crumpledcrane Penulis Senior
Jumlah posting : 579 Points : 601 Reputation : 0 Join date : 27.05.12 Age : 29 Lokasi : Jakarta
| Subyek: Teh Jahe (an unfinished novel) Wed 19 Sep 2012 - 18:01 | |
| Seoul, Februari 2012
Kim Jae-Won hanya bisa menatap cemas sementara sahabatnya terdiam seakan otak kecilnya yang tertimbun dibawah tumpukan rambut hitam itu sudah menguap. Lima menit sebelumnya Lee Jun-Hae dengan seenaknya datang ke restoran milik Jae-Won tanpa memberitahunya terlebih dahulu. Lima menit berikutnya orang yang sama sudah menyesap teh jahe miliknya seraya Ia bermain dengan ujung kardigan yang sedang dipakainya. Kardigan. Kadang Jae-Won pun bingung dengan selera berpakaian lelaki itu.
Tidak ada yang Ia lakukan. Mulutnya membeku membentuk garis lurus mengerikan yang sudah sangat dikenal Jae-Won. Ada sesuatu yang salah dan Jun-Hae tidak mau membicarakannya. Sesungguhnya Jae-Won ingin sekali meminumkan satu teko teh jahe kepada lelaki itu agar Ia cepat sadar. Apa gunanya Ia jauh-jauh datang dari kantor agensinya ke restoran milik Jae-Won hanya untuk duduk diam menunjukkan wajah menyeramkan ketika Ia sendiri menolak untuk bicara. Anak bodoh.
“Hey Lee Jun-Hae.” Gumam Jae-Won dari balik cangkir kopinya. “Apa yang terjadi di London sampai-sampai kau pulang kesini dengan wajah menyedihkan seperti itu?”
Jun-Hae terdiam selama beberapa detik. Matanya berkeliling menyapu ruang makan tempat Ia berada milik sahabat kecilnya. Dengan pelan Ia mendesah dan menurunkan cangkir tehnya. “Tidak ada,” jawabnya singkat.
“Sudahlah. Aku senewen.” Tukas Jae-Won keras-keras sambil setengah membanting cangkir kopinya. “Kau sudah menakuti pelangganku dengan memasang wajah itu. Antara kau cepat pergi dari sini atau ceritakan semuanya padaku sebelum aku menyeretmu keluar dari sini dengan tanganku sendiri. Pilih salah satu.”
“Hah.” Gumam Jun-Hae setengah mendelik. “Enam bulan tidak bertemu, apakah ini yang kau lakukan pada sahabat kesayanganmu ini ketika Ia datang bertamu ke restoranmu?”
“Bertamu apanya? Kau datang seenaknya tanpa konfirmasi apapun. ManusIa normal akan paling tidak memberitahu lewat ponsel atau apalah.” Jawab Jae-Won cepat. Masalah mesin kopi yang rusak tadi pagi sudah mulai merasuk ke kehidupan sosialnya. Ia jadi pemarah begini. Mesin kopi terkutuk.
Jun-Hae mendengus pelan dan kemudian melanjutkan kegiatannya menyesap teh jahe miliknya. Ia memang paling suka teh jahe restoran sahabatnya itu. Sesungguhnya Ia ingin memberitahu hal yang mengganggu pikirannya itu pada Jae-Won tapi saat ini otaknya benar-benar sudah berhenti bekerja.
Dengan kesal Jae-Won melempar bunga plastik dari dalam vas yang ada di atas meja. Apa gunanya dia kesini jika tidak mau mengatakan apapun?
“Hei!” Sergah Jun-Hae kesal. Dengan cepat Ia mengambil bunga plastik itu dan melemparkannya kembali kearah sahabatnya. “Aku sedang banyak pikiran,” tambahnya. “Tidak tahu apa yang harus kulakukan.”
Jae-Won berdecak keras, “Setelah datang kesini dengan wajah memelas seperti itu dan mencuri waktu berhargaku, apakah hanya itu yang mau kau katakan?”
“Iya.” Gumam Jun-Hae dengan mantap membuat sahabatnya kembali mendelik kesal. Terserah apa yang mau Ia katakan, Jun-Hae sendiri tidak mengerti bagaimana Ia bisa menceritakan apa yang terjadi di London pada sahabatnya yang berpikiran sempit itu. Sejauh yang Ia tahu, dunIa Jae-Won hanya terdiri dari restorannya dan kopi. Pacaran ‘pun tidak pernah, bagaimana bisa mendengarkan ceritanya dengan baik?
Jae-Won menarik nafas pelan. “Apa kau mau membunuhku lebih cepat?”
“Seorang Jae-Won yang dapat hidup dari secangkir kopi dan tidur di atas kompor karena terlalu mabuk? Tidak dibunuh juga kematianmu sudah melambai-lambai.”
“Sudahlah Jun-Hae. Aku terlalu senewen sampai-sampai bisa melemparmu dengan toples madu saat ini. Lebih baik aku pergi sekarang. Nikmatilah waktumu disini. Sendirian. Oh tidak, berdua dengan Han-Ryul.” Han-Ryul adalah pelayan restoran Jae-Won yang sempat diragukan kelaki-lakiannya. Meskipun Ia sudah dengan tegas mengatakan kalau Ia hanya suka wanita, Jun-Hae masih sedikit takut berada dekat-dekat Han-Ryul.
“Jahatnya. Paling tidak temani aku sampai tehku habis.” Gumam Jun-Hae sambil kembali menyesap cangkirnya. “Teh jahemu ini memang yang terbaik.”
“Kalau kau takut diapa-apakan oleh Han-Ryul lebih baik kau mulai berbicara sekarang. Sebelum Ia kusuruh kesini dan menceritakan acara belanjanya yang paling baru. Kudengar Ia membeli celana dalam baru.”
Sekarang giliran Jun-Hae yang mendelik pada sahabatnya. Lagipula kenapa Ia bisa tahu kalau pegawainya satu itu membeli celana dalam baru? Ah sudahlah, Jun-Hae tidak mau tahu. “Baiklah.”
Jae-Won mengangkat sebelah alisnya, “Baiklah apa?”
“Baiklah akan kuceritakan,” ucap Jun-Hae pelan sambil meletakkan cangkirnya. “Oh iya, aku bawa sesuatu untukmu. Kubeli dari sebuah toko di pulau Jeju.” Lanjutnya sambil merogoh kedalam saku jaketnya. Dengan santai Ia mengeluarkan gantungan kunci berbentuk bola kaki dan memberikannya pada Jae-Won.
“Kupikir kau baru dari London? Kenapa bisa pergi ke Jeju?” Tanya sahabatnya itu sambil memainkan gantungan kunci yang baru diterimanya. Tidak buruk juga.
“Tidak. Cuma ingin saja. Aku langsung ke Jeju setelah mendarat.”
“Sendirian?”
Jun-Hae tersenyum miris, “Ya. Sendirian.”
Jae-Won mendesah keras-keras sambil menyandarkan tubuhnya di tempat duduknya. Lelaki dihadapannya ini bisa memiliki semua wanita yang ada di dunIa ini dan Ia lebih memilih pergi sendirian ke pulau yang penuh tempat rekreasi itu. Tuhan harusnya tahu untuk tidak membuat orang-orang seperti ini mempunyai wajah tampan.
Apakah Ia benar-benar baru saja berpikir Jun-Hae berwajah tampan? Mesin kopi terkutuk.
“Temanku. Kau punya ribuan penggemar dan kau bisa-bisanya pergi sendirian ke Jeju. Kemana manager kesayanganmu itu?” Biasanya Seok-Hyun, manager Jun-Hae yang sudah berumur empat puluh tahun akan mengekor anak itu kemanapun Ia pergi. Setidaknya dalam hal pekerjaan. Mungkinkah Seok-Hyun akhirnya sadar dan melepaskan lelaki itu sendiri. Atau mungkin Ia sudah tidak sanggup mengurusi tingkah Jun-Hae yang aneh-aneh itu? Bukan tidak mungkin.
“Hyung sedang sibuk mengurus pemutaran Simplicity.” Jawab Jun-Hae singkat. Ia tidak sedang berbohong. Managernya itu memang sedang sibuk mengurus segala sesuatunya tentang film terbarunya itu di London. Walaupun Ia juga sedang menjatuhkan ultimatum kepada Jun-Hae karena apa yang sedang mengganggu pikirannya saat ini.
Jae-Won mengangkat sebelah alisnya tinggi-tinggi, “Film barumu itu? Yang dibuat di London?” Sahabatnya itu mengangguk pelan. “Akhirnya temanku yang satu ini bisa juga menjadi aktor yang diakui dunia,” ujarnya penuh kebanggaan sementara Jun-Hae meringis dihadapannya.
“Aku kan temanmu satu-satunya,” komentar Jun-Hae pedas. “Lagipula film ini tidak sepenuhnya dibuat oleh rumah produksi Inggris atau Amerika. Mereka hanya bekerjasama dalam pembuatannya saja.”
“Benarkah? Lalu?”
“Indonesia.” Jawab Jun-Hae sambil kembali memilin ujung kardigannya. “Bahkan pemeran utamanya juga orang Indonesia.” Jae-Won berdecak, “Walau bagaimanapun namamu sudah terdengar ke luar Korea. Itu kan artinya statusmu sebagai aktor sudah diakui.”
Lelaki dihadapannya itu menatapnya sengit. Terserah kalau Jun-Hae mau merendah atau apa. Pokoknya sahabatnya itu sekarang sudah jadi aktor kawakan.
“Ngomong-ngomong siapa pemeran utamanya?” Tanya Jae-Won penasaran. Mungkinkah Jun-Hae jatuh cinta pada lawan mainnya? Kalau iya bukan tidak mungkin saat ini Seok-Hyun sedang mendiamkannya karena membuat masalah di London. “Cantik tidak?”
Jun-Hae mengangkat bahunya seakan tidak peduli. “Sierra Kwon. Lumayan manis.”
Jae-Won memastikan untuk segera mencari tahu tentang wanita itu di internet setelah pembicaraan ini. “Lalu apakah kau dan dIa berbuat yang aneh-aneh?” Tanya Jae-Won penasaran.
Karena dulu sahabatnya ini pernah terlibat skandal dengan seorang bintang iklan baru, Seok-Hyun sampai menolak seluruh permintaan wawancara dan membungkam Jun-Hae di rumah sampai akhirnya Ia merasa bersalah dan memutuskan hubungannya dengan bintang iklan itu dihadapan Jae-Won dan sang manager. Untung saja saat itu hanya urusan cinta lokasi yang tidak terlalu dalam. Entah apa yang akan terjadi kalau Jun-Hae memutuskan untuk menikahi bintang iklan menyebalkan itu.
“Bukan…,” gumam Jun-Hae pelan dengan penuh rasa bersalah.
“Heh?”
Jun-Hae menarik nafas panjang dan melanjutkan kalimatnya, “Bukan dengan Sierra.”
Jae-Won membenarkan posisi duduknya yang tadinya terlalu santai, dan menatap sahabatnya itu dengan mata terbelalak. “Kau ini keterlaluan.”
Sahabatnya itu tertawa pilu dan kembali menyesap teh jahe miliknya.
“Siapa wanita itu?” Jae-Won tahu benar kebiasaan Jun-Hae yang terlalu mudah jatuh cinta. Ia kadang curiga kalau temannya itu bisa saja jatuh cinta pada nenek baik hati yang Ia temui di tengah jalan. Sepertinya asalkan wanita itu berbuat kebaikan terhadapnya sekali, Jun-Hae akan dengan mudah memberikan hatinya padanya. Anak bodoh.
“Kintara. Kintara Rahardjo.”
Jakarta, Februari 2012.
“Sampai kapan kau mau melarikan diri seperti ini?” Gumam Ernest pelan ditengah bisingnya suara kendaraan di daerah Tebet. Ia kesal sekali melihat gadis dihadapannya ini menenggak segelas cokelat panas yang Ia beli dari sebuah toko serba ada dengan santai. Sepertinya gadis itu sudah berniat melupakan seluruhnya pengalamannya di London selama enam bulan itu.
“Melarikan diri dari apa?” Tanya Kintara pelan. Ia benar-benar tidak tahu apa yang sedang dibicarakan sepupunya. Saat ini Kintara berada di titik puncak kehidupannya dimana Ia bisa dengan bebas melakukan apapun yang Ia inginkan tanpa memikirkan apapun. Walaupun seseorang di luar sana sedang menyiksa dirinya sendiri dengan beban orang lain, Kintara mencoba untuk tidak peduli. Terserah orang itu dIa mau terbeban atau tidak, yang penting Kintara ingin menikmati saat-saat penting dalam hidupnya.
Seperti malam ini. Bersama sepupu kesayangannya dan secangir cokelat panas di tengah kota. “Aku menikmati hidupku kok.” Ernest berdecak, “Untung saja kau masih sepupuku. Kalau kau cuma temanku bisa-bisa sudah kutinggal kau disini dari lima belas menit yang lalu.”
Kintara tergelak mendengar ucapan Ernest. Ia tahu benar sepupunya tidak akan tega meninggalkan siapapun. Teman ataupun musuh, seorang Ernest tidak akan pergi meninggalkan orang itu sendiri di tengah kota pada jam dua dini hari seperti ini.
“Kau terlalu menyayangiku untuk meninggalkanku sendirian.”
Ernest tertawa miris mendengar jawaban sepupunya itu. Kalau saja kakak perempuannya ada disini sekarang, Ia pasti sudah mencubit Kintara dan memaksanya menelpon lelaki yang Ia siksa di London itu. Siapa namanya? Lee Jun-Hae?
“Lelaki itu, Lee Jun-Hae? Telponlah dia.” Saran Ernest diiringi geraman menyeramkan yang terdengar dari sepupunya. Kadang Ernest sendiri takut mendengar geraman khas seorang Kintara Rahardjo. Pantas saja para lelaki di sekitarnya mendiamkan gadis itu seakan dIa adalah kentang berjalan.
Dengan kesal Kintara menatap Ernest lewat lubang sedotan cokelat panas miliknya. Cari mati rupanya si Ernest itu. “Telpon ke Korea mahal.” Jawab Kintara singkat.
“Jangan berlagak miskin kau. Bukumu itu kan sudah diangkat jadi film layar lebar. Harusnya telpon beberapa menit saja ke Korea bukan masalah untukmu.” Sergah Ernest tidak mau kalah. Ia tidak tahan melihat Kintara seperti ini. Kadang terlalu banyak cokelat juga bisa membunuhmu. “Berhentilah menelan cokelat dalam berbagai bentuk dan mulailah berbicara padanya.”
Kintara menatap sepupunya dengan tatapan sendu. “Aku dan Jun-Hae, kami tidak punya apapun untuk dibicarakan.” Ernest menarik napas dalam-dalam dan menghempaskan tubuhnya ke kursi besi keras tempat mereka duduk saat itu. Sepertinya Kintara sedang melarikan diri dari dirinya sendiri. Aneh memang, tapi itulah yang sedang terjadi. “Bicara saja kau, Kintara. Di suatu tempat di Korea, lelaki itu pasti sedang duduk tersiksa memikirkan dirimu.”
“Lalu apa peduliku? Dia kan bukan apa-apaku.” Jawab Kintara singkat membuat Ernest bersumpah untuk menjejalkan gelas cokelat panasnya sekalian kedalam tenggorokan Kintara.
“Kaulah contoh mengapa kami para lelaki lebih memilih untuk tidak terlalu ambil pusing dalam hal cinta.” Ujar Ernest dengan lugas seakan Ia adalah duta besar yang sedang menyuarakan suara hati seluruh laki-laki di dunIa ini. Atau setidaknya suara hati si Lee Jun Hae itu. Lelaki yang malang karena bertemu dengan gadis di hadapannya itu.
Kintara berkedip dibuat-buat. “Cinta apa?” Tanya gadis itu singkat diiringi dengusan yang sangat tidak manusiawi oleh sepupunya. Keterlaluan.
“Cinta… kau tahulah. Gadis macam apa sih kau ini sampai bisa segini bodohnya? Pantas saja lelaki itu pulang ke negaranya tanpa bilang apapun.”
“Kukira kau sepupu yang harusnya membelaku? Atau jangan-jangan kak Helen sudah membuatmu setuju untuk membuatku dan kehidupan cintaku sengsara?” Helena adalah kakak perempuan Ernest yang bekerja sebagai eksekutif muda di perusahaan perminyakan yang berkantor pusat di Amerika.
Walaupun perbedaan umur Ernest dan Helena hanya terpaut lima tahun, sepertinya kakak perempuannya itu tidak rela untuk melepas masa mudanya dan memutuskan untuk ikut campur dalam kehidupan sosial Kintara. Helena sudah menyerah untuk merasuki kehidupan sosial adik lelakinya sendiri. Katanya tidak tahan dengan jumlah teman-teman Ernest yang metroseksual. Anak lelaki jaman sekarang rambutnya lebih bagus dan terawat dari para wanita.
“Lalu apa yang mau kau lakukan sekarang?” Tanya Ernest sambil merogoh bungkusan keripik singkong yang dibeli Kintara bersama cokelat panasnya. “Apa rencanamu sekarang?”
Kintara mengangkat bahunya dengan santai. “Terus hidup, kurasa.”
“Kapan film itu dirilis?”
Gadis itu mulai melipat-lipat jari-jari tangannya seraya bibirnya bergerak-gerak menghitung hari. “Carson bilang mungkin butuh enam bulan untuk mengedit dan menyatukan gambar-gambar yang sudah diambil kemarin. Mungkin tahun depan. Belum ada tanggal yang pasti.” Jawab Kintara setelah berkomat-kamit selama beberapa detik.
“Dan kau sebagai penulis ceritanya boleh duduk-duduk saja disini sementara orang-orang bekerja keras mengurusi film itu? Keterlaluan.” Sergah Ernest dengan mulut yang penuh keripik singkong. Lelaki itu kemudian menenggak minuman soda miliknya dan kembali melanjutkan ucapannya, “Paling tidak kau harusnya ikut sibuk disana.”
“Heh. Enak saja kau. Bulan depan aku harus sudah pergi ke London lagi untuk mengurus tetek bengeknya, kau tahu?” Tukas Kintara setengah mendelik.
“Dan Lee Jun Hae akan ada disana juga?”
“Tidak. Buat apa seorang aktor ikut mengurusi proses editing?” Kini giliran Ernest yang mengangkat bahunya dengan santai. “Siapa tahu saja.” Kintara terdiam selama beberapa saat seakan Ia sedang menimbang-nimbang sesuatu. “Tidak. Ia tidak akan ada disana. Aku yakin.”
Ernest mengangguk-angguk tanda mengerti. Tetapi raut wajah sepupunya itu sangat serius saat gadis itu sedang menghitung kemungkinan seorang Lee Jun Hae untuk ada di London bulan depan. Mungkin di suatu tempat di hatinya Kintara menginginkan keberadaan Jun-Hae di London bersamanya. Mungkin. Tapi tentu saja Ernest menyimpan semuanya ini sendiri. Mau dibicarakan ‘pun Kintara pasti akan menepis pendapatnya ini. Jadi apa gunanya?
Mereka berdua terdiam selama beberapa saat, tenggelam diantara hiruk pikuk orang-orang yang berbicara di sekitar mereka dan suara bising kendaraan yang lalu lalang. Kintara yang sudah kehabisan cokelat panasnya mulai bermain-main dengan gelas kertas miliknya sementara Ernest melemparkan pandangannya ke luar jendela kaca di samping mereka. Saat itu sudah hampir pukul tiga dan kawasan Tebet masih ramai dengan gerombolan anak-anak muda yang duduk-duduk menghabiskan akhir minggu mereka.
“Ernest?” Gumam Kintara pelan dengan kepala tertunduk. Matanya masih terpaku pada gelas kertas itu hingga raut wajahnya tak terbaca oleh Ernest karena tertutup rambutnya. “Aku ngantuk.”
Ernest menarik napas panjang mendengar ucapan sepupunya itu. “Kalau begitu ayo kita pulang.” Ujarnya sambil merogoh saku celananya untuk mengambil kunci motor kesayangannya. Kintara segera berdiri dari tempat duduknya dan merenggangkan tubuhnya sambil menunggu.
“Kalau kau berani melebihi kecepatan 120 kilometer per jam, habis kau Ernest Hadiputra Rahardjo.” Ancam Kintara tanpa ampun sambil mengepal-ngepalkan tangannya. “Besok kau sarapan makan roti tawar dan air putih.” Lanjut Kintara disambut dengan gelak tawa Ernest seraya mereka berdua berjalan menuju motor hitam milik seorang Ernest Hadiputra Rahardjo.
A/N: Erm ini sebenarnya tadinya mau jadi novel loh. Tapi kan aku post di V*lpen. Dan websitenya dudul gitu jadi aku gak bisa kunci cerita ini. Eh dilanjutkan sama orang lain dan lanjutannya jelek banget sampai aku malas sendiri... Sekarang orang itu tenar di website itu sampai banyak penghasilan jual eBook katanya xD Biar aku aja yang tau akhir dari novel gak jadi ini... YAY COMMENTS ARE APPRECIATED ... Dan maaf ini korea-koreaan :/ | |
|
Domba Penulis Berbakat
Jumlah posting : 397 Points : 414 Reputation : 3 Join date : 31.05.12
| Subyek: Re: Teh Jahe (an unfinished novel) Wed 19 Sep 2012 - 19:24 | |
| | |
|
crumpledcrane Penulis Senior
Jumlah posting : 579 Points : 601 Reputation : 0 Join date : 27.05.12 Age : 29 Lokasi : Jakarta
| Subyek: Re: Teh Jahe (an unfinished novel) Wed 19 Sep 2012 - 19:27 | |
| kak aksara... sudah sengaja disensor websitenya malah dicari sampai linknya segala =='
feedback dong D: | |
|
m0nd0 Penulis Senior
Jumlah posting : 1446 Points : 1487 Reputation : 17 Join date : 11.07.12 Age : 35 Lokasi : Jakarta-Bandung
| Subyek: Re: Teh Jahe (an unfinished novel) Wed 19 Sep 2012 - 20:20 | |
| Ini "traktirannya" Dre? mm... belom selesai sih ya... | |
|
crumpledcrane Penulis Senior
Jumlah posting : 579 Points : 601 Reputation : 0 Join date : 27.05.12 Age : 29 Lokasi : Jakarta
| Subyek: Re: Teh Jahe (an unfinished novel) Thu 20 Sep 2012 - 9:54 | |
| Bukan traktirannya kok kak. ini udah lamaaaaaa banget. dan gak akan dilanjutkan :/ | |
|
m0nd0 Penulis Senior
Jumlah posting : 1446 Points : 1487 Reputation : 17 Join date : 11.07.12 Age : 35 Lokasi : Jakarta-Bandung
| Subyek: Re: Teh Jahe (an unfinished novel) Thu 20 Sep 2012 - 10:15 | |
| Oo~oh... Padahal udah enak ini ceritanya, jadi novel juga bisa. Tapi somehow bagian cerita antara Jae-Won sama Jun-Hae terasa agak membingungkan, entah karena tektok-nya atau terlalu banyak data situasi, masa lalu dsb. yang diceritakan sekaligus... Ga salah sih, cuma rada sulit aja bacanya. | |
|
crumpledcrane Penulis Senior
Jumlah posting : 579 Points : 601 Reputation : 0 Join date : 27.05.12 Age : 29 Lokasi : Jakarta
| Subyek: Re: Teh Jahe (an unfinished novel) Thu 20 Sep 2012 - 10:17 | |
| mmhm. i wanted to make them the dynamic duo but ugh. uuuughhhhhh. *nelen bantal* | |
|
m0nd0 Penulis Senior
Jumlah posting : 1446 Points : 1487 Reputation : 17 Join date : 11.07.12 Age : 35 Lokasi : Jakarta-Bandung
| Subyek: Re: Teh Jahe (an unfinished novel) Thu 20 Sep 2012 - 10:21 | |
| - crumpledcrane wrote:
- mmhm. i wanted to make them the dynamic duo but ugh. uuuughhhhhh. *nelen bantal*
Kalo itu keliatan kok kalo mereka klop, sama sama jago pinter dan oke... | |
|
crumpledcrane Penulis Senior
Jumlah posting : 579 Points : 601 Reputation : 0 Join date : 27.05.12 Age : 29 Lokasi : Jakarta
| Subyek: Re: Teh Jahe (an unfinished novel) Thu 20 Sep 2012 - 10:23 | |
| alsooooooo Jae-Won is the type of guy i'd befriend... | |
|
Sponsored content
| Subyek: Re: Teh Jahe (an unfinished novel) | |
| |
|