alhamdulillah cerpen ini terbit di
Aceh Kita (11/03/2012)
ANISSA meraung-raung dari dalam kamar. Dia dirasuki jin. Kelopak matanya menghitam. Suaranya menjadi berat seperti lelaki. Sementara rambutnya acak tak karuan. Orang pintar sewilayah Kutaraja sudah dipanggil. Tidak ada reaksi. Bahkan salah satu dari mereka harus masuk rumah sakit karena tiba-tiba epilepsi.
Satu minggu berlalu. Jin itu tetap tidak mau keluar. Entah karena satu permintaannya yang tidak dipenuhi.
“Aku mau meuseukat,” kata Jin.
***
Ditemani secangkir kopi yang masih mengepul, Cek Bad sedari tadi khusyuk memilih-milih ikon di komputer tabletnya. Tap, Cek Bad mengetuk gambar bola dunia di permukaan tablet yang memang memiliki fasilitas layar sentuh. Dan kini benda persegi panjang itu pun membawanya berselancar di dunia maya mencari informasi.
Cek Bad tiba di situs sebuah koran. Koran pada tahun ini tidak ada lagi yang dicetak menggunakan kertas. Sebuah organisasi lingkungan hidup berhasil membujuk pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan anti perambahan hutan. Jadi segala yang menggunakan bahan baku kayu (termasuk kertas) dialihkan ke dalam bentuk yang lebih ramah lingkungan.
Cek Bad menyesap kopinya hingga tandas. Dia telah menemukan yang dicari. Layar tablet kini menampilkan sebuah toko kue bernama Le Kutaradja Bakery (LKB). Dia beranjak bangkit dari kursi. Dengan setengah berlari dia masuk ke dalam rumah. Tabletnya yang masih menyala ditinggal begitu saja di atas meja. Menampilkan koran yang baru saja dia baca: Koran Kutaradja – 15 Januari 2032.
***
Jam menunjukkan pukul 06.15 WIB. Dek Mun kesal bukan kepalang. Sudah tidak bisa tidur malam gara-gara raungan non-stop Annisa, tidur paginya kembali diganggu oleh gedoran Cek Bad dari balik pintu kamar.
“Mun, mun, mun!” Cek Bad memanggil dari balik pintu. Sementara itu tangannya terus menggedor pintu.
“Apa?” terdengar sebuah jawaban singkat yang penuh kantuk.
“Keluar dulu. Ada yang ayah mau bilang.” Tangan Cek Bad sekarang sibuk menaikkan kain sarung yang tadi sempat melorot.
Tiga puluh detik berlalu. Yang ditunggu tidak keluar juga. Tanpa sungkan, Cek Bad kembali melanjutkan gedoran.
”Ada apa, sih?” Dek Mun tiba-tiba membuka pintu. Raut wajahnya tidak karuan. Gabungan antara rasa kantuk dan marah.
“Pak Cikmu sudah pulang.”
“Terus?!” Dek Mun menimpali dengan garang. Tidak mengerti apa maksud Cek Bad membangunkannya.
Cek Bad pun menjelaskan. Sekarang sudah genap sepuluh hari jin merasuki tubuh Annisa. Tidak ada cara lain selain memenuhi permintaan si jin yang aneh: meuseukat. Karena Pak Cik Juki sudah pulang ke rumahnya setelah semalaman menjaga Annisa, terpaksalah Dek Mun yang disuruh pergi membeli.
“Meuseukap? Apa itu meuseukap?” Dek Mun mengucek-ngucek matanya, berpikir mungkin dia sedang bermimpi. Ayahnya mengatakan sesuatu yang begitu asing di telinga.
“Bukan meuseukap! Tapi meuseukat! Pakai ‘T’!” Cek Bad menaikkan suaranya. Dia tidak menyangka Dek Mun bisa sebodoh ini. “Kamu gimana, sih? Itu lho, kue yang seperti dodol. Warnanya…….”
“Hah?!” Dek Mun memotong. Di kepalanya tidak ada gambaran sama sekali.
“Alahai! Yang dulu kamu makan waktu kecil di rumah nenek. Kamu ingat?”
“Udah, udah, udah. Mun lupa!” jawab Dek Mun sambil mengambil handuk yang tergantung di pintu. “Terus kenapa pakai beli langsung ke toko? Kan bisa di-video call! Jaman udah secanggih ini, masih mau repot-repot!” mata Dek Mun melotot.
“Iya, tadi ayah udah hubungi langsung. Tapi mereka gak tahu meuseukat.” Cek Bad menggaruk-garuk kepalanya. “Kalau ada resep mereka bisa buat. Tapi bunda kamu juga gak tahu caranya. Jadi sekarang kamu pergi dulu ke tempat nenek tanya resepnya!”
“Meuseukap,” kata Dek Mun pelan sambil berlalu ke kamar mandi. “Betul-betul kue yang kuno.” Dia tidak menyangka bahkan toko kue internasional seperti LKB saja tidak tahu kue itu.
“Meuseukat hai!” terdengar teriakan Cek Bad dari atas tangga.
***
Trotoar Jalan Tgk. Daud Beureueh dipenuhi oleh pejalan kaki yang baru turun dari trem. Kereta listrik tengah kota itu berhenti di Halte-A yang berada tepat di seberang kantor DPRA, menurunkan penumpangnya yang mayoritas pekerja kantor. Puluhan pesepeda berdasi juga terlihat memasuki deretan gedung yang berada di sepanjang jalan. Jalanan kini tidak sesak lagi oleh kenderaan pribadi semenjak pemerintah memberlakukan sistem ‘genap-ganjil’ dan pajak tinggi bagi pembelian kenderaan. Terlebih jasa angkutan umum sudah semakin bagus kualitasnya.
Dek Mun memacu skuter listriknya dengan kencang. Dia baru saja selesai menemui neneknya di Tungkop. Nek Limah memang masih kuat berjalan, walau dibantu tongkat. Tapi ingatannya mulai pikun. Dia tinggal bersama Cek Lina, adik dari Cek Bad yang baru pulang dari Amerika setelah tinggal di sana selama tiga puluh tahun.
Salinan resep kini telah berada di dalam tablet milik Dek Mun. Resep yang mati-matian digali dari ingatan Nek Limah yang lemah. Cek Lina juga bukannya membantu.
“What? Meuseukat. Aduh Dek Mun, come on! Jaman sekarang masih makan yang begituan?!” Entah benar-benar lupa atau sengaja dilupakan. Yang jelas Cek Lina memang tidak suka hal-hal yang berbau lokal.
Skuter Dek Mun sampai di Bundaran Simpang Lima, membelok ke kanan menuju Jalan Teuku Panglima Polem. Dia memperlambat kecepatan dan berhenti tepat di sebuah toko kue berlantai tiga: Le Kutaradja Bakery.
***
Di kamar. Cek Bad dan Yanti, istri mudanya, duduk mengapit Annisa yang mulai kumat. Keringat mengalir dari dahi mereka menahan tubuh kurus Annisa yang meronta-ronta. Tenaganya cukup kuat. Mungkin karena bercampur dengan energi dari jin.
“Aduh, Dek Mun ke mana, sih?” Yanti mendengus kesal. Tangannya sudah pegal menahan Annisa.
“Sabar, dek. Untuk membuat meuseukat memang memerlukan waktu lama. Setidaknya empat jam lah.” Cek Bad menjawab dengan nafas ngos-ngosan. “Sudah tiga jam dia pergi. Berarti satu jam lagi lah kira-kira.”
Satu jam kemudian, Dek Mun pun datang. Semua orang tersenyum, kecuali Annisa yang matanya masih melotot. Tanpa menunggu komando, Dek Mun dengan percaya diri segera menyuapi Annisa dengan sepotong meuseukat bawaannya. Ruangan hening. Semuanya harap-harap cemas menunggu reaksi yang terjadi.
Annisa berhenti meronta. Matanya melirik ke kiri dan ke kanan, tepat ke arah Cek Bad dan Yanti. Yang dilirik pun tersenyum kaku. Tidak mengerti maksud dari lirikan itu.
“Arrggghhh!!” Annisa menjerit sejadi-jadinya. Dia menepis tangan Cek Bad dan Yanti. Tidak hanya itu, Annisa juga menyepak Dek Mun yang memang berada tepat di depannya.
“Ah, ada apa ini? Mengapa kau tidak juga mau keluar?!” Cek Bad kembali memegang Annisa, kali ini dengan kedua tangannya. “Kami kan sudah penuhi pesananmu. Meuseukat!”
“Arrggghhh!” Annisa meraung-raung tak karuan. “Ini halua, bangai!!!”
Sepertinya jin itu tidak akan keluar hari ini. []
Muhammad Haekal
Mahasiswa IAIN Ar-Raniry Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Alumnus Seuramoe Teumuleh
Link Cerpen Aceh Kita