Hmm, cerita dari sudah agak lama, tapi nggak pernah ditunjukin ke siapa2
.... Kritik dan pendapatnya, kalau berkenan
***
“Kurasa aku akan pergi dari sini. Siang ini.”
Seusai makan, Tuan Muda-nya mengatakan hal yang tidak bisa dimengerti sama sekali oleh Albatross. Lebih tepatnya, sesuatu yang tidak pernah diprogram ke dalam A.I. Albatross.
“Apa maksud Tuan?” tanya Albatross.
“Pergi… Ya maksudku, pergi dari sini. Ke kota, ke desa, ke pulau di seberang lautan… Kemana saja, selama tidak di sini. Aku ingin tahu tentang dunia di luar sana.”
Albatross menunduk pelan, setelah merasa mendapatkan data yang cukup dari penjelasan Tuan Muda-nya.
“Kalau begitu, tolong siapkan segalanya. Pakaian, persediaan makanan, uang…”
“Kapan Tuan akan kembali?”
“Hah? Kau bercanda… Tentu saja aku takkan kembali.”
Saat itu, proses berpikir Albatross berhenti. Sekali lagi, ia menjumpai sesuatu yang tidak pernah diprogram dalam jaringan otak buatan-nya.
“Kenapa begitu, Tuan?”
“Sudah kubilang, aku ingin melihat dunia ini… Kau pikir, berapa lama yang dibutuhkan untuk mengelilingi dunia? Setahun? Dua tahun? Tentu saja tidak cukup. Aku ingin mengelilingi semua negara yang ada. Hutan, padang pasir, pantai, lautan… Segalanya yang cuma pernah kulihat di buku.”
Meski Tuan Muda-nya sudah menjelaskan panjang lebar, Albatross masih tidak bisa memproses informasi itu. Dalam program di kepalanya, ia harusnya melayani Tuan Muda di mansion keluarga, sampai akhir masa aktifnya.
“Aku mau ke ruang baca dulu. Tolong persiapkan segalanya ya, Al,” pemuda itu bangkit dari tempat duduknya, dan berjalan ke ruang sebelah. Albatross yang masih belum bisa mengerti dengan jelas kata-kata Tuan Muda-nya, akhirnya berjalan menuju ke arah berlawanan. Ia pergi ke lemari pakaian dan mengambil beberapa pakaian Tuan Muda-nya untuk dibawa.
Saat itulah, Albatross menemukan pakaian lama Tuan Muda-nya. Pakaian yang ukurannya jauh lebih mungil dari pada tubuh Albatross yang memang di desain ramping. Wujud pakaian itu saja sudah bisa menarik segala ingatan tentang masa lalu yang tersimpan di memori internal Albatross. Bagaimana pertama kali Tuan Muda bisa berjalan, bisa berbicara… Semua itu terekam dengan jelas, dari suara, rasa, dan bau saat itu.
Albatross terdiam. Meskipun dirinya terbentuk dari A.I., ia tetap bisa mengerti mengapa Tuan Muda-nya ingin pergi dari tempat ini. Sejak kecil, ia selalu berada di mansion yang terletak di tengah antah-berantah ini. Karena orang tuanya meninggal ketika berumur enam tahun, ia selalu kelihatan kesepian. Tidak aneh kalau ia penasaran dengan apa yang terjadi di luar sana. Namun, Albatross tidak menyangka Tuan Mudanya akan pergi begitu saja.
“Ini pakaianmu, Tuan,” kata Albatross datar, sambil menyerahkan sebuah tas kepada Tuan Muda-nya yang masih duduk di ruang baca.
“A-Al, kenapa kau taruh di sini—”
“Permisi.”
Tanpa mendengarkan keluhan Tuan Muda-nya, Albatross berlalu. Ketika ia selesai membereskan meja makan dan sampai di dapur, ia baru mempertanyakan tingkah lakunya sendiri. Kenapa ia melakukan itu? Kenapa ia begitu dingin terhadap Tuan Muda-nya sendiri? Kali ini Albatross tidak menghiraukan ‘perasaannya’ sendiri, dan mulai mencuci piring.
Orang tua Tuan Muda-nya adalah pemilik satu-satunya dari Albatross. Ia dibeli langsung dari pabrik, dan diprogram untuk menjaga rumah ini sampai akhir hayatnya. Selama ini, Albatross selalu bisa menjalankan semua tugasnya dengan baik. Tentu saja, ia tidak berniat berhenti. Aku akan terus berada di sini, Albatross mengiyakan pikirannya sendiri.
Tapi… Tanpa Tuan Muda...
Tangan Albatross berhenti bergerak. Piring di tangannya yang masih berlumur sabun tidak selesai dibilasnya. Pikirannya berhenti ketika ia menyadari ia akan sendirian dalam sisa masa aktifnya. Tetapi bukan karena ia takut kesepian. Bukan karena ia akan kerepotan menangani rumah ini sendirian. Bukan karena ia akan melewati malam dan pagi hari yang sunyi.
Tuan Muda….
Albatross dengan buru-buru menyelesaikan cuci piring, dan kembali mempersiapkan perlengkapan pergi Tuan Muda-nya. Setelah semuanya ia persiapkan, Albatross membawa barang-barang itu ke ruang tengah, di mana pemuda itu sudah berpakaian lengkap.
“Ini barang-barangmu, Tuan Muda.”
“Oh, terima kasih. Aku sudah mengeluarkan mobil. Tolong tutup gerbang garasinya.”
“Baik…” Albatross berbalik dan berjalan menuju garasi, sebelum Tuan Muda-nya menghentikannya.
“Al, kenapa kau masih mengenakan seragam maid itu?”
“Apa maksud Tuan? Saya harus selalu berpakaian seperti ini di dalam rumah.”
“Iya… Tapi kita kan akan pergi. Lebih baik kau pakai pakaian yang lebih normal…”
Untuk kesekian kalinya pada hari ini, proses berpikir Albatross berhenti. Kata-kata Tuan Muda-nya yang tidak bisa ia proses itu, seakan menembus puluhan firewall yang melindungi prosesor dalam otak buatannya.
“Ki…ta?”
“Kau pikir aku akan pergi sendirian?”
“Tapi, bagaimana… Bagaimana dengan rumah?”
“Aku tidak begitu peduli… Biar saja seperti ini. Hitung-hitung kita beramal untuk para perampok yang akan datang.”
“Tapi, bagaimana dengan cucian yang masih menumpuk…?”
“Haah… Tidak perlu memikirkan hal sepele seperti itu. Pergi saja denganku.”
Dalam A.I. Albatross terjadi pergulatan yang luar biasa. Program yang terpatri di otaknya adalah ‘Jaga keluarga dan rumah ini hingga akhir masa aktif’. Namun, kata-kata Tuan Muda-nya—yang diprogram agar selalu dipatuhi oleh Albatross—berkata ‘pergi saja denganku’. Albatross berdiri diam di tengah ruangan.
“Hei, Al.”
“Ya?” panggilan Tuan Muda-nya, kembali menggerakkan proses otak Albatross.
“…Kau berpikir, aku akan meninggalkanmu disini, sendirian?”
“Tentu saja. Adalah tanggung jawab saya untuk selalu menjaga rumah ini.”
“Namun bukankah tanggung jawabmu juga, untuk selalu menjagaku?”
Albatross terdiam, tidak bisa membalas.
“…Dan adalah tanggung jawabku juga untuk selalu menjagamu, Al,”
“Tuan Muda…”
“M-maksuku, urusan maintenance-mu… Kau tidak akan bisa menyelesaikannya sendiri, kan?”
Albatross masih belum bisa memberikan jawaban yang jelas.
“Mulai hari ini, ‘rumah’-mu bukan disini… Rumahmu adalah seluruh dunia ini. Atapmu adalah langit biru. Halamanmu adalah hutan dan lautan yang terbentang seberang sana. Itu adalah rumahmu… dan rumahku juga.”
Perlahan, pikiran Albatross mulai berjalan lagi.
“Tetap bersamaku, ya?”
Pemuda itu tersenyum tipis—sebuah pemandangan yang sangat langka, yang sangat jarang disaksikan oleh Albatross. Pemandangan yang baginya—adalah pemandangan yang lebih indah dari apapun juga.
Mengikuti program dalam A.I.-nya—Albatross tersenyum, menanggapi senyum Tuan Mudanya, “Baik, Tuan Muda.”
“Bagus! Sekarang ganti pakaian itu… Kalau orang kota melihatmu mengenakan seragam itu, aku tidak tahu apa yang akan mereka pikirkan.”
“Tapi, pakaian yang saya miliki hanya ini.”
“Hmm… Benar juga. Kalau begitu, ambil saja pakaian Ibu. Kan sudah tidak ada yang pakai.”
“Apa tidak apa-apa?”
“Tidak apa-apa. Ambil saja yang banyak, untuk perlengkapan di jalan. Meski nanti kita bisa beli lagi, sih…”
Setelah mendapatkan konfirmasi dari Tuan Muda-nya, Albatross naik ke lantai dua, kamar Tuan dan Nyonya-nya. Disana, ia memasukkan beberapa pakaian ke dalam tas, kemudian melepas seragam maid-nya, menggantinya dengan sebuah sweater abu-abu dan rok biru panjang. Kemudian, Albatross kembali turun dan menuju ke halaman rumah, tempat Tuan Muda-nya menunggu.
“Nah, kalau begitu, kau kelihatan normal… Manusiawi. Oh, ya. Kau juga tidak perlu memanggilku ‘Tuan Muda’ lagi.”
“Eh? Kenapa?”
“Kau sudah bukan pelayanku lagi. Kau adalah rekan seperjalananku. Posisi kita setara.”
“Tapi…”
“Panggil aku ‘Joshua’.”
Sekarang ini, entah bagaimana otak Albatross sepertinya sudah terbiasa dengan perintah-perintah yang tidak ia mengerti. Ia memproses perintah itu sebisa mungkin, kemudian langsung mengganti ingatan yang lama, dengan perintah yang baru.
“Baik, Joshua.”
Tuan Muda Joshua kembali tersenyum mendengarnya.
“Ayo, cepat masuk!”
Albatross terdiam sejenak, memandang mansion megah di belakangnya. Kemudian, ia memasuki mobil. Bersama Joshua, Albatross pergi menuju rumah barunya—alam semesta.
***