa yang telah aku perbuat. Rupanya pria itu hanya menginginkan sapu tangannya kembali. Bukannya mengembalikan sapu tangannya, aku malahan memberikannya sebuah tamparan keras pada pipi kirinya. Yang menyebabkan pipinya itu menjadi merah, astaga!
‘Ohh! Maaf…. Kukira… maaf…’. Buru-buru kuserahkan sapu tangannya itu kepadanya. Aku pun menjadi salah tingkah didepannya.
‘Terimah kasih…’. Balasnya sambil mengambil sapu tangan miliknya itu.
‘Aduh… maaf ya, maaf ya…’.
‘Sudah tak apa… aku ngerti kok. Kamu takut kan, kalau aku bakalan melakukan tindakan kriminal terhadapmu?’. Ia tersenyum kepadaku.
‘Tapi, kamu tidak apa-apa kan? Apa kamu syok?’. Lanjutnya lagi sambil memperhatikan diriku dengan seksama. Seperti seorang kekasih yang memperhatikan pasangannya.
‘Apa!? Aku bukan cewek yang mudah terkena syok. Masalah seperti ini saja Syok?’. Kataku menyombongkan diri. Padahal kenyatannya aku memang mengalami syok. Tapi tak separah syok yang kuterima akibat pernyataan Mike waktu itu. Menyebabkan aku mengurungkan diri dalam kamar selama seharian. Ketika ia mendengar kata-kataku, ia pun tertawa geli sendiri.
‘Apa yang kau tertawakan!?’. Kataku kembali emosi.
‘Hahaha… enggak. Kamu cewek yang emosian yah’. Jawabnya kembali membuatku jengkel mendengar kata-katanya itu. Tetapi ada benarnya juga apa yang dikatakan pria itu. Aku memang terlalu emosi menanggapi sesuatu. Seharusnya aku introspeksi diri terlebih dahulu.
‘Apa!?’.
‘Hahaha… sudahlah. Aku hanya ingin mengantarkanmu pulang… tadi aku lihat kamu berkeliaran dan menolak supir taksi. Kupikir kamu sedang kehabisan uang untuk pulang’. Katanya menjelaskan duduk permasalahannya. Aku ingin membalas, beradu mulut dengannya sekali lagi, tetapi mulutku terhenti. Aku sadar bahwa apa yang dikatakannya sekali lagi ada benarnya. Aku memang sedang kehabisan uang untuk pulang.
‘Boleh kuantar kamu pulang? Tenang saja… aku gak bakal melakukan tindakan jahat kok. Percaya deh…’. Katanya memberikanku pertolongan. Dan pertolongan inilah yang kutunggu-tunggu dari tadi. Akhirnya ada pula orang yang berbaik hati mengantarkanku pulang.
Aku pun menjawabnya dengan mengangguk-anggukkan kepalaku. Kami pun berjalan kembali ke arah mobilnya tadi.
‘Terimah kasih…’. Dan untuk pertama kalinya, aku pun mengucapkan kata terimah kasih kepadanya. Sekian banyak pertolongan yang diberikannya kepadaku. Lalu aku membalasnya dengan tamparan keras, astaga. Pria ini memang mempunyai hati yang baik. Mungkin kata terimah kasih saja tak cukup untuknya. Sebaiknya dilain hari aku mentraktirnya makan. Astaga! apa yang kupikirkan…
Tanpa sadar aku telah tertarik kepada pria menyebalkan yang baru saja aku kenal ini. Dan sepanjang perjalanan kami terus berbincang-bincang. Banyak hal seru yang kami bicarakan. Ternyata pria ini tidak begitu menyebalkan, aku tarik kata-kataku itu. Dan ternyata aku mulai menyukainya. Astaga!
-TAMAT-
Ditunggu kritik dan saran nya segera...
Dan maaf kalo kata-katanya gak bagus, masih pemula hehehe