“Cinta untuk Anak Recehan”
Malam terus saja pancarkan cahayanya, setitik tawa dibawah gelapnya kelam. Namun sekelompok anak masih saja berjaga, membuka mata lebar dan bernyanyi bersama. Dalam iringan kecrekan dari tutup botol dan botol berisi sejumput beras mereka bersenandung. Dalam kesederhanaan mereka terus saja tertawa. Malam adalah sahabat peneduh mereka, sahabat mereka yang ramah. Meski dingin adalah miliknya namun itu menjadi penyenang mereka.
Beralaskan tanah yang dingin itulah mereka terlelap ketika ngantuk menghinggap, tidur berjubelan. Bukan karena mereka tak punya rumah, bukan karena mereka tak punya keluarga tapi karena mereka kini hidup sendiri, nasib membuat mereka menjadi sendiri sekarang.
Mereka yang terusir, mereka yang terpisah dan mereka yang memang sudah terlantar adalah mereka sang Anak Recehan. Berkumpul menjadi satu, berkumpul membentuk kesatuan dan saling menyenangi.
Ketika keberuntungan datang, mereka dapat tinggal dalam rumah kardus bertahtakan seng, ketika beruntung mereka dapat makan walau sehari sekali, ketika mereka beruntung mereka dapat membeli apa yang mereka inginkan. Namun, jika mereka beruntung.
Bejolah, salah satu sang Anak recehan. Terlantar karena bukan keinginannya. Ia yang memang sudah miskin tinggal dirumah kardus yang dikelilingkan oleh sampah berbau busuk nan tak sedap itu. Mempunyai ayah yang kini memiliki istri baru yang berarti adalah ibu tiri bagi Bejo. Awal baik diperlihatkan sang Ibu tiri membuat sekeluarga yang serba kekurangan itu hidup bahagia, namun ketika sang ayah sudah dalam penghujung hidup, Ibu tiri berubah menjadi kejam, layaknya dalam dongeng terpampang. Sang Ibu tiri yang kejam dan sadis. Ibu tiri itu selalu memukuli Bejo kecil, hingga Bejo pun akhirnya pergi dari rumah, enggan ia pulang. Pulang adalah berarti luka. Pukulan akan manis bila kamu melakukan kesalahan yang tak boleh, dan pukulan adalah pahit bila kamu melakukan sesuatu yang bukan kesalahan.
“jo, tak ada niat pulang lagi bagi kamu?” tanya sahabatku, Agus.
“tidak, pulang berarti pukul, pukul terus bisa mati aku”, jawabku sekenanya, sambil merogoh tempat sampah yang terpajang dihadapan Agus yang duduk. Berharap dapat menemukan harta karun.
“padahal kamu enak, tau dimana rumahmu, tau siapa orang tuamu. Sedangkan aku, yang kutahu hanya jablay saja disekitarku”, sahut Agus.
Anak recehan adalah berarti kamu yang disenangi, senang oleh keadaan. Semua anak punya ceria dan cerita dan kami pun juga begitu. Anak Recehan adalah kisah tiada batas, punya latar belakang rumit yang membuat hidup menjadi hidup dan hidup memang benar-benar hidup. Ini bukan jalan yang harus dipilih dan ini bukan pilihan tapi ini adalah tuntutan dari keadaan. Bukan keadaan kami salahkan tapi keadaanlah yang memang mewajibkan kami harus begini, dan kami bukan boleh terus begini. Kemajuan yang signifikan jugalah milik kami.
“yah, gus. Cobalah kamu pikir, mana senang semua orang dipukul. Bahkan sang Presiden saja rasanya tak boleh dipegang”, ujarku,
“yah, dia mah sudah tinggi. Bahkan tangannya saja kuyakin hanya boleh dipegang buat mereka yang bau mawar”, sahut Agus membuatku terkekeh.
“wah, kutemukan juga rupanya”, sahutku riang sambil mengangkat apa yang kutemukan, nasi bungkus.
“besek kau temukan jo?” tanya Agus sambil ikut berdecak riang,
“ya, macam itu. Mari kita lihat isinya”, ajakku lalu membuka. Dan benarlah ada sisa-sisa dikardus yang disebut Agus besek ini. Sisa-sisa nasi dan sedikit sayuran, cukup untuk ganjalan perut kami yang tengah hari ini belum makan apa-apa.
“ayolah…”, ujar Indra lalu bergegas mengajakku kepinggir dan kami berdua mulai makan.
“Lariiiiiiii, kamtiiibbb…”, teriak seseorang dari belakang kami, membuatku dan Agus menengok dan bergegas lari. Uber-uberan dengan kamtib sudah termasuk dalam jadwal keseharian kami, kami takut ditangkap lalu diinterogasi. Kebebasan kami pastilah dirampas.
Cukup lama kami berlari, sudah banyak jalan kami terobos. Begitu merasa kehadiran kami adalah aman, kami mulai berhenti dan mengatur nafas. Bersender pada tiang penyangga flyover.
“dikejar-kejar kamtib ya?” tanya seorang gadis kecil sambil tertawa, dia lebih kumal daripada kami yang baru saja mandi dikali,
“ya begitulah. Hidup dimanapun, semiskin ini, pasti kamtib jadi sahabat kami dan polisi jadi kawan kami”, sahut Agus lalu duduk disebelah gadis itu sementara aku tetap berdiri.
“aku Era, sang zaman”, seru gadis itu membuatku dan Agus terlonjak kaget, seruannya layaknya pujangga.
“pujangga jalanan kau?” tanya Agus kemudian, membuat Era tertawa,
“aku, aku gadis kecil ini, yang penuh dengan kata, yang berbadan dekil ini, yang menengadah pada orang yang turut menengadah, ya aku adalah pujangga jalanan. Hahaha”, pujangga adalah gila bagiku, walau mereka selalu menyampaikan aspirasi pada kiasan bahasa yang unik dan segar namun sederhana, kata-kata yang mereka pilih terkadang sangat nyeleneh.
“duduklah disini sahabat, walau kalian belum berisik tapi istirahatlah, agar ketika kalian kosong kalian dapat berisik penuh”, ucapnya, suara kami adalah berisik dan kosong adalah perut kami yang benar-benar lapar. Jadilah kami bertiga terududuk di atas alas kardus. Mendengarkannya berpujangga dengan dendangan tawa, orang disekitar kami hanya diam dan menonton, melihatnya seperti melihat hal yang wajar. Dengan piring yang cuman setengah ia taruh dihadapannya, ketika mereka datang dan berniat memberi ia sudah memberikannya wadah.
“kami adalah pengemis terhormat, mencuri demi perut, berisik demi hidup. Kami bukan tak punya mulut untuk bicara tapi kami adalah bagaimana hidup kami. Bukan maksud kami untuk berteriak dalam protes tapi maksud kami adalah uang yang kami peroleh dalam protes. Pantaslah kami diatas karna kami bukan si pandai bicara namun kami adalah si pandai berbuat …”, ia terus saja melantunkan ayat-ayat puisi itu dari mulutnya yang mungil. Anak 12 tahun yang duduk berjejer seperti ini terlihat cukup unik. Badan sesama kurus, kulit sesama hitam, rambut sesama kasar, dan umur sesama sama.
“hai, agus Bejo. Pergilah dari anak gadis edan itu dan ikutlah bersamaku”, teriak Andri sang Obama pada kami, ia tengah bertengger disepeda buntutnya.
“kemana akan kau bawa kami?” tanyaku balas berteriak, karena sang Obama tak kunjung mendekat malah berarak menjauh,
“ikut saja”, aku dan Agus pun segera bangun dan beranjak dari tempat itu, meniggalkan Era sang zaman pada puisinya.
“Sepotong Suara Untukmu”
Suara serak dariku
Suara sumbang punyaku,
Bermodal suara dan kakiku juga tanganku
Kupasang tubuh ini pada mentari yang bersinar terang,
Berhiaskan keringat dengan kulit mulai terbakar
Menikmati terik dari bumi dan menikmati racun dibumi
Kami bernyanyi,
Bersenandungkan suara bising
Menyelaraskan dengan cuaca
Kami mencari isi perut, kami mencari kesenangan
Siang sahabat kami
Malam kawan kami
Dengar kami bernyanyi dan tertawalah bersama kami
Karena duniaku adalah sudut-sudut kota yang gelap bertaburkan kelam.
Era sang jaman terus saja melantunkan puisi-puisi, meski kami berlari semakin jauh darinya namun rasanya lantunannya masih terdengar bersaing dengan bising padatnya kendaraan.
“akhirnya berhenti juga kau ndri..haah..haah”, sahut Agus yang kemudian duduk dan mulai mengatur nafas begitu pula aku.
“ayo cepat cepat, nanti kita terlambat”, ujar Obama yang kemudian menaruh sepedanya merapat ditembok lalu masuk.
Andri sang Obama, dikatakan demikian ketika Obama presiden Amerika menjadi sangat terkenal diIndonesia hanya karena dia numpang diIndonesia, bukan tanpa alasan kami memberinya julukan seperti itu, namun karena kemiripannya dan keramahan juga karena pengetahuan-pengetahuan yang ia miliki, “kami memang anak jalanan tapi bukan berarti kami buta pada dunia”, itulah ucapnya pada kami semua anak jalanan ketika berkumpul, ia selalu mencanangkan betapa berharganya pendidikan dan betapa indah dunia ini, dan bukan hanya seputar kota Jakarta yang penuh sesak dan desak.
Kami dibawanya kesebuah bangunan terlantar, bangunan tak terselesaikan memang cukup banyak diIndonesia umumnya dan Jakarta khususnya.
“kenapa kita harus kesini? Tak adakah satpam nantinya?” tanyaku penuh was-was, gawat juga kalau kita harus berurusan dengan polisi karena melanggar garis halangan.
“tidak, satpamnya sahabatku”, jawab Andri pendek, terus saja kami menanjak naik, semakin menanjak naik semakin kami mendengar seseruan dan tawa.
“oh, Andri sang Obama, siapa kau bawa?” tanya seorang perempuan cantik pada kami, ia dikelilingi oleh segerombolan anak campur, kecil-remaja-dewasa,
“sahabat yang kehilangan arah”, ujar Andri sembari tersenyum lalu berjalan mendekati wanita itu,
“ayo kawan, dia adalah bu Melda, sang aktivis peduli kami”, ucap Andri kemudian lalu mengajak kami duduk bersama berlesahan bersama mereka semua.
Ditemani kapur bata merah dan papan tulis yang cukup usang, dengan beralaskan lantai dan angin yang cukup kencang.
“hei, andri. Kenapa mesti disini?” bisik Agus pada Andri, namun yang dibisikkan hanya menoleh sedikit lalu mengangkat telunjuknya kebibirnya, isyarat diam.
Pelajaran demi pelajaran, yang diajari pun bukan hanya terpaku pada baca dan tulis tapi juga pada ketatanegaraan dan pengetahuan tentang dunia luar, bukan main pintarnya perempuan ini. Ia banyak menceritakan pada kami tentang isi museum yang banyak terdapat di Jakarta yang tidak pernah dapat kami sentuh walau harganya murah meriah. Bukan karena kami tak ingin namun kami tak bisa. Kami adalah Negara tapi kami seperti tidak memiliki Negara.
“disini karena aku dan kawan sekalian tak ingin diganggu oleh preman-preman yang kerjanya meminta pajak itu. Yah kau tau sendiri mereka lebih menginginkan uang rampasan daripada kerja sendiri. Semakin miskin dia semakin buta ia pada uang, namun karena tak punya ia bingung. Semakin kaya dia semakin buta ia pada kekuasaan, namun karena ia punya maka ia harus menjadi yang lebih berkuasa”, jelas Andri pada kami berdua seusai belajar dan beranjak pergi. Kami belajar hanya 2 jam, namun kurasa itu cukup lama bagi kami yang belum pernah sekalipun mencicipi bangku sekolah.
“mau kemana lagi kalian?” tanya Andri pada kami,
“mencari makan, belum habis makanan yang kami temukan tadi pagi kamtib sudah menguber kami kayak anak ayam”, jawab Agus, Andri pun hanya mengangguk lalu bergegas pergi. Tas lusuh dan buku kotor adalah bawaannya, Andri bekerja sebagai loper Koran juga.
“apa impianmu bung?” tanya seseorang pada temannya, ia duduk tepat disamping kami, sambil merokok mereka bercakap-cakap dan kami hanya meminjam pembicaraan mereka untuk kami dengarkan,
“entahlah, aku sendiri bingung rasanya. Ingin jadi apa aku, aku hanya melanjutkan apa yang kuingini sekarang tanpa mengerti apa yang didepan sana. Kuliah pun aku hanya mengikuti jalur yang kemungkinan banyak peluang kerjanya…”, jawab sang teman membuat yang bertanya menghisap rokoknya dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan gaya. Tak taukah atau butakah mereka pada hukum yang melarang merokok ditempat umum? Tak beratikah bagi mereka yang punya sebuah peraturan dan perundang-undangan? Kalo begitu untuk apa diciptakan kalo tak ada tindakannya?
“waaah…memang ya demi kerja dan uang kita bahkan rela mengorbankan keinginan atau cita-cita kita yang dulu. Menguburnya dalam-dalam”, sahut lelaki yang bertanya itu, mereka memperbincangkan tentang impian, impian yang sepenuhnya tak mereka sadari dan pergunakan untuk menyongsong masa depan.
“dengar tadi kau apa kata dia?” tanya Agus padaku, membuatku hanya mengangguk dan menatap jalanan berkerikil ini, kami hendak menuju statsiun senen, untuk mencari tempat beristirahat.
“jadi impianmu apa sahabat?” tanya Agus lebih lanjut membuatku mendangak dan menengadah langit,
“apakah impian itu punyaku juga? Kita hidup sekarang dan menatap kejamnya dunia saja rasanya sudah sangat bagus…”, ucapku,
“jangan begitu. Kita memang tak seberuntung orang yang bisa menggapai impian itu dengan mudah, tapi bukan berarti kita pun tak bisa..”,
“maksudmu?” tanyaku,
“kita harus punya impian. Impianlah yang akan menuntun kita pada kehidupan yang lebih baik”,
“ayolah, jangan berfilosofi terlalu tinggi begitu…”
“hehehe, kau ingat kata Obama kan?” tanya Agus padaku, membuatku berfikir sejenak,
“hem, apakah yang semiskin-miskinnya manusia adalah mereka yang lebih miskin ketika mereka tak punya pengetahuan?” tanyaku, dan Agus hanya mengangguk sembari tersenyum,
“lalu? Sebenarnya kau ingin bicara apa sih sahabatku?” tanyaku lebih lanjut,
“pengetahuan adalah sebuah kekayaan, membawamu dalam harkat hidup abadi dan senantiasa mengangkat martabat hidupmu meski miskin…”,
“jadi maksudmu fisik boleh miskin tapi batiniah dan lahiriah kita kaya begitu?” simpulku yang disertai anggukan dari Agus.
Begitu banyak orang beruntung yang dapat bersekolah namun mereka dalam kutipan terpaksa karena punya uang, tak bisakah mereka sejenak melihat kami yang dibawah, yang sampai ngiler-ngiler ngeliat sekolah dengan baju apik dan bersendau gurau bersama teman sebaya?
“ Si Miskin “
Kami si miskin…
Makan saja sulit,
Ketika mentari menghadang
Kami temui gerombolan masa depan
Berleha-leha terhadap hidupnya
Dan disini kami si miskin
Bermimpi saja enggan
Bercita saja sulit
Iri melihat mereka …
Biarlah kami si miskin tetap berfisik miskin
Namun biarkan jugalah si miskin ini mengenyam pendidikan
Kami si miskin rela mati demi pendidikan…
Karena itulah tengoklah si miskin ini…
“hush… pergi sana, mandilah sejenak lalu kembali lagi… jangan biarkan badanmu yang kotor menginjak rumah Allah ini…”, usir seorang penjaga musholla pada aku dan Agus, mereka tega sekali pada kami. Walau badan kami memang terlampau kumal dan bau namun inikah perlakuan yang pantas kami dapatkan manakala Agus ingin mengadu pada sang khalik,
“sabar ya kawan, kita cari masjid yang lain”, ucapku menyabarkannya,
“kau sendiri kenapa tak pernah gereja?” tanya Agus padaku, membuatku tertunduk,
“kau tau, gereja disini besar-besar. Adapun kapel yang datang tetaplah yang berpakaian pantas. Aku apa? Hanya seorang pengamen jalanan yang mempunyai satu baju kumal yang diganti bila sudah banyak yang bolong…aku malu…”,
“ya, begitu jugalah aku. Baru kubeli baju baru seribu ini seminggu lalu dari pasar senen, hasil dari mengamen kita. Dan kini aku tetap terusir karena bauku…”, gerutu Agus yang kemudian mengendus badannya membuatku tertawa.
Kami si miskin minder karena miskin dan terusir karena miskin, bukan maksud kami untuk mengadu tapi tolonglah berikan kami si miskin kesempatan.
Jadilah Agus shalat di bangunan tua beralaskan sajadah kumal dan aku yang walau tetap minder namun menggereja disamping kapel, mendengarkan segala sabdanya dari luar dan mencernanya.
“aku ini hidup bukan untuk dikasihani tapi aku hidup untuk diberi hidup. Negara kami adalah Negara tanpa peduli kami. Sang tikus yang bersebaran dibiarkan duduk dalam tahta kemerdekaan, dan sang semut dibiarkan teronggok rapi dalam sempilan kardus…”, teriakan sang pujangga Era, membuat kami tetap bersembunyi sambil menahan tangis. Ia tertangkap oleh kamtib, habis-habisan ia melawan namun apa dayalah seorang anak kecil berbadan mungil itu. Dengan tubuh kurus bisa apalah dia. Dan kami hanya dapat berdoa dari jauh sambil memandangnya iba. Selamat tinggal Era sahabat dunia kelam. Entahlah apa yang akan dilakukan para bapak-bapak kamtib itu pada anak yatim piatu yang terusir karena tak punya keluarga itu.
“Era tertangkap…”, ucap Agus pada Obama membuat Obama hanya tersenyum sambil menepuk pundak kami,
“sabar ya kawan. Doakan saja yang terbaik untuk orang baik macam dia. Sekarang bersiap-siaplah. Jakarta sedang dalam keadaan pembersihan. Bersembunyilah ditempat aman dan jangan sampai terjerumus dalam transaksi jual beli anak…” ujar Obama lalu melenggang pergi dengan sepedanya. Sementara kami harus mencari tempat sembunyi, disela-sela kehidupan.
“laparkah kalian?” tanya Reki pada kami, ia seorang cowok yang badan dan usianya lebih dari kami, menatap kami yang sedang kelaparan. Memang sudah dua hari kami tidak makan.
“ya tak usah kau tanya lagi kan harusnya bang. Sudah dua hari perut kami bernyanyi kering…”, ujar Agus pada Reki membuatnya tertawa, aku kurang dan bahkan sangat tidak menyukainya. Ia seorang penjambret kecil yang ulung, berkali-kali tertangkap namun tak pernah jera.
“ikutlah denganku. Kalo kalian mau makan, aku tau kok caranya. Dan mudah sekali…”, ujar Reki lalu berjalan dan Agus yang kelaparan mengikutinya,
“agus tak baik kita ikut dia..”, larangku namun Agus tak kunjung mendengarnya membuatku dengan terpaksa mengikutinya.
“hanya sekali-sekali saja, berhentilah bernyanyi dengan suara jelek kalian…hahaha…”, Reki gila pikirku…
Ia mengajari kami menjambret ala professional dan ia mengajari kami sedikit bahasa isyarat,
Sungguhlah kaya bahasa anak jalanan, mulai dari bahasa prokem sampai bahasa isyarat namun bahasa kesopanan bukanlah milik kami…
“entar aku pura-pura menabraknya dan Agus juga Bejo berdiam disitu. Bejo mengawasi dan Agus menanti aku memberikan dompetnya padamu lalu setelah diberi cepat pergi. kita bertemu di depan gor stasiun senen. Oke…”, dan anggukan menjadi pilihan kami. Tuntutan perut tak bisa lagi kami tolerir ingin mengamen namun suara kami sudah terlanjur habis terkikis oleh rasa haus.
Ia mencompet dengan sangat professional meski ia masih kecil…karena pencopetan ini tak berlangsung lama dan sangat sebentar sekali.
“ini uang untuk kalian… mudah dan gak lama kan? Kalo kalian tertarik hubungi aku dan kita akan datang kesekolah copet. Oke..”, ujar Reki lalu menghilang. Kini dalam tangan kami tergenggam uang sepuluh ribu, besar sekali harga uang ini membuat kami berdua bersuka cita dan bersuka ria. Penuh dengan nyanyian sambil tertawa kami berputar-putar sambil mengibarkan uang sepuluh ribuan itu. Itulah harga sepuluh ribi itu bagi kami, sebuah rejeki dan harta karun walau kami menyadari harga uang itu adalah haram.
“kenyanglah kita sekarang dan senanglah kita, esok bisa mengamenlah kita dan terus bersenandung…”, ujarku penuh dengan senyum,
“ya ya ya…bagaimana kalo kita berenang di situ…”, Agus menunjuk kolam renang yang berada dalam kawasan stasiun senen, disana kolam renang milik pemerintah dan harganya sangat murah. Cukup dengan 2000 rupiah kami dapat membasuh tubuh kami…
Dan jadilah kami disini, bersenang-senang dengan air…dengan baju yang melekat dibadan kami…melepas baju dan membiarkan celana bergantung pada tubuh kami…ketika usai kami berjemur dahulu menunggu sang celana yang bergantung pada tubuh kami kering lalu barulah kami memakai baju dan melanjutkan perjalanan mengamen kami…
Dalam pengharapan kosong kami bersenandung, menyenandungkan keceriaan. Maaf bila terkadang kami menipu tapi bukanlah maksud kami. Maaf bila terkadang kami khilaf tapi bukanlah maksud kami. Kami hanya kehilangan arah dan pegangan, ketika semua terdesak apalah daya kami? Sungguh bukan keinginan kami untuk bermain api dalam neraka tapi apalah kesanggupan kami. Bekerja halal pun matilah kami bekerja haram dosalah kami. Maaf bila kami sang hina selalu terinjak dan diinjak, tapi berilah kami kesempatan untuk mencicip kemakmuran, bukan maksud kami untuk tidak usaha. Tapi apalah daya kami dengan segala kesanggupan kami…
“huhuhu… jangan tangkap saya pakkk…”, teriakan dan erangan itu menghiasi siang terik itu, dengan asap kendaraan melebihi daya tampung paru-paru kota mereka menangis dan tarik ulur dengan petugas kamtib,
“Agus ayo cepat lariii !!!!” teriakku pada Agus yang hanya terdiam terpaku ketika jablay pengasuhnya dinaikan kemobil oleh kamtib,
“ayoo…”, teriakku sambil menarik tangannya,
“tadi pengasuhku, jablaylah dia, tapi dia lebih suci daripada ibuku yang membuangku…”, ujar Agus sambil menangis, membuatku iba padanya,
“cepat larii…”, seruku walau kini kutau air mataku turut menetes…
“haiii kalian berhenti !!” teriakan dari pak kamtib membuat kami terlonjak kaget dan membuat kaki kami semakin mengebut, beriringan dengan kendaraan kendaraan yang berlalu lalang, kami dikejar-kejar…
“ayooo menyebrang!!” seruku yang menyebrang terlebih dahulu,
“aaaa……ckiiit braaaakkk……”, suara hantaman keras itu membuatku segera menengok dan melihat ia sahabatku, Agus…ia saudaraku ia yang kukagumi karena semangatnya, meninggal dalam decitan mobil, ia tertabrak tronton dan terlindas begitu saja, membuatku membatu dan tak mengerti harus berbuat apa,
“Aguuussss…”, seruku padanya, orang-orang telah mengerumininya, namun apalah dayaku sahabat. Pasti engkau pun tak mau aku tertangkap, maka aku hanya dapat memandangimu dari jauh.
Agus…
sahabatku sejatiku,
dalam kesenangan si miskin
dalam derita si miskin
engkau hadir di dalamnya,
dengan setia tanpa merengek…
dengan syukur tanpa menggerutu.
Kau terima hidupmu
engkau bersyukur pada sang khalik…
Agus saudaraku,
karenamulah aku menjadi sekarang
penuh dengan cinta dan cita
penuh dengan baiknya sifatmu
penuh dengan pengharapan…
engkaulah Agus sang sahabat dalam derita dan suka…
Meniti langkah demi langkah, berat rasanya bila tak ada engkau disampingku. Namun kebersamaan yang lalu adalah semangat kini. Agus engkau sahabatku terbaik.
Aku melanjutkan hidupku tanpanya, menjadi lebih baik dan penuh sukacita.
Walau tetap menjadi anak recehan hidup dari dendangan nyanyian dan bertahan dengan tawa aku tetap mensyukurinya.
Segalanya akan menjadi baik ketika kita mau mencari apapun kebaikan itu dan tidak diam dan menunggu kebaikan menghampiri kita.
Inilah kisah sang anak recehan walau bertebaran tangismu inilah hidup kami dijadikan alas oleh sang pemimpin…
Inilah kisah sang anak recehan walau kami tak dapat cinta tapi kami punya cinta
Inilah kisah sang anak recehan maka tengoklah kami dan tersenyumlah untuk kami, maka semangat kami akan bertambah…
Terima kasih untuk kalian yang mau sedikit menunduk untuk kami anak recehan, anak bangsa masa depan Negara…
“ Cinta untuk Anak Recehan “
Siapakah kami?
Hanya manusia yang kebetulan kurang beruntung
Siapakah kami?
Hanya manusia yang berjejer dipinggiran
Menahan terik mentari
Menahan dinginnya rembulan
Siapakah kami?
Kami adalah sang pecinta recehan,
Hidup hanya berpegang pada keyakinan
Hidup hanya berpegang pada segenggam uang logam
Kami yang terasingkan
Kami yang terusir dan
Kami yang terhina
Diinjak dan selalu terinjak
Namun kami adalah bagian darinya
Kami sebuah Negara
Kami diakui namun kami tetap menjadi yang terpinggirkan
Tak ada cinta bagi kami
Namun kami punya cinta
Cinta kami padamu
Cinta kami pada negeri ini
Negeri inilah tempat kami berteduh
Dalam dendangan genderang
Dalam suara tawa
Dalam nyanyian sumbang
Berikanlah kami cinta sekedarnya
Hanya untuk bertahan hidup dalam dunia yang fana
Menuju surga keabadiaan…