SINDIKAT PENULIS
Silakan login dahulu, biar lebih asyik.
Kalau belum bisa login, silakan daftar dahulu.
Setelah itu, selamat bersenang-senang...
SINDIKAT PENULIS
Silakan login dahulu, biar lebih asyik.
Kalau belum bisa login, silakan daftar dahulu.
Setelah itu, selamat bersenang-senang...
SINDIKAT PENULIS
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.


Kami adalah penulis, dan kami tidak butuh persetujuan dari siapa pun!
 
IndeksLatest imagesPencarianPendaftaranLogin
"Jika ada buku yang benar-benar ingin kamu baca, tapi buku tersebut belum ditulis, maka kamu yang harus menuliskannya." ~ Toni Morrison

 

 Novel mentah dan parah

Go down 
4 posters
PengirimMessage
azzwa nabilla
Penulis Pemula
Penulis Pemula
azzwa nabilla


Jumlah posting : 144
Points : 164
Reputation : 0
Join date : 29.01.12
Age : 32
Lokasi : yogyakarta

Novel mentah dan parah Empty
PostSubyek: Novel mentah dan parah   Novel mentah dan parah EmptyTue 17 Apr 2012 - 12:04

para suhu, bisa minta tolong??
aku amatiiir sekali di bidang tulis-menulis novel.
aku beberapa kali nulis, tapi nggak pernah ada yang selesai..
contohnya, yang dibawah ini..
nah, jadi, mohon kritik dan sarannya ya demi keberlangsungan novel jadul saya yang nggak pernah dilanjut bahkan hingga detik ini...
Nangis


Bulan di Tepi Mentari

“Sudah sejak kapan?”
“Eeh… Seingat saya… Dua bulan yang lalu, Dok…”

Dokter di hadapanku itu nampak memeriksa tiap detail medical record yang sejak tadi dipegangnya. Sesekali ia membenahi letak kacamatanya dengan ekspresi berpikir. Aku jadi tidak berani mengira-ngira apa yang tengah dipikirkan dokter muda di depanku itu. Apakah ia akan menyampaikan sesuatu yang buruk tentangku? Kalau memang seperti itu, aku harus siap mental mendengar berita buruk yang akan segera ia lontarkan padaku.

“Dua bulan… Itu bukan waktu yang pendek… Kenapa baru memeriksakan diri sekarang?” tanyanya.

Aku gugup,

“Saya…tidak berani memeriksakan diri, Dok…”

“Hmm…,” dokter itu mengalihkan pandang padaku, “Kebanyakan kasus seperti Anda memang selalu terlambat memeriksakan diri.” Jelasnya.

“Memangnya…apa yang salah dengan saya, Dok?” tanyaku memberanikan diri.

“Hmm…,” dokter itu mendehem panjang, menarik nafas, lalu menghembuskannya dengan berat, “Sebenarnya saya berharap dugaan saya salah.”

“Ada apa, Dok…?” tanyaku tak sabar.

“Dalam hasil rontgen Anda—seperti yang bisa Anda lihat—apa Anda bisa menemukan sesuatu yang janggal di gambar itu?”

Aku mencoba mengamati baik-baik hasil rontgenku yang terpasang. Namun aku bukan dokter. Aku tak bisa menemukan kejanggalan apapun di gambar itu meski aku sudah menajamkan pandanganku. Dengan heran, aku hanya menggelengkan kepala.

“Memang sulit dilihat, namun dari hasil scan lab Anda, saya berhasil menemukan suatu kejanggalan…” lanjut dokter itu.

“Maksud…Dokter?”

“Di beberapa titik yang saya tunjuk ini, terdapat lubang-lubang kecil pada organ paru-paru Anda.”

Mataku membola seketika begitu mendengar diagnosa yang bagaikan berita dari neraka di siang bolong itu.

“Lubang…pada paru-paru…?” tanyaku, tak yakin.

“Ya, dan lubang itu tidak hanya ada satu. Jika dibiarkan, paru-paru Anda bisa mengalami kebocoran, cepat atau lambat…”

“Kebocoran…organ paru…? Itukah diagnosa Anda, Dok?” tanyaku bergetar.

Dokter itu menatapku dalam-dalam. Entah ia bersimpati atau bagaimana.

“Kebocoran paru adalah hal yang jarang terdeteksi. Gejala awalnya ringan, sehingga si penderita mengabaikannya begitu saja. Namun, sama seperti ban sepeda. Sekecil apapun lubang pada ban sepeda, ban itu cepat atau lambat akan mengempis habis. Begitu pula dengan paru-paru manusia. Kalau kebocoran terdapat di sana-sini, maka sirkulasi pernafasan manusia itu akan sangat terganggu. Kemungkinan terburuknya, manusia itu tidak akan sanggup bernafas…”

“Dengan kata lain, ‘mati’, kan, maksud Anda?” potongku.

“…Ya… Bisa dikatakan demikian…”

Mendadak saja seluruh tubuhku terasa lemas, tiada daya. Entah apa. Apakah aku takut pada kematian yang bisa saja menghampiriku? Apakah aku merasa kalau hidupku sudah tidak berguna lagi? Ah, rasanya otakku sudah benar-benar mati rasa.

“Jalan satu-satunya hanya mencegah lubang itu melebar…”

“Apa saya masih bisa hidup, Dok?”

“Tentu saja… Jangan menjadi pesimis. Keinginan hidup itu adalah sumber kekuatan yang paling besar dalam sejarah medis…”

“Berapa lama saya bisa bertahan hidup, Dok?”

Dokter itu nampaknya menyadari kegalauan yang sejak tadi mengisi relung jiwaku. Ia lalu tersenyum, mungkin berusaha memberikan semangat padaku.

“Itu tergantung Anda, dan tergantung keputusan Tuhan…”

Aku terdiam. Seketika aku merasa bahwa semua menjadi sia-sia. Aku mendadak putus asa dalam satu pukulan saja.

****

<Sender> Andrean Fahrezi (feerandrean18@gmail.com)
<Subject> Love you
<Date> January 12th, 2009_6.33 p.m.


>> Wahai Shafeera Zakkiya-ku tercinta… Sedang apa dirimu sekarang? Bagaimana kabarmu, Sayang? Maaf, ya… Beberapa hari ini, Mas belum bisa YM-an… CAM-laptop lagi error… Sial banget kan, ya? Mau beli, tapi disini mahal abiiiss… hehe…

Oiya, kemarin Mbak Elva udah melahirkan, lho? Anak ketiganya ternyata cewek lagi. Hahaha… Kalau nggak salah, dikasih nama ini nih: ‘Ghaitsa Faradilla’. Kalau Mas bilang, sih, terlalu pendek. Hehehe… ^_^

Oh iya… Maaf, ya, belum bisa pulang ke tanah air, nih… Denger-denger, Mas bakal ditahan buat fit and proper test (macam DPR ajaaah, hehe)… Mau langsung direkomendasikan jadi staff tetap gitu… Tapi, ya, konsekuensinya, passport ditahan di perusahaan… Mungkin Mas baru bisa balik ke Indonesia akhir tahun, padahal udah janji bakal ke Indonesia akhir Juli, ya? Mas benar-benar minta maaf, ya, Sayang…?

Tapi, tenang aja, ya… Kalau Mas berhasil direkrut langsung, nanti Mas pulang langsung ngelamar, deh. Udah ada modal… Di NY ini, ‘kan, Mas udah punya apartment sendiri, nggak perlu nebenk sama ortu/mertua kaan? Haha ^_^

Pokoknya, Fira tenang aja, ya? Mas janji bakal jemput Fira buat jadi istri Mas…
I’ll always love U and I’m always missing U… Forever, till the end of time… ^_^
<<

Berkali-kali, untuk kesekian kalinya, aku membaca e-mail dari kekasihku tercinta yang berada jauh di seberang samudera. Tanpa sadar, airmataku mengalir perlahan. Meluncur melintas batas benua. Aku benar-benar tak sanggup membendung tangis begitu membayangkan wajah teduhnya yang sudah lama kurindukan.

Kami berpisah setengah tahun yang lalu karena ia harus menjalani masa percobaan kerja di sebuah perusahaan bergengsi di Amerika, sementara aku masih duduk di bangku semester 7 perkuliahan. Kami sudah sama-sama dekat dan saling menyerahkan hidup antara satu dan lainnya. Aku siap mendampinginya dalam situasi dan kondisi bagaimanapun. Begitupun dengannya. Aku telah berjanji akan menunggu ia datang untuk menjemputku, membawaku sebagai istrinya. Aku sangat menyayanginya dan tak ingin kehilangan dirinya.

Lalu, bagaimana caranya aku memberitahukan berita yang baru saja kudapat pagi tadi kepadanya? Apa aku bisa dengan tega menghancurkan impiannya? Menghancurkan harapannya untuk mempersuntingku sebagai istrinya? Apa aku tega membebani pikirannya dengan penyakit yang kini kuderita? Apa aku sanggup mengatakan bahwa aku akan segera pergi meninggalkannya? Tidak…! Aku tak berani membayangkannya!

Mungkin, bukan dia yang kucemaskan. Bukan rasa sedih yang akan ia dapat yang kutakutkan. Mungkin, aku lebih takut pada kenyataan yang akan segera menghampiriku. Kenyataan yang bernama kematian. Mungkin, bukannya aku tak sanggup mengatakan karena takut ia akan terluka, namun aku tak sanggup karena aku tahu aku akan segera mati. Dan, saat ini baru kusadari bahwa kematian bukan hal yang dengan mudah bisa diungkapkan seperti dulu-dulu saat aku menulis puisi-puisi yang bertema kematian. Ternyata ketika aku benar-benar sudah akan berhadapan dengan sesuatu yang bernama kematian, aku serasa tak ingin mengenal apa itu mati dan seperti apa itu kematian. Aku ingin berlari jauh-jauh darinya!

Tapi sekali lagi aku tersadar. Sejauh apapun aku berlari, aku tak akan sanggup sembunyi. Memohon sampai mengemis sekalipun, aku takkan bisa mengemis waktu. Sebenarnya aku sudah paham. Namun, mengapa sekarang aku merasa bahwa semua itu tak bisa dilogika? Apakah aku benar-benar takut pada kematian?

Airmataku masih mengalir deras, meluncur di pipiku. Kupeluk bantalku erat-erat, dan sesekali kubenamkan wajahku di atasnya. Kucoba meredam tangisku yang meledak-ledak dalam kebisua. Ya, aku sampai tak bisa bersuara. Rasanya ada yang menyumbat tenggorokanku. Seolah aku tak bisa mengeluarkan suara sedikitpun. Ada yang menyesak di faring dan laringku. Ah, entahlah… Aku sudah sedemikian kalut dan takut…

***

“Fira, aku mau ngomong sesuatu sama kamu. Kita ketemu di Starbucks Coffee jam 2 siang gimana?”

Suara Aldo pagi itu membuatku semakin malas. Kenapa pagi-pagi buta—pukul 5—aku harus sudah mendengar suara dingin Aldo? Dari suara datarnya, aku bisa menebak pasti pertemuanku dengannya nanti bukan untuk membicarakan suatu hal yang menyenangkan.

“Jam 2 sepertinya aku ada urusan…” sahutku.
“Urusan apa?”
“Aku masih harus ke kampus, ada jadwal konsultasi sama DPA…” bohongku.
“Ya sudah, jam berapa kamu luang?”

Aku diam. Memang percuma jika ingin berbohong pada Aldo. Sekalipun aku mengatakan aku tidak punya waktu untuk bertemu dengannya, ia tetap akan memaksaku meluangkan waktu hanya untuk menemuinya meski satu jam saja.

“Aku belum bisa memastikan…”
“Hmm…,” Aldo berpikir cukup lama, “Baiklah. Kalau kamu belum bisa menentukan, biar aku yang memastikan. Kita ketemu jam 7 malam di Starbucks. Jangan alasan lagi. Oke?”

Aku hanya menarik nafas panjang. Ya ampun, selalu seperti itu. Aku tidak pernah bisa membatalkan pertemuan dengannya. Terus terang, aku benar-benar malas menemui editor paling kejam sepanjang karierku di Saphire Publishing itu. Harus kuakui, Aldo memiliki kualifikasi yang bagus sebagai editor. Tapi ia juga memiliki kualifikasi yang bagus sebagai pembantai.

Pekerjaanku sebagai penulis musiman—penulis yang hanya mengirimkan karyanya pada saat ingin saja—dan asisten editor freelance—dalam hal ini aku adalah asisten Aldo Wiradiatma—di Saphire Publishing memang mengharuskanku bolak-balik meeting dengan Aldo. Entah itu membicarakan soal hasil tulisanku, atau hasil suntinganku. Hah… Kali ini, cacian seperti apa lagi yang akan terlontar dari mulut pedas Aldo, ya?

Starbucks Coffee, 19.16


“Sorry, Al… Aku telat…"
“Hm,” Aldo melirik jam tangannya sekilas, “Terlambat 16 menit.”
“Maaf, urusanku baru selesai jam 6,” kataku seraya menarik kursi dan duduk berhadapan dengan Aldo.

Aku menunggu Aldo memulai pembicaraan. Namun nampaknya ia sedang sibuk berkutat dengan laptopnya. Aku hanya diam dan menunggunya.

“Kamu pesan aja dulu, Fir.” Katanya.
“Pesan?”
“Iya, cappuccino, vanilla late, terserah kamu mau apa, deh.”

Aku hanya mengerjapkan mata heran. Tak biasanya seorang Aldo menyuruhku memesan duluan. Biasanya aku hanya mengikuti pilihannya saja.

“Kamu nggak pesan?” tanyaku.
“Aku moccacino sama brownies keju satu.”
“Itu aja?”
“Iya, sisanya kamu yang pilih.”

Aku masih terheran-heran dengan Aldo hari ini. Aku berpikir, pasti ada yang salah dengan otaknya hari ini.

“Sebenarnya, mau ngomong apa, Al?” tanyaku akhirnya.

Aldo masih sibuk dengan laptopnya, lalu kemudian menatapku sekilas.
“Tentang tulisan kamu…”

Ah, tentang itu. Aku sudah bisa menduga… Berarti kali ini aku harus memposisikan diri sebagai penulis amatir yang berhadapan dengan editornya yang super dingin.

“Ya…?”
“Tulisan itu sudah dibaca kepala editor…”
“Lalu…?”
“Keputusannya…,” Aldo memandangku lama.
“Keputusannya…?”
“Karyamu ditolak. Selamat, ya. Sudah yang ke-99 kali, ya?”

Aku terdiam. Ditolak. Lagi? Jadi, Aldo mengajakku bertemu hanya untuk memberiku selamat atas kegagalanku yang ke-99 kali? Konyol sekali…!

“Ya, sudah kuduga bakal ditolak, kok. Nggak masalah…” kataku.
“Karena sudah seringnya ditolak, jadi terbiasa, ya?” tanya Aldo.
“Jangan mengejekku… Aku memang tidak mampu…”
“Yah…,” Aldo membetulkan posisi duduknya, “Ditolak untuk diterbitkan. Tapi diterima untuk dilayarlebarkan.”
“Apa?”
“No repeat, Fira. Kamu harus mendengar baik-baik.”
“Di…layarlebarkan? Maksudnya?” tanyaku tak mengerti.
“Sudah kubilang, no repeat. Karyamu ditolak untuk diterbitkan dalam bentuk novel. Hasilnya, naskahmu nggak sengaja dibaca oleh rekan Pak Kepala yang seorang sutradara. Ia menilai karyamu lebih pantas dijadikan sebuah film. Jadi, aku mengundangmu malam ini untuk memberitahukan hal ini padamu. Besok kamu dijadwalkan untuk bertemu dengan Mas Tirta, sutradara yang bakal mengangkat naskahmu menjadi film layar lebar.”

