Tuhan Besertaku
Tembok besar menutup pandanganku. Pasir, tanah, dan bebatuan menindih pundakku. Nafasku terengah-engah. Penuh sesak. Wajahku dipenuhi kegelapan. Kaki dan tanganku tak dapat bergerak. Bahkan untuk bangkit saja aku tak mampu. Ujung jemariku tak dapat kurasakan. Kepalaku pening. Ada cairan mengalir dari keningku. Melewati persimpangan wajahku. Menyentuh bibir dan lidahku. Pahit rasanya.
Semua harapan, semua impian sirnah begitu saja. Rasa nyeri ini bukan mainnya. Ingin menjerit, ingin menangis saja aku tak sanggup. Terlalu menyakitkan. Beban ini terlalu besar. Lebih besar dari postur tubuhku. Lebih besar dari kemampuanku. Putus asa, pasrah, menyerah, lelah dan letih semua bercampur dalam satu adonan dalam benakku.
Aku lelah untuk berharap. Aku lelah untuk menanti. Aku lelah untuk percaya kepada kesempatan kedua. Aku… aku terlalu rapuh.
Ketika aku tak mampu untuk bergerak. Ketika aku tak mampu untuk bangkit. Ketika aku tak mampu untuk berusaha lebih keras lagi. Setitik cahaya lekat di wajahku. Menerobos masuk melewati celah-celah bebatuan. Menerjang brikade-brikade yang menghalangi pengelihatanku. Lalu menyentuh hangat permukaan mukaku. Udara segar dibawa besertanya. Kuhirup aroma kebebasan itu. Mengembalikan semangatku. Mengembalikan gairahku. Semakin lama, semakin kuat cahaya itu menerobos masuk kedalam ruang gelap ini. Menusuk dalam hati dan pikiranku. Membuat benih yang tertanam pada dasar hatiku mulai tumbuh. Membantunya agar dapat bertumbuh dan berkembang. Dan pada akhirnya jadilah pohon yang menjulang tinggi besar dengan akar-akar yang kokoh. Yang dapat menahan setiap badai ataupun angin ribut yang menyerangnya.
“Saya menemukannya… ada orang disini…” suara pria berkata-kata kepada seorang lainnya.
“Cepat! Sepertinya dia masih hidup…” jawab seorang lagi kepada pria tersebut.
Dapat kudengar suara ribut diluar sana. Semakin lama semakin jelas suara itu, seiring membesarnya sorotan cahaya tersebut. Ada yang bersorak-sorai, ada pula yang bertepuk tangan. Begitu meriah. Seperti malam pergantian tahun saja.
“Itu dia! Saya dapat melihatnya….”.
“Tolong bantu! Sebelah sini…”.
“Angkat batu itu. Sebelah sana…”.
Tampaklah cahaya itu telah membuka mata hatiku. Membuatnya dapat melihat dengan jelas. Kupandangi sekelilingku. Agak sedikit rabun, namun dapat kupastikan ratusan pasang mata menatap ke arahku.
“Bantu dia…”.
Tubuhku kaku. Tak kuat untuk bangkit berdiri. Namun seorang pria datang menghampiriku, membantuku untuk dapat melangkah.
“Apakah bapak baik-baik saja?”. Kata pria itu kepadaku. namun aku tak menjawabnya. Rasanya lelah untuk berbicara.
“Pak, bisa anda jelaskan kejadiannya?”.
“Apakah ada korban lain di dalam sana?”.
“Bagaimana anda dapat bertahan dalam reruntuhan itu?”. Para pemburu berita menghalangi jalanku. Berkerumun mengelilingiku. Wajahku pucat. Pikiranku lelah. Nafasku sesak. Terlalu ramai dan sempit. Sorotan lampu kamera menyilaukan mataku. Mereka tidak menghiraukan keadanku. Mereka terus berkata dan bertanya. Satu hal yang pasti yang kukatakan kepada mereka dengan nada terseret-seret.
“Tuhan besertaku…”.
- TAMAT -
Mohon kritik dan sarannya mengenai cerpen ini. gimana menurut kalian tentang pen deskripsiannya . masih jelek ya, huhuuhu
Hehehee... ditunggu ya comentarnya
TRIM'S!