Kami adalah penulis, dan kami tidak butuh persetujuan dari siapa pun! |
"Jika ada buku yang benar-benar ingin kamu baca, tapi buku tersebut belum ditulis, maka kamu yang harus menuliskannya." ~ Toni Morrison |
|
| Potongan Novel "Kebebasan" | |
| | |
Pengirim | Message |
---|
de_wind Penulis Sejati
Jumlah posting : 3494 Points : 3669 Reputation : 52 Join date : 29.03.11 Age : 39 Lokasi : Bekasi
| Subyek: Potongan Novel "Kebebasan" Mon 23 Jul 2012 - 6:28 | |
| Sori klo kpanjangan. ini bagian dri novel yg kugarap. yg pngen kutanyain sih intinya... disini aku make SP 1 tp krena ada 2 tokoh utama dsini...aku jg make SP 3 bisa gak sih begitu...klo di trit ttg sudut pandang kan ada tuh yg namany SP campuran. mohon komenny jg soal yg lain2 ya... thank yaw....! - Spoiler:
Kegelapan mulai merasuk diam-diam ke dalam selku yang sempit dan kecil. Potongan-potogan cahaya yang sedari tadi silih berganti menyentuh lembut lantai dingin selku itu, mulai redup dan hilang begitu saja. Sama dengan kehidupanku.
Kehidupanku beberapa waktu yang lalu, biasa saja dan tampak tidak begitu menarik. Malah kupikir, lebih banyak kebosanan yang dihasilkan oleh kicau burung di pagi hari dan matahari yang selalu pelan-pelan menghangatkan bumi. Bukannya aku tidak menyukai semua itu. Hanya saja, semua itu kupandang sebagai sesuatu yang seharusnya terjadi. Biasa saja dan tidak menarik.
Mungkin aku akan meneteskan setitik air mata saat mendengar kasus Tsunami yang menimpa Aceh dan bergidik pilu saat menonton berita tentang kerusuhan Sampit dan Poso. Akan tetapi, hanya itu dan tidak lebih dari itu. Aku tidak pernah tergerak untuk mengirimkan sejumlah uang untuk rekening yang tertera di layar televisi, berganti-gantian di setiap saluran TV di Indonesia. Aku juga tidak pernah berminat mengikuti jejak sukarelawan Aceh yang berangkat ke daerah itu untuk menolong sejumlah korban Tsunami, baik secara fisik maupun finansial.
Aku hanya akan mengacungkan jempol sesaat dan mengagumi mereka untuk sesaat pula, untuk kemudian melanjutkan hidupku seperti biasanya. Sampai aku bertemu dengan makhluk bernama Fikar ini.
Bagiku, dia tergolong unik. Perawakannya dapat dikatakan tidak dapat dikatakan menarik. Tinggi badannya sedang untuk ukuran pria di Indonesia, kulitnya sawo matang kecoklatan akibat seringkali beraktivitas di bawah sayap api matahari siang, dan matanya sipit dengan pupil yang berukuran kecil. Memang sama sekali bukan pria yang tampan atau sejenisnya. Namun, saat aku melihatnya, aku dapat merasakan wibawa yang besar darinya.
Aku sedikit lupa akan pertemuan pertamaku dengannya. Waktu itu aku masih duduk di bangku SMU, menjalani kegiatan rutin siswa-siswi saat istirahat siang, duduk di kantin memesan makanan yang tidak sehat. Tiba-tiba saja seorang siswa, yang kala itu tidak aku ketahui kelas berapa, menyeletuk ringan,
“Bakso itu nggak sehat, lho…” Aku menoleh kaget. Berhadapan dengan lelaki itu. Dia tidak memandangku sama sekali. Dia sedang asyik berkutat dengan kertas-kertas yang ada di hadapannya.
“Sori, maksudnya?”
“Iya, nggak sehat. Gizinya sih ada, tapi udah terkontaminasi sama berbagai campuran yang nggak sehat kayak MSG.”
Dia tetap tidak mengalihkan pandangan dari kertas-kertas yang bertebaran di hadapannya, menekuni salah satu di antaranya. Kalian mengerti maksudku, kan? Seorang lelaki yang tidak dikenal berbicara seperti itu dengan lugas, sementara dia sebenarnya tidak memperhatikanmu? Kalian mengerti maksudku, kan?
Aku berpandangan dengan teman yang duduk di seberang mejaku. Dia menunjukkan raut wajah yang sangat keheranan, jadi bukan hanya aku yang merasa kalau dia sedikit aneh. Temanku mengedikkan bahunya dan kami siap menyantap bakso lezat yang sudah disajikan di hadapan kami.
Aku tertawa-tawa dengan temanku, tanpa mengingat lelaki aneh yang sudah menegur dengan cara yang tidak biasa itu. Seperti biasa, mangkok kugeser ke sampingku agar tidak mengganggu tanganku yang bertumpu pada meja.
“Dihabisin juga?” Aku menoleh kaget untuk kedua kalinya. Kali ini berhadapan dengan mata sipit yang menyorot tajam. Tanpa sadar, aku memundurkan punggungku, sedikit menjauhi makhluk aneh di hadapanku.
“Emang kenapa, sih?” Aku mulai kesal, lebih karena ketidakpahamanku akan perkataannya, bukan rasa takutku menghadapinya. Temanku hanya bisa menatapnya dengan dahi berkerut.
“Ya, kan gak sehat,” sahutnya ringan.
“Kan bukan berarti mesti ngindarin mulu…,” tukasku mencari alasan.
“Kayaknya tiap hari deh lo makan bakso atau mie ayam mulu…”
Dia tersenyum. Entah mengapa, keanehannya itu justru membuatku tertarik, bukannya menjauhinya. Mungkin, fakta bahwa dia memerhatikan gerak-gerikku sedikit membuatku tersanjung. Seakan-akan kau mempunyai pengagum rahasia.
“Lo lagi ngutak-ngatik apa?” Aku mulai menyuarakan ketertarikanku. Dan dengan sadar diri, temanku mengundurkan diri dari meja kantin dan meninggalkanku yang lupa akan temanku itu. Bayang-bayang wajahnya yang begitu bersemangat menjelaskan tentang berbagai pengetahuan yang dia miliki perlaham memudar, berganti dengan kegelapan. Ya, kegelapan semata. Tanpa manusia-manusia sepertimu, dunia akan menjadi begitu gelap. Seperti yang kurasakan saat ini.
Kegelapan yang hanya diterangi bohlam berwarna kuning kecil itu menyelimuti jiwa dan ragaku. Hari pertama, kurasakan badanku bergetar oleh kesadaran akan lemahnya posisiku sekarang, tanpa kekasihku, juga tanpa kebebasan yang kuagungkan itu. Beberapa hari setelahnya, tubuhku gemetar kembali akan ketakutan yang lebih mendalam. Kusadari, aku mulai terbiasa dengan hidupku di balik jeruji. Aku takut aku mulai terbiasa oleh kegelapan dan bau menyengat dari toilet yang tidak tertutup di sel itu. Aku takut itulah pertanda aku mulai kehilangan kewarasanku. Betapa aku merindukanmu malam-malam seperti ini, Kar. Kamu selalu menelepon dan mengingatkanku untuk shalat maghrib dan mengaji setelahnya. Tidak lupa pula kamu ingatkan aku untuk shalat Isya. Hanya ibadah dan lingkungan hidup yang mekar mengembang dengan pasti di hatimu. Entah bagaimana aku di hatimu.
Aku kembali gemetar. Dahulu, setiap kali aku mengenangkan Fikar, aku akan menitikkan air mata. Tanpa bisa kucegah, bahkan tanpa bisa kusadari. Dan aku bergidik menyadari fakta bahwa aku tidak lagi menangisi kematian Fikar. Kesedihan telah menguap dariku, apakah benar begitu? Aku mencoba mencari cara untuk menemukan kembali sudut-sudut hatiku yang terluka akan ketidakhadirannya. Aku mencoba menangis kembali seperti saat dulu aku mengenangkan kejadian yang membuatku terpisah dengan Fikar itu.
Betapa manusia akan terbiasa dengan kesakitannya hingga dia tidak lagi ingat untuk mengaduh.
Sama saja dengan kegelapan ini. Pertama-tama, dia akan menyentuh ragamu, menawarkan ketenangan tak terbatas. Selanjutnya, dia mulai menggerogoti jiwamu, mencari rekannya yang bercokol di sudut hati tiap manusia. Mereka akan menyenandungkan lagu sunyi yang berdengung di telingamu, mencampakkan janji-janji ketenangan dan ketentraman kepadamu.
Hal yang terjadi padaku. Karena kasus yang cukup unik ini, aku ditempatkan di sel terpisah. Aku rasa itu bisa berarti aku ditandai sebagai kasus yang belum tertangani. Apa yang mereka bingungkan? Aku melukai orang lain, mengakibatkan lumpuh permanen. Pada jiwa muda yang terbakar oleh semangat kemudaannya itu. Pada raga yang hendak mulai merintis jalan kehidupannya, yang kurenggut begitu saja. Dan manusia menyatakan bahwa kasusku menarik. Hanya karena aku mengakui kebersalahanku begitu saja? Atau karena aku langsung menyerahkan diri kepada pihak berwajib berseragam itu?Atau karena aku menyelamatkan satu jiwa yang sengsara dalam selongsong kosong tubuhnya sendiri? Aku membaca dari koran yang kupinjam dari sipir penjara betapa kasus tersebut menimbulkan kontroversial dan bahkan menyulut kemarahan masyarakat. Masyarakat yang mengatasnamakan dirinya dengan organisasi relijius bangkit dalam amarah yang berkobar, berunjuk rasa di depan Pengadilan Negeri Jakarta di Ampera. Menuntut agar aku dihukum mati. Hukuman mati? Pertama kali, memang aku sedikit bergidik. Selanjutnya, seperti biasa, aku hanya mengedikkan bahu. Aku cukup mengerti resikonya, bahkan tidak perlu menyewa pengaca untuk membela diriku ini.
***
Radit datang kembali mengunjungiku. Kali ini aku sudah siap untuk menghadapinya. Aku dapat melihat keterkejutan di wajahnya saat menghadapiku. Seakan dia baru pertama kali bertemu denganku. Dengan berani kutatap matanya, menunjukkan aku bukan lagi aku yang kemarin. Yang merasa lemah dan putus asa.
“Kayaknya mbak udah cukup siap menghadapi kasus ini.”
“Hmm,” jawabku hanya dengan gumaman singkat. Dia mengeluarkan beberapa berkas di hadapanku. Aku tidak bisa melihat isinya, pun tidak tertarik dengan kertas-kertas itu.
“Ini fakta-fakta yang saya kumpulin dari semua kenalan mbak…” Dia menjelaskan, seakan-akan hal itu penting buatku. Aku hanya mendengarkannya tanpa rasa tertarik sedikitpun. Dia menyadarinya. “Mbak, ini penting, lho,” sahutnya saat aku tidak memberikan reaksi. “Saya juga perlu tahu bagaimana sinkronisasi jawaban mereka dengan mbak. Supaya saya bisa melihat lebih dalam pada kasus ini.”,,
Aku kembali menjawab dengan gumaman singkat. Dia mengeluh sepelan mungkin, bisa jadi karena dia tidak ingin memperlihatkan emosinya di hadapanku.
“Kalau gitu, jawab pertanyaan saya aja, ya. Gimana?” Aku mengangguk singkat. Aku akan ikuti saja kemauan lelaki yang sedang mengejar karirnya ini. Mungkin ini adalah satu-satunya jalan yang paling tepat untuk meningkatkan popularitasnya sebagai pengacara. Baru kali ini aku memerhatikan lekuk-lekuk wajahnya. Dia sangat berbeda dengan Fikar, yang penampilannya seakan kurang terurus. Wajah lelaki ini tercukur dengan baik dengan muka yang halus membuatku begitu yakin kalau dia menggunakan produk perawatan wajah tertentu.
Sebaliknya, garis rahangnya keras dan persegi, menandakan ia adalah orang yang berkemauan keras. Keras pula sikapnya. Matanya menyorot tajam dengan dahi yang lebar menunjukkan kecerdasannya dalam berpikir secara analitis. Yah, bagaimanapun juga, dia pengacara. Memutar otak sudah menjadi bagian dari pekerjaannya.
Kami memecahkan keheningan di ruangan persegi yang kelam itu hanya dengan tanya-jawab yang bersifat formal. Aku hanya menanggapi sebagian besar pertanyaannya dengan singkat. Tanpa kemauan, tanpa hasrat, hanya memenuhi formalitas yang ia inginkan.
“Lo orang Batak?” Tiba-tiba saja pertanyaan itu keluar dari mulutku, membuat penanya yang sedang menuliskan sesuatu di kertas terhenti di udara. Dia melihatku dengan alis terangkat. Entah aku tertarik atau tidak, tetapi tanpa sadar aku sudah mengajukan pertanyaan itu. Bisa jadi aku tertarik, tanpa kusadari, entahlah. Dia menunjukkan muka jengah mendapat pertanyaan yang muncul tanpa diduganya itu. Dia mengangguk singkat.
“Kenapa rata-rata pengacara itu orang Batak?” Satu pertanyaan meluncur lagi. Kali ini mungkin sudah terlalu lancang. Dia jelas-jelas menunjukkan ketidaksukaannya dan memandangku dengan tajam.
“Saya rasa pertanyaan itu nggak relevan.” Dia menjawab dengan dingin, tanpa memandangku. Aku mengedikkan bahu dan kami berdua kembali meneruskan tanya-jawab yang membosankan itu.
***
“Sumpah, tuh cewek aneh banget!” seru Radit ketika dia masuk ke rumahnya di Jakarta Selatan sembari menghempaskan diri ke sofa di ruang TV yang terletak di ruang tengahnya. Dia menyumpah-nyumpah, disaksikan oleh seluruh keluarganya, yang seluruhnya sedang berkumpul di ruang keluarga tersebut.
“Radit!” bentak ibunya saat mendengarnya mengumpat. “Jaga omonganmu! Jangan kasih contoh jelek sama adikmu…” Ibunya, seperti biasa, menyiapkan secangkir cappucino panas untuknya. Dia tersenyum lebar, dengan pandangan meminta maaf. Dia melirik ayahnya sekilas. Dia tenggelam dalam koran lebar yang direntangkan menutupi bagian atas tubuhnya. Seperti biasa, pagi, siang, sore. Kebanyakan hanya itu yang dikerjakannya setelah pensiun.
“Makasi, mak…” Dia mencium pipi wanita yang berperawakan mirip dengannya itu. Sorot matanya bahkan lebih tajam walaupun bentuknya lebih menyipit dan rahangnya lebih tegas dan persegi daripada Radit. Dia menyeruput cappucino yang telah disiapkan ibunya. Adik perempuannya yang tertua, Mia, mendekati dan duduk di sampingnya, diikuti dengan adik perempuannya yang bungsu, Adelia. Adelia, memilih untuk duduk di lantai sambil mencomot biskuit yang biasa tersaji di toples di atas meja pendek di depan sofa.
“Kenapa, bang? Kasus cewek yang nyerang RSCM itu, ya?” Radit hanya mengangguk segan. Bayangan gadis dengan ekspresi wajah datar itu kembali membayanginya. Tatapannya tajam, namun kosong. Menatapnya dengan pikiran yang entah melanglang buana hingga ke negeri antah-berantah. Posisi duduk yang pasif dengan bahu turun, menunjukkan apatisme dan keputusasaan. Radit mulai merasa pesimis akan kasus ini. Gadis itu menatap Radit dengan mata berbinar-binar, seperti biasa apabila dia tertarik akan sesuatu hal. Radit mengeluh.
“Aneh. Ceweknya aneh.”
“Aneh gimana, bang?” desaknya.
“Orangnya diem banget, pasif, apatis. Kalau ditanya jawabannya singkat, kadang-kadang malah diem, gak jawab. Udah gitu malah nanya aneh-aneh, apa aku orang Bataklah, kenapa pengacara orang Batak semualah…,” sungut Radit sambil melonggarkan dasinya yang bermotif garis diagonal merah dan hitam. Dia mendesah panjang, seakan-akan ingin menghisap seluruh udara di ruangan untuk dirinya sendiri demi menghilangkan penat karena pekerjaannya.
“Namanya juga kriminil… Pasti aneh,” tukas ibu Radit entah mengapa terlihat sengit saat mengatakannya. Radit mengabaikan pernyataan subjektif ibunya ini.
“Gimana ya, mak? Masalahnya dia nggak punya catatan kriminalitas sebelumnya. Bersih.” Radit kembali menyeruput cappucino-nya dengan dahi berkerut. Seharusnya fakta itu bisa jadi peluang untuk meloloskan Nadira dari hukumannya, minimal mengurangi masa tahanannya atau beratnya hukuman.
“Tapi, kenapa bisa gitu ya? Kalo di TV kan orang yang dia bunuh itu pacarnya sendiri, kan?” sahut Mia. Radit melirik Mia dengan menaikkan alisnya, sambil tersenyum penuh arti. Dia yakin adiknya itu melihat beritanya melalui berita infotainment, berita-berita yang lebih banyak didorong oleh isu-isu yang tidak jelas dengan pemberitaan yang berlebih-lebihan hanya demi meningkatkan rating penonton. Gaya pemberitaan itu yang dulu disebut dengan yellow jurnalism, jurnalisme kuning. Jurnalisme yang tidak mementingkan kode etik, tetapi hanya semata memperoleh keuntungan komersil.
“Apa sih, bang. Mia nonton di berita, bukan infotainment,” sergah Mia dengan wajah yang sedikit memerah. Dia memberengut.
“Lah, kan abang nggak ngomong apa-apa…”
“Mata kau itu lho, bang… Berbicara lebih banyak daripada mulut kau…”
Radit tergelak, sadar kalau adiknya ini hanya menggunakan logat Batak kalau sudah merasa kesal atau tersinggung. Dia mengacak rambut Mia, yang disambut dengan tepisan Mia. “Iya, iya… Abang sih udah riset lewat media massa… Emang begitu ceritanya. Tapi, abang sendiri belum sampai riset ke lapangan. Baru beberapa hari dapat persetujuan dari klien abang itu soalnya…”
Tiba-tiba saja ayahnya berdehem. Kebiasaannya saat dia ingin mengatakan sesuatu kepada anak-anaknya. “Kau salah pula, Dit…” sahutnya, menurunkan kacamata bacanya dan mengurut pelipisnya, seperti biasa apabila beliau selesai membaca dalam waktu lama.
Radit menoleh, membalikkan badan dan menatap ayahnya dari balik punggung sofa, dan menatapnya keheranan. “Lah, kok gitu?” Radit mengerutkan dahi.
“Kalau dia mau nanya-nanya soal kau, berarti dia kan tertarik sama kau, Dit…”
“Yaelah, Pak… Radit kan nggak mau nikahin dia…”
Ayahnya menggeleng-gelengkan kepala. “Kalau dia itu nggak punya catatan kriminil, jelas dia bingung dan takut ngadepin situasi macam ini. Wajar kalau dia bersikap aneh. Kalau dia mulai mau berinteraksi sama kau berarti dia udah mulai mau terbuka. Harusnya kau ajak dia ngobrol dengan santai dulu, baru kau berformal-formal dengan dia. Namanya juga manusia, dia butuh kepercayaan. Kau ini kan orang asing… Apalagi kau dateng tiba-tiba nggak diundang, pasti dia curiga sama kau…”
Radit merebahkan diri di sofa yang sedikit kelewat empuk itu, hingga sofa itu melesak dalam oleh desakan punggung Radit. Radit kembali merenung, memikirkan masukan dari ayahnya itu. Memang poin-poin yang disampaikan ayahnya itu sepenuhnya benar. Seharusnya dia lebih mempertimbangkan kondisi psikologis klien. Berhadapan dengan manusia memang membutuhkan pertimbangan yang cermat. Yang lebih akurat lagi, pengalaman yang rimbun, seperti ayahnya. Ayahnya sendiri bekas pensiunan pengacara. Lebih tepatnya, beliau sendiri yang memutuskan untuk berhenti dari profesinya sebagai pengacara untuk menikmati masa tua bersama keluarga dengan tenang. Radit sendiri telah memutuskan untuk menjadi pengacara sejak dia melihat persidangan terbuka yang pernah dipengacarai ayahnya. Kala itu, ayahnya menangani kasus tentang sengketa tanah antara perusahaan swasta yang mengaku bahwa tanah itu adalah aset perusahaan mereka dengan warga setempat. Ayahnya membela warga tersebut dan memenangkan kasus itu, membuat perusahaan tersebut membayar ganti rugi sebesar 100 juta rupiah kepada warga yang menuntutnya. Kasus itu cukup mencuat ke permukaan, meningkatkan reputasi ayahnya. Terlebih lagi, di mata Radit. Saat ayahnya membacakan pleidoi di muka persidangan tampak terlihat berwibawa dengan tata bicara yang sangat cerdas sehingga mampu meyakinkan hakim sehingga terdakwa diputuskan tidak bersalah. Dia mengenang lagi sosok ayahnya yang memang tinggi-besar, dengan suara tegas dan terang-lantang, penuh percaya diri. Dia bagaikan dewa, Musa yang sedang berdakwah kepada umatnya.
| |
| | | m0nd0 Penulis Senior
Jumlah posting : 1446 Points : 1487 Reputation : 17 Join date : 11.07.12 Age : 35 Lokasi : Jakarta-Bandung
| Subyek: Re: Potongan Novel "Kebebasan" Mon 23 Jul 2012 - 17:58 | |
| Ada kok cerita-cerita yang kompleks make sudut POV campuran (tapi lebih biasa kalo sama2 POV 3 sih setau aku..) Bagian paragraf ini agak membingungkanku (pas baca 2 kali baru ngeh) - Quote :
- ... Bayang-bayang wajahnya yang begitu bersemangat menjelaskan tentang berbagai pengetahuan yang dia miliki perlaham memudar, berganti dengan kegelapan. Ya, kegelapan semata. Tanpa manusia-manusia sepertimu, dunia akan menjadi begitu gelap. Seperti yang kurasakan saat ini.
hmm baru itu aja sih... semangat wind | |
| | | sagitany Penulis Sejati
Jumlah posting : 4863 Points : 4905 Reputation : 8 Join date : 06.04.12 Age : 32 Lokasi : medan
| Subyek: Re: Potongan Novel "Kebebasan" Mon 23 Jul 2012 - 20:33 | |
| mas mondo, dari tadi emot2nya lucu.. masukin ke pesan emot, mas.. #ga sanggup komen punya kak wind | |
| | | m0nd0 Penulis Senior
Jumlah posting : 1446 Points : 1487 Reputation : 17 Join date : 11.07.12 Age : 35 Lokasi : Jakarta-Bandung
| Subyek: Re: Potongan Novel "Kebebasan" Mon 23 Jul 2012 - 20:44 | |
| | |
| | | sagitany Penulis Sejati
Jumlah posting : 4863 Points : 4905 Reputation : 8 Join date : 06.04.12 Age : 32 Lokasi : medan
| Subyek: Re: Potongan Novel "Kebebasan" Mon 23 Jul 2012 - 20:56 | |
| kyyyaaaaaaaaaaaaaa~~~~~~ LUCU BANGET!!! | |
| | | m0nd0 Penulis Senior
Jumlah posting : 1446 Points : 1487 Reputation : 17 Join date : 11.07.12 Age : 35 Lokasi : Jakarta-Bandung
| Subyek: Re: Potongan Novel "Kebebasan" Mon 23 Jul 2012 - 22:23 | |
| udah aku taro sana linknya sagi | |
| | | de_wind Penulis Sejati
Jumlah posting : 3494 Points : 3669 Reputation : 52 Join date : 29.03.11 Age : 39 Lokasi : Bekasi
| Subyek: Re: Potongan Novel "Kebebasan" Wed 25 Jul 2012 - 4:02 | |
| emg ngebingungin ya? perlu dganti kah? sagi, komen dong... | |
| | | m0nd0 Penulis Senior
Jumlah posting : 1446 Points : 1487 Reputation : 17 Join date : 11.07.12 Age : 35 Lokasi : Jakarta-Bandung
| Subyek: Re: Potongan Novel "Kebebasan" Wed 25 Jul 2012 - 5:00 | |
| Iya yaa, kok sagi malah komen emoticon melulu.... jadi ngerasa bersalah.. maap ya wind saya sudah membuat konsentrasi Sagi buyar | |
| | | de_wind Penulis Sejati
Jumlah posting : 3494 Points : 3669 Reputation : 52 Join date : 29.03.11 Age : 39 Lokasi : Bekasi
| Subyek: Re: Potongan Novel "Kebebasan" Wed 25 Jul 2012 - 6:11 | |
| mondo gak perlu minta maap kok... gak dgituin jg konsentrasi sagi bakalan buyar.. dia kan junker penulis sejati ny SP... | |
| | | sagitany Penulis Sejati
Jumlah posting : 4863 Points : 4905 Reputation : 8 Join date : 06.04.12 Age : 32 Lokasi : medan
| Subyek: Re: Potongan Novel "Kebebasan" Wed 25 Jul 2012 - 8:33 | |
| maksud kakak apa?!! ehm, ini nih aku komen ya.. kalo masalah ide, udah keren kak.. jadi Fikar yg begitu dia cintai justru dibunuhnya, semacam penyakit kejiwaan, mungkin? hehehe.. cuma salah kakak dari dulu sama aja, kalimatnya sering ga efektif, bukan membingungkan cuma bertele2nya itu loh.. hmm, mungkin ada beberapa kalimat yg kata2nya perlu diganti2 dikit, biar kalimatnya lebih efektif efisien gitu kak.. segitu aja.. | |
| | | de_wind Penulis Sejati
Jumlah posting : 3494 Points : 3669 Reputation : 52 Join date : 29.03.11 Age : 39 Lokasi : Bekasi
| Subyek: Re: Potongan Novel "Kebebasan" Fri 27 Jul 2012 - 21:55 | |
| oooh bgtu ya... klo itu sih aku mngakui bgt... kasih contoh dong sagi... kasih contoh jg mana yg bagus mnrt sagi... DITUNGGU...!!! | |
| | | sagitany Penulis Sejati
Jumlah posting : 4863 Points : 4905 Reputation : 8 Join date : 06.04.12 Age : 32 Lokasi : medan
| Subyek: Re: Potongan Novel "Kebebasan" Sun 29 Jul 2012 - 10:46 | |
| hahahaa, masalah itu, gaya bahasa tiap penulis kan beda, kak.. mana mungkin aku bisa ngasih kakak contoh.. | |
| | | de_wind Penulis Sejati
Jumlah posting : 3494 Points : 3669 Reputation : 52 Join date : 29.03.11 Age : 39 Lokasi : Bekasi
| Subyek: Re: Potongan Novel "Kebebasan" Sun 29 Jul 2012 - 15:56 | |
| pdhl kan bisa buat inspirasi, sagi.... yg laen pd kemana??? kok gak komen?? | |
| | | sagitany Penulis Sejati
Jumlah posting : 4863 Points : 4905 Reputation : 8 Join date : 06.04.12 Age : 32 Lokasi : medan
| Subyek: Re: Potongan Novel "Kebebasan" Mon 30 Jul 2012 - 10:43 | |
| lagi pada malas baca kayaknya, kak.. musimnya malas sekarang ini.. hehehee.. contoh ya.. Sebaliknya, garis rahangnya keras dan persegi, menandakan ia adalah orang yang berkemauan keras. Keras pula sikapnya.mungkin bisa lebih manis kalo jadi : Sebaliknya, ia memiliki garis rahang yang keras dan persegi, yang menggambarkan bahwa ia adalah seorang yang berkemauan keras, keras seperti sikapnya.(bedanya di mana, coba?) aaahh.. aku ga tau kak wind, hahahaa.. | |
| | | de_wind Penulis Sejati
Jumlah posting : 3494 Points : 3669 Reputation : 52 Join date : 29.03.11 Age : 39 Lokasi : Bekasi
| Subyek: Re: Potongan Novel "Kebebasan" Thu 2 Aug 2012 - 0:28 | |
| okeeee makasi sagi... aku mngakui bgt soal bertele2 itu..aku aja kdng2 suka bingung sndri... laaaah ini kok udh smpe sini aja ya... melenceng dri tema jg udh biasa... musim males??? aku mah tiap hari males tuh... | |
| | | sagitany Penulis Sejati
Jumlah posting : 4863 Points : 4905 Reputation : 8 Join date : 06.04.12 Age : 32 Lokasi : medan
| Subyek: Re: Potongan Novel "Kebebasan" Thu 2 Aug 2012 - 10:57 | |
| | |
| | | de_wind Penulis Sejati
Jumlah posting : 3494 Points : 3669 Reputation : 52 Join date : 29.03.11 Age : 39 Lokasi : Bekasi
| Subyek: Re: Potongan Novel "Kebebasan" Fri 3 Aug 2012 - 23:34 | |
| | |
| | | m0nd0 Penulis Senior
Jumlah posting : 1446 Points : 1487 Reputation : 17 Join date : 11.07.12 Age : 35 Lokasi : Jakarta-Bandung
| Subyek: Re: Potongan Novel "Kebebasan" Sat 4 Aug 2012 - 4:25 | |
| aku? | |
| | | de_wind Penulis Sejati
Jumlah posting : 3494 Points : 3669 Reputation : 52 Join date : 29.03.11 Age : 39 Lokasi : Bekasi
| Subyek: Re: Potongan Novel "Kebebasan" Sat 4 Aug 2012 - 8:35 | |
| oiya sama mondo jg.... knp mnta dsebut2 sih? brarti sama dong statusny kyk sagi... junker penulis sejati SP... | |
| | | Ruise V. Cort Penulis Parah
Jumlah posting : 6382 Points : 6522 Reputation : 45 Join date : 28.04.11 Age : 31 Lokasi : *sibuk dengan dunianya sendiri jadi nggak tahu sekitar*
| Subyek: Re: Potongan Novel "Kebebasan" Sat 4 Aug 2012 - 15:34 | |
| Kak Wind menertawai diri sendiri... | |
| | | m0nd0 Penulis Senior
Jumlah posting : 1446 Points : 1487 Reputation : 17 Join date : 11.07.12 Age : 35 Lokasi : Jakarta-Bandung
| Subyek: Re: Potongan Novel "Kebebasan" Sat 4 Aug 2012 - 20:32 | |
| emang Ru, liat emot si monkey kan nunjuk ke avatar pic-nya wind. | |
| | | Ruise V. Cort Penulis Parah
Jumlah posting : 6382 Points : 6522 Reputation : 45 Join date : 28.04.11 Age : 31 Lokasi : *sibuk dengan dunianya sendiri jadi nggak tahu sekitar*
| Subyek: Re: Potongan Novel "Kebebasan" Sat 4 Aug 2012 - 21:22 | |
| iya sih ya | |
| | | de_wind Penulis Sejati
Jumlah posting : 3494 Points : 3669 Reputation : 52 Join date : 29.03.11 Age : 39 Lokasi : Bekasi
| Subyek: Re: Potongan Novel "Kebebasan" Mon 6 Aug 2012 - 1:11 | |
| coba si rui ini...aku mntanya dia komen, sprti biasa... malah ehem ehem sm si mondo di sini... | |
| | | sagitany Penulis Sejati
Jumlah posting : 4863 Points : 4905 Reputation : 8 Join date : 06.04.12 Age : 32 Lokasi : medan
| Subyek: Re: Potongan Novel "Kebebasan" Mon 6 Aug 2012 - 9:59 | |
| rui lagi rehat jadi miss editor kayaknya, kak.. | |
| | | Ruise V. Cort Penulis Parah
Jumlah posting : 6382 Points : 6522 Reputation : 45 Join date : 28.04.11 Age : 31 Lokasi : *sibuk dengan dunianya sendiri jadi nggak tahu sekitar*
| Subyek: Re: Potongan Novel "Kebebasan" Mon 6 Aug 2012 - 13:03 | |
| males baca~~
(ngelempar buku yang baru beli dan belum nyentuh buku Kak Tuti) | |
| | | Sponsored content
| Subyek: Re: Potongan Novel "Kebebasan" | |
| |
| | | | Potongan Novel "Kebebasan" | |
|
Similar topics | |
|
| Permissions in this forum: | Anda tidak dapat menjawab topik
| |
| |
| |
|