Aku mencerna baik-baik tiap kata yang terlontar dari mulut editor di hadapanku itu. Setengah tidak percaya, aku masih tertegun heran.

“Hallo…? Fira? Are you still following me?”

Aldo melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku yang masih dalam mode ‘bengong’ itu. Aku hanya mencoba meyakinkan diri sendiri atas berita yang baru saja kudengar dari editor sadisku itu.

“Kamu…nggak bercanda, Al?” tanyaku memastikan.

Aldo melengos, menyandarkan bahu pada bantalan kursi café yang empuk.

“Heh… Mau kuulang sampai kapan, sih?” tanyanya setengah jengkel.

Aku menatap tajam ke arah atasanku di Saphire Publishing itu.

“Bercandamu nggak lucu,” kataku.
“Siapa yang bercanda?”
“Kita realistis aja, Al… Kalau karyaku bahkan ditolak jadi novel, mana mungkin bisa diangkat ke layar lebar?”
“Well,” Aldo mulai menegakkan badannya kembali, “Kalau sebagai novel, bahasamu memang terlalu berputar-putar, bertele-tele, padahal intinya hanya satu. Untuk dibaca, pasti akan menjadi karya yang bikin ngantuk. Tapi, Mas Tirta punya penilaian tersendiri untuk Tepi Hati-mu. Kalau di novel, tidak mungkin memotong banyak dialog dan detailer, bisa-bisa plotnya jadi kacau. Tapi kalau di film, segala detailer bisa dijelaskan lewat dialog dan setting nyata. Bisa jadi lebih simple, kan?”

“Jadi…?”

“Ya ampun, Fira. Aku baru sadar kalau kamu memang benar-benar lemot.”

Aldo menatap layar laptopnya sekilas untuk kemudian menatapku lagi.

“Kamu keberatan dengan tawaran besar kayak gini?”

Aku diam. Rasanya aku tidak tahu harus berkata apa. Otakku tiba-tiba saja seolah berhenti bekerja. Bukankah ini berita bagus, Fira? Berita yang bahkan tidak pernah terbayang olehmu sebelumnya. Olehmu yang telah gagal menulis sebanyak 98 kali, lalu tiba-tiba karyamu akan diangkat ke layar lebar? Bukankah seharusnya kamu merasa gembira karena mimpimu menjadi nyata? Bukankah seharusnya kamu bangga karena akhirnya ada yang mengakui tulisanmu? Tapi, entahlah mengapa aku tidak bisa merasakan kebahagiaan yang harusnya meledak-ledak dalam batinku saat ini.

***

<Sender> Shafeera Zakkiya Fahrezi (fahrezifeera29@yahoo.com)
<Subject> Miss U
<Date> January 13th, 2009_00.00 a.m.

>> Sayang…
Izinkan aku bercerita, cerita yang selalu ingin kubagi denganmu. Aku ingin saat ini kau ada di sisiku, menemaniku, dan tersenyum untukku. Sekali saja, Sayang… Aku merasa benar-benar membutuhkanmu saat ini… Aku tidak tahu, seperti apa rasa rinduku padamu saat ini, hingga rasanya aku bisa gila memikirkanmu. Aku tidak bisa…
<<

Aku menatap kursor di monitorku yang terus berkedip. Namun aku tetap tak bergeming. Aku tidak tahu harus menulis apa lagi. Aku ingin, sangat ingin, menuliskan isi hatiku saat ini. kegalauan yang tengah melanda jiwaku saat ini. Tentang dua berita—baik dan buruk—sekaligus yang kuterima dalam satu hari secara bersamaan. Aku jadi tidak tahu harus mengekspresikan diri bagaimana. Harus senang, atau harus bersedih. Segala rasa bimbang yang menerpaku saat ini benar-benar mengganggu pikiranku.

Rasa galau, rasa cemas, rasa kalut, dan rasa rinduku padamu yang tiada terkira semakin mengikis habis ketenangan dalam jiwaku. Aku benar-benar tidak tahu lagi harus mengadukan semua ini pada siapa. Aku tak bisa mengatakan kepada orangtuaku, kepada Rezi, atau kepada teman-temanku yang lain.

Kupijat pelan kepalaku yang mulai berdenyut tidak menentu. Aku tahu otakku lelah. Namun hatiku jauh lebih lelah. Aku benar-benar tidak tahu lagi harus bagaimana. Aku menghela nafas berat. Sangat berat. Sudah larut malam. Namun aku sama sekali tak bisa memejamkan mata. Entahlah. Rasanya aku jadi takut menutup mata. Aku takut bila aku takkan terbangun lagi esok pagi. Aku takut bila aku takkan menemukan sinar matahari lagi. Aku ketakutan. Dan semua keheningan yang membelengguku saat ini semakin menghimpitku dengan rasa takut pada kematian!

Dan,
Apalah arti semua impianku yang akhirnya tercapai beriringan dengan berdirinya aku di ambang kematian??
Dan,
Apalah arti semua perjuangan dan usahaku yang akhirnya membuahkan hasil sementara aku kini tengah menunggu ajal menjemputku??
Dan,
Apalah arti impian indahku untuk menjadi pengantin bila kini aku harus berhadapan dengan kematian, bukan pernikahan?!

Air mata mengalir perlahan dari kedua mataku. Basah. Panas. Luka. Perih. Pedih. Getir. Aku memandang kosong ke langit-langit kamar. Aku benar-benar merasa sendirian. Aku tidak punya siapa-siapa lagi. Dan, apakah aku juga harus mati dalam rasa sepi ini? Dikafani rasa sedih karena tak bisa menikmati semua yang seharusnya bisa kunikmati—impianku menjadi penulis dan impianku untuk menikah dengan Fahrezi… Kedua-duanya akan menjadi hal terindah yang mengiringi kerandaku menuju pemakaman. Ah...
Kembali Ke Atas Go down
de_wind
Penulis Sejati
Penulis Sejati
de_wind


Jumlah posting : 3494
Points : 3669
Reputation : 52
Join date : 29.03.11
Age : 38
Lokasi : Bekasi

Novel mentah dan parah Empty
PostSubyek: Re: Novel mentah dan parah   Novel mentah dan parah EmptyWed 18 Apr 2012 - 0:42

sdkit saran...perhatiin baik2 soal mslh2 eksak kyk medis...bnyk penulis indo yg males merhatiin ini jdny mreka ngasi pnjelasan yg suka gak jelas atau malah gak msuk akal soal pnyakit...kita perlu mencerdaskan pembaca wlopun mreka bkn dokter Very Happy

smua ini prolog ya? mgkn bisa sdkit dperhalus lg alur ny...klo novel kan bisa brpanjang2 dan bertele2 ria...jd nyantai aja...pake lbih banyak adegan bwt nyatuin prolog ny biar lebih alus...ayo kita tnggu opini yg laen...
Kembali Ke Atas Go down
azzwa nabilla
Penulis Pemula
Penulis Pemula
azzwa nabilla


Jumlah posting : 144
Points : 164
Reputation : 0
Join date : 29.01.12
Age : 32
Lokasi : yogyakarta

Novel mentah dan parah Empty
PostSubyek: Re: Novel mentah dan parah   Novel mentah dan parah EmptyWed 18 Apr 2012 - 8:28

hu'um mbak.. aku sih udah searching2 soal penyakit macam itu...
itu juga gara2 ada tetangga yang kena penyakit kayak gitu, jadi tertarik juga mau ngangkat..
(dan dilandasi kekhawatiran jaman purba waktu aku bolak-balik ke pusat jantung Nangis )

iya mbak, baru prolog... ituuu kelemahan sayaaaaa...
prolog yang panjang. ugh...

okeeeee, akan dicoba diperbaiki deh mbak..
huhuhu
stagnan nih...
Nangis

gini deh, kelemahanku..
kalau udah 'mati' sama satu judul, besok pasti ganti lagi topiknya..
ujung2nya banyak yang terlantar...
aih...
Kembali Ke Atas Go down
Ruise V. Cort
Penulis Parah
Penulis Parah
Ruise V. Cort


Jumlah posting : 6382
Points : 6522
Reputation : 45
Join date : 28.04.11
Age : 30
Lokasi : *sibuk dengan dunianya sendiri jadi nggak tahu sekitar*

Novel mentah dan parah Empty
PostSubyek: Re: Novel mentah dan parah   Novel mentah dan parah EmptyWed 18 Apr 2012 - 10:51

Kak, Kak,
Kakak sebelum nulis prolog udah punya outline kan?
Kakak buat aja keseluruhan inti cerita sebelum nulis secara mendetail.

Jadi kalau ada dorongan buat ganti larena mati di satu cerita bisa di pending dulu.
Kalau ada waktu dan baca-baca naskah lama, kan jadinya terdorong buat ngelanjutin. Dengan adanya draft yang sudah mendetail jadi nggak buyar idenya :>

sekarang aku kayak gitu karena saking seringnya ganti judul --"
Kembali Ke Atas Go down
http://ruise.wordpress.com/
sagitany
Penulis Sejati
Penulis Sejati
sagitany


Jumlah posting : 4863
Points : 4905
Reputation : 8
Join date : 06.04.12
Age : 32
Lokasi : medan

Novel mentah dan parah Empty
PostSubyek: Re: Novel mentah dan parah   Novel mentah dan parah EmptyWed 18 Apr 2012 - 11:06

sama sist nabil..
jadi ga bisa kasih saran apa2,
dan berharap bisa nyuri saran2 dari para suhu ke nabil..
Novel mentah dan parah 3213619390
Kembali Ke Atas Go down
azzwa nabilla
Penulis Pemula
Penulis Pemula
azzwa nabilla


Jumlah posting : 144
Points : 164
Reputation : 0
Join date : 29.01.12
Age : 32
Lokasi : yogyakarta

Novel mentah dan parah Empty
PostSubyek: Re: Novel mentah dan parah   Novel mentah dan parah EmptyWed 18 Apr 2012 - 20:54

outline ya...
iya ya, kok gak kepikiran???
(lola mode)

selama yang kuingat nih, nggak pernah bikin outline/draft kecuali bikin naskah komik (itupun udah lama sekali)
bener juga ya... kalau punya outline, bisa ada gambaran pastinya..

yosh yosh..
makasiih saran2nya... akan saya coba membuat outline... hihihi
tik
Kembali Ke Atas Go down
Ruise V. Cort
Penulis Parah
Penulis Parah
Ruise V. Cort


Jumlah posting : 6382
Points : 6522
Reputation : 45
Join date : 28.04.11
Age : 30
Lokasi : *sibuk dengan dunianya sendiri jadi nggak tahu sekitar*

Novel mentah dan parah Empty
PostSubyek: Re: Novel mentah dan parah   Novel mentah dan parah EmptyWed 18 Apr 2012 - 21:20

Selamat membuat Kak ^^
Kembali Ke Atas Go down
http://ruise.wordpress.com/
azzwa nabilla
Penulis Pemula
Penulis Pemula
azzwa nabilla


Jumlah posting : 144
Points : 164
Reputation : 0
Join date : 29.01.12
Age : 32
Lokasi : yogyakarta

Novel mentah dan parah Empty
PostSubyek: Re: Novel mentah dan parah   Novel mentah dan parah EmptyWed 18 Apr 2012 - 22:37

ruiii.... aku pesimis tingkat tinggi iniii...
huwaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!
Kembali Ke Atas Go down
Ruise V. Cort
Penulis Parah
Penulis Parah
Ruise V. Cort


Jumlah posting : 6382
Points : 6522
Reputation : 45
Join date : 28.04.11
Age : 30
Lokasi : *sibuk dengan dunianya sendiri jadi nggak tahu sekitar*

Novel mentah dan parah Empty
PostSubyek: Re: Novel mentah dan parah   Novel mentah dan parah EmptyThu 19 Apr 2012 - 0:14

Heh?
Memang kenapa Kak?
Kembali Ke Atas Go down
http://ruise.wordpress.com/
azzwa nabilla
Penulis Pemula
Penulis Pemula
azzwa nabilla


Jumlah posting : 144
Points : 164
Reputation : 0
Join date : 29.01.12
Age : 32
Lokasi : yogyakarta

Novel mentah dan parah Empty
PostSubyek: Re: Novel mentah dan parah   Novel mentah dan parah EmptyThu 19 Apr 2012 - 14:23

gak tau... pasti langsung pesimis mau memulai apa2....
gimana ya???
Kembali Ke Atas Go down
Ruise V. Cort
Penulis Parah
Penulis Parah
Ruise V. Cort


Jumlah posting : 6382
Points : 6522
Reputation : 45
Join date : 28.04.11
Age : 30
Lokasi : *sibuk dengan dunianya sendiri jadi nggak tahu sekitar*

Novel mentah dan parah Empty
PostSubyek: Re: Novel mentah dan parah   Novel mentah dan parah EmptyThu 19 Apr 2012 - 15:44

mind-setnya ganti marah
Kembali Ke Atas Go down
http://ruise.wordpress.com/
azzwa nabilla
Penulis Pemula
Penulis Pemula
azzwa nabilla


Jumlah posting : 144
Points : 164
Reputation : 0
Join date : 29.01.12
Age : 32
Lokasi : yogyakarta

Novel mentah dan parah Empty
PostSubyek: Re: Novel mentah dan parah   Novel mentah dan parah EmptyFri 20 Apr 2012 - 10:16

mind-set oh mind-set...
mind-setku emang udah parah banget niih
Kembali Ke Atas Go down
sagitany
Penulis Sejati
Penulis Sejati
sagitany


Jumlah posting : 4863
Points : 4905
Reputation : 8
Join date : 06.04.12
Age : 32
Lokasi : medan

Novel mentah dan parah Empty
PostSubyek: Re: Novel mentah dan parah   Novel mentah dan parah EmptyFri 20 Apr 2012 - 21:22

masih bisa diperbaiki tuh nabil,
semangat!
Novel mentah dan parah 3163292238
Kembali Ke Atas Go down
de_wind
Penulis Sejati
Penulis Sejati
de_wind


Jumlah posting : 3494
Points : 3669
Reputation : 52
Join date : 29.03.11
Age : 38
Lokasi : Bekasi

Novel mentah dan parah Empty
PostSubyek: Re: Novel mentah dan parah   Novel mentah dan parah EmptyTue 24 Apr 2012 - 13:26

azzwa nabilla wrote:
gak tau... pasti langsung pesimis mau memulai apa2....
gimana ya???

blom usaha blom ngapa2in knp mesti pesimis?
lakuin aja, kepercayaan diri itu salah satu inner beauty lho...
sapa tau itu bakalan trcermin dari karya sis Wink
Kembali Ke Atas Go down
Sponsored content





Novel mentah dan parah Empty
PostSubyek: Re: Novel mentah dan parah   Novel mentah dan parah Empty

Kembali Ke Atas Go down
 
Novel mentah dan parah
Kembali Ke Atas 
Halaman 1 dari 1

Permissions in this forum:Anda tidak dapat menjawab topik
SINDIKAT PENULIS :: Arena Diskusi :: Novel-
Navigasi: