Penulis: Maman S. MahayanaSetiap karya sastra adalah hasil pengaruh yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural," begitulah salah seorang penganjur kritik sosio-budaya, Sheldon Norman Grebstein (1968), yang juga dikutip Sapardi Djoko Damono (1978), menegaskan. Menurutnya, karya sastra selalu mengungkapkan latar sosial budaya yang melingkari diri pengarangnya. Oleh karena itu, pemahaman terhadap karya sastra hanya mungkin dapat dilakukan secara lebih lengkap jika karya itu sendiri tidak dipisahkan dan lingkungan, kebudayaan serta peradaban yang telah menghasilkannya.
Dalam pengertian yang lain, Rene Wellek dan Austin Warren (1989) menempatkan masalah itu sebagai struktur yang mencangkup isi dan bentu, dua hal yang sebenarnya tidak dapat dipisahkan. Pemisahan isi dan bentuk itu juga ditentang oleh kaum formalis. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa faktor sosio budaya merupakan "bahan" yang kemudian diolah aedemikian rupa bersama unsur-unsur lain guna mencapai nilai estetik karya bersangkutan. Keseluruhan itulah yang membangun sebuah kesatuan struktural.
Pemahaman itu memberi kemungkinan bagi usaha mengungkapkan apa yang menjadi bahan karya sastra tersebut. Dengan kata lain, usaha itu merupakan "cara" untuk mencoba menghubungkaitkan karya sastra dengan faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Melalui bantuan cara itu, karya sastra dijelaskan maknanya, amanatnya, sikap pengarangnya, atau nilai estetiknya secara keseluruhan. Caranya sendiri dapat berupa penjelasan mengenai fakta historis, sosiologis, psikilogis atau filosofis, sebagaimana yang menjadi "isi" yang terkandung dalam karya yang diteliti. Inilah yang dimaksud pendekatan ekstrinsik; penjelasan atau analisis karya sastra berdasarkan ilmu lain yang berada di luar ilmu sastra.
Mengingat sastrawan Indonesia dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan sosio budaya yang amat beragam, maka pendekatan ekstrinsik terhadap karya sastra Indonesia sebenarnya merupakan lahan yang amat menjanjikan. Periksa misalnya, karya-karya Hamka yang sarat bernafaskan suasana keagamaan (Islam) dengan latar budaya Minangkabau. Dengan nafas dan suasana keagamaan yang sama karya-karya Danarto dan Kuntowijoyo memperlihatkan latar budaya Jawa, namun dengan idiom dan pengungkapan yang berbeda. Hal yang juga tampak pada karya-karya Fudoli Zaini, Djamil Suherman, Ahmad Tohari atau Mohammad Diponegoro. Dalam hal ini, kita masih dapat menyebut nama lain yang juga menampilkan nafas dan suasana yang sama, namun dilatarbelakangi oleh akar budaya yang berbeda.
Penelitian terhadap karya sastra Indonesia, baik novel, drama maupun puisi melalui pendekatan ekstrinsik, di Indonesia dapat dikatakan masih amat sedikit. Skripsi-sknpsi kesarjanaan di fakultas sastra, misalnya, sebagian besar masih berkutat pada penelitian berdasarkan pendekatan intrinsik. Isinya hampir tidak beranjak dari persoalan sekitar alur, tokoh, latar, tema, atau unsur intrinsik lainnya. Itupun belum banyak yang menguraikannya berdasarkan fungsi antarunsur itu sebagai kesatuan struktural.
Yang dianalisis dalam penelitian-penelitian itu, umumnya cenderung hanya dengan menekankan pada salah satu unsurnya yang menonjol. Akibatnya peneliti itu di satu pihak, kurang memberi tantangan bagi penelitian untuk memanfaatkan disiplin ilmu lain (interdisiplin), dan di pihak lain kurang mengungkapkan kekayaan karya itu secara maksimal. Padahal, lewat pendekatan ekstrinsik, sangat mungkin akan terungkap: 1) cara pengarang dalam menangkap situasi sosial yang terjadi pada zamannya (semangat zaman), 2) sikap pengarang dalam menghadapi soal tersebut, 3) kecendikiaan dan wawasan serta, 4) akar budaya pengarang bersangkutan. Pada gilirannya akan dapat tersimpulkan pula bahwa kegiatan mengarang sebenarnya bukanlah sekadar keterampilan yang berdasarkan bakat alam, tetapi juga keterampilan yang mesti didukung oleh wawasan intelektual. Semakin luas dan dalam wawasan pengarang, semakin luas dan dalam pula karya yang dihasilkannya.
Sehubungan dengan hal tersebut, tulisan ini sengaja hendak menyodorkan berbagai kemungkinan yang bisa dilakukan berdasarkan pendekatan ekstrinsik. Pada bagian pertama ini, akan dibicarakan secara ringkas tiga novel Balai Pustaka pramerdeka; dan mencoba menganalisis dan mengungkapkan fakta sejarahnya. Ketiga novel itu adalah Sitti Nurbaya (1922) Marah Rusli, Salah Asuhan (1928) Abdul Muis, dan Hulubalang Raja (1934) Nur Sutan Iskandar.
Sudah begitu banyak pembicaraan tentang novel Sitti Nurbaya dan Salah Asuhan, terlebih lagi selepas pengangkatan kedua novel itu ke dalam sinetron. Namun, masih amat sedikit yang mengangkat persoalannya lewat kacamata sejarah. Salah satu di antara yang sedikit itu adalah artikel Taufik Abdullah, "Sastra dan Sejarah: Pantulan Historis dan Novel" (Horison, November-Desember 1983). Ia mengungkapkan bahwa Sitti Nurbaya adalah satu-satunya novel yang sangat historis. Jika saja tahun yang disebut Marah Rusli, yaitu tahun 1890-an, bisa dijadikan sebagai tahun 1910-an, maka novel ini bisa disebut sebagai "novel sejarah" yang nyaris otentik.... Ucapan para pelaku dalam perdebatan dapat ditemukan di berbagai majalah dan suratkabar yang terbit di Padang tahun 1910-an."
Dialog-dialog antara tokoh Ahmad Maulana dan Fatimah, serta Sitti Nurbaya dan Alimah mengenai kedudukan wanita, baik dalam kehidupan berumah tangga, maupun dalam memperoleh pendidikan, sebenarnya merupakan semacam "potret" kondisi kaum wanita dan dunia pendidikan di Indonesia pada masa itu. Juga, pemberontakan Datuk Meringgih dalam soal belasting (pajak), dapat dianggap sebagai catatan sejarah berkaitan dengan kebijaksanaan Belanda dalam menerapkan sistem pajak di Padang pada tahun 1905.
Mengenai Salah Asuhan karya Abdul Muis, Taufik Abdullah menyatakan: ”Dengan sangat sadar, Abdul Muis menjadikan masyarakat kolonial sebagai setting ceritanya. Novel ini mencoba "mengaktualkan" secara imajinatif kemungkinan yang bisa terjadi kalau berbagai aspek dari tatanan struktural kolonial dipertemukan ..."
Begitu juga, usaha Hanafi agar diakui haknya sebagai bangsa Eropa dan kemudian berganti nama menjadi Christiaan Han, erat kaitannya dengan kebijaksanaan Belanda tentang perbedaan hak dan kedudukan sosial bagi bangsa Belanda (kulit putih), Indo—Eropa (Indo—Belanda), bangsa Asia, dan pribumi. Yang terakhir ini pun dibedakan lagiberdasarkan status sosialnya, yaitu terdiri atas golongan bangsawan (ningrat) dan rakyat biasa. Begitulah, masih banyak fakta sejarah dalam novel itu yang belum terungkap.
Fakta sejarah tampak jelas dan dinyatakan secara eksplisit dalam novel Hulubalang Raja karya Nur Sutan Iskandar. Dalam Kata Pendahuluan novel itu tertulis keterangan sebagai barikut: Segala keterangan dan cerita yang berhubungan dengan sejarah yang terdapat dalam buku ini, dipungut dari kitab De Weakust en Minangkabau (1665-1668) yaitu "academisch proefschrift" oleh H.Kroeskamp, yang dicetak oleh Dreukkerij Fa. Schotanus&' Jens di Utrech dalam tahun 1931.
Mengenai hal tersebut, A. Teeuw (1980) menyatakan bahwa"... karya ini menerangkan peristiwa sejarah di Sumatra Barat pada jaman antara tahun 1665 dan 1668, berdasarkan penyelidikan sejarah yang amat teliti oleh H. Kroeskamp (1931) ..." Fakta sejarah yang terjadi pada tahun 1665—1668 adalah konflik Minangkabau—Aceh yang kemudian melibatkan pasukan Belanda.
Dalam novel Hulubalang Raja, memang konflik itulah yang diangkat sebagai latar cerita. Hanya ada sejumlah fakta yang sudah diolah sedemikian rupa sehingga kurang sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Justru dalam hal inilah penganalisisan lewat bantuan ilmu sejarah dapat mengungkapkan, tidak hanya peristiwa sejarah an sich, melainkan juga sikap dan amanat pengarangnya.
Dalam Hulubalang Raja dikisahkan bahwa keterlibatan Belanda seolah-olah, "hanya" karena Belanda bermaksud membantu Muhammad Syah dan ayahnya, Raja Malfarsyah (dalam Hulubalang Raja bernama Malafar Syah), yang bermaksud menumpas pemberontakan Alt Akbar sebagai akibat tindak kriminal orang-orang Aceh.
Yang sebenarnya, pemberontakan itu terjadi karena kelaliman Raja Malfarsyah yang dalam novel itu justru tidak diungkapkan. Keterlibatan Belanda dalam banyak pertempuran di Sumatra Barat, sebenarnya telah berlangsung sebelum tahun 1665. Pada tahun 1650 misalnya telah disepakati perjanjian yang memaksa Perak mengusir orang-orang Keling yang justru amat dibutuhkan rakyat Aceh dalam menjalin perdagangan. Akibatnya, rakyat Aceh menyerang kantor-kantor VOC. Demikian pula, tahun 1659 terjadi perjanjian VOC —Aceh, namun akhirnya dilanggar Belanda secara sepihak. Pecahlah pemberontakan rakyat Aceh yang dibantu rakyat Minangkabau.
Dalam perang Pauh (1666), terdapat perbedaan tentang jumlah korban. Kekalahan Belanda pada perang itu, dalam Hulubalang Raja menewaskan 131 serdadu dan opsir, termasuk pemimpinnya, Jacob Gruys, mantan opperhoofd di Jepang. Dalam buku sejarah, jumlah korban tercatat dua kapten, lima letnan, sejumlah perwira rendah dan lebih dari 150 serdadu biasa, belum termasuk Jakob Gruys. Beberapa peristiwa dan gambaran keterlibatan Belanda di Sumatra Barat, banyak yang tak sesuai dengan fakta sejarah. Jadi penjelasan berdasarkan ilmu sejarah, dapat mengungkapkan fakta yang sebenarnya dan memungkinkan kita menangkap sikap pengarang dalam melihat soal itu. Nur Sutan Iskandar yang menulis novelnya dari sumber disertasi Kroeskamp, ternyata cenderung menekankan akibat-akibat konflik etnik yang kerap dimanfaatkan Belanda. Dan konflik antarsuku itu jelas merugikan perjuangan bangsa sendiri. Dalam hal itu, pengarang tampak hendak mengisyaratkan pentingnya arti persatuan dan kesatuan bangsa, sebagaimana yang dapat kita tangkap dari akhir cerita novel itu. Permusuhan Hulubalang Raja dan Raja Adil, akhirnya diselesaikan lewat perjanjian damai. Setelah itu, Minangkabau hidup dalam kedamaian.
(
Maman S. Mahayana adalah Dosen Sastra Indonesia, Universitas Indonesia.)
(Sumber:
di sini!)