"Jangan pandangi emak seperti itu Pik" ucapnya ketika mata kami bertemu.Kami hanyalah dua perempuan yang sedang menghadapi sandiwara hidup yang menyakitka. Susah diterka isi skenarionya bahkan endingnyapun sulit untuk ditebak. Di dalam gubuk ini hanya ada aku dan emak . Sama -sama terdiam, sesekali terdengar desau angin menyelusup melewati celah- celah kecil rumah bilik kami. suaranya terdengar seperti sebuah rintihan,sangat memilukan dan menyesakkan dada.
"Lapar mak...?" tanyaku pada perempuan yang telah melahirkanku enam belas tahun yang silam, mewakili perasaan lapar yang mulai mendera lambungku dan memilinnya seperti kain basah yang dipilin agar cepat kering. Sakit dan terasa menyesakkan.
Emak cuma diam, beranjak mendekati tilam yang mulai rapuh karena digigit usia yang lebih tua dari usiaku.Ditutupnya tubuhnya yang ringkih dengan kain panjang kumal, salah satu dari kekayaan kami yang masih tersisa.
"Emak tidak lapar Pik, tadi emak telah makan di sawah "katanya pendek,"Emak cuma agak capek seharian kerja,sekarang Kau makanlah, ubi rebus kemarin masih ada di dapur, kasihan cucu emak,dia pasti kelaparan juga"katanya menyuruhku makan .
Emak menarik selimutnya lebih tinggi menutupi seluruh bahagian tubuhnya hingga tak terlihat lagi. "Makanlah" katanya pendek dengan nada yang lebih tinggi.
"tapi mak"
"Kau tak usah berfikir banyak, emak hanya ingin kau dan janinmu sehat"ulangnya lagi dari dalam selimut.
Aku tahu emak berbohong, aku lihat emak tidur bergelung,berusaha melawan dingin yang mengigit tulang,dan terdengar suara perut keroncongan dari dalam selimut kumal itu.
Dengan perasaaan agak berat aku beranjak ke dapur.api tungku masih hidup menyisakan sisa-sisa arang dan debu, jelaga di dapur bagi kami sudah biasa bahkan aneh bagi orang sekelas kami rumahnya tak berjelaga ,Hm ... udara di dalam dapur terasa lumayan panas, tefikir juga olehku untuk mengajak emak tidur di sini, mengelar tikar dan tidur bersamaku, dari pada tidur meringkuk di dalam selimut yang kumal itu. nyamuk tidak terlalu banyak karena asap sudah mengusir mereka.
Aku menbayangkan dapurku ini seperti pemanas ruangan yang aku lihat di film-film barat yang sering aku lihat di rumah tetangga sebelah, kalau tidak salah sering mereka pasang disaat musim dingin menyerang, tapi gubukku ini selalu memakai pemanas ruangan bukan karena musim tapi karena nasib.
Emak sudah tertidur nyenyak hanya terdengar suara tarikan nafasnya.Tinggal aku yang lapar dan kedinginan, aku duduk makin dekat dengan api tungku. Aku masih bisa bersyukur, bisa mengecap ubi rebus yang kupanaskan , lumayan untuk
menganjal perut yang lapar dan mengusir rasa dingin, perutku pun mulai terisi kasihan janin dalam perutku ini ,ikut-ikutan menderita karena emaknya.
Aku memutuskan untuk tidur di dapur, biarlah emak tidur di tilam dan terbuai dalam mimpinya, kujangkau kardus yang biasanya kami jadikan sebagai alas duduk saat kami makan, kusingkirkan debu yang melapisinya dan kini lumayan bersih.siap dijadikan permadani .Aku yakin tidurku akan nyenyak, dan tubuhku tak akan terserang oleh rasa dingin lagi, walaupun angin dingin menyerang dari balik bilik rumah ini.
Mataku sama sekali tidak bisa di picingkan , aku coba menghitung tiang penyangga dapur, jumlah tungku bahkan sampai berapa banyak jaring laba-laba yang menghiasi dapur ini. Otakku terus berputar, emak sudah tua dan sakit-sakitan dan bapak yang meninggal tanpa meninggalkan warisan buatku dan emak sedikitpun. Malahan yang ditinggalkan bapak hanyalah hutang yang bertumpuk disana sini, karena dimasa hidupnya, bapak kerjanya hanya berjudi dan main perempuan, sawer sana-sawer sini, bahkan harta warisan dari orang tua emak di jual bapak.
Aku sering mengutuk bapak, walau emak sering menasehatiku"aku tidak pernah ingin punya bapak seperti dia" ucapku waktu itu ketika emak memarahiku karena mengatai-bapak anjing.Kadang aku berfikir "Andai dia bukan bapakku",bahkan yang paling menyakitkan adalah bapak juga meninggalkan warisan di dalam tubuhku.Janin yang ada di dalam rahimku adalah anak bapak, entah manusia atau tidak gunjing tetanggaku waktu tahu aku hamil karena ulahnya, dan anehnya tetangga bukannya kasihan padaku malahan ini menjadi bahan obrolan mereka.
Saat emak sibuk mencari nafkah untuk kami dengan menjadi buruh tani dan mencari padi di sawah milik orang lain bapak dengan teganya menyakiti hati kami, melukai aku dan emak.
Udara di dapur terasa makin panas kulihat tubuh emak menggigil kedinginan di atas dipan selimut yang kumal itu tak sanggup mengusir serangan hawa dingin yang makin mengigit.
Kudekati tubuh emak, kasihan. "Mak...Mak, dingin mak, tidurnya pindah ke dapur saja, disana lebih panas dari pada di sini"ajakku pada emak sambil memapah tubuhnya ke dapur, dengan langkah berat emak beranjak ke dapur"Ya di sini lebih udaranya lebih panas Pik.Coba geser tidurmu sedikit kata emak padaku, aku bergeser , dalam dapur yang sempit itu kami tidur, lambat laun mataku tertidur mungkin karena lelah kami tertidur nyenyak.
Udara terasa semakin panas di dapur kali ini aku berkeringat aku lihat emak masih tertidur nyenyak dan terakhir kali ada bunyi berderak patah dan menghantam tubuh kami, terasa panas dan mengalahkan hawa dingin yang menyerang, yang terdengar hanyalah suara jangkrik dan kodok menanti turunnya hujan membasahi gubuk kami.