SINDIKAT PENULIS
Silakan login dahulu, biar lebih asyik.
Kalau belum bisa login, silakan daftar dahulu.
Setelah itu, selamat bersenang-senang...
SINDIKAT PENULIS
Silakan login dahulu, biar lebih asyik.
Kalau belum bisa login, silakan daftar dahulu.
Setelah itu, selamat bersenang-senang...
SINDIKAT PENULIS
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.


Kami adalah penulis, dan kami tidak butuh persetujuan dari siapa pun!
 
IndeksLatest imagesPencarianPendaftaranLogin
"Jika ada buku yang benar-benar ingin kamu baca, tapi buku tersebut belum ditulis, maka kamu yang harus menuliskannya." ~ Toni Morrison

 

 Fatamorgana

Go down 
2 posters
PengirimMessage
pantsman
Penulis Pemula
Penulis Pemula
pantsman


Jumlah posting : 72
Points : 84
Reputation : 0
Join date : 08.12.11
Lokasi : Jawa Tengah

Fatamorgana Empty
PostSubyek: Fatamorgana   Fatamorgana EmptyWed 15 Aug 2012 - 8:08

Kisah pendek yang gak jelas...

Kalo berkenan, komentarnya Very Happy



Fatamorgana

“Putra, bangun!”

“Aah, lima menit lagi…”

“Terakhir kali kau bilang begitu, kau bangun dua jam kemudian!”

“Tapi, Ingrid…”

“Tidak ada tapi!”

Ingrid menarik selimutku, sekaligus orang yang dibawahnya. Tubuhku pun menggelinding ke lantai.

“Aduh! Jangan terlalu kasar dong!”

“Kalau tidak dibeginikan, kau nggak akan bergerak dari kasur!”

Kugaruk kepalaku, kemudian berdiri dan menggerakkan kepalaku ke atas, dan ke bawah. Kemudian kulihat jam dinding yang menunjukkan bahwa sekarang sudah jam tujuh lebih. Namun itu bukan masalah bagiku.

“Tidak ada gunanya bangun pagi-pagi begini.”

“Apa maksudmu? Kau ini Putra Raharjo, si penulis novel yang terkenal! Kau harusnya melakukan pekerjaanmu!”

“Pekerjaan?”

“Kau harus memikirkan ide untuk buku terbarumu, kan? Kemarin kau bilang kau ingin membuat novel lagi.”

Aku memukul dahiku pelan, “…Aah, iya ya. Aku ini penulis, ya? Ide baru untuk tulisan… Tidak segampang itu, lho.”

“Hum, hum. Tenang saja, ada Ingrid di sini untuk membantu~” Ingrid membusungkan dadanya.

“Hah, bantuan macam apa yang bisa kau berikan—ugh!” Aku merasakan sakit di tulang keringku yang ditendang oleh Ingrid. Sepertinya ia tersinggung karena ucapanku.

“Aku bisa memberi tambahan semangat! Hmph!” Kata kekasihku itu sambil memunggungiku, memperlihatkan rambut hitam panjang sepunggung yang kelihatan begitu halus.

“Iya ya… Maaf deh, kalau menyinggungmu.”

Ingrid melirik ke arahku, masih dengan alis berkerut. Kemudian, ia berjalan ke belakangku dan mulai mendorongku.

“Ganti bajumu! Ayo kita pergi jalan-jalan!”

“Heeh? Jalan-jalan kemana?”

“Jalan-jalan di sekitar sini saja. Untuk mencari inspirasi.”

“Aku tidak yakin berjalan-jalan di sekitar sini bisa memberiku inspirasi.”

“Jangan pesimis!” Ingrid terus mendorongku, tapi percuma saja karena aku tidak bergeming sama sekali, “positive thinking!”

Aku menghela nafas panjang, kemudian berganti pakaian. Sebuah kemeja putih dan celana jeans panjang. Ingrid mengamatiku dari ujung kaki hingga ujung rambutku. Ia seperti pelukis yang sedang meneliti model yang akan ia gambar.

“Berantakan. Kancingnya juga ada yang terlewat. Rapikan, kemudian kita pergi keluar,” Tanpa memberiku kesempatan untuk membalas, Ingrid keluar dari kamar apartemen. Karena tidak ingin dimarahi lagi, aku pun merapikan kemejaku, kemudian berjalan ke pintu. Sesaat sebelum aku keluar, kulihat kamar apartemenku yang besar. Yang kelihatan rapi, dan disinari cahaya mentari. Aku meninggalkan kamar apartemenku dengan senyum di bibirku.

“Lama. Ayo bergerak, anak muda!” Begitu aku sampai di luar, Ingrid mendorongku lagi. Terkadang ia memang sangat keras kepala.

Berjalan menyusuri lorong yang lebar, aku melewati ruang induk semang. Seorang wanita yang baru saja keluar dari ruangan itu, menyebut namaku sebelum aku melangkah keluar dari gedung.

“Raharjo! Kau belum bayar uang sewamu!”

“Ah, iya, aku lupa, Bu Purnomo. Besok—”

“Besok? Yah, oke, tidak apa kalau besok. Karena kalau besok belum kau bayar juga, kau harus pergi dari sini,” Ujar Bu Purnomo, dengan seringai yang mengerikan di wajahnya.

“K-kenapa begitu?”

“Besok adalah batas kesabaranku. Kupikir kau seharusnya mengerti, Raharjo. Tempat ini cuma kos-kosan kecil. Harusnya kau tidak kesulitan membayar sewa untuk tempat seperti ini.”

Bu Purnomo mengatakan hal yang aneh. Kos-kosan kecil? Tempat ini kan—

Tunggu dulu.

Benar juga.

Aku melirik ke belakang, ke arah lorong sempit yang meskipun bersih, kelihatan tua. Lantai kayunya seakan bisa runtuh kapan saja kita melangkah. Kamar-kamar yang kecil hanya dibatasi oleh tembok tipis yang sudah retak. Sama sekali bukan apartemen yang ku—

“Raharjo? Kau kenapa?”

“Oh, tidak. Aku tidak apa-apa…” Kataku sambil melewati pintu gedung kecil yang reyot itu. Aku bisa mendengar Bu Purnomo meneriakiku lagi, tapi kuputuskan untuk membiarkannya.

“Jangan kelihatan lesu begitu, Putra,” Ingrid menggenggam tanganku, “kau kan harus cari ide. Positive Thinking, kan?”

Kata-kata hiburan Ingrid berhasil membuatkau sedikit bersemangat, “Benar. Benar…”

Kami pun berjalan menuruni tanjakan. Aku bisa melihat pantai kecil yang tidak terlalu jauh dari sini.

“Bagaimana kalau kita pergi ke sana?” Tanyaku pada Ingrid, sambil menunjuk ke arah pantai.

“Ide bagus. Mungkin suara ombak yang tenang bisa memberimu inspirasi,” Ingrid menjawab. Sepertinya ia benar-benar menyukai saranku.

Melewati kota di pagi hari, aku berpapasan dengan anak-anak sekolah dan pekerja kantoran. Ada juga mahasiswa. Semuanya berjalan melewatiku, kelihatan terburu-buru. Di hatiku ada perasaan lega karena aku tidak perlu menjalani rutinitas yang sama seperti mereka.

“Kenapa tersenyum begitu? Pasti sedang memikirkan hal mesum,” Kata-kata Ingrid membuyarkan lamunanku.

“Hal mesum? Yang benar saja… Aku hanya berpikir, sudah lama sejak aku menjalani rutinitas sehari-hari seperti orang-orang itu, dan aku merasa senang karenanya.”

“Benar juga. Sudah lama ya, sejak waktu itu… Dua tahun yang lalu—”

“Putra Raharjo?”

Pembicaraan kami terpotong oleh panggilan dari belakangku. Ketika aku berbalik, aku sedikit terkejut melihat sosok yang memanggilku.

“Sudah kuduga, Putra Raharjo! Lama sekali tidak melihatmu!” Gadis berkacamata itu menepuk bahuku dengan kedua tangannya.

Gadis itu mungkin menyadari ekspresi linglungku. Kemudian Ia berkata, “Aku Lina Insani. Kau lupa ya?”

Aku menggeleng, “T-tidak. Aku ingat kok. Kita sekelompok waktu pertama kali masuk kuliah kan?”

“Ooh, rupanya kau ingat! Baguslah. Jadi, bagaimana kabarmu? Sekarang kau kuliah di mana?”

“Eh…?”

“Teman-teman sempat khawatir lho, kau tiba-tiba menghilang begitu saja. Di-SMS kau nggak pernah membalas… Kukira kau ditelan bumi atau semacamnya, hahaha,” Lina menertawakan leluconnya sendiri, sementara aku masih terdiam dengan ekspresi wajah yang—aku cukup yakin—kelihatan bodoh.

“Jadi, kuliah di mana kau sekarang, Putra?”

“He? Aku? Aku, tidak… Ah, anu, aku tidak kuliah…”

Ekspresi Lina seperti mengkerut ketika mendengarnya, “Oh… J-jadi, kau kerja?”

Entah kenapa, aku bisa merasakan tanganku mulai berkeringat, “Tidak… Tidak juga…”

Ekspresi Lina makin mengkerut, “Ah, o-ooh… Aku tidak tahu…”

Pembicaraan canggung itu pun terhenti. Terasa ada keheningan yang mencekik leherku, menghalangi pergerakan pita suaraku.

“T-tapi,” Setelah mengerahkan seluruh tenagaku, akhirnya aku bicara lagi, “Aku menulis sekarang.”

“…Menulis?”

“Iya,” Aku merasakan semangat kembali merasuki hatiku, “Novel.”

“Wow, hebat! Diterima di penerbit?”

Aku mengangguk.

“Keren sekali! Apa sudah terbit?”

Aku bisa merasakan semangat tadi berubah menjadi abu.

“…Belum.”

“Oh…. Kalau misalkan sudah terbit, aku beli deh! Hehehe!” Lina menepuk bahuku lagi, “Aku pergi dulu yah. Sebentar lagi masuk, nih!” Lina pun melambaikan tangannya sambil mulai berjalan berlawanan arah dariku. Aku ingin membalas lambaian tangannya, tapi tanganku yang penuh keringat tidak mau bergerak.

Benar, aku—aku seharusnya bersama Lina sekarang, pergi ke kelas dan mengikuti kuliah. Tapi dua tahun yang lalu, aku memutuskan untuk berhenti. Aku membuat berbagai macam alasan untuk diriku sendiri, seperti lingkungan yang tidak menyenangkan, atau pelajaran yang sulit. Namun aku tidak tahu pastinya kenapa aku memutuskan untuk drop-out.

“…Kau tidak perlu mengingat kenangan-kenangan yang buruk itu, Putra,” Sekali lagi, kata-kata Ingrid menyadarkanku dari lamunan.

Aku merenung sejenak, sebelum menjawab, “Benar. Yang berlalu… Biarlah berlalu.”

Kemudian, kami melanjutkan perjalanan menuju pantai. Semakin dekat kami dengan tujuan kami, semakin sepi di sekitar. Ketika kami menginjak pasir, sudah tidak ada siapa-siapa selain kami berdua. Ingrid pun melepas sepatunya, dan berjalan ke arah air.

“Ayo kemari, Putra! Airnya menyegarkan!”

“Tidak deh,” kataku sambil duduk di pasir, “aku lebih suka kering.”

Ingrid pun terus bermain-main di sana, menendang air dan merasakan ombak yang perlahan. Aku hanya terududuk diam sambil menatap matahari yang mulai meninggi. Aku menyukainya… Aku bahagia melihat orang yang kucintai bahagia. Ingrid yang baik hati. Ingrid yang cantik. Ingrid yang—

Aku merasakan keanehan di otakku. Gambaran yang tidak jelas. Kepalsuan. Melarikan diri. Penolakan. Jantungku berdetak seperti sebuah bom waktu. Tanganku gemetar seperti sedang kedinginan. Perutku mual, serasa ingin memuntahkan segala yang ada dalam isinya.

Aku bukan seorang penulis terkenal. Aku tidak punya rumah apartemen yang mewah. Aku bukan seorang sarjana atau semacamnya. Aku—

Aku ini—siapa?

Aku ini—sedang apa?

Aku ini…

“Ingrid—”

Aku memanggilnya. Memanggil kehampaan di depan mataku. Memanggil lautan yang luas di depanku. Memanggil matahari sore yang menghadapku. Tidak ada siapapun di pantai itu selain aku.

Kurogoh kantong celanaku. Kuambil selembar foto bergambar seorang model cantik berambut hitam bernama Ingrid. Aku menatapnya sambil tersenyum.

Aku sendirian.

Sendiri—

“….Hahaha,” Menertawai kebodohanku sendiri, aku hanya terus duduk diam di tempat itu, tanpa bergeming sama sekali.


***
Kembali Ke Atas Go down
http://sudutalamsemesta.blogspot.com/
de_wind
Penulis Sejati
Penulis Sejati
de_wind


Jumlah posting : 3494
Points : 3669
Reputation : 52
Join date : 29.03.11
Age : 39
Lokasi : Bekasi

Fatamorgana Empty
PostSubyek: Re: Fatamorgana   Fatamorgana EmptyThu 16 Aug 2012 - 2:24

wuaaaah sedih Nangis
merana bgt nasibnya...
keren deh, cerpennya.
tp mdh2n gak begini ya nasib pnulis di SP Laughing
Kembali Ke Atas Go down
pantsman
Penulis Pemula
Penulis Pemula
pantsman


Jumlah posting : 72
Points : 84
Reputation : 0
Join date : 08.12.11
Lokasi : Jawa Tengah

Fatamorgana Empty
PostSubyek: Re: Fatamorgana   Fatamorgana EmptyThu 16 Aug 2012 - 7:27

Trims komennya kak.

Hehehe iya, semoga semuanya sukses deh. Very Happy
Kembali Ke Atas Go down
http://sudutalamsemesta.blogspot.com/
Sponsored content





Fatamorgana Empty
PostSubyek: Re: Fatamorgana   Fatamorgana Empty

Kembali Ke Atas Go down
 
Fatamorgana
Kembali Ke Atas 
Halaman 1 dari 1

Permissions in this forum:Anda tidak dapat menjawab topik
SINDIKAT PENULIS :: Arena Diskusi :: Cerpen-
Navigasi: