AWALNYA
“Dum praaaaang!” Suara keras dari pecahan pring dan gelas yang ambruk bersama raknya. Jerit suara istrikupun menggaung.
“Paaaak!”Lalu tersedu.
Aku berlalu keluar rumah, tak pedulikan istriku yang menangis sambil memunguti pecahan piring dan gelas serta prabotan yang berantakan.
Ku pacu sepedah motorku kesebuah tempat yang telah biasa aku kunjungi, sebuah gedung tua dipinggir pantai. Gedung yang dindingnya penuh coretan, berwarna warni, bergambar dengan aneka symbol. Dari symbol metal, nazi dan symbol-simbol mengerikan lainnya. Kuparkirkan motorku tepat di depan gedung.
Ada beberapa motor milik teman-teman yang sudah parkir di sana. Aku bergegas masuk dengan sedikit tersengal, karena rasa kesal masih menghimpit didadaku. Kumasuki lorong kumuh, didepanku nampak kebul asap rokok memenuhi ruangan yang sudah pengap itu. Empat orang yang aku kenal sedang konsentrasi pada pekerjaannya yaitu memperhatikan gambar-gambar dikartu yang dipegangnya.
Aku menyeruak masuk mengusik konsentrasi mereka.
“Brengsek lu man”Suara itu keluar dari mulut seorang yang berkumis tebal, Bandot panggilannya.
“Ngagetin aja lu” Lanjutnya.
“Ruwet bang.” Jawabku sambil menghempaskan bokongku ke balai bambu tempat mereka sedang bermain kartu.
“Kenape Lu. dateng-dateng ngomel Man”Lanjut Negro yang duduk dibalik punggungku sambil menghisap rokok kreteknya.
“ Gua ga ada modal tuk lanjutin permainan kartu ini, mau utang, hutangku udah numpuk.” Jawabku seraya mendesah.
to be countinu