Sahabatku Andine
Namaku Yuri. Umurku baru saja menginjak usia 24 tahun bulan lalu. Dan aku baru saja menikah. Ini adalah hari penting bagiku. Hari dimana aku telah resmi menjadi seorang istri. Dan ini juga hari pertama bagiku menginjakkan kaki dirumah baru milik kami berdua sebagai sepasang suami-istri. Kami membelinya dari seorang kerabat dekat. Aku sangat menyukai gaya rumah tersebut, minimalis namun terlihat expensive. Ya, aku menyukainya sampai-sampai air mataku mengalir membasahi pipi dan daguku. Tetapi kenapa? Apakah ini tangisan kebahagian? Saat kucari jawaban tersebut, aku teringat akan sesuatu. Sesuatu yang tak pernah lekang dalam pikirianku. Sesuatu yang sudah menjadi daging di dalam tubuhku ini.
Aku ingat, hari itu adalah hari pertama aku menerima upah atas jasa-jasaku dalam perusahan tersebut. Aku bekerja disebuah perusahaan asing yang bekerja dalam bidang indrusti pakaian wanita. Lebih tepatnya sebuah produk luar yang terkenal di negeri ini. Dan aku adalah manager bagian pemasaran dalam perusahaan tersebut
Pagi itu aku telah terbangun. Berbenah sebentar lalu bergegas membersihkan tubuh. Kemudian mengenakan pakaianku dan bersiap untuk sarapan.
“Din… loe gak kuliah?”. Kataku sambil mengoleskan selai kacang ke dalam rotiku. Dan seorang wanita yang kutegor itu adalah sahabatku, Andine. Dia sedang berbaring diatas sofa pada ruang tamu.
Aku tinggal berdua dengan Andine di rumah kontrakan milik kenalannya itu. Waktu itu ia menawarkan rumah tersebut kepadaku. Kebetulan sekali, saat itu aku sedang mencari tempat tinggal, apa lagi dia menawarkan dirinya untuk membantuku membayar separuh biaya kontrakan tersebut. Tentu saja dengan begitu aku tidak tinggal sendirian dirumah sederhana ini.
Sahabatku itu masih tetap fokus pada kuliahnya. Memang berbeda denganku yang kadang kala harus bolos dari jadwal kuliahku untuk menghadiri meeting penting di perusahaan. Tetapi walaupun fokus kepada kuliahnya, sahabatku itu tetap mengambil pekerjaan sebagai Event Organizer yang kadang kala menyita banyak waktunya. Apalagi ada acara besar yang diambil alih oleh EO tersebut. Mungkin seharian penuh ia dapat bekerja tanpa hentinya. Aku kuatir terhadap kesehatannya itu, namun walaupun aku melarangnya dengan keras, tetap saja ia bekerja dan terus bekerja. Tetapi aku bangga mempunyai sahabat seperti dia. Dia adalah wanita super!
“Enggak Yur… gue kayaknya lagi gak enak badan deh”. Balasnya. Tampak wajahnya pucat dan lesu. Mungkin ia kecapekkan akibat semalaman mengerjakan tugas kuliahnya. Dapat kulihat beberapa buku tebal terserak diatas meja.
“Elohh sih… udah gw bilang, jangan maksain kuliah ama kerja deh. Apalagi pekerjaan loe itu sebagai EO. Wah, otak ama badan loe bisa abis!”. Bukannya simpatik, aku malahan memarahi dan menasehati dirinya. Mungkin karena aku care terhadap kondisinya, makanya aku menjadi marah.
“Iyah nih… tapi gue gak bisa lepasin salah satu dari keduanya, Yur. Loe tau sendirikan sifat gue…”. Katanya sambil berusaha untuk bangkit berdiri. Aku pun berlari pelan menghampirinya dan membantunya untuk berdiri. Lalu ku tuntun dirinya kembali kedalam kamarnya. Agar ia dapat beristirahat disana.
“Emank keras kepala!”. Kataku dan dibalas dengan tawanya yang khas itu.
“Loe gak telat? Ini kan udah hampir siang…”.
“Udah gak usah mikirin gue. Pikirin tuh kesehatan loe! Apa mau dibawa ke dokter ajah nih?”.
“Gak usah Yur. Gue masih kuat kok… palingan cuma tidur seharian bakalan sehat lagi”. Sesampainya di kamarnya, kubantu sahabatku itu agar dapat berbaring diatas ranjang. Lalu kuselimuti seluruh tubuhnya itu.
“Udah sana berangkat… udah telat loe”. Ia pun menyuruhku agar dapat meninggalkannya sendiri. Dan kurasa, sebaiknya aku memang harus meningalkannya sendiri di rumah agar dapat beristirahat. Lagi pula, sepertinya aku sudah terlambat masuk kantor.
“Ya udah, nanti kalo ada apa-apa… hubungi gue yah!”. Aku berkata sambil bangkit meninggalkannya sendirian di rumah. Aku sedikit cemas meninggalkannya sendirian di rumah, apa lagi dalam kondisi seperti itu. Tetapi apa boleh buat, mungkin dengan berisitrahat sedikit, kondisinya bisa pulih kembali.
“Yaa! Jangan kuatir…”. Balasnya dengan suara lantang. Dapat kudengar dari balik pintu rumah tersebut. Setelah mendengar suaranya itu, aku pun menjadi yakin untuk meninggalkannya. Lalu aku bergegas berangkat ke kantor. Untung saja jalanan tidak begitu macet, sehingga bus yang kunaiki dapat sampai tepat waktu.
Sampailah aku di depan kantor. Sepertinya meeting hari ini sudah dimulai. Tanpa berpikir panjang, aku pun memasuki kantor tersebut. Berlari-larian disepanjang lorong untuk dapat mengejar pintu lift yang sedang terbuka. Dalam lift aku tidak tinggal diam. Kugunakan waktu sebaik mungkin untuk memperbaiki penampilanku menggunakan cermin dalam lift tersebut. Walaupun beberapa orang yang berada dalam lift tersebut melirik ke arah ku sesekali, tetapi kubiarkan saja. Memang agak malu sih, tapi ya sudahlah.
“Maaf-maaf saya telat… jalanan macet sekali. Memang kota Jakarta ini sulit dihindari kemacetannya”. Aku pun membuka pintu ruang meeting tersebut, lalu masuk kedalamnya. Namun, tampak bagiku hal yang mengerikan. Sesuatu telah terjadi. Ruangan tersebut kosong. Kursi duduk tertata rapih. Meja masih bersih, tidak ada kertas atau pun buku yang berserakan diatasnya. Slide pada bagian depan ruang meeting tersebut masih terlipat rapih pada tempatnya. Astaga, seperti bukan hanya telat datang ke kantor, tetapi aku telah melewatkan meeting besar kali ini.
“Eh… pak, apa ruang rapatnya dipindahin? Kok sepi yah?”. Tanyaku kepada OB yang kebetulan melewati ruang rapat tersebut.
“Ohh… saya kurang tahu Bu. Mungkin dibatalkan?”. Jawabnya. Dan sepertinya demikian. Sepertinya rapat hari ini diundur. Tapi, apa penyebabnya? Lalu, kenapa aku tidak diberitahukan semenjak awal?
“Oh. Oke Terimah kasih ya”.
“Sama-sama bu”. Lalu OB itu pun berlalu. Sedangkan aku, beranjak dari ruang rapat tersebut menuju ruang kerjaku yang terletak satu lantai dibawahnya.
“San… rapatnya udah kelar?”. Sesampainya disana, aku bertanya kepada asistenku, Sandra, yang sedang asik mengerjakan tugas kantornya.
“Ohh! Maaf bu, tadi pagi saya sudah menelpon ibu… tapi nomor ibu tidak aktif”. Katanya mulai menjelaskan kejadian sebenarnya. Namun agak bertele-tele apabila asistenku ini mulai bercerita, memang sudah menjadi kebiasannya.
“Lalu?”.
