zulfianp Pendatang Baru
Jumlah posting : 6 Points : 12 Reputation : 0 Join date : 22.04.14 Age : 34 Lokasi : Hatimu
| Subyek: Potongan Novel "Semester 7" Wed 28 May 2014 - 21:26 | |
| *tengok kanan kiri Ehm. Oke. Ini sebenarnya adalah bab 3 novel pertama gue. Insya Allah mau terbit secara self publishing. Kalo berkenan, silakan dicicipi samplenya. - Ospek Cinta:
Liburan semester genap selama tiga bulan udah terpampang di depan mata. Pada masa liburan ini, kampus tetap ramai karena anak-anak UND akan sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Beberapa orang mahasiswa terlihat membawa buku agenda rapatnya ke mana-mana sementara gue tadi sempat melihat sekumpulan anak memasang poster, flyer, dan baliho di pinggir jalan. Namun muara dari semua kepanitiaan itu jelas: penyambutan mahasiswa baru. Bagaimanapun, mahasiswa baru selalu menjadi daya tarik senior-senior mereka dalam kepentingan yang beragam, mulai dari “cari anak buah” hingga “cari partner dalam membuahkan anak” alias cari jodoh. Menjadi eksis pada unit kegiatan mahasiswa tertentu atau kepanitiaan ospek adalah salah satu ikhtiar dalam mendekati menyambut mereka. Sementara Kibo sibuk menikmati libur hari pertamanya dengan berusaha memecahkan rekor tidurnya, gue datang ke kampus pagi ini demi mendaftar jadi panitia ospek. Proses perekrutan berlangsung di Fakultas Ekonomi. Semula, gue kira ketua panitianya memang anak FE sehingga tempat ini dijadikan basis perekrutan. Setelah gue tanya sana-sini, ternyata ketua panitianya anak Fasilkom. Usut punya usut, ternyata pemilihan FE sebagai tempat perekrutan didasarkan pada BANYAKNYA COLOKAN LISTRIK. Ini sampai sekarang masih menjadi misteri mengingat seharusnya Fakultas Teknik—yang mustahil kekurangan SDM teknisi listrik—punya lebih banyak colokan listrik. Alasan yang absurd, tapi sebenernya masuk akal mengingat ponsel sekarang rakus banget daya baterai…belum lagi penggunaan komputer jinjing udah nggak bisa dihindarkan dari keseharian mahasiswa. Ya, bagi mahasiswa UND dan mungkin mahasiswa kampus lain se-Indonesia, lebih sulit lepas dari jeratan colokan listrik daripada lepas dari jeratan narkoba. Gue berdiri di depan stand pendaftaran panitia ospek. “Ri, lu ngapain di sini? Mau daftar?” seseorang berkata sambil menepuk pundak gue dari belakang. Gue menoleh. “Eh, iya nih. Elu Roy, kan? Ke mana aja?” “Hehehe, nggak kemana-mana kok. Gue emang seringnya berkeliaran di sini.” “Waaah, lu pasti mau berburu cew—“ “Ssssttt…diem kenapa!” Roy panik. Tangannya menutup mulut gue. “Intinya, lu ke sini mau daftar jadi panitia kan? Tuh isi formulirnya,” katanya sewot. Roy adalah temen sekelompok gue saat ospek. Badannya tinggi. Kulitnya putih bersih. Roy selalu tahu cara berpakaian yang baik serta ditunjang oleh aura yang menyilaukan. Istilahnya, dia pake T-shirt daleman dan celana jeans aja kayaknya udah ganteng. Pokoknya dandy! Roy adalah contoh sempurna pria metropolitan nan metroseksual. Populer. Gue juga populer sih…sebagai orang yang tidak populer. Di Fakultas Sastra, perempuan yang nggak kenal Roy cuma ada dua golongan, antara dia telat puber atau nggak doyan laki. Lima hari setelah ospek, dia keliatan menggandeng mahasiswi Sastra Inggris. Sebulan kemudian, gue memergoki dia mojok di kantin dengan mahasiswi Sastra Prancis. Pernah juga gue menyapa dia yang sedang bergandengan dengan mahasiswi Sastra Jerman pagi harinya, dan ketika gue temui lagi sore harinya, ada seorang mahasiswi Sastra Cina yang menempel di lengannya. Track record Roy di fakultas mulai keliatan efek sampingnya pada tahun kedua. Perlahan-lahan, beberapa wanita menghindarinya. Roy jarang terlihat sebagai don juan yang ganti-hari-ganti-wanita. Dampaknya juga terasa di pergaulan antarlelaki. Roy dianggap sebagai public enemy yang merintangi cita-cita mereka memiliki calon pendamping lulusan UND yang brilian. Akhirnya, makin sedikit orang yang mau temenan dengan mahasiswa berambut hitam lurus ini, kecuali orang yang dari awal udah pasrah karena “kalah saing” soal wanita. Pada tahun ketiga, gue nggak melihat dia lagi. Gue sempet menyangka dia ditembak Petrus , dikarungin, terus dibuang ke jurang. Tapi ternyata, hari ini dia masih berdiri dengan utuh di hadapan gue. “Elu panitia juga, Roy?” “Yoi, gue think tank panitia ospek tahun ini, Bro.” “Maksudnya?” “Iyaaa…gue panitia inti. Dibentuk dari setengah tahun yang lalu, kita merumuskan konsep ospek tahun ini dan apa aja yang harus dipersiapkan. Setelah itu, kita melakukan close recruitment buat nyari orang-orang yang kita tahu persis kapasitasnya untuk mengisi pos-pos jabatan yang diperlukan. Kalo sekarang ini udah open recruitment, namanya. Tujuannya untuk mencari staf secara umum.” Ternyata, persiapan kepanitiaan ospek kampus nggak sesederhana kepanitiaan Maulid Nabi…. “Lu mau masuk bagian apa?” tanya Roy “Hmmm…apa ya?” “Yailah, gimana sih? Pikirin dulu deh, terus isi di formulir tuh.” Kalo nggak inget sifat jeleknya, anak ini sebenernya sopan dan asyik, lho! Seperti scene yang semalem gue bayangin, sosok gadis itu lewat lagi. Gue buru-buru menyiapkan skenario tabrakan kayak di sinetron. Siapa tau habis ini langsung jadian. “Mata, woy, mataaa,” Roy cekikikan. “Hehehe, tau aja lu. Eh, itu orang panitia juga?” “Yap.” “Bagian apa, dia?” “Keamanan.” “Oke, kalo gitu gue masuk bagian keamanan.” Roy geleng-geleng kepala.
***
Hari Sabtu ini, gue berencana kembali ke kampus. Ada acara team building, katanya untuk saling mengenal sesama panitia dan untuk merekatkan kerjasama kelompok. Gue, orang yang menakdirkan diri ditakdirkan sekelompok dengan perempuan-menarik-yang-nggak-tau-siapa-namanya, mengikuti acara ini dengan bersemangat. Sebagai satu-satunya orang yang gue kenal saat pendaftaran, gue mengikuti Roy ke manapun dia pergi. Roy ketemu ketua panitia, gue ikut…. Roy duduk, gue ikut…. Roy mau ke toilet, gue ikut. “Yailah, resek banget sih lu!” “Gue kan cuman kenal elu, Roy,” kata gue. “Mau gimana lagi?” “Ya elu kenalan dong sama siapa kek. Oh iya, lu kenalan tuh sama Ria.” “Hah, Ria? Cewek yang kemarin namanya Ria?” “Iya. Gue nanya sama temen nggak lama setelah ngobrol sama elu.” “Cara kenalannya gimana, Roy?” “Kenalan aja kayak biasa. Say hello, salaman, perkenalkan diri lu, asal jurusanlu. Habis itu juga ngalir sendiri obrolannya. Pasti lu bisa deh!” Gue diam sejenak. “Kyaaa…malu gue kyaaa!!” “Najis lu.”
***
“Temen-temen semua, harap berkumpul ya. Sebentar lagi kita akan pemanasan dan lari pagi,” Ria memanggil semua anggota panitia. Dipanggil Ria, semua anak keamanan refleks maju berkumpul membentuk barisan. Dari tatapan, jenis kelamin, dan tingkat kepatuhannya yang tinggi terhadap Ria, gue meyakini 90,375% dari mereka adalah anak teknik. Alih-alih dibelai tangan wanita, mereka lebih sering dibelai obeng, tang, atau molen/pengaduk semen. Wajar, mereka haus akan asmara. Gue bergabung dengan mahasiswa-mahasiswa ini. Setelah sesi pemanasan selesai, seluruh panitia lari pagi. Gue lari di belakang Ria demi mengumpulkan nyali berkenalan. Bukannya kenalan, gue malah menyaksikan ikhtiar dalam mencari perhatian yang diselenggarakan oleh anak-anak teknik ini. Beberapa kali terlihat satu-dua anak berlari dengan semangat melewati Ria. Sepersekian detik kemudian, salah satu dari mereka terjatuh dengan tingkat dramatisasi film low budget yang gagal sehingga siapapun akan malas memberikan pertolongan padanya. “Aaaa…aku cedera, Aaaaa,” kata satu orang yang menjatuhkan diri. “Kamu tidak apa-apa?” kata temennya. Bahasanya kaku. Mungkin dia jarang baca skenario masa kini. Ria tak peduli. Terus berlari. Beberapa menit kemudian, datang makhluk lainnya. Dia berlari melewati Ria dengan penuh gaya, menatap sebongkah batu di depannya, dan pura-pura kesandung dengan sukses. “Aaaa…aku kesandung, aaa…,” raut wajahnya terlihat menghayati peristiwa kesandung itu dengan dipaksakan. Kalau gue nggak salah denger, kayaknya tadi dia bilang ‘Aaaa’ itu sambil ngeluarin vibrasi deh. “Sini gue bantuin,” kata gue, kasihan melihat usaha solo kariernya nggak ditanggapi. Sementara itu, Ria terlihat menganggap keberadaannya seperti upil yang bermetamorfosis menjadi ingus. Tidak penting, tetapi mengganggu dan menjijikkan. “Nggak usah!” katanya. Dia bangun sendiri sambil misuh-misuh. Gue kembali berlari, masih di belakang Ria. Orang yang terakhir disebut perlahan-lahan mulai berlari di sebelah kiri gue…. Nggak, gue nggak bakal pura-pura jatuh. “Nyebelin banget sih, anak-anak itu,” Ria tiba-tiba ngomong ke arah kanannya. Gue tengok sebelah kanan gue. Kali aja ada orang. Ternyata nggak ada. Dia ngajak ngomong gue! “Hehehe iya tuh.” “Temen lu?” “Bukan, bukan! Gue bukan temen mereka, kok!” gue berusaha menyelamatkan nama baik. “Gue anak sastra.” “Hmm sastra,” Ria diam. “Wah, berarti lu puitis dong. Jago nulis puisi dong?” “Nggak juga. Fakultas Sastra nggak selalu identik dengan pujangga dan hal-hal yang bersifat seni lainnya. Ada juga yang kerjaannya menganalisis, kayak gue ini.” “Oooh…emang lu jurusan apa?” “Ilmu Sejarah,” kata gue. “Kalo elu?” “Manajemen.” Gue berusaha mengingat kembali nasihat Roy. Jabat tangan, perkenalkan diri, asal jurusan…eh, itu udah, dan semuanya akan nga… “Gue Ria,” dia tersenyum dan mengulurkan tangannya. Masih berlari. “Gue, gue Ari,” gue menjabat tangannya dengan kikuk. Skenario perkenalan gue-Ria nggak berjalan sesuai instruksi Roy. “Hihihi, lucu banget sih lu!” Ya Tuhan, dia ketawa! Belum pernah gue merasa seindah ini diketawain orang lain. Terakhir diketawain, gue masih SD dan berusaha pulang ke rumah karena pup di celana. Ini pasti mimpi…. Selesai lari pagi, panitia yang bertugas menyiapkan panitia ospek membagikan jatah sarapan. Kesempatan ini digunakan oleh mahasiswa teknik untuk menarik perhatian Ria dengan menawarkan bubur jatah sarapannya. “Ria, nih buat kamu. Aku nggak apa-apa kok, nggak laper,” kata seorang mahasiswa berperut shinkansen. Maju, gitu, perutnya. “Ria, makan sarapanku aja mendingan. Sarapannya nggak bagus buat perkembangan otot-ototku. Tuh, coba liat,” mahasiswa lainnya menawarkan sarapan sambil pamer otot yang, ehm, seadanya. “Jangan, Ria, tadi buburnya udah kena muncratan ilerku!” kata mahasiswa ketiga menunjuk mahasiswa kedua. “Makan buburku aja,” ujung-ujungnya dia menawarkan diri. Ketiga mahasiswa saling rebutan kesempatan ngomong. Situasi jadi kacau. “Stop! Stop! Stooop!!!” Ria teriak. Semua orang di situ menoleh ke arah yang sama: Ria dan tiga orang fans dadakannya. Beberapa kembali mengobrol dengan temannya, beberapa memutuskan untuk tetap menoleh. Golongan yang terakhir disebut kebanyakan berjenis kelamin laki-laki dengan teman mengobrol laki-laki pula. Antara jomblo tetap atau jomblo situasional. “Elu!” Ria menunjuk mahasiwa pertama. “Gak usah sok jaim deh, gue denger suara perutlu pas nawarin bubur tadi. Sebenernya lu juga laper, kan?” “Kruuuk…,” perut mahasiswa pertama berbunyi. “Terus, elu. Elu nggak doyan itu bubur terus ngasih ke gue? Lu ngasih barang yang nggak lu sukain untuk PDKT ke perempuan?” “Maksudnya bukan begi—” “Udah berapa kali lu pacaran?” “Belum pernah…,” mahasiswa kedua menunduk lesu. “Pantes.” “Hmmm…,” beberapa penonton bergumam sambil memberi tatapan kasihan. “Dan elu. Memprovokasi orang lain biar gue milih elu, gitu? Black campaign banget sih lu, kayak anak politik. Geli gue.” “Woy!” seorang mahasiswa terlihat tersinggung dari seberang sana. “…dan kalo emang bubur orang lain aja bisa kena muncratan ilerlu, gimana buburlu sendiri?” Mahasiswa ketiga ngeces. “Jadi, biarkan gue sarapan dengan tenang.” Semua panitia dan panitianya panitia memberikan tepuk tangan yang meriah. Mereka menyangka kejadian itu sandiwara semacam reality show. Ketua seksi acara terlihat menyalami Ria atas bantuannya membuat acara team building menjadi lebih “hidup”. “Tuh, lu liat ketiga mahasiswa nista itu,” Roy berucap. “Dari jaman Belanda dateng sampe reformasi berlangsung dua windu , metodenya masih gitu-gitu aja. Ckckck….” Roy yang daritadi sarapan di samping gue menganalisis cara pendekatan ketiga mahasiswa dengan meyakinkan. “Emang harusnya gimana, Roy?” kata gue. “Lu mau tau caranya?” “Mau.” “Lu beneran naksir sama Ria?” “Iya, sih.” “Kalo pake ‘sih’ berarti belum serius.” “Iya, gue naksir dia. Gue serius mau membidik dia.” Bidik, bidik. Lo kira burung, pake dibidik? Gue membatin perkataan gue sendiri. “Oke, gue akan bantu elu. Tapi dengan satu syarat.” “Apa?” “Bantu gue memulihkan nama baik gue.” Rupanya, ada udang di balik bakwan. “Wuih, berat bener!” kata gue. Kalo citra Roy ibarat dosa yang melekat, mungkin gue harus naik haji dan berdoa di depan Ka’bah dulu buat ngebersihin kerak-keraknya. “Heh, lu nggak liat gimana Ria memerlakukan cowok-cowok tadi? Belum termasuk orang-orang yang dia tolak pas lari pagi tadi,” kata Roy. “Lu beruntung tadi bisa diajak ngomong sama dia. Salaman lagi.” “Eh, lo ngeliat?” “Gue lari di samping lo. Lupa?” “Terus, kenapa tiba-tiba lo menghilang berganti Ria di samping gue?” “Pertama, gue mencium gelagat Ria mau ngajak ngomong elu. Gue harus menjauh.” Roy menjelaskan. “Kedua, gue udah ngos-ngosan.” “Yailah….” “Ria itu singa, Bro! Salah dikit, abis lu dimakan dia.” Roy kembali ke topik. Bener juga sih. Ketiga mahasiswa tadi masih diam, shock berat atas penolakan Ria yang lebih dari efektif. Di sisi lain, gue punya kesan pertama yang baik. Kehadiran Roy juga mungkin bisa membantu gue dalam mendekati Ria. “Gimana, deal?” “Deal,” gue menjabat tangannya.
***
Selamat menikmati! | |
|