Desaku adalah desa yang sunyi dari semua hal yang bisa membuat ribut. Kepala desa tidak mengijinkan ada mobil, petasan, maupun pengeras suara digunakan di desa ini. Saking sunyinya aku bisa mendengar suara angin, suara serangga, suara rumput yang bergerak, suara ketikan komputer bahkan sara langkah anjingku. Desaku begitu sepi hingga aku selalu mengantuk selama perjalanan dari rumah ke sekolah.
Meskipun demikian, desaku adalah desa yang paling indah dari desa yang lainnya. Setiap kali aku menghirup nafas, kesegaranlah yang kuhirup. Wangi yang kukenali pun macam-macam; wangi kuda, wangi rambut adikku, wangi rumput (wangi favoritku), wangi khas rumah Pak Endri, wangi nasi di rumah Raku, wangi pie di rumah Bu Eve, wangi kayu di rumah Pak Temaca dan wangi-wangi lainnya. Desa yang kusayang ini begitu mempesona, setiap mata memandang dapat ditemukan bunga beraneka macam. Setiap rumah memiliki minimal satu bunga, dan Pak Kepala Desa pun menanam bunga di semua jalan. Ia khusus membayar keluarga Pak Lando untuk merawat semua tanaman di desa. Kukira itu salah satu kebaikan Pak Kades, karena keluarga Pak Lando begitu miskin. Yang pasti, kebaikan hatinya membuat tempatku tinggal dan tumbuh dewasa ini menjadi indah.
Semua itu sekarang musnah. Di depanku yang tersisa hanya bangunan-bangunan yang telah hancur, manusia-manusia yang terpotong-potong bergelimpangan di jalan. Jika dulu warna yang sering kulihat adalah warna hijau, merah, kuning, putih, ungu, pink, orange, peach, coklat muda; sekarang yang kulihat hanya warna coklat gersang dengan semburat warna merah. Wajah-wajah yang terkejut karena peristiwa mengerikan yang mereka alami berlangsung terlalu cepat. Apakah tidak ada kehidupan lagi di sini? Wangi yang kucium bukan lagi wangi yang kukenal, ini bau tanah, darah dan keringat.
Ah, suara anjing menggonggong. Mungkin itu suara Pleki anjingku. Aku berjalan ke sana melewati segala sesuatu yang telah rusak dan hancur. Semua tanaman telah membusuk. Bau busuk tak menyenangkan menusuk-nusuk hidungku. Rumah Ibu Winka hancur remuk, atapnya hancur seluruhnya menimpa mereka yang tinggal di dalam rumah itu. Desa ini tetap hening hanya suaraku dan suara anjingku, Pleki tapi ada aura mencekap juga yang membuat suasana tegang dan tidak nyaman.
Aku sampai di depan rumahku. Pleki menggonggong semakin keras. Rumahku pun hancur, semua tanaman yang ditanam ibuku layu dan dihinggapi serangga-serangga busuk. Pintu rumahku tidak ada, dindingnya juga sudah tidak ada. Aku bisa melihat sofa, tv yang layarnya retak, karpet yang terbakar, dan anjingku Pleki menggonggong ke arahku keras-keras.
Suaranya terlalu ribut, dia harus kudidik untuk diam. Saat ku melayangkan tanganku pada Pleki, sesuatu terbang hampir mengenai wajahku. Untung aku berhasil mengelak.
“Pergi pembunuh! Mati saja kau!” kata suara itu. Saat kulihat ternyata adikku yang berteriak. Dia lari memeluk Pleki dan menariknya menjauhiku. Kenapa dia takut padaku? Apakah karena aku membawa kapak ditanganku? Kapak yang telah menebas banyak orang? Apakah dia berpikir aku akan melukai Pleki? Aku hanya tersenyum sinis dan berjalan mendekatinya. Tapi lagi-lagi adikku yang tersayang melemparkan batu bata ke arahku. Benda remeh begitu tak kan mampu melukaiku yang telah menjadi kuat.
Benar, sekarang aku sudah kuat. Aku tidak lagi pria lemah yang sering diremehkan oleh orang-orang. Aku bukan lagi anak lemah yang sering ditindas oleh adikku sendiri, ataupun anak yang tidak membanggakan. Aku bukanlah orang yang sering dikatakan Ayahku dengan tatapan galaknya. Dulu ia bilang aku hanya beban keluarga karena selalu sakit dan merepotkan. Seorang anak laki-laki yang tak dapat diandalkan. Aku bukan lagi anak yang memalukan dirinya.
Semenjak Ayah menyekolahkanku di sekolah militer tempatnya belajar dulu, aku menjadi sosok yang lebih kuat. Dari segi psikologis karena aku harus bertahan dari hinaan dan serangan fisik tak berperikemanusiaan para guru dan seniorku. Bahkan teman seangkatanku tidak ada yang menolongku. Mereka semua pengecut. Kupikir bagus juga, berkat mereka aku menjadi tikus percobaan di lab rahasia negara, yang ternyata ada di ruang bawah tanah sekolahku.
Aku diberi tahu bahwa mereka sedang membuat senjata biologi untuk perang. Beberapa yang ada dalam taraf uji coba adalah senjata untuk membuat segala sesuatu yang dikenainya menjadi pasir kecuali manusia, dan suntikan untuk membuat setiap tentara menjadi kuat luar biasa. Dalam malam-malam yang kelam tak ada seorang pun yang menolongku. Aku dibiarkan menggigil kedinginan tanpa pakaian di ruangan dingin. Disuntik berkali-kali oleh obat itu. Dialiri listrik yang membuat jantungku hampir lepas keluar dari tubuh ini. Penderitaanku itu selesai ketika Jenderal Briu memberikan suntikan dosis tinggi untukku karena ia tidak sabar menunggu hasilnya.
Semua rasa sakitku hilang dan aku merasa sangat bugar. Aku dilatih melawan para singa dan para prajurit terlatih. Dengan seni bela diri primitif, kulumat habis mereka. Setiap berkelahi segala sesuatu terasa cepat, dan hal yang bisa kulihat hanyalah lawanku semua mati dengan tubuh terpecah belah, seperti puzzle. Aku yang sekarang adalah yang paling kuat bahkan Jenderal Briu pun takut padaku. Meskipun aku telah menjadi kuat, salah satu pikiranku, entah yang mana, mengatakan bahwa ada yang hilang tapi ia tidak memberitahu apa itu.
Dengan keberadaanku dan senjata penghancur batu, Jenderal Briu melancarkan serangan ke negara musuh. Dan ternyata hasilnya terbalik. Musuh meskipun lebih lemah tapi lebih cerdas. Mereka berhasil mengambil semua senjata biologi itu, termasuk aku. Diriku ini tak menolak menjadi senjata mereka. Beginilah aku hingga akhirnya menyerang desaku sendiri.
Namun tidak seperti biasanya, aku mengingat setiap pertarungan dengan lawanku. Di depan mataku ada adikku yang biasa menghina kakaknya sendiri karena lemah. Dia gemetar sambil memeluk Pleki. Kenapa aku tidak menggerakkan tanganku seperti biasa? Harusnya langsung kutebas saja dia.
Syiuuu……. Aku berbalik ke belakang tiba-tiba. Di sana berdiri Ayahku memegang pistol dengan peredam suara yang diarahkan padaku. Aku tidak merasakan sakit tapi ada darah keluar dari dadaku sebelah kiri. Aku menatapnya dalam-dalam, setiap mili darah itu merembes ke bajuku, mengalir keluar dari lukaku. Berapa lama dilihatpun sama sekali tidak terasa sakit. Aku berlari ke arah Ayah, orang ini harus kutebas juga karena dia adalah ancaman. Ia menembakkan peluru berkali-kali hingga membuat tubuhku penuh lubang luka.
Saatt!
Aku melihat kedua tanganku terpotong, tubuhku terpotong. Ia lepas dari kakiku. Aku jatuh tak bisa bergerak. Aku melihat ibuku dengan pedang samurai di tangannya. Dia menebasku. Meskipun tak terasa sakit, entah kenapa aku mengeluarkan air mata. Aku masih tidak tahu apa yang hilang. Aku tidak tahu mengapa aku bersikap berbeda ketika akan membantai keluargaku. Aku benar-benar tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada diriku.
Sayup-sayup dari sisa kesadaranku, aku mendengar suara mereka…
“hiks…hikss… tak pernah kukira aku akan menebas anakku sendiri”
“dia dulu memang anakmu, tapi sosoknya saat ini tak lebih dari manusia tanpa emosi dan tanpa perasaan. Saat ku menembaknya, aku mengingatkan diriku bahwa aku harus membebaskan anakku dari kontrol jahat obat itu. Ini salahku, seandainya aku lebih memahami dirinya”
“Ayah, kakak menangis…”
Sedikit kabur tapi aku melihat mereka semua memandang ke arahku dengan berurai air mata. Dont cry because its over, smile because it happens… entah mengapa aku tiba-tiba teringat kalimat itu. Meskipun aku meninggal di tangan keluargaku sendiri. Aku merasa sudah dibebaskan. Dan aku mendengar suara tembakan sekali lagi.