“Iah… maaf bu”. Ia berkata sambil memasang wajah yang membuatku mempunyai rasa belas kasihan kepadanya. Sehingga aku tidak jadi memarahinya. Tetapi kenyatannya, duduk perkaranya saja aku tidak tahu, bagaimana bisa aku marah kepadanya. Lagi pula untuk apa dia meminta maaf seperti itu.
“Terus…”.
“Terus?”.
“Ia… Terus. Apa saya telat menghadiri rapat hari ini?”.
“Ohh! Maaf, saya lupa memberitahu kalau rapat hari ini diundur”.
“Kenapa kamu tidak menelpon saya!? Saya kan jadi berlari-larian panik kayak orang gila yang kehilangan giginya, tau!”. Aku mulai naik pitam. Sudah seperti kebiasaan bagiku untuk memarahi setiap bawahanku yang melakukan kesalahan. Namun, kesalahan kali ini bukan disebabkan olehnya.
“Ta---tapi… saya kan sudah menghubungi nomor ibu. Tapi tak aktif”. Katanya membela diri. Lalu kupastikan apa yang dikatakannya itu. Dan ternyata benar, aku lupa untuk mengaktifkan handphone ku itu. Pada akhirnya ku urungkan niatku untuk memarahinya.
“Ya sudah”. Aku pun melangkah melewatinya lalu masuk kedalam ruang kerjaku untuk mulai bekerja. Dan kebetulan hari ini aku tidak terlalu banyak pekerjaan sehingga aku dapat pulang lebih cepat.
Pukul 12 siang, tepatnya pada saat para pegawai perusahaan tersebut sedang makan siang, aku mengambil waktu tersebut untuk kembali ke rumah. Entah kenapa, aku merasa kangen dengan sahabatku itu, ingin segera memandang wajahnya yang jelita itu. Apalagi mencium aromanya wewangiannya yang khas.
Setelah sampai dilantai dasar, aku pun berjalan menuju pintu keluar kantor tersebut. Dan tampaklah diluar cuaca sedang hujan. Sepertinya benar yang dibilang berita ramalan cuaca pagi ini, yang menyatakan bahwa bulan ini akan terjadi cuaca extreme. Bayangkan saja, tadi pagi, sepanjang perjalananku menuju kantor, matahari masih tampak di atas sana. Namun sekarang telah tiada ditelan oleh awan hitam yang terus menghujani kota Metropolitan ini.
“Ibu mau saya antarkan?”. Sapa seseorang kepadaku. Dan ternyata itu adalah OB yang membersihkan ruang rapat tadi. OB tersebut membawa payung bersamanya.
“Oh tak usah… bapak tolong panggilkan aku taksi saja yah…”. Balasku dengan sopan.
“Baik bu…”. Katanya sambil berlalu dari hadapanku, menerjang hujan yang cukup deras hari itu. Sedangkan aku tetap berada disamping pintu masuk kantor tersebut. Berdiri menantikan kedatangan OB tersebut dengan sebuah taksi yang kupesankan kepadanya. Dan setelah agak lama aku menunggu, datanglah taksi tersebut berserta OB tadi.
“Silahkan bu…”. OB itu pun membukakan pintu taksi tersebut dan mempersilahkan aku masuk kedalamnya.
“Terimah Kasih…”. Kemudian aku pun masuk.
“Pak, jalan mawar…”. Kataku kepada supir taksi tersebut. Memberitahukan alamat yang akan kutuju, dan alamat itu adalah nama jalan menuju rumah kontrakan kami, aku dan sahabatku. Kemudian taksi itu pun melesat dengan cepat.
Dalam perjalanan entah kenapa, perasaanku tidak enak. Sepertinya akan terjadi sesuatu. Badanku sedikit lemas, sedangkan pikiranku entah berada dimana. Entahlah, mungkin aku akan jatuh sakit. Sama seperti Andine. Oh! Andine, kenapa dari tadi dia tidak menghubungiku? Apa dia sedang beristirahat sehingga lupa menghubungiku. Atau sesuatu terjadi dengannya? Ah, tidak! Aku tidak ingin berpikiran yang tidak-tidak. Memang aku sedikit kuatir dengan kondisinya sekarang. Tetapi, mungkin sesampainya aku dirumah, ia sudah baikan.
Lama aku berdiam diri, memandang ke arah luar jendela taksi tersebut. Hujan masih saja turun, tak henti-hentinya membasahi kota ini. Tanpa kusadari aku telah sampai tujuan.
“Sudah sampai mba…”. Supir taksi itu membalikkan tubuhnya dan memandang ke arah ku. Lalu kulihat argo taksi itu, kemudian ku ambil dompet dari dalam tas, lalu membayarnya.
“Ambil kembaliannya pak…”. Kataku kepada supir taksi itu.
“Terimah kasih mba…”. Lalu taksi itu pun berlalu. Sedangkan aku buru-buru melangkah ke teras rumah kontrakanku itu. Kubersihkan sejenak tas yang biasa kupakai itu dari air yang membasahinya, akibat kupakai sebagai pelindung kepalaku dari air hujan. Kemudian kulepaskan sepatu kantorku. Kuangkat sepatu tersebut dengan tangan kananku. Lalu aku pun melangkah masuk kedalam rumah. Tak biasanya Andine lupa mengunci rumah, atau mungkin dia masih beristirahat di dalam kamarnya.
“Din… Andine, aku sudah pulang”. Sahutku namun tak ada yang membalas. Aku pun menaruh sepatu itu ditempatnya, kemudian melangkah ke arah dapur. Kubuka lemari es, lalu ku ambil sekaleng coca-cola.
“Andine…”. Kucoba sekali lagi memanggil namanya, namun tetap saja tidak ada yang membalas. Mungkin dia berada di kamarnya. Tanpa berpikiran yang aneh-aneh, aku pun melangkah mendekati kamarnya lalu mengetuknya beberapa kali. Tetapi tetap tidak ada yang membalas. Kali ini perasaanku mulai tidak enak. Pada akhirnya kuputuskan untuk membuka kamar itu untuk memastikan dia baik-baik saja.
“Lohh… masih tidur ya?”. Sesampainya aku diatas ranjangnya. Ku elus-elus rambutnya yang halus itu. Tetapi apa yang terjadi. Beberapa rambutnya menempel pada selah-selah tanganku.
“Andine… rambutmu rontok nih, jarang keramas ya?”. Kataku dengan nada manja.
“Kamu sih, aku kan udah bilang jangan terlalu berat bekerja, jadi lupa ngerawat rambut mu itu kan… padahal rambutmu itu bagus lohh”. Lanjutku sambil memandanginya dengan penuh kasih sayang. Sedangkan sahabatku itu masih tetap tertidur diatas ranjangnya.
“Hei… sudahlah jangan pura-pura tidur gitu… aku udah tau kok, Din”.
“Andine…”.
“Din…. Andine….”. Kataku sambil menggoncang-goncangkan tubuhnya. Aku pun mulai panik. Apa jangan-jangan Andine pingsan.
“Andine, bangun donk! Jangan bercanda!!”. Kataku semakin menggoncang-goncangkan tubuhnya. Tetapi tetap saja Andine tidak meresponnya. Aku pun semakin putus-asa. Lalu kuputuskan untuk mencari pertolongan diluar sana. Beberapa orang memandangiku lalu menghampiriku. Kemudian dengan cepatnya, rumahku itu sudah penuh oleh orang yang ingin menyaksikan apa yang baru saja terjadi. Tak lama kemudian ambulance pun datang. Tubuh Andine pun diangkat ke atas ranjang pasien. Aku pun ikut naik.
“Andine!! Bangun!”. Aku terus berteriak sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya.
“Din! Jangan tinggalin gue! Andine…”. Air mata menyelimuti wajahku. Beberapa perawat dalam mobil ambulance itu berusaha menenangkanku.
Sesampainya di rumah sakit terdekat, tubuh Andine pun buru-buru dibawa masuk kedalam ruang Unit Gawat Darurat. Aku masih tetap setia menemani sahabatku itu disampingnya. Disepanjang lorong yang kudengar hanyalah isak tangis dan suaraku saja yang kudengar. Ya, aku berteriak histeris memanggil nama sahabatku itu.
Kemudian seorang perawat menghentikanku agar ikut masuk kedalam ruang isolasi tersebut. Aku pun semakin gelisah dan panik. Kuterjang perawat itu, namun aku tak berhasil. Beberapa perawat berdatangan dan memegang kedua tanganku. Aku pun mengalah, tubuhku lemas, kepalaku berat, lalu pandanganku menjadi gelap.
Beberapa menit kemudian aku tersadarkan.
“Anda sudah baikan?”. Tanya seorang dokter kepadaku. Aku tak menjawab dokter tersebut. Aku malah tampak binggung, dimana aku sekarang.
“Maaf anda tadi jatuh pingsan…”. Lanjut dokter itu berkata kepadaku. Dan sekarang aku ingat. Andine! Ya, dimana dia?
“Andine? Dimana dia?”. Kataku kepada dokter tersebut. Namun dokter itu tak menjawabku, malahan dia memasang wajah murung yang tidak dapat kuterima. Seharusnya ia menjawab pertanyaanku dengan wajah yang ceria. Aku pun berontak. Kulepaskan selang infuse yang menempel pada pergelangan tanganku. Tetapi beberapa perawat menahan tubuhku agar tetap berbaring di atas ranjang.
“Lepaskan!!”. Kataku meronta-ronta. Perawat itu pun melepaskannya.
“Maaf…”. Kemudian dokter itu pun angkat bicara. Tetapi bukan kata maaf yang kutunggu darinya.
“Maaf… kami sudah melakukan semaksimal mungkin, namun Tuhan berkata lain”. Lanjut dokter itu semakin membuat telingaku panas. Apa dia sudah gila? Sahabatku, Andine adalah wanita yang tegar. Masalah apapun akan dilaluinya dengan mudah. Ini tidak mungkin!
“Teman anda menderita penyakit yang jarang di derita orang pada umumnya. Dia mengidap penyakit LUPUS”. Lanjut dokter itu lagi membuat hatiku hancur lebur mendengarnya. Aku pun terdiam. Tubuhku gemetaran. Aku tak dapat berpikir dengan jernih. Mataku berkaca-kaca. Entah saat itu aku harus menangis atau berteriak sekencang-kencangnya. Tak ada yang dapat kulakukan lagi. Dan pada akhirnya aku pun hanya bisa berbaring diatas ranjang.
Keesokan harinya, jasad Andine pun dimakamkan. Sanak-saudaranya berkumpul di depan kuburannya untuk menangisi kepergian keluarga tercintanya itu. Aku hanya bisa memandang dari kejauhan. Setelah teman-teman, kerabat dekat, bahkan keluarga besarnya pergi, aku pun menghampirinya. Menghampiri batu nisan yang tertuliskan nama sahabatku tercinta, Andine Kinandita. Kuratapi kepergiannya. Kesedihanku tak dapat kupungkiri lagi. Aku baru saja kehilangan orang yang berarti dalam hidupku. Lebih dari 5 tahun aku mengenalnya. Dia bagaikan memori-memori yang selalu kukenang. Ya, dia adalah sahabat terbaikku.
“Sayang, ada apa?”. Tanya suamiku kepadaku. Aku pun terbangun dari lamunanku.
“Tak apa. Aku hanya bahagia”. Balasku sambil menghapuskan air mata kesedihan itu. Lalu kuberikan senyuman terbaikku kepadanya.
“Mari masuk…”. Ajaknya sambil menggenggam tangan kananku. Terasa hangat. Lalu kami masuk bersama kedalam rumah yang baru saja kami beli itu. Masuk kedalam masa depan yang baru. Masa depan yang selalu kunantikan, menjadi seorang istri. Dan meninggalkan masa lalu. Meninggalkan semuanya dibelakang sana. Tetapi ada satu hal yang kubawa ikut serta dalam perjalananku memasuki masa depan ini. Yaitu kenangan tentang seorang sahabat. Sahabatku, Andine.
THANK'S. ditunggu kritik dan sarannya ya
mohon maaf kalo masih jelek, masih beginer hehhee
dan sory lagi yah kalo panjang.. hehehe.. nanggung soalnya kalo gue nulisnya