Jeritan Tengah Malam
Aku ingin pulang, Bu!
Bawa aku pergi dari sini!
Tangisan. Pekikan. Jeritan. Panjang. Tak beraturan. Seketika pekikan-pekikan kecil itu melemah. Menjauh. Melanglang buana. Hilang. Aku terpana. Nelangsa lalu melumatku hingga tiada sisa. Ah! Kania. Kamu sakit jiwa.
Begitulah malam kulewati. Kuhabiskan sambil mendengar jeritan-jeritan kecil yang selalu menikam benak dan hatiku. Sebuah jerit yang tak beda dengan cicit-cicit cecurut yang selalu riang menyanyi di kala malam buta. Namun jeritan kecil itu bukan nyanyian para curut menjijikkan itu. Bukan pula cekikik kuntilanak yang menurut gosip selalu saja gentayangan di sekitar rumah. Bukan itu! Itu pekik kesedihan. Kesakitan. Aku bisa membedakan.
Aku tidak punya anak. Aku tidak suka pada anak-anak. Karena itulah seharusnya aku tak perlu berlelah hati mendengar pekikan-pekikan yang menyesakkan seperti itu setiap malam. Aku tak usah menghiraukan teriakan yang mencekikku dan mengacaukan mimpi indahku. Seharusnya tidak ada gema anak-anak di rumahku!
Namun memang seperti itu adanya. Setiap malam suara-suara itu datang. Menghantuiku sepanjang malam. Suara-suara itu baru menghilang ketika azan subuh berkumandang. Setan! Aku merutuk. Ya. Hanya itu yang bisa kulakukan. Merutuki suara sialan itu namun tetap sambil mendengarkan. Sialan. Makiku tajam.
Seperti malam ini. Aku mendengar jerit kesakitan seorang anak perempuan. Ia berteriak-teriak. Meronta-ronta. Memanggil-manggil ibunya. Berteriaklah pada ibumu sana! Jangan meronta di rumahku. Aku bukan ibumu. Ketusku pada pekatnya malam. Aku mencoba berkomunikasi dengan suara-suara tanpa rupa itu. Namun aku tahu bahwa itu tindakan bodoh. Toh, nyatanya, mereka—para suara tanpa rupa—tetap saja mengganggu malamku. Setan! Caciku kesekian kalinya.
Jangan jahat padaku, Ibu!
Eh, setan kecil! Jangan pernah memanggilku ibu! Balasku dalam keheningan. Anak perempuan itu seketika menjerit. Meraung. Menangis. Untuk beberapa saat, ia tak berkata apa-apa lagi. Hanya suara tangisannya yang masih menggema di seluruh penjuru rumah.
Begitulah. Kemudian subuh tiba. Suamiku terbangun ketika adzan bergema. Ia tersenyum melihatku yang sudah duduk bersandar di ranjang. “Aku senang, kamu bisa bangun subuh seperti sekarang,” katanya. Huh. Aku membenci pujiannya. Bukan karena apa. Itu karena aku tahu ia sedang mengejekku lantaran aku selalu pulas ketika subuh datang. Namun sudah beberapa malam ini, aku tak memejamkan mata barang sekejap bahkan hingga azan subuh berkumandang!
Aku memang tak pernah menceritakan malam-malamku pada suamiku. Ia tak pernah tahu bahwa setiap malam aku jejeritan anak-anak yang memekakkan telingaku. Ada yang menangis. Ada yang meronta. Lalu, suatu waktu pula aku mendengar tawa anak-anak. Menjengkelkan. Rasanya aku hampir tidak tahan.
Namun aku tidak mau mengatakan apa-apa pada suamiku. Karena aku takut ia akan menganggapku gila. Ya, gila. Mungkin nantinya ia akan berpikir kalau istrinya yang cantik dan sempurna ini sudah gila lantaran belum juga mendapat momongan di usia pernikahan kami yang sudah menginjak angka lima. Ah. Sejujurnya aku malah bersyukur aku tidak mendapatkan anak seperti yang diharapkan suamiku. Sungguh!
Bagiku, punya anak itu merepotkan. Sangat menyebalkan. Aku merasa semuanya jadi dibatasi. Aku tidak bisa lagi berbelanja banyak barang karena anakku lebih membutuhkannya. Aku tak bisa nongkrong di kafe-kafe mahal bersama teman-temanku karena anakku akan membutuhkanku untuk mengurus keperluannya. Aku tak bisa memanjakan diriku di spa-spa mewah, karena anakku pasti akan membuat hasil pijat spa-ku terasa sia-sia. Bahkan, aku tak bisa lagi menari bebas di atas dance floor diskotek elite ketika ditinggal suamiku dinas keluar kota, karena aku harus menemani anakku yang akan rewel mencari ayahnya setiap malam. Ah.
Aku bukan suamiku. Ia yang taat agama itu begitu menginginkan kehadiran seorang anak. Katanya, rumah besar kami terlalu sunyi untuk ditinggali berdua. Aku tertawa. Kalau begitu, kenapa tidak bangun rumah yang kecil saja? Rutukku dalam hati. Namun aku tak pernah berani mencemooh keinginannya untuk memiliki anak. Aku rasa itu wajar. Semua pasangan suami-istri pasti menghendaki kelahiran seorang bayi. Bagi mereka, anak adalah harta yang tiada duanya. Dan aku menghormati keinginan suamiku itu sebagai sebuah keinginan yang mulia. Namun, terus-terang, itu adalah keinginan yang tak bisa kukabulkan. Ya, karena aku tidak ingin direpotkan. Bukankah kalau punya anak, yang akan repot nantinya adalah aku, bukan suamiku?
Aku ingin peluk Ibu!
Heh, bodoh. Carilah ibumu di rumah lain. Jangan ganggu aku. Aku mau tidur. Kataku pada tembok yang dingin di depanku. Kali ini suara anak lelaki. Ia memohon-mohon, meminta, mengiba, mengatakan ia ingin memeluk ibunya.
Kemarin adikku datang, menjumpai Ibu, bukan?
Aku terkekeh. Geli. Aku bahkan tak kenal adikmu. Dan jangan memanggilku ibu. Sebab aku bukan ibumu! Kataku.
Ia mengadu padaku. Katanya Ibu tak mau menolongnya. Dan ia bilang, Ibu membencinya. Benarkah itu?
Duh. Kupegangi kepalaku yang mulai berdenyut-denyut. Apa aku yang semakin gila? Ataukah hantu-hantu kecil itu yang semakin keterlaluan? Mengajakku bicara yang tidak-tidak. Berbincang denganku seolah berbincang dengan ibunya. Bahkan kali ini mengaku kakak-beradik denga setan kecil kemarin? Aduuuh, lama-lama aku benar-benar bisa gila dibuatnya!
Semalaman suntuk aku beradu bicara dengan anak lelaki tanpa rupa itu. Aku bahkan tidak tahu dimana anak itu. Aku tak melihat apakah ia duduk, apakah ia berdiri, apakah ia sedang memandang benci padaku. Aku tidak pernah tahu. Aku hanya mendengar suaranya. Suara lirih yang terkadang menusuk-nusuk hatiku di malam yang demikian sepi.
Padahal kami semua ingin berjumpa dengan Ibu. Kami semua selalu menyayangi Ayah dan Ibu. Tapi kenapa Ibu seperti itu?
“Jangan memanggilku Ibu! Aku bukan ibu kalian!” pekikku memecah keheningan malam. Suamiku bahkan terbangun, terkejut. Ia menatapku yang sedang memegangi telinga dengan tatapan bingung. “Kamu kenapa, Sayang?” tanyanya. Aku menatapnya penuh amarah. “Cepat usir mereka!” “Kamu ini ngomong apa?” tanyanya heran. Aku merasa keringatku mulai bercucuran.
“Mereka siapa, Kania?” Suamiku bertanya setelah aku agak tenang. Aku hanya diam. “Kania?” Ia mulai mendesak. Aku bungkam. Oh, Kania. Jangan katakan! Atau Darma akan menganggapmu sakit jiwa!
“Bukan siapa-siapa, Mas. Mungkin aku bermimpi,” kataku akhirnya. “Benar?” Suamiku menyelidik. Mungkin ia bisa membaca raut mukaku yang tak keruan. “Ah sudahlah, Mas. Tak usah dipikirkan. Aku hanya mimpi buruk.”
Ini malam kedua puluh lima sejak aku mendengar jeritan-jeritan itu pertama kali. Jarum waktu menunjukkan pukul 1 malam. Suamiku sudah terlelap sejak pukul sebelas. Ia kelelahan setelah lembur bekerja hingga pukul delapan.
Aku termenung di atas ranjang. Bersandar menatap kosong pada dinding di depan. Aku merasa, sebentar lagi, suara-suara itu akan datang. Jadi kuputuskan aku tidak akan tidur. Aku ingin mendengar mereka dari awal. Apa yang mereka mau dariku? Mengapa mereka berulangkali mengganggu tidurku. Aku ingin tahu. Jadi malam ini aku akan menanyakannya secara langsung pada mereka-mereka itu.
Ibu…!!!!
Dan jeritan pertama pun terdengar dari kejauhan. Suara anak perempuan. Disusul teriakan anak lelaki lain yang mulai mendekat. Aku hanya diam. Kutunggu suara-suara itu semakin dekat. Lalu aku mendengar suara anak-anak berlarian. Mereka memanggil-manggil ‘ibu’ dengan suara yang tak jelas apakah senang ataukah ketakutan. Yang jelas mereka berlarian. Seperti dikejar-kejar. Aku menunggu.
Ibu, Ibu, Ibu! Adik akan dipukul dengan sapu!
Ibu, Ibu! Sapu itu besar dan keras sekali! Kami bisa mati!
Ibu! Tolong selamatkan kami!
Apa peduliku? Satu kalimatku meluncur dengan datar. Sungguh aku tak peduli pada permintaan kalian, wahai anak-anak setan. Aku tak peduli. Karena aku bukan ibu kalian. Dan aku tidak punya hubungan apa-apa dengan setan seperti kalian.
Sunyi. Untuk beberapa waktu, langkah-langkah mereka terhenti. Aku tersenyum. Sekarang kalian sebaiknya cepat meninggalkan rumahku. Aku tidak ingin kalian mengganggu tidurku lagi.
Senyap. Anak-anak itu seolah saling menatap. Dalam keheningan, mereka meratap. Dan jeritan demi jeritan mulai membahana. Nyaring sekali. Seolah ada ratusan anak kecil berteriak memekik di rumahku. Namun aku sengaja tidak menutup telingaku, meski rasanya kepalaku hampir pecah. Oh, aku tidak akan kalah oleh anak setan! Tegasku.
Tangisan makin pecah. Makin bertambah keras. Bahkan ada tangis bayi yang tiba-tiba memecah kebisingan. Bayi-bayi menangis, anak-anak merintih. Semuanya terdengar begitu nyata di telingaku. Lalu seolah aku melihat mereka semua. Anak-anak itu. Bayi-bayi itu. Aku melihat mereka semua! Di depan mataku.
Ibu kejam sekali pada kami. Ibu memukuli kami. Ibu meracuni kami. Sungguh tega sekali Ibu pada kami.
Seorang anak lelaki yang sepertinya paling tua di antara para anak kecil itu, berdiri di depanku. Menatapku marah namun sendu. Aku membalas tatapannya dengan mata dinginku. Oh, tolong. Jangan menatapku seolah aku ibumu. Kataku.
Ibu tak mengizinkan kami bersua dengan Ayah. Padahal kami ingin sekali bermain bersama Ayah.
Kali ini anak perempuan. Anak yang sangat cantik dengan rambut panjang sepinggang. Ia menatapku dengan matanya yang berlinang. Ia berdiri di samping anak lelaki itu. Memandangku dengan penuh kebencian.
Kami menyayangi Ibu. Kami mencintai Ibu. Kami ingin memeluk Ibu.
Perlahan-lahan, anak-anak itu bangkit. Satu demi satu. Berdiri, berjalan, mendekatiku. Namun aku merasa membeku. Anak-anak itu masih terus menjerit. Memekik. Meronta dan melolong. Mereka menangkap tubuhku. Mencengkeram tangan dan kakiku. Aku berusaha menjerit. Namun suaraku tak juga keluar. Seolah pita suaraku rusak atau bahkan menghilang. Oh Tuhan!
Anak-anak itu mengerubungiku. Masih sambil menjerit-jerit tidak keruan. Mereka menangkap tubuhku seolah harimau menangkap mangsanya. Ya Tuhan. Aku tak tahu kalau anak-anak bisa demikian liarnya.
Ibu, Ibu, Ibu…!!!
Bila kami kau bunuh sesuka hati, bila kami tak kau kehendaki untuk tumbuh berkembang di rahimmu, bila kami tak boleh lahir dan berjumpa ayah kami, maka kami akan bawa Ibu bersama kami.
Kami akan bawa Ibu melihat dunia tempat kami dibesarkan.
Kami akan ajak Ibu merasakan seperti apa kami dibuang.
Anak-anak itu mulai memotong-motong anggota badanku. Mengguntingnya menjadi bagian yang kecil-kecil. Kakiku. Tanganku. Mereka juga memotong rambutku. Jari-jariku diiris-iris. Dagingku disayat-sayat. Aku menjerit-jerit. Sakitnya tiada tertahan. Aku melihat darah muncrat di sana-sini. Namun anak-anak itu malah bermain-main dengan darah segar itu seolah mereka sedang melukis bunga-bunga. Tangan-tangan anak kecil itu seperti pisau-pisau tajam yang mulai memutilasiku. Jari-jari mereka yang seperti lidi-lidi itu ditusuk-tusukkan ke bola mataku. Darah mengalir dari kedua mataku. Darah. Darah. Rasanya kamarku jadi penuh darah. Anyir. Merah.
Ibu, Ibu, Ibu.
Sekarang Ibu sudah sama seperti kami. Tidak punya bentuk lagi. Ibu bisa ikut dengan kami. Karena kami sudah membunuh Ibu seperti Ibu membunuh kami.
Aku terkulai lemas. Wajah anak-anak itu tidak lagi jelas. Entah punya mata atau tidak. Entah punya hidung atau tidak. Seram. Aku mencoba berteriak. Namun sudah tiada kuasa. Namun tak ada lagi jerit-jerit ketakutan. Perlahan semua menjadi gelap. Beriringan dengan suara tawa bahagia anak-anakku dari dunia sana…
Bontang, 24 Agustus 2011