Kunang- Kunang Kenangan
Oleh Vera Astanti
Seorang anak laki-laki berumur tujuh tahun sedang asyik bersenda gurau dengan ayahnya. Rino nama anak itu. Dan Ricky ayahnya yang masih berusia di tiga puluhan.
“Ayah, hewan apa yang yang paling kuat?” tanya Rino di pangkuan Ricky.
“Tentu saja singa Si Raja Hutan. Aaauum…” jawab Ricky dengan menggilitiki pinggang Rino.
Rino terkikik, dia turun dari pangkuan Rickiy dan lari menuju teras. Ricky memang suka menggoda anaknya. Karena dulu dia tidak pernah bisa bersenda gurau bebas dengan ayahnya. Disebabkan ayahnya yang lumpuh. Dan menggunakan kursi roda. Jadi Ricky tahu bahwa dia tak bias bermanja-manja dengan ayahnya dengan bebas.
“Rino, sini. Singanya mau makan kamu. Auuum...” seru Ricky. Mimik wajahnya menirukan singa. Dia berjalan pelan – pelan menggoda Rino. Kedua tangannya terangkat ke depan seperti hendak menerkam Rino.
“Nggak mau.” Teriak Rino melihat ayahnya yang berpura-pura hendak memakannya.
Sesuatu berwarna kuning menghampiri Rino. Tawa Rino terhenti. Dia tertegun. Sesuatu yang terbang melewatinya. Mata Rino terus menatap lekap benda yang terbang di sekitarnya.
“Ah, kunang-kunang...” gumam Ricky di belakang punggung Rino. Dia tersenyum rindu.
“Namanya kunang-kunang Yah?” tanya Rino berbalik menghadap ayahnya.
“Iya kunang-kunang.” Ricky menatap insten mata Rino dan tersenyum. Diusap-usapnya kepala Rino.
“Ayo kita tangkap Yah. Biar jadi hewan peliharaan Rino.” Bujuk Rino pada Ricky.
Ricky tidak menjawab. Ricky berjalan menuju saklar lampu. Dimatikan semua lampu. Rino tidak mengerti apa maksud ayahnya. Kemudian pandangannya bertumpu pada sekelompok kunang-kunang yang berkumpul di bawah pohon mangga milik kakeknya.
“Waah, Ayah, lihat di depan rumah kita. Banyak sekali kunang-kunangnya." teriak Rino senang. Dia berlari mendekati kumpulan itu. Senyum Rino terus tersungging di bibirnya. Agaknya kehadiran kunang-kunang adalah hal yang menakjubkan buat dirinya.
Ricky duduk di teras melihat kegembiraan anak semata wayangnya itu. Dia tak menyangka akan melihat kunang-kunang lagi. Seberkas ingatan masa lalu terngiang di dalam kepalanya. Kunang-kunang.
“Kunang-kunang. Kau tak akan bisa mengalahkan dia Rick, walau kau memiliki sejuta warna di tanganmu.”desis ayahnya lirih yang terbaring di kasur.
“Maksud Ayah?”
“Suatu saat kau akan mengerti keindahan kunang-kunang.”
“Ia hanyalah hewan yang bersinar Ayah.” Ricky tersenyum.
“Sesaat kau bisa menilai seluruh dunia dan isinya, Rick. Dengan nilai variatif. Tetapi semuanya adalah spekulasi. Hukum rimbalah yang akan menentukan segalanya.” Nasihat seorang laki-laki berumur di hadapan Ricky yang ingin menempuh pendidikan di Jakarta.
“Aku semakin tidak mengerti Ayah. Tetapi aku ingin mengejar impianku Ayah. Aku benci kata menyerah. Apapun resikonya aku akan menempuhnya, Ayah. Kumohon, berikanlah restumu.”
Ayah Ricky melihat kesungguhan yang terus terpancar dari kedua bola mata putranya. Keinginan untuk menjadikan putranya penerus profesi dalang pupus sudah.
“Pergilah Nak, menuju impian yang kau maksud itu. Hanya jangan pernah tinggalkan dan lupakan dirimu sendiri.”“Yah?” panggil Rino heran melihat butiran – butiran air di sudut mata Ricky.
“Ayah nangis, kenapa?”
Ricky tersadar dari lamunannya. Ia mengusap butiran bening di pelupuk matanya. “Ayah hanya mengenang kakek, Rino. Sekarang kita nikmati saja pendaran cahaya mereka. Sini! Duduk sini.”
Rino mengangguk dan duduk di samping ayahnya.
Ricky kembali teringat apa yang telah ia capai setelah lulus kuliah di Jakarta. Ia telah berhasil menjadi seorang direktur perusahan besar. Namun semua itu dilepaskannya karena ia mulai kehilangan dirinya sendiri. Ia memilih menjadi guru di desa kecil ini bersama keluarganya.
“Nak, apakah kau masih mengingat siapa dirimu sendiri?” telepon ayahnya suatu hari.
“Tentu saja Ayah. Aku adalah Ricky putra daerah yang telah berhasil di Jakarta.” Jawab Ricky bangga.
“Ternyata aku telah kehilangan putraku,” jawab ayahnya sedih.
Telepon ditutup
Ricky awalnya tidak mengerti. Kemudian jawaban itu didapatnya juga. Dengan suasana duka setelahnya.
“Dirimu sendiri, bukan hanya namamu Nak. Bukan kesuksesanmu juga. Tetapi esensi diri. Dari mana kau berasal, siapakah orangtuamu, serta apa dampak dari keberadaanmu. Manfaat macam apa yang sudah kauberikan kepada masyarakat.” Bisik ayahnya diakhir hayatnya. Sama seperti kunang-kunang. Ia memiliki sinar yang tak dimiliki oleh binatang lain. Menenami masa kecilku di sawah bersamamu Ayah. Mungkinkah itu kau, Ayah?
cerpen yang terlantar karena aku bingung mau dilanjutin atau enggak. akhirnya setelah ditambal sana-sini jadilah tulisan ini..
mohon komentarnya...