Sambas dan Kutang Perawan

Mata kami saling berbalas tatap. Tanpa kedip. Kurasa kau baca pikiranku. Kucoba ikuti lekuk bibirmu. Lalu, tanganku mulai menyentuh halus pipinya. Dia diam. Matanya membesar. Mataku mencari kesempatan. Kuikuti tiap jengkal wajahnya. Halus, tak seperti yang lain. Lengkap. Indah. Mulutnya menutup. Mulutku enggan berucap. Nafasnya beradu. Nafasku menggebu. Perlahan wajah kami berdekatan. Jelas terlihat ada rona di pipinya. Terasa menegang urat nadiku.

"Tidak sakit kok, kau diam saja" ujarku pelan.

Dia diam.

"Sudah pernah melakukannya?" kembali aku bertanya.

Dia menggeleng. Membuka perlahan mata indahnya berbinar. Alis terlekuk seperti sengaja dibentuk lancip. Lagi, mata kami saling menatap. Aku tahu dia sangat gugup. Namun nafsuku terlanjur menggebu.

Kancingnya kulepas satu persatu. Dia diam. Tak dapat melawan. Aku usap rambut tipisnya. Kudekati hidungnya dengan hidungku.

"Buka rokmu, kalau tidak nurut kulapori bapakmu!"

"Jangan, tolong jangan, Tuan" seketika panik menghantuinya. Melawan lenganku yang sibuk melepasi kancing kemejanya.

"Sudah diam saja! Bapakmu menunggu diluar, mau kau kulaporkan karena tidak menurut?"

Dia mulai meneteskan air matanya. Takut. Dia tak dapat melawan. Ini semua kehendak bapaknya. Untuk keselamatan keluarga. Jika tak ada Eulis, bapak sudah dilibas Kang Sambas. Hanya saja, ini tak adil. Ya, ini tak adil. Lalu kami bergulat. Telanjang bulat. Kang Sambas beringas. Aku sesak bernafas. Kang sambas mendorong. Aku merongrong. Kang Sambas menikmati. Aku tersakiti. Kang Sambah menagih. Melawan, malah kepala bapak diancam sembelih. Sial, aku harus melunasinya. Tuhan terkadang tak menolong. Atau barangkali sedang mengintip kami?

Kang Sambas lelah. Perawanku terbelah. Kang Sambas menang. Aku terlentang. Kang Sambas menagih hutang. Aku melepas kutang.

Tak lama dia keluar dengan wajah sumringah. Sedangkan aku tak dapat menahan perihnya. Malu. Dosa. Marah. Semua campur jadi pasrah. Karena aku miskin dan terpedaya. Hingga bapak rela anaknya digoda. Kupakai kembali baju SMP ku. Rok biru tampak kusut karena tertindih.

Kang Sambas keluar kamar. Sengaja pintunya tak ditutup. Bapak sudah menunggu dengan mata terlanjur merah. Mungkin dia mendengar jeritanku. Walau tega menukar hutang dengan tubuh suci anaknya.

"Heh Dirman, hutangmu sudah kuanggap lunas!" ucap Kang Sambas begitu saja sambil berlalu. Sedangkan bapak hanya dapat tertunduk. Lalu tersedu menatapku.

Kang Sambas menagih hutang. Lima tahun kemudian aku mejajakan kutang. Karena aku miskin dan bodoh.

----