Diriku dan Audrey
“Audrey,” bibir tuaku gemetar berbisik memanggil namanya, tanganku yang keriput termakan usia bergoyang menyentuh sebuah foto usang seorang wanita cantik berrambut pirang dan bermata hijau berumur tiga puluhan penuh kerinduan, “Audrey.” Kini usiaku sudah 84 orang-orang yang kukenal sudah meninggalkanku, mataku menatap keluar jendela yang indah, “Audrey,” bisikku penuh kerinduan mengingat kenangan yang sudah berlalu.
Aku ingat saat dia berusia 10 tahun dan aku 22 tahun. Gadis cantik berrambut pirang dan bermata biru besar itu menatapku sambil berkacak pinggang, menantangku untuk melemparnya tinggi-tinggi dan menangkapnya kembali. Gadis tomboy itu selalu tersenyum tanpa beban, berlari kemanapun dia inginkan dan selalu mengotori pakaiannya. Saat kami tidak mengijinkannya ikut berburu atau mandi di danau, dia kan memeluk tubuhku erat-erat dan mengigit tanganku tidak ingin melepaskan diriku. Gadis itu putri dari sahabat karib ayahku yang dititipkan pada keluarga kami, ayah gadis itu pernah menolong selembar nyawa ayahku dari medan perang dan kami membesarkannya seperti saudara kami. Gadis kecil itu sering melompat kedepanku dan berkata, “Peluk aku,” dengan wajah manisnya dan penuh bintik kecil.
Aku ingat saat dia berusia 15 tahun dan aku 27 tahun.Gadis itu tiba-tiba menjadi ketakutan melihatku dan tidak berani mendekatiku, ada kalanya aku menyentuh bahunya maka wajahnya akan menjadi memerah dan segera lari bersembunyi beberapa hari di dalam kamar, aku tidak mengerti wanita. Suatu saat aku memenangkan lomba berkuda dan mengadakan pesta hingga mabuk dengan teman-teman dan dia membantu membawaku ke dalam kamarku, di antara mabukku, aku menatapnya di bawah bintang dan terpesona pada kecantikannya, aku mencuri sebuah ciuman dari bibirnya dan membuat dirinya kaku dengan kedua tangannya mengcengkram meja belajar kamarku yang kemudian berlari keluar.
Aku ingat saat dia berusia 18 tahun dan aku 30 tahun.Kami membuat acara pesta untuk perkenalan dirinya pada masyarakat luas, dia berdansa dengan semua orang dan pria-pria tampan muda lainnya, malam itu entah bagaimana kami berdua berada di atas balkon menyelinap keluar dari pesta yang berisik dan aku terkagum menatap gadis tomboy itu yang sudah menjadi seorang gadis cantik dengan lekuk tubuh yang mempesona, dia menatapku dengan mata hijaunya dan menyentuh dadaku, berbisik lirih, “Cium aku.”
Aku ingat saat dia berusia 19 tahun dan aku 31 tahun.Aku dikirim ke medan perang untuk memimpin pasukan memenuhi tanggung jawabku sebagai Baron, 4 tahun jauh dari rumah, 22 pertempuran dan 313 pucuk surat dari Audrey di medan perang, sebelah kaki kananku di bawah lutut hancur terkena ledakan dan kembali kerumah dengan harga diri yang hancur.
Aku ingat saat dia berusia 23 tahun dan aku 35 tahun.Setiap hari diriku hanya berteman minuman keras dan bersembunyi dalam kamarku, tidak sanggup melihat tatapan hina orang-orang pada kakiku yang hilang dan terus mengenang rekan-rekan yang meninggal di medan perang, mentalku hancur. Audrey, gadis sialan itu terus mengganggu hidupku setiap saat setiap detik, aku membencinya dan terus menolaknya. Suatu hari dia menangis menatapku bertanya mengapa aku tidak dapat membuka hatiku padanya, aku marah dan berteriak bahwa dia tidak mengerti kehidupanku dan penderitaanku. Dia bertanya apakah karena cacat kakiku? Dan Aku tidak menjawabnya, karena cacatku telah membuatku tidak dapat kemanapun juga, dengan mata penuh air mata dia mengambil sebuah pisau daging di atas mejaku dan menusuk kakinya dan berteriak, “Aku akan memberikan sebelah kakiku sama sepertimu jika itu bisa membuatmu membuka hatimu padaku.” Darah kental mengalir begitu merah dan gelap dari kakinya memenuhi ranjangku dan aku segera menahan gadis sinting itu. Saat itu aku berteriak kalap memanggil pelayan dan para dokter, serta memeluknya dan menangis bersamanya.
Aku tidak tahu apa yang sudah kuperbuat pada gadis yang begitu cantik dan selalu memberi perhatian padaku. Saat itu luka hatiku mulai berhenti mengucurkan darah dan perlahan-lahan menutup.
Aku ingat saat dia berusia 25 tahun dan aku 37 tahun.Kami menikah, kakiku sebelah menggunakan sebuah kayu tambahan berbentuk tongkat, aku melihatnya tersenyum begitu indah dalam pernikahan kami dan hidupku tidak akan pernah sama lagi. Aku memilikinya dan dia memilikiku seluruh jiwa dan raga ini. Setahun kemudian dia memberiku seorang putri yang paling manis yang membuat hidupku menjadi berarti, aku menatap matanya yang hijau dan menangis karena begitu menyayanginya.
Aku ingat saat dia berusia 48 tahun dan aku 60 tahun.Kami melihat anak-anak kami mulai meninggalkan kami, bersekolah dan mencari jalan hidup mereka masing-masing, tapi setiap malam aku selalu mendapatkan dirinya berada di sisiku sedang membaca buku di depan api penghangat, beberapa kali aku mendapatkan dirinya tertidur di atas kursi malas dan membangunkannya untuk sama-sama berjalan ke tempat tidur dan tidur sambil memegang tangannya. Aku percaya dan selalu percaya saat seluruh dunia berperang atau jatuh kedalam api neraka dirinya akan selalu ada disampingku.
Kini saat aku 84 tahun.Waktu sudah berlalu begitu lama meski terasa baru sekejap, aku melihat cucu-cucu kami dan mereka selalu membuatku teringat pada dirinya yang berumur 10 tahun melompat ke sana ke mari meminta pelukanku, semuanya terasa baru seperti kemarin. “Audrey, Audrey,” bisikku dengan mulut yang sudah kehilangan gigiku, sebuah tangan berkerut menyentuh punggung tanganku dan aku melihat seorang wanita tua berrambut putih namun memiliki mata hijau terindah dalam hidupku. Aku menatapnya hingga membuat mataku basah dan berkata dengan lirih memegang tangannya erat-erat, “Aku mencintaimu dan akan selalu mencintaimu, Audrey.”
***
For my little Audrey... Ratu dari pantai utara.. .