Detak jantung perlahan bergulir semakin cepat.
Aku bersumpah bisa mendengar ritmenya tambah cepat.
Aku tak punya asa apa-apa untuk tinggal dan berharap bahkan satu kata.
Tapi ini terlalu singkat.
Mengatakan selamat tinggal bagaikan menyisipkan duri bercabang di ujung lidahku yang berjuta-juta waktu mati kelu.
Ubah bentuk derita ini, lirih kupinta dalam diam tanpa suara.
Jadi apa saja.
Asal tak lagi kentara aku duka saat kau tiada.
Desau angin menisikkan pedih yang terbawa dalam cahaya senja yang seharusnya memerah di ufuk barat sana.
Sakitnya mencabik tanpa sempat dengarkan pinta ampun yang sengau oleh air mata.
Satu-satu mimpi buruk bangkit sendiri tanpa permisi.
Bagai hantu, bayangnya tolehkan pasang mata yang buta oleh amarah. Mulanya sia-sia.
Lalu tak ada jejak lagi tersisa.
Bolehkah kuminta biarkan saja kutenggelam dalam sepi yang mulai membunuhku perlahan ini?
Lupakan saja pernah ada kita di antara kita.
Karena telah lama cinta tak punya tempat disini.
Mengetuknya hanya menolehkan duka yang akan semakin bertubi-tubi mendera. Laranya menyesakkan, aroma pekatnya meracuni jiwa.
Tak ada waktu selipkan tanya.
Pergi saja.
Pilihan lain hanya percuma jika pamrih masih menggantung disana.