Apa kabar???
Ingin ku memulai tulisan ini dengan bertanya tentang kabarmu. Apa kau bahagia disana? Apa kau tidak kekurangan satu apapun? Apa kau tidak merindukanku seperti aku yang selalu dan selalu merindukanmu? Entah berapa banyak tanya yang tertahan dan belum sempat kutanyakan padamu. Pertanyaan-pertanyaan itu kini mulai menjadi hantu yang membayangi tidurku. Aku tahu sudah tak tepat lagi waktunya. Aku tahu sudah tak sepantasnya bertanya, tapi aku kehabisan rasa sabar. Aku tak mampu lagi menahan rasa sakit yang kian lama malah semakin erat menarikku dalam kegelapan.
Ah, aku tak pernah semelankolis ini sebelumnya. Aku dulu hanya sesosok manusia berhati batu yang sinis terhadap orang-orang di sekitarnya. Tetapi setelah bertemu denganmu semuanya berbeda. Hidupku menjadi jauh lebih berwarna. Dan kebodohanku yang telah terlambat menyadarinya.
Aku ingin membagi perasaan ini padamu. Disini, Aku menatap semburat senja yang mulai mengabur di tepian langit di bukit yang tak kukenal ini. Warnanya seindah warna senja di kota kita. Senja yang sama yang selalu membuatku terkagum-kagum sejak dulu. Senja yang selalu membuatku bahagia saat memandangnya. Ada kedamaian yang seakan-akan mengalun saat memandang keteduhannya. Aku mencintai senja. Mencintainya dengan seluruh darah di tubuhku. Seperti aku mencintaimu, sebuah kisah masa lalu yang selalu membayangi pelupuk mataku, menghantui setiap mimpi-mimpiku. Dan aku selalu tahu, kau akan selalu menjadi senja bagiku. Seperti cinta yang tak akan pernah bisa kuraih. Tanpa bisa kutahan, tanpa bisa kucegah. Semua itu karena kebodohan yang berulang-ulang kulakukan. Dulu aku selalu yakin, kau akan selalu memaafkanku, tapi yakin itu telah hilang sekarang. Menerpa bersama kesadaran kalau kesalahanku sudah terlalu fatal untukmu. Dan kini, meskipun hanya bisa memandangmu sesaat, dari kejauhan yang tak pernah kau bayangkan, entah mengapa aku merasa bahagia. Meskipun saat kau pergi, dan memunculkan beribu luka yang tidak kunjung sembuh, kedatanganmu tetap saja kutunggu. Meskipun hatiku berdarah dan patah berkeping-keping. Itu jauh lebih mudah kuhadapi dibandingkan melewati waktu yang sepi tanpa hadirmu disini.
Apa kau ingat, dulu kau sering menemaniku dalam keadaanku sekarang, duduk di tepi langit kala senja mulai merayap turun, meninggalkan warna jingga indah yang menyejukkan. Aku ingat saat kau menemaniku dalam diam. Menatap langit dan disibukkan dengan pikiran masing-masing, tapi rasanya menyenangkan. Aneh rasanya ada begitu banyak perasaan yang dipancarkan tanpa perlu banyak bicara apa-apa.
Kau dengan tatapan matamu yang meneduhkan, dengan senyummu yang selalu menenangkan, dan dengan suaramu yang selalu menjanjikan kedamaian. Aku tahu telah banyak menyia-nyiakan momen itu. Seharusnya dulu aku lebih sering menikmati perhatian dan kesabaranmu yang seakan tidak pernah habis. Aku tahu tak pernah ada cukup maaf dan penyesalan atas kebodohan yang telah aku lakukan.
Aku tidak meminta dimaafkan. Aku tidak minta kau berbalik dan kembali padaku. Tapi sedikit saja, berikan aku waktu untuk menjelaskan isi hatiku. Aku tidak pernah menyadari perasaan ini sebelumnya. Perasaan yang dulunya diselimuti ego, penyangkalan, kesombongan dan rasa malu yang berlipat-lipat. Aku selalu menolak merasakan perasaan ini sejak dulu. Kau begitu tahu, kan, betapa aku membenci perhatian. Kau tahu seumur hidupku aku mencoba tegar dan menjalani semuanya sendirian. Aku selalu mengatakan tidak butuh siapa-siapa, atau aku pikir begitu awalnya. Aku baru sadar sekarang, dulu aku tidak pernah merasa membutuhkan siapa-siapa karena kau selalu ada mendampingiku. Kau yang selalu berada didekatku. Orang itu kamu. Selalu dan selalu hanya dirimu. Sayangnya, aku menyadarinya saat kau sudah tidak ada di sampingku.
Aku tahu ini semua salahku sehingga kau pergi. Aku sudah begitu lama menyia-nyiakan perhatianmu, rasa cintamu yang begitu dalam. Untuk semua kesalahan yang pernah aku lakukan, aku ingin meminta maaf. Tak ada yang bisa menggambarkan kesedihan dan penyesalanku sekarang. Kurasa tak ada cukup waktu yang bisa kuhabiskan tanpa mengutuki kedunguanmu. Aku begitu mencintai dan membutuhkanmu seperti membutuhkan udara. Terasa hampa dan begitu dingin disini tanpamu. Bahkan upayaku berpindah ke banyak tempat, ke banyak bukit untuk melupakanmu, aku masih tetap tak bisa. Setiap senja yang kusaksikan hanya membawa kenanganmu semakin pekat dalam pikiranku. Dan disini, di tempat yang asing ini, ingin kutumpahkan segala cerita yang tak sempat kusampaikan dulu.
Tahukah kamu, saat kau memutuskan pergi, seakan tak ada lagi kesempatan hidup bagiku tersisa. Wajahmu yang penuh airmata saat mengucapkan bahwa kau tidak akan pernah memaafkanku dan akan selamanya menghilang dari kehidupanku membuat tenggorokanku tercekat. Aku tak mampu mengucapkan sepatah katapun. Aku tak menyangka, malah begini akhirnya. Aku tahu, dipertemuan terakhir kita, masih sempat kusakiti lagi hatimu dengan mengatakan bahwa aku tak pernah menginginkanmu. Aku yakin, kata-kata itu malah membuatmu semakin menjauh dan semakin tak bisa memaafkanku. Aku tak menyangka bisa sejahat itu padamu. Kau pasti begitu kecewa saat aku mengatakan aku tidak membutuhkanmu. Kau tidak tahu, dalam hati aku menangis. Aku begitu ingin menggerakkan tanganku untuk menghapus air mata yang mengalir di pipimu. Tapi egoku membuatku tak bisa berbuat apa-apa.
Aku tidak mengejarmu saat kau berlari pergi dan malah duduk diam. Aku tidak tahu harus melakukan apa-apa. Dan kemudian kau benar-benar membuktikan ucapanmu. Kau membuatku sama sekali tidak bisa menghubungimu. Kau menghilangkan segala bukti bahwa kau pernah ada. Saat itu, perasaan aneh menghantamku. Aku kesepian. Aku tidak pernah bermasalah dengan kesepian sebelumnya, bahkan dulu sangat menikmatinya. Tapi tidak dengan kesepian seperti ini. Dengan ketiadaanmu disampingku menatap mentari senja yang menguning, dengan ketiadaanmu disaat aku marah karena sikap pecundang orang-orang disekelilingku, dengan ketiadaanmu disaat aku butuh seseorang untuk mendengarkan semua rasa penatku menghadapi dunia.
Aku ingat dulu kau selalu begitu sabar menemaniku. Aku ingat kau hanya diam dan tersenyum saat aku marah-marah meski itu bukan kesalahanmu. Sekali-kali kau hanya menggumamkan kalimat-kalimat yang baru kini kusadar, begitu menyejukkan. Kata-kata yang entah bagaimana bisa menghapuskan amarahku. Kau keajaiban yang Tuhan berikan padaku, dan aku begitu sombong untuk mengakuinya dulu.
Aku menyesal. Sungguh…
Aku harap kau bisa merasakan penderitaanku karena mengabaikan perasaanmu dan perasaanku. Tadinya aku hanya ingin bersenang-senang dengan orang lain di depanmu. Aku ingin membuatmu yang begitu sabar menghadapiku cemburu. Aku tidak menyangka orang itu malah mengacaukan segalanya. Ia merasa berhak atas diriku sampai membuatmu tersudut dengan kata-katanya. Aku tidak pernah tahu, kau merasa begitu kecewa karena meskipun sejak dulu bersabar, aku tidak pernah memilihmu dan terus menganggapmu sahabatku saja. Aku tidak menyalahkan orang itu yang telah mengacaukan hubungan kita. Semua itu ideku. Semua itu tanggung jawabku. Aku yang salah. Selalu aku yang salah. Betapa piciknya diriku.
Kerap aku membayangkan kehadiranmu dalam sepi yang semakin lama semakin membunuhku. Aku merindukanmu. Aku hampir gila dengan segala harapan yang aku tahu tidak akan pernah terwujud sekarang. Semua sia-sia. Kau benar-benar pergi dan aku yakin pasti kau tidak ingin berbalik lagi. Meskipun aku masih mengharapkanmu selalu kembali.
Sekali lagi kukatakan, aku mencintaimu. Jujur, dari lubuk hatiku yang terdalam. Aku yakin sejak dulu kau ingin mendengarkanku mengucapkan kata-kata itu di depanmu. Kau selalu berharap aku bisa membalas perasaanmu yang telah bertahun-tahun menemaniku. Aku begitu bodoh! Aku tidak pernah menyadarinya saat kau masih di sampingku.
Aku tidak pernah merasa sehancur ini seumur hidupku. Tidak ada orang yang bisa membuatku merasakan perasaan ini selain dirimu. Bahkan saat kedua orang tuaku mengusirku karena tidak mau mengikuti jurusan yang mereka inginkan, saat senior-senior memfitnahku memakai uang kas himpunan sampai hampir di DO dari kampus, saat usahaku bangkrut karena anak buahku membawa lari uang kantor. Aku masih bisa kuat saat itu. Aku masih bisa tegak menghadapi masalah apapun. Aku baru menyadarinya sekarang, dulu aku tidak pernah merasakan penderitaan dan kesedihan karena kau ada di sampingku. Tidak seperti sekarang.Kehilanganmu sama saja kehilangan segalanya bagiku.
Kumohon, maafkan aku……
Penyesalan ini mungkin tak bisa mengiba dan melunakkan hatimu untuk kembali padaku. Lagipula aku tidak pernah tahu dimana kau berada. 5 tahun berlalu tanpa pernah ada sedikitpun kabar darimu. Semua orang kompak tak tahu dimana dirimu. Aku merasa bagai orang gila terus menerus mencarimu. Aku bahkan sempat merasa apa kau hanya khayalanku?? Mengapa tak ada yang tahu tentang dirimu?? Apa kau begitu membenci diriku sampai benar-benar menghapus semua jejak keberadaanmu???
Aku begitu ingin menemuimu dan mengatakan perasaanku sejujurnya padamu. Tentang rasa cinta yang begitu besar hanya untukmu, tentang rasa sesal karena begitu bodoh melepaskanmu, tentang rasa sedih karena menyianyiakan waktuku mengacuhkan perasaanku, dan tentang rasa marah karena telah tega melukai hatimu. Mungkin itu tidak berarti apa-apa sekarang. Tetapi paling tidak, menemuimu bisa menjadi pengobat rasa sakit di hatiku, kau bisa menghilangkan rasa sesak di hatiku karena penuh dengan kenangan-kenanganmu, dan mungkin kau mau memaafkanku.
Aku tidak akan memaksamu kembali padaku karena itu sudah tidak mungkin terjadi. Aku hanya menyelipkan doa yang selalu sama untukmu, dimanapun kau berada, kau akan selalu bahagia. Aku yakin kau sangat pantas mendapatkan kebahagian. Setelah semua kekecewaan yang menahun yang kutorehkan di hatimu. Aku akan bahagia saat kau bahagia. Aku akan jamin itu. Aku terlalu mencintaimu sampai tak akan sanggup lagi melihatmu terluka dan bersedih. Aku mencintaimu dengan segenap perasaanku, dengan seluruh ruang di hatiku yang sesak karena kenanganmu.
Maafkan aku. Aku harap, disana, di tempat bahagiamu, kau melanjutkan hidupmu
dan mewujudkan semua mimpi-mimpimu. Aku akan selalu mendoakan kebahagianmu. Sekali lagi, aku mencintaimu. Biarkan kutitip catatan senja di tepi langit bukit tak dikenal ini untukmu sebagai penanda rasa cinta dan penyesalanku. Aku akan selalu mengharapkan kebahagiaan mewarnai rona pipi di wajahmu, terlukis dalam setiap senyummu, terpancar dari indah tatapanmu.
Dari aku yang mencintaimu, selalu…
Gusnaldo Oliver Guevara….
***
Gadis bermata teduh itu melipat kertas yang dipegangnya sambil menyusut airmata yang mengalir deras di pipinya. Kertas itu datang tadi pagi ke rumahnya bersama sebuah kabar dari seseorang yang telah lama ia tinggalkan. Ia memang menyembunyikan kepergiannya setelah berpisah dengan Aldo, orang itu, dan hanya sedikit orang yang tahu ia dimana. Ia selalu berhati-hati agar Aldo tidak bisa menemuinya. Salah satu orang yang tahu, Lionel sahabatnya dan sahabat Aldo, mengirimkan surat itu, berharap meskipun sedikit, ia mau membuka hati dan membaca surat itu.
Sejenak ia mengingat kembali pertemuannya dengan Aldo, penulis surat itu bertahun-tahun yang lalu. Mengingat senja terakhirnya bersama Aldo yang menguning di langit barat, seolah menjadi saksi. Semua tampak bahagia, seperti biasa, dia dan Aldo duduk tenang memandangi langit senja, seperti hari-hari mereka sebelumnya. Ada rasa sakit sebenarnya yang dia simpan jauh-jauh dalam lubuk hatinya saat itu. Rasa sakit dan sedih karena Aldo belum sadar dengan perasaannya. Terutama karena kehadiran Karina dalam kehidupan mereka yang membuat rasa cemburu membakar di hatinya. Tapi ia tidak pernah mengeluh karena yakin ia bukan siapa-siapa bagi Aldo. Aldo berhak memilih siapapun untuk berada di dekatnya.
“Vio, kenapa sih kamu belum punya pacar???” Aldo memecah kesunyian diantara mereka. Sejenak mereka beradu pandang. Vio, nama gadis itu, mengalihkan pandangannya.
“Belum waktunya. Orang yang kusuka belum sadar sih. Jadi aku mau menunggu sampai ia sadar dan giliranku datang.” JawabVio sambil tersenyum.
“Bego banget! Kalau suka kenapa nggak langsung aja bilang??” Gumam Aldo.
Vio kembali tersenyum dan menatap mata Aldo lekat.
“Aku bilang belum saatnya. Suatu saat aku bakal bilang kalau dia nggak sadar-sadar.”
Percakapan mereka terputus karena kedatangan Karina yang tiba-tiba muncul.
“Oh! Kamu ternyata disini! Berdua-duaan sama cewek ini.”Karina melabrak mereka berdua tiba-tiba.
Vio yang terkejut langsung berdiri. Aldo tampak biasa-biasa saja bahkan sekali lagi menyeruput minumannya.
“Heh!!! Kamu jangan jadi cewek kegatelan yah dekat-dekat Aldo melulu. Kamu tuh Cuma temen doang. Bukan siapa-siapa. Nggak sepantasnya tau menghabiskan waktu dengan cowok orang.”Seru gadis itu dengan nada pedas.
Tidak memperdulikan orang-orang di dalam kafe itu yang menonton mereka.
Tiba-tiba tamparan Vio melayang ke pipi gadis itu. Belum pernah Vio merasa semarah ini seumur hidupnya. Karina sudah membuatnya malu. Cukup sudah! Vio sudah terlalu lama bersabar dengan sikap Karina. Ia memang menganggap dirinya bukan siapa-siapa bagi Aldo, tapi tidak sepantasnya ada orang lain yang membuatnya merasa tidak dihargai seperti itu. Bukan dia yang pantas mengatakan Vio bukan siapa-siapa buat Aldo.
“Eh!!! Kenapa kamu nampar dia??? Apa-apaan sih!!”Aldo memegang pipi Karina yang meringis kesakitan.
Vio terperangah saat Aldo ternyata malah membela Karina. Air matanya tumpah.
“Kamu ngebelain dia???”Ucapnya dengan suara tertahan.
“Tentu dong! Dia pacarku. Kamu tuh Cuma teman. Bukan apa-apa. Nggak seharusnya menampar pacarku seperti sekarang! Aku lebih butuh dia daripada kamu!” Aldo menatapnya dengan marah.
“Aku bukan siapa-siapa kamu?? Kamu nggak membutuhkan aku???”
Aldo tiba-tiba terdiam melihat airmata Vio yang semakin deras. Selama mereka berteman, belum pernah ia melihat Vio bercucuran airmata seperti sekarang.
“Aku bodoh banget sudah mengharapkan suatu saat orang yang kusuka sadar kalau aku suka sama dia. Ternyata dia bahkan nggak butuh aku sama sekali. Aku nggak bakal ganggu hidup kamu lagi. Mulai saat ini, kamu nggak akan pernah menemuiku lagi. Aku janji!”
Vio mengambil tasnya di meja, lalu berlari ke mobilnya di parkiran. Ia tidak berbalik. Saat berada di dalam mobil, ia tersadar kalau Aldo tidak mengejarnya atau menenangkannya seperti menenangkan gadis di dalam kafe tadi. Saat itu Vio sadar, tak pernah ada apa-apa bagi Aldo tentang Vio. Mimpi-mimpinya yang selalu berharap suatu saat Aldo sadar dan membalas perasaanya, hanya omong kosong. Hatinya hancur seketika. Lebih parah saat tahu dulu orang tuanya membuangnya di panti asuhan karena tidak menginginkan anak perempuan, lebih sakit daripada saat semua orang meninggalkannya karena tahu dia dibesarkan di panti asuhan. Vio menjalankan mobilnya dan memacunya meninggalkan semuanya di belakang. Ia berjanji tidak akan berbalik lagi.
***
Udara yang terasa begitu familiar menerpa wajah Vio saat menginjakkan kaki kembali di kotanya. 5 tahun dia menghilang dari kota yang penuh kenangan itu, dan perasaan yang sama masih berputar-putar di kepalanya. Semua kenangan yang pernah hadir disitu masih ada, masih sama. Tapi Vio berusaha tidak larut dalam pikiran dan perasaannya. Tujuannya kembali ke tempat itu hanya satu. Menemui orang yang pernah ia sumpah mati tidak akan pernah ia lihat lagi.
Ia melihat seseorang melambaikan tangan ke arahnya dan berjalan mendekat.
“Hai… Long time no see!” Pria di depannya itu mengulurkan tangannya dan tersenyum kepada Vio.
Vio tersenyum dan menjabat tangan pria itu.
“Kau tidak banyak berubah, Lionel.” Kata Vio.
Lionel tertawa. Suara tawanya yang renyah mencairkan suasana di antara mereka. Lalu Lionel tampak mengingat sesuatu dan tawanya terhenti.
“Maaf aku tidak memberitahumu dari awal.”Sahut Lionel dengan nada sedih.
Vio menggeleng dan berkata, “Ini bukan salahmu, kok. Aku yang menghukumnya dengan sikapku yang kekanak-kanakan, dan sepertinya Tuhan menghukumku sekarang.”
Lionel menatap gadis di depannya itu dengan tatapan khawatir. Mereka lalu beranjak dari tempat itu dan menuju tempat tujuan Vio pulang. Di dalam mobil mereka tidak berbicara apa-apa. Lionel mengemudikan mobilnya dalam diam dan Vio hanya memandang keluar jendela mobil dengan tidak bersemangat. Begitu banyak kenangan yang ada di kota ini. Kenangan yang membuatnya harus pergi karena tidak kuat menahan rasa sakit dulu.
“Kamu mau langsung kesana atau ke hotel dulu??” Tanya Lionel.
“Aku mau kesana saja. Tidak ada gunanya menunda-nunda bukan??”
Lionel tidak bertanya lagi dan mengemudikan mobilnya lebih cepat. Mereka berhenti di depan sebuah pemakaman umum. Rasa dingin menyelimuti tubuh Vio. Ia ragu apa bisa beranjak dari tempatnya sekarang.
“Kita bisa pergi sekarang kalau kau tidak siap.” Bisik Lionel pelan saat melihat Vio tidak bergerak.
Vio menggeleng. Ia yakin bisa menghadapi apapun. Toh ini semua salahnya. Ia harus menerima apapun yang terjadi. Mereka lalu keluar dari mobil dan berjalan masuk ke dalam pemakaman itu. Mendekati sebuah kuburan yang dipenuhi bunga-bunga. Tampaknya ada orang yang baru saja mengunjungi kuburan itu. Sejenak Vio berdiri diam di samping kuburan itu tanpa melakukan apa-apa. Hatinya pias. Rasa sakit yang beberapa tahun dia kubur dalam-dalam di dasar hatinya menyeruak seketika. Lionel memegang bahu Vio pelan.
“Setelah kamu pergi, dia sakit. Entah berapa lama dia menyembunyikan penyakitnya itu dariku. Padahal aku yang selalu menemaninya kemana pun dia ingin pergi.” Gumam Lionel sambil menatap gundukan tanah di hadapannya.
Vio terdiam sambil menggigit bibirnya. Air mata yang ia kira bisa dia tahan mengalir pelan di pipinya.
“Kamu pasti membenciku, kan Lionel??”
Vio berbalik dan menatap Lionel. Lionel menggeleng dan tersenyum pelan.
“Meskipun aku sendiri tidak pernah bisa jujur dengan perasaanku ke Aldo, bukan berarti aku marah padamu karena sudah pergi dan membuatnya menderita karena merasa bersalah. Kita semua berperan dalam kehidupan ini. Dan kita sudah mendapatkan balasan kita masing-masing.” Tukas Lionel sambil menatap mata Vio dalam-dalam.
“Dia pasti bahagia kamu mau datang kesini.” Lionel tersenyum dan mengacak-acak rambut Vio.
Vio terdiam dan rasa bersalah semakin mencengkram dadanya kuat-kuat.
“Dia ingin kamu berbahagia. Itu saja.” Timpal Lionel lagi.
Lama mereka terdiam dan terhanyut dengan pikiran mereka masing-masing.
“Boleh kamu ninggalin aku disini, nel??” Pinta Vio tiba-tiba.
Lionel mengangguk sambil berdiri dari samping Vio. Vio berjongkok di samping kuburan itu. Memegang batu nisan yang bertuliskan nama orang yang sangat disayanginya. Kini, mereka benar-benar tidak bisa bersatu. Karena kebodohan, keegoisan, dan gengsi masing-masing yang terlalu besar.
“Al, aku janji aku bakal bahagia.” Gumam Vio pelan sambil menyusut airmata yang menderas di kedua pipinya.
Mentari senja menerpa wajah Vio. Menyilaukan pandangan matanya. Tanpa disadarinya, Lionel sudah berdiri di dekatnya dan mengajaknya pulang. Vio berdiri dan mengikuti Lionel. Ia berbalik sebelum benar-benar pergi. Menatap sekali lagi tempat peristirahatan cintanya itu untuk terakhir kali. Dia berjanji tidak akan kembali lagi kemari. Dan dia berjanji, ia akan bahagia. Bagaimanapun caranya. Senja memerah mengantarkan mereka berdua meninggalkan tempat itu. Meninggalkan semua kenangan di belakang.
***
Enjoy reading!!!!