Komandan Bualan
3 meja makan malam, 5 pertemuan, 9 cangkir kopi, 16 tweet , 22 kata terimakasih, 43 liter bensin 143 pesan sms, Sejak pertama kali kita berjumpa dalam galeri itu. Apakah kau mengingat segalanya? Seperti bagaimana segala macam detil itu hinggap di kepalaku berputar terus menerus.Menempel bagai ditato langsung oleh tajamnya tatapan matamu ke yang terekam sempurna dalam neuron otakku.Mengacaukan fungsinya terhadap hal-hal selain dirimu.
Ramdan memainkan sisa fettucini-nya sembari mendengarkan lawan bicaranya terus berceloteh. Steani, gadis yang mungil namun energik seorang jurnalis dipertengahan umur 20-nya yang cinta mati dengan dunia fotografi. Yang saking bersemangatnya bahkan sejak menjejakkan kaki direstoran ini ia belum melirik buku menu, hanya memesan espresso sebagai sumber energinya sore ini.
“jadi ndan, kamu sore ini kosong kan?” tanyanya antusias.
“Iyalah… ” jawabku sembari mencoba melupakan gunungan berkas pajak yang harus selesai diaudit esok pagi. Sebenernya aku tidak terlalu suka dipanggil ‘ndan’ begitu aneh seperti penyebutan komandan. Biasanya teman-temanku memanggilku ‘Ram’ terdengar lebih oke.
“jadi pameran kali ini temanya BW, judulnya freezing moments. Pasti lu demen, secara kalo lu inget kita ketemu juga di event photo journalism kan?” Matanya bersinar-sinar riang.
“Aku inget kok.” Jawabku tersenyum. Aku ingat dengan sangat jelas sampai pada detik dan menitnya. Dan kamu, kau adalah satu-satunya yang menarik perhatian pada acara yang tidak kumengerti itu. Acara yangkudatani hanya sebagai penghormatan untuk klienku yang mensponsorinya. Ya… sebelum ada dirimu duniaku hanyalah logika angka dan hitungan. Hitungan tentang uang orang, atau perusahaan yang tak pernah kumiliki…
***
Butiran-butiran cahaya halogen, dan puluhan frame. Dilluar dugaanku tidak ada yang benar-benar menggugah, kesemuanya adalah keseharian biasa… pedagang di pasar, kios mainan anak yang sepi, anak-anak jalanan. Tidak terdapat emosi yang menggugah, dan minim pesan. Kecuali satu, sebuah foto yang blur di kanan-kiri dengan fokus seorang pemuda tengah berlari kearah seorang yang terluka dijalan, mungkin korban perampokan atau preman, hanya anak muda itu yang tergesa menolong sementara seisi pasar hanya terlihat melongo. Sangat kontras.
Foto yang membuatku tersenyum, senyum kebanggan yang masih belum terhapus saat ku memanggil Ramdan si komandan… mungkin calon komandan hatiku. Aku senang memanggilnya begitu.
“Kenapa An?” Suara Ramdan membuyarkanku.
“Ini” jawabku sekenanya, masih tetap menatapnya.
“Hmm, iya ya.. kenapa foto kayak gini bisa dipajang ya?” Ujarnya.
“Eh?”
“Iya, harusnya kan ada yang bertanggung jawab buat nyeleksi yang dipajang. Ini penghinaan sampe bendera bangsa di injek-injek begitu.” Ujarnya dengan yakin.
Tatapanku beralih padanya.
***
Tenggorokanku tercekat, tatapan matanya yang begitu cantik sekaligus tajam menusuk mengarah padaku. Apakah omonganku tadi ada yang menyakitinya?
“Kamu masih tega mikir kesana?” nada suaranya mulai terdengar berbahaya bagiku.
Foto itu, foto seorang anak muda menarik secarik bendera merah putih dari dalam gerobak penjualnya, menumpahkan isinya bahkan menginjak salah satu bendera, dan berlari kearah seorang yang terduduk dengan perut berdarah. Apa maksudnya? Keningku berkerut.
“Dia ceritanya mau nolong orang itu?” tanyaku.
“Ya iyalah, kamu ga liat ekspresinya? Suasana mereka semua?”
“Tapi kan gak harus bendera juga?” tambahku. “Kenapa ga diganti dengan kain biasa, lagian penjual kain kan lebih umum secara statistic dibanding penjual bendera.”
“Diganti ndan? Kamu ngomong apa sih? Diganti gimana?” Steani kali ini melongo menatap kedua bola mataku dengan bibir yang sedikit terbuka, yang biasanya membuaiku untuk penasaran menciumnya. Namun tidak kali ini… ekspresi ini justru membuatku makin salah tingkah.
“Iya kok sengaja make bendera, biar makin kontroversial gitu?” Aku balik bertanya.
“Ndan, kamu tau gak dari tadi kamu ada di pameran documentary? Ini semua gambar asli dan paparan langsung dari kejadian sebenarnya.” “Kamu bilang kamu penikmat fotografi sepertiku.” Nada Steani mulai meninggi.
“Kalau emang asli kenapa fotografernya malah diam dan gak nolong orang itu? Malah sempet-sempetnya ambil gambar” Ujarku membela diri.
“Kamu… aku pulang sendiri.” Steani menatapku dengan aneh untuk terakhir kalinya sebelum balik badan. Meninggalkanku yang berdiri mematung.
***
From: ramdan
An, kmu marah krn foto itu? Sorry deh, tapi tiap org kan punya ksukaan masing2
22:23:15 Steani, melempar handphone-nya ke sofa dan menjatuhkan tubuhnya di sebelahnya. Menatap pada foto yang sama dengan yang dipameran tadi dalam frame yang lebih kecil. Salah satu foto prestasinya, setelah 2 bulan hunting foto di sebuah kota terpencil yang penuh pergolakan. Kota yang para penegak hukumnya hamper tidak ada, dikendalikan ormas yang sewenang-wenang. 2 bulan penuh bahaya yang ditebus untuk sebuah foto ini.
Sebuah foto yang di cerca oleh orang yang disukainya. Orang yang sejak awal bertemu mengaku penikmat fotografi, yang pernah chatting tentang Anna Leibovitz, yang pernah menyombongkan pengetahuannya akan strobist, semua yang ia tahu kini hanya bualan belaka. Bahkan akhir ini ia bilang punya kamera tua dari kakeknya?
“…kalau baru kenal aja udah pembohong begini, ga ada yang bias menjamin nantinya kan?” batinnya.
Steani kembali meraih handphonenya.
***
From: Steani Anggita
Bukan masalah fotonya, piker aja sendiri apa salahmu dasar lelaki pendusta!
22:28:30Ramdan terlongo memandang handphone-nya yang terletak dimeja. Tangannya masih sibuk membersihkan body kamera Voigtländer V6 warisan kakeknya. Sebuah kamera yang paling tua yang ia miliki disamping sederet koleksi kamera holganya yang tersusun rapi.
“Aku memang ga pernah bisa mengerti wanita… “ Batinnya.
Jakarta 11:59 8/15/2012