Tentang aku dan duniaku. Yang putih
dan bersih, yang indah tanpa gejolak yang terlalu mengejutkan, dengan riak
kecil yang tenang dan lambat. Duniaku indah. Duniaku penuh cinta. Duniaku cukup
lurus dengan tujuan yang jelas. Duniaku yang damai…
Duniaku dan dunianya kini menyatu. Dia
yang juga terlihat begitu putih dan indah di mataku. Duniaku bersamanya adalah
sepenuhnya dirinya. Dia adalah duniaku. Aku penuh olehnya. Sosok indah yang
kucinta. Sosok manusia sempurna impianku. Sosok di mana ketegasan dan
kelembutannya padu tanpa ada unsur yang terkesan memaksa. Apa saja untuknya aku
rela. Karena duniaku adalah dia.
Aku mengenal berbagai macam orang, namun
yang ku tahu hanya ada dua jenis manusia di bumi ini, hanya ada hitam dan
putih. Jadi bila aku tak bisa jadi putih, itu artinya aku jenis manusia hitam,
dan yang aku tahu aku tak mau masuk dalam jenis itu. Aku pemuja malaikat dan
hal-hal suci lainnya, aku mencintai Tuhan dan aku ingin bersih sepertiNya. Kuusahakan
diriku tidak bernoda, kututup rapat diriku dari segala perkara yang
memungkinkanku untuk menjadi hitam.
Dan dia datang, masuk dalam
hidupku. Dia yang putih dan sempurna. Kami bersama begitu lama, kami berbagi
segalanya. Rasa sayang dan cinta ini tulus adanya. Sama sekali bukan karena
kesempurnaannya, bukan pula ibarat balas budi atas kebaikannya, sama sekali
bukan. Aku masih saja tetap mencintainya bahkan ketika ia menunjukkan bahwa
terkadang ia tak selalu putih. Aku tetap bertahan dalam diam bersamanya meski
sesekali ia bukan lagi putih atau bahkan hitam. Ketika ia mulai jadi abu-abu,
rasaku sama sekali tak ada ubahnya.
Dari awal, sama sekali tak ada
alasanku mencintainya. Ya, dia datang dengan semua kriteria lelaki idaman yang
kuimpikan, tapi sama sekali aku tidak pernah mencintainya atas dasar itu. Jadi ketika
ia sudah berubah menjadi seseorang yang tak lagi kukenal, seseorang yang bukan
seperti yang aku harapkan, apakah aku harus protes? Mestikah aku
meninggalkannya? Yang aku cintai dia, dirinya, dan memang dia saja. Bukan sikap
manisnya. Bukan perhatian dan kelembutannya. Bukan kehadirannya yang selalu
ada. Bukan kecerdasan berhitungnya. Bukan pula kepiawaiannya bermain bola. Seingatku
bukan. Mencintai itu bukanlah sesuatu yang memerlukan alasan. Jadi apakah untuk
mempertahankannya aku membutuhkan alasan?
Tapi tetap saja semuanya terkadang,
dan lebih sering, jadi menyakitkan. Aku letih tapi tak mau berhenti. Yang kuyakini
hanya satu, yang sekarang ini bukan dia. Dia adalah sosok putih yang sempurna,
bukan lelaki kasar dan abu-abu yang terkadang dapat memakiku tanpa alasan, dan
sedetik kemudian merengkuhku lembut dalam pelukannya dengan bisikan pedih
permintaan maaf.
Ini sama sekali bukan dia. Itu yang
aku tahu dan itu yang aku percayai. Itu juga yang aku harapkan. Dia sudah
terlanjur jadi duniaku. Aku telah hidup untuk selalu berjalan mengelilinginya
dan ada di sekitarnya. Tanpa dia aku hampa. Mencintai yang terlalu dalam
mungkin benar suatu kebodohan, tapi toh aku tetap menikmatinya.
Masih terus berusaha bertahan meski
kini ia sudah jadi abu-abu kehitaman. Setelah penghianatan itu, setelah
caci-maki itu. Setelah air mata yang begitu banyak tertumpah. Setelah fisikku
yang ikut jadi lemah karenanya. Aku terus bertahan dengannya. Aku yang paling
mengenal dia, bukan kalian! Semua orang bisa berbuat salah jadi kenapa dia tak
boleh lagi kuberi kesempatan?! Dia juga manusia. Aku menyayanginya, sungguh. Sangat
menyayanginya.
Tapi hati tak mau diajak kompromi. Meski
dalam pikiran dan akalku meminta untuk tetap tenang saja, aku tak juga bisa
tinggal diam di rumah. Lepas tengah malam aku pergi menyusuri jalanan kota,
yang ternyata tak pernah mati. Saat siang dan sore seperti biasa aku melintasi
tempat ini, yang berkumpul adalah mereka yang berpeluh menjajakan dagangannya,
mereka yang mengklakson kendaraan di depannya, mereka dengan seragamnya
masing-masing. Semua yang kulihat sebagai kegiatan halal dan putih.
Namun tidak untuk malam ini. Malam ini
jalanan penuh dengan mereka yang berdandan begitu rupa, mereka dengan tubuh
seksi dibalut gaun malam yang indah. Mereka yang turun dari mobilnya dengan
perut buncit dan menggoda gadis-gadis manis dalam balutan busana mini. Di sudut
jalan tempat para remaja biasanya bercanda tawa kini dipenuhi lelaki yang
mengutuki Tuhannya, mereka yang berusaha mengganti takdirnya sendiri dan
berusaha menjadi wanita. Jelas buatku, mereka adalah golongan manusia hitam.
Aku telah menjadi begitu bodoh,
sehingga dengan segala macam siulan dan godaan sekalipun juga tak membuatku
jera. Aku ingin menikmati angin malam ini, jadi aku tak mau tahu apa-apa. Kalau
aku tidak mengganggu, maka seharusnya aku pun tak akan mungkin diganggu, kan? Seharusnya
begitu. Seharusnya. Tapi ternyata aku salah.
Sebuah tangan gendut dan berbulu
menggamit lenganku dari belakang. Wajahnya penuh nafsu dan ia menyeringai
menakutkan. Aku berusaha tenang dan memintanya melepasku, tapi selanjutnya yang
dia katakan sungguh keterlaluan sehingga aku menamparnya.
“Hei kau pelacur sok jual mahal!”
Dia berusaha menyerangku balik, dan
aku sungguh tak pernah terpikir bisa jadi begini. Seharusnya aku yang marah,
jadi aku tidak menghindar. Kegaduhan terjadi ketika akhirnya lelaki kurang ajar
itu terus berusaha memukuliku sambil berteriak memaki dan aku melepaskan
sepatuku untuk memukul keras kepalanya. Biar mati dia! Biar tahu rasa! Dan
seorang dari gadis golongan manusia hitam itu berlari menarikku pergi. Aku yang
sudah terlanjur dipukul dekat bibirku, aku yang meringis sakit dan menangis. Dengan
lembut dia mengajakku ke trotoar, duduk dekat dengannya. Aku risih, sejujurnya.
Tapi setidaknya sekarang si lelaki kurang ajar itu sudah tidak berniat lagi
mendekatiku. Dia beranjak pergi melihatku bersama gadis hitam ini.
Si gadis hitam itu tersenyum dan
memberiku minum, aku menatapnya curiga, dan ia mulai tertawa kecil, “Sama
sekali tidak ada apapun di dalam air itu kecuali keinginanku menolongmu,”
suaranya begitu lembut dan tidak terdengar sebagai kebohongan. Hal baru yang
mengagetkanku, bahwa ternyata golongan hitam pun masih juga bisa berbuat baik
dan punya hati yang murni.
Ketika aku pulang aku justru jadi
semakin kacau. Bolehkah aku menggolongkan gadis yang tadinya kupikir hitam itu
menjadi abu-abu juga? Dia lebih seperti putih ketimbang abu-abu. Tapi entah
mengapa aku lebih suka menganggapnya merah kali ini. Dari gaunnya yang merah,
dari lipstick tebal miliknya… tapi bukankah di dunia ini hanya ada hitam dan
putih saja? Dan abu-abu seperti dia yang kucinta. Lalu di manakah harus
kuletakkan merah?
Hari ini
duniaku serasa hancur berkeping-keping. Hancur dan tak tertahankan lagi. Aku ingin
bercerita tapi pada siapa? Aku punya siapa lagi selain duniaku itu?!
Duniaku
membuangku. Duniaku meninggalkanku dengan cara yang kejam. Meninggalkanku hanya
karena aku tak mau menjadi hitam. Membuang dan mencampakkanku karena aku tak
bisa memberi apa yang begitu dia inginkan. Aku ditinggalkan. Di mana aku harus
tinggal bila duniaku sendiri tak lagi sudi menjadi duniaku?!
Malam itu,
aku duduk di teras rumah di kampung halamanku. Di sini semua berbeda, aku jauh
darinya, aku tak perlu menangis bila melihat hal apa saja pun yang
memungkinkanku untuk menangis mengingatnya. Tapi tidak menangis lagi sama
sekali juga terasa begitu menyiksa.
“Cantika..”
suara lembut mama menyadarkan lamunanku.
“Ya,
Ma?” aku memaksa mulutku melengkungkan sebuah senyuman.
“Cantika,
kalau dia memang untukmu dia pasti akan kembali. Tapi tidak sekarang, tidak
saat ini, karena kamu berhak mendapatkan yang lebih… jika memang sekalipun
harus dia, mesti dia yang lebih baik dari ini. Mama nggak akan mengizinkan anak
Mama ini hidup hanya untuk disakiti laki-laki. Mama melahirkan Tika untuk hal
yang jauh lebih indah dari semua itu. Dia baru pacarmu, Tik… dan dia sudah
seperti ini. Bagaimana lagi kalau dia menjadi suamimu nanti?” mama menyibakkan
anak rambut dari pipiku.
“Dia bukan sekedar pacarku tapi dia duniaku,
Ma,” hatiku lirih berbisik. Tapi itu sama sekali bukan kalimat yang tepat
untuk diutarakan pada mama saat ini, jadi kuucapkan kalimat klise lain untuk
menenangkan mama. “Iya, Ma,” aku kembali tersenyum.
Hari-hariku
di rumah kujadikan kesempatan untuk menyibukkan diriku sendiri. Sebisa mungkin
aku menjauhkan diri dari telepon genggam, dan sekuat tenaga aku berusaha tidak
membalas permintaan maafnya. Memang bukan sepenuhnya keinginanku meski kadang
seperti itu, cuma rasanya aku lebih suka mengatakan ini adalah atas permintaan
mama.
Aku sibuk
mengurusi ketiga adikku yang sudah mulai kembali bersekolah, sibuk meladeni
pertanyaan konyol mereka, sibuk membereskan rumah, sibuk merawat tubuhku
sendiri, sibuk membaca buku dan pergi ke sana ke mari. Aku berusaha sibuk
dengan sejuta macam cara hanya untuk sekedar menjauhi bayangannya. Walau tetap
saja setiap hal yang kulakukan membangunkan ingatanku akan dirinya.
Malam
datang lagi sejak lebih sebulan duniaku kacau balau. Aku, mama, dan papa duduk
di teras menatap bintang. Dari semua yang ada di jagad raya ini, yang paling
aku sukai adalah bintang. Dan kalau ada yang masih bisa aku syukuri mungkin
adalah karena Tuhan menciptakan semesta ini begitu indah.
Indah? Aku terhenyak dari pikiranku
sendiri.
“Cantika…” itu suara papa.
“Iya, Pa?” aku menoleh pada papa
yang matanya masih menatap langit dan segala bintang.
“Jadi kalian sudah benar-benar
putus, ya?”
“Udah lama lagi, Pa!” jawabku
terkekeh geli.
Seketika papa bangkit berdiri. Aku mulai
cemas dengan apa yang mungkin papa lakukan selanjutnya. Dia dan duniaku itu
sudah sangat akrab sebelumnya. Dan duniaku menghancurkan semua kepercayaan papa.
Bahkan meski papa sudah mulai tua dan sakit-sakitan, kalau demi puterinya papa
masih sangat mungkin untuk…
“Putus lagi cintaku… putus lagi
jalinan kasihkuu…” papa berjoget dangdut dan bernyanyi. Sama sekali jauh
berbeda dari dugaanku.
Papa terus bernyanyi sementara mama
jadi ikut menambahi “Auuw” dan semacamnya, seperti, “Asyik”, atau, “Tarik,
Mang!” di penghujung tiap jeda lagu papa. Sementara aku hanya terngaga
menghadapi kenyataan ini. Kenyataan bahwa keluargaku bisa jadi sangat gila, dan
kontan tertawa terlambat ketika duet maut orangtuaku itu selesai.
Papa dan mama ikut tertawa
bersamaku. Tawa kami begitu kuat dan aku sampai sakit perut karenanya. Membuat adik-adikku
berlari ke teras dan ikut tertawa tanpa mengerti apa yang harus ditertawakan. Mama
segera mengomel menyuruh mereka kembali tidur sementara mereka mulai menawarkan
untuk bernegosiasi. Aku masih tetap tertawa menikmati detik-detik konyol dan
bodoh ini.
Untuk pertama kalinya aku berhasil
tertawa lepas setelah begitu lama tawaku palsu tidak bermkna. Dan tawa itu
seketika juga berubah jadi tangis saat aku menyadari semuanya. Ya Tuhan…
kenapa? Kenapa aku sampai bisa lupa bahwa aku punya mereka? Kenapa aku bisa
terlalu buta untuk melihat bahwa masih ada banyak cinta untukku selain dari
Yoga, duniaku yang sempit dan menyedihkan? Bagaimana bisa aku terus jadi
parasit yang tak pernah merasakan cinta yang begitu besar, ketika aku begitu
haus akan cinta dan kasih sayang?
Dan semakin aku menyadarinya, aku
mulai menyesalinya, ketika aku mulai menyesalinya, aku berganti jadi mengutuk
Yoga, yang telah membuatku terkurung dalam sempitnya pemikiran manusia fana,
semakin aku mengutuk Yoga, aku jadi ikut menyalahkan diriku sendiri karena aku
terlalu mencintainya selama ini…
Aku mau berubah. Aku mau bangkit. Aku
masih punya keluarga yang luar biasa. Aku punya banyak teman di luar sana yang
belum juga kukenal sifatnya, semua karena ketertutupanku dan waktuku yang
sepenuhnya hanya untuk Yoga dulu. Padahal banyak yang bilang bersedia menampung
sedihku tapi aku tak peduli…
Setelah tiga bulan kini aku kembali
ke kota ini. Kota di mana sebelumnya aku bertemu dengan Yoga. Kota di mana
begitu banyak kenangan terukir bersamanya. Bukan kuhindari, sebaliknya
kuhadapi. Kudatangi tempat-tempat penuh kenangan dengannya. Taman hiburan,
tempat-tempat makan, lapangan olahraga, jalan setapak, dan rumah mungil milik
kami, kosanku tercinta.
Semuanya masih sama, semuanya belum
berubah. Memang banyak perkembangan di sepanjang jalan, ada banyak debu di
kosan, tapi secara garis besar semuanya masih sama. Kecuali perasaan ini yang
kini begitu haru melihat semua yang dulu biasa-biasa saja. Kecuali kehadiranku
di sini yang kini hanya seorang diri tanpa Yoga.
Aku memandangi barisan foto-fotoku
bersama Yoga yang terpajang rapi di dinding kamarku, ketika kudengar suara itu
memanggilku…
“Cantika…” dan ia menangis memintaku
kembali. Aku juga ingin menangis tapi tentu saja tidak untuk saat ini.
“Yoga, aku mencintaimu dengan
membabi buta. Sama sekali tidak ada ruang untukmu bahkan untuk diriku sendiri
buat bernafas. Dan aku ingin bernafas lega, Yoga… aku tidak bisa kembali padamu
saat ini, karena aku sadar duniaku bukan hanya kamu. Duniaku adalah milikku
sendiri, duniaku bukanlah bola hitam-putih milikmu. Aku mau mengisinya dengan
banyak warna dan cerita, Yoga… bersama semuanya, mama, papa, adik-adik,
teman-teman dan semua yang menyayangiku. Tapi jelas saat ini bukan lagi
milikmu, Yoga… selamat tinggal…”
Dan ya, dia akhirnya berlalu dengan
berat. Aku hanya menatap punggungnya yang menjauh dengan air mata dan isak
tangis yang tertahan. Hidupku harus terus berlanjut, bahkan tanpamu…