"Hari Senin jadi kan?" sebuah tanya terdengar samar. Mengalun dari bibir tipis seorang pemuda berambut hitam cepak dengan nada dan intonasi yang khas.
Hampir semua pasang mata menatapnya—dan abaikan beberapa pasang mata yang lebih memilih untuk mengerjakan tugas dibandingkan menyimak ketua kelas di depan sana. Mengerinyetkan kaning dalam waktu bersamaan tanda tak mengerti dengan apa yang baru saja dipertanyakan oleh sosok yang berkacamata tersebut.
"Apanya yang hari Senin?"
"Upacara iya dah..."
"Bisa dijelasin nggak Jeng?"
Dan perlahan suara-suara gaduh kembali bangkit di sekitarku. Suara yang kembali bersaing dengan lantunan nada berirama dari headset milikku. Tak kuperdulikan apa-apa saja yang tengah dibahas oleh mereka semua. Karena suara di dalam kepalaku berbisik bahwa apa pun yang baru saja diajukan oleh Kevin pada akhirnya menjadi rencana saja. Bukankah itu yang biasanya terjadi?
"Hei, Anita."
"Hn?"
"Headsetnya lepas dulu."
"Aku denger kok Mei."
Aku menoleh. Menatap teman sebangkuku yang tengah menumpukkan kepalanya di atas tangannya yang dilipat di atas meja. Menatapkau lekat sementara kristal onyx miliknya terlihat memancarkan kilauan-kilauan jahil yang sampai kapan pun tak akan pernah kusukai.
"Ayo, cerita," rujuknya. Mengirimiku sebuah senyuman yang kuyakini akan berubah beberapa saat lagi menjadi senyuman yang tak kusukai.
"Soal apa?" Mencoba bersabar dengan jawaban apa pun yang akan menjawab apa pun yang akan meluncur dari bibir hitam polesannya—sungguh kenapa gadis seperti Mei senang mengenakkan lipstik berwarna gelap tersebut?
"Kok soal apa? Tentu saja mengenai Kevin." Mengangkat kepalanya dan jemari lentik Mei kini menunjuk sosok Kevin yang berkoar di depan sana mengenai kostum yang akan digunakan untuk acara perpisahan kelas tiga nanti—akhirnya bukan sesuatu yang berhubungan dengan acara untuk menghambur-hamburkan uang.
Aku tak segera menjawab. Memperhatikan bagaimana senyuman normal kini bertukar tempat dengan senyuman khas milik Mei—dimana garis bibirnya terkesan seperti membentuk huruf 'w' kecil. Melepaskan headset yang sejak jam pertama sudah bersangkar pada rongga telingaku untuk diam dan berusaha beradaptasi dengan kericuhan di sekitar sebelum menjawab; "Kurasa tidak ada yang belum aku ceritakan padamu."
Dalam sekejap, gadis manis tersebut sudah mengubah ekspresi wajahnya. Sama sekali tidak puas dengan jawaban tawar dengan nada datar yang kuberikan padanya. Dikiriminya tatapan mengintrogasi yang tak pernah gagal untuk memaksa lawan bicara mengucapkan informasi apa pun yang ingin ia ketahui tanpa pengecualian bahwa itu adalah hal yang paling memalukan bagi orang tersebut.
"Katakan bahwa kau bercanda. Kau tidak serius bicara bahwa hubungan kalian sama sekali tidak mengalami perkembangan apa pun selama tiga minggu terakhir ini, bukan?"
"Bisa kau katakan seperti itu."
"Kalian pacaran tidak sih!" membentakku kesal dan aku berani bersumpah beberapa pasang mata yang bisa mengidentifikasikan suara Mei di antara kekacauan suara ini menatap gadis manis di sampingku ganjil.
"Bukannya kau tahu jawabanku? Secara resmi saja belum terucap dari mulut kami berdua. Tak ada pernyataan."
Mei mendesah pelan. Sama sekali tidak menyukai bagaimana caraku mengatakan informasi barusan. Dibenamkannya wajahnya sendiri pada tas ransel hitam milikku. Bergumam akan umpatan dan ejekkan dalam suara yang terdengar kacau tanpa bisa diketahui ujung pangkalnya. Dan aku hanya bereaksi dengan kembali mengenakan headset milikku. Kembali menikmati filter nada yang menyamarkan kekacauan di sekitarku.
Kuperhatikan bagaimana sosok Kevin kini sibuk berdebat dengan pemuda berambut hitam agak panjang yang dicap sebagai siswa yang paling ingin dijadikan kekasih satu angkatan. Aku sama sekali tidak mengerti kenapa pemuda menarik seperti Reno mau bermesra-mesraan dengan siswi yang dicap sebagai paling freak satu angkatan. Oh ya, Prince Charming and Ugly Witch julukan untuk pasangan itu kalau tidak salah.
Terkadang aku memiliki pemikiran untuk segera membenturkan kepala ke dinding setiap ide gila muncul dari udara kosong begitu saja. Kevin yang dihadapan orang lain dan aku-kekasihnya sendiri-bersikap acuh tak acuh, mau bersikap terbuka di hadapan Reno-Prince Charming. Tersenyum satu atau dua kali setiap lima menit dan mengucapkan beberapa gurauan. Kalau saja Reno sama sekali tidak jadian dengan anak IPS itu mungkin aku sudah berpikir kalau Kevin jadian denganku hanya sebagai pelarian dari kenyataan bahwa ia menyukai sesama jenis-oh tunggu, bukannya kami belum resmi?
"Otak sial."
Berani bersumpah kalau saat ini Mei tengah mengulum sebuah cengiran di wajahnya mendengar umpatanku. Ah... kurasa hanya butuh waktu sampai akhirnya ia menyampaikan ide gilaku pada Kevin-dan setelah itu aku hanya perlu menyesali diri kenapa pernah menceritakan ideku itu pada Mei.
"...-kau melihat di mananya sampai berpikir aku suka sama Reno?"
Mengerjap sesaat dan kesadaranku kembali terkumpul saat sendok es di mulutku membentur lantai. Menimbulkan suara 'kling' khas bersamaan dengan memanasnya wajahku mendengar pertanyaan dari Kevin.
"Eto... aku sama sekali tidak mengerti dengan apa yang kau bicarakan. Ha... haha." Sedikit membungkuk untuk meraih sendok alumunium kecil yang kujatuhkan dan sebisa mungkin aku menghindari tatapan Kevin.
Kevin mengerinyet kesal. Bertopang dagu tanpa sekali pun menyentuh kopi hitam pesanannya dan mengirimiku tatapan sebal yang mirip dengan tatapan mengintrogasi Mei-tatapan di mana kau tak akan bisa terus berbohong.
"Anita, kau sama sekali bukan pembohong yang baik."
Aku memang bukan pria. Tapi dari sudut pandang mana pun aku tahu bahwa tak ada pria manapaun yang mau dituduh suka dengan sesama jenis apalagi itu oleh kekasihnya sendiri. Aku saja tidak akan suka bila candaan bahwa aku terlalu mesra dengan Mei dianggap serius oleh Kevin atau siapa pun juga.
"...hanya ide gila, jangan dianggap serius."
"Ide gila atau kau benar-benar cemburu pada Reno?"
Aku diam. Lihat. Padaku saja dia bersikap sangat dingin. Padahal tidak sampai satu jam yang lalu dia tersenyum seperti anak usia lima tahun yang dapat balon di hadapan Reno. Bagaimana pun juga orang awam pasti bisa mengerti dengan apa yang kupikirkan. Tentunya bila orang awam itu terbuka dengan hal-hal yang dianggap tabu oleh kebanyakan orang.
"Bisa kau katakan seperti it-" Kedua tanganku saling menumpuk. Tepat menahan agar bibir milikku tak dapat melanjutkan informasi yang lain yang kuyakini akan semakin memperjelas rasa tidak suka yang ditunjukkan oleh Kevin. "Kau tahu, kurasa kopi milikmu sudah dingin."
"Seperti aku perduli dengan kopi sial ini."
Apa itu maksudnya Kevin sudah sampai pada kemarahan maksimal? Tidak biasanya dia membalas sinis seperti ini. Biasanya hanya mengatakan 'oh' dan diam seolah tak ada apa pun yang terjadi. Bukan... menjawab ketus seperti ini.
"Umh... maaf?"
"Seperti dengan meminta maaf pemikiranmu itu bisa hilang."
Kevin mendengus pelan. Melepas kacamata miliknya dan memberiku akses lebih jelas untuk melihat kilatan apa saja yang ada dalam kristal kecoklatan miliknya.
"Tapi itu hal paling normal bukan? Mengingat Reno itu bisa dibilang yang paling menarik satu angkatan, kalau tidak salah kakak kelas ada yang mengincar dia juga." Berkedut? Apa itu hanya perasaanku saja atau sudut bibir Kevin berkedut seolah ingin tertawa atau mungkin tersenyum mengejek. Mungkin hanya perasaanku saja. Mengingat bagaimana Kevin memukul keningnya sendiri hingga mengeluarkan suara 'plak' cukup keras.
"Kau pasti bercanda kan, Anita?"
"Ah maaf, bisa aku meminta sendok yang baru." Seolah tidak perduli dan aku lebih memilih untuk brebicara dengan pelayan yang kebetulan melewati meja kami berdua. Memberi senyum saat pelayan tersebut mengangguk dan pergi untuk mengambil barang yang kuminta.
"Kau protes dengan sikap dinginku, dan lihat sekarang, siapa yang cuek." Lidah merah mudaku terjulur kecil. Sedikitnya menikmati bagaimana Kevin bersikap ekspresif hanya dengan ide gila yang sempat muncul dalam benakku. "Anita... bisa kau serius? Kau itu hanya serius di saat-saat yang tidak tepat. Sungguh."
"...kan aku hanya mengucapkan darimana aku berpikir seperti itu."
"Bagaimana kalau aku mengajakmu ke dokter dan meminta agar otakmu yang sudah dicuci itu diganti dengan otak yang jauh lebih wajar?"
Kau boleh tertawa. Cara kami bertengkar sama sekali tidak bisa dikatana sebagaimana pasangan normal bertengkar. Bisa dikatakan hanya menyerupai anak kecil yang saling melemparkan ejekkan dan gurauan. Walau sekali-kali akan ada yang sadar untuk meluruskan kembali pembicaraan dan masalah yang membuat kami saling melemparkan sindiran.
"Apa aku salah berpikir seperti itu?" Dua kubus gula masuk ke dalam cangkir kopi dingin milik Kevin. "Kau tahu, kurasa kau bisa penyakit gula bila meminum kopi itu nantinya."
"Tidak akan kuminum." Mubazir sekali. "Dan jawabannya, tentu saja salah. Aku masih normal utuk tidak memandang Reno lebih dari teman."
"Ta-..."
"Dan sebelum kau berpikir bahwa itu sebagai penolakkan pada apa yang kurasakan, maaf. Untuk saat ini aku masih menyukai perempuan dan perempuan itu kau. Terimakasih banyak." Satu kali mengerjap. Dua kali mengerjap. "Barusan aku bilang apa?"
"...kau suka pada Reno."
"Anita..."
Sebuah cengiran menghias wajahku. Mulai menikmati bagaimana Kevin mulai salah tingkah dengan apa yang baru saja dia katakan dan bagaimana aku memutarnya menjadi hal yang sangat salah.
***
There, ketemu yang happy ending
Pernah di post di sini
fictionpress