BULAN bukan tidak pernah menoleh ke arahku. Aku sangat yakin ia hanya menunggu saat yang tepat, ketika tabir memayung-teduhkan langit. Meskipun begitu, tak cukup beralasan kurasa untuk kau simpan cahayamu. Bagaimana bisa kau menolak kepemilikan malam atasmu, yang berarti kepemilikan semua orang. Pasti kau punya alasan sendiri yang tidak pernah sempat terutarakan lewat bibir lengkungmu itu. yah, pasti!
Terkadang aku hanya mampu melihatmu ke atas, menganggapmu sebagai bulan yang bercahaya di langit malam. Itu kulakukan karena kau tak pernah datang lagi. Di tempat ini aku hanya bisa mengenang semua tentangmu. Tentang semburat senyum yang kau bagi dengan pelitnya, seperti rintik hujan. Namun cukup untuk menyejukkan benih kemarau yang mengerontang. Semua kenangan yang seakan tak berkemungkinan untuk terjadi lagi itu membuatku gila. Sungguh! Aku gila untuk memelukmu. Ketika waktu senja ini bersiap menyeretku untuk pergi ke alam tak menentu. Malam berganti malam kurelakan saja waktu menggerus bilah-bilah tulangku yang semakin lunglai demi bertahan di peraduan; tak perduli dengan semua kesakitan ini.
Jika kau memperhatikanku, setidaknya kau akan tahu bahwa aku tidak pernah berlagak selayaknya orang yang jatuh cinta. Apa itu artinya aku tidak mencintaimu? Entahlah, aku tidak mengerti caranya dan tak pula perduli. Perihal kenapa cinta itu berbeda dari pakem yang sudah ada, atau menentang sejarah sekalipun, tak ada gunanya diperdebatkan.
Ketika seseorang jatuh cinta, lumrah saja jika perhatian dan rasa ingin tahu tercurah untuknya, wajib untuk menjadi seperti apa yang ia inginkan. Tetapi, aku tak sama. Cukup apa adanya saja, seperti tetesan embun yang menuruni lereng bukit dan jatuh memeluk apapun di bawahnya. Menyenangkan sekali ketika menunggumu dengan segala ketidaktahuanku tentangmu. Aku menikmati ketika aku terkapar dengan kealpaanku pada parasmu. Bulan di langit malam, akan sedikit mengobati. Terkadang wajahmu muncul dari senandungnya, lalu pergi lagi. Romantisisme ini tidak pernah merapuh, sekalipun dimakan masa yang biasanya membakakan segala apa yang ada.
***
LAMA.
Lama sekali kau tidak menjengukku lagi Bulan. Apakah kau tersesat ... atau ada yang menculikmu. Memang kau bukan milikku, tetapi siapapun tidak berhak memonopoli cahayamu, kan!. Tahu begini, seharusnya aku sudah terlebih dahulu menculikmu (seandainya aku bisa). Ah, mengapa pikiran seperti ini yang menguasaiku. Tetapi sungguh, Bulan, kali ini kau akan benar-benar membuatku gila jika tak kunjung menemuiku.
Memang akhir-akhir ini sangat marak kasus penculikkan terhadap anak keluarga kaya, tapi kurasa kau tidak bisa dikategorikan seperti mereka. Gadis sepertimu begitu biasa untuk dianggap anak orang kaya. Ah, Bulan, biasanya memang aku tak mudah bosan karena daerah pertokoan ini cukup ramai. Mereka—dengan caranya sendiri—menghiburku tentang banyak hal. Apalagi daerah ini termasuk objek wisata yang cukup ramai sehingga tak jarang kulihat turis berlalu-lalang menikmati kuliner daerah dan bermacam kerajinan tangan pribumi yang bernilai seni tinggi. Rukun dengan warga lokal.
Aku sangat menikmati momen-momen itu bersama mereka. Tapi segala sesuatu begitu cepat berubah, setelah sebuah berita teror yang digembar-gemborkan di televisi.
Aku tak perduli dengan berita itu, aku cukup terhibur melihat anak-anak yang bermain kejar-kejaran di taman itu, pemuda tanggung berbahasa tak lazim yang biasanya nongkrong di pancuran kemudian berbagi rokok lalu terbatuk-batuk olehnya, atau ibu-ibu yang mencurigai suaminya melirik janda kembang rusun dan para pekerja yang selalu mengeluh.
Tapi kali ini aku jengah. Mendengar para orang tua yang tak henti menggerutu. Tak jauh dari tempatku ada sebuah kursi umum, di sanalah mereka sering membicarakan tentang tabiat anak-anak remaja sekarang. Mereka mengeluhkan kenakalan remaja yang terlewat batas: tawuran, menikmati pergaulan bebas, dan narkoba. Sekolah yang di cap tak lagi mampu memberikan didikan pada para pelajar itu, dan para pemimpin yang sibuk berkampanye dengan prinsip money politic-nya yang sangat jarang menyingung anak muda. Globalisasi dikambinghitamkan. Di mana posisi anak muda di mata mereka? Bukankah menggunjingkan hal ini hanya merentangkan jurang antar generasi. Aku lega mengingat Bulan-ku tidak termasuk dari remaja-remaja yang sepertinya dibiarkan tersesat itu.
***
AKU bermimpi. Mengerikan sekali.
Merah! Api! Orang-orang berteriak, wajah-wajah terbang bak kabut yang tertiup topan. Menyambarku. Aku terpaku, tak mampu menolak kengerian dari ekspresi yang mereka bawa.
Sekelompok orang berpakaian putih. Mengendarai kuda-kuda besi. Angin berderu-deru ketika mereka melangkah, langit menggulung. Mereka mengkoar-koarkan mantra yang menyebabkan semua orang histeris, menyebabkan mereka saling menyerang satu sama lain karena sihir mantra itu. Para pemuda mereka pakaikan kalung merah yang besar dan berdetik-detik, lalu para pemuda itu mengamuk, mencambuki semua orang: kehilangan kesadarannya.
Samar-samar kulihat Bulan di sana, bersama dengan lelaki pemimpin pasukan berjubah. Ia tidak bergerak, diam saja membelakangiku. Laki-laki itu—yang di dagunya menjalar akar-akar panjang—melepaskan kain penutup kepalanya untuk ia rekatkan di leher Bulan. Seketika itu juga Bulan menampakkan cahaya, dimulai dari lehernya lalu menjalar keseluruh tubuhnya, yang hanya membuatnya semakin pucat. Semakin terang, sebaliknya membuat lagit makin kelam. Bulan melihatku.
Aku ingin berlari tapi kakiku tercekat, menghujam tanah-bak-besi-cair yang segera mengeras sebelum aku beranjak bangkit. Kepala bermimik histeris itu menuju padaku, menerobos pori-pori kulit. Ketika aku berteriak kesakitan segera mereka masuk lewat mulutku. Mereka semua. Tak bisa aku menutup mulutku, karena derasnya kabut berbentuk wajah yang menjerit-jerit. Ahh...!
***
PAGI yang mendung ini seperti melukiskan kesenduanku, yah, kerinduan setangkai bunga terhadap perempuan yang tak kalah cantik dari bunga tercantik.
Aku ingat pertama kali kita bertemu. Kau dengan seragam sekolahmu yang kebesaran itu. Kau yang membawa tas ransel gemuk, seperti seluruh buku yang ada kau lesakkan ke dalamnya. Kerianganmu membuatku yang sudah semakin layu saat itu merasa cukup berdaya untuk menarik tulang punggungku lagi. Saat itu kau hanya melirikku; kau sedang buru-buru. Namun, esoknya kau membawa segelas air untuk memenuhi dahagaku, esoknya lagi, dan esoknya lagi. Terkadang kau membawa sedikit bubuk yang tidak enak baunya untuk kau sebarkan di sekitarku. Anehnya setelah cukup lama, tanah tempatku hidup menjadi begitu kaya untuk persediaan makananku. Bulan. Hanya nama itu yang tertera di baju seragammu.
Cukup sudah.
Dengarlah Bulan, aku akan mengutukmu jika aku tak melihatmu lagi. Biar saja aku mengendap keras di neraka karena seumur hidup membencimu. Neraka tidak akan terlalu panas daripada apa yang kurasakan sekarang, aku akan meledak dalam amarahku. Bulan, muncullah untuk memenuhi dahagaku. Sedetik saja. Tak apa.
Hari semakin menua, matahari dengan gagahnya menguasai langit.
Kau datang.
Apakah kau menyerah karena mendengar kutukanku? Kau merinduiku juga kan? Akhirnya! aku sudah tahu kau tidak melupakanku. Benar, kan, kau pergi karena suatu sebab. Ah, Bulan, bagaimana aku bisa menjelaskan kegembiraan setangkai bunga kepadamu.
Aku tidak tahu siapa yang menanamku, atau mungkin tidak sengaja menanamku. Satu-satunya yang sudi memperdulikanku hanya kau. Lihatlah aku Bulan, aku tahu walaupun kemarau ini membuatku sekarat tapi aku masih bertahan kan, aku tetap akan hidup. Cinta akan membuatku hidup terus. Bagaikan embun yang selalu datang memeluk fajar; Bagaikan kecipak air yang menggigit pantai; Bagaikan tawa bocah ketika diberi gula-gula.
Tapi, kau tampak banyak berubah dari terakhir kali aku melihatmu di trotoar jalan ini. Kau mengenakan seragam sekolahmu yang—biasanya tidak—tampak lusuh, kemana saja selama ini? Apakah kau sakit? Apakah kau pergi karena sesuatu urusan sehingga harus meninggalkan sekolahmu? Betapa kau tidak tahu bahwa aku sangat khawatir dengan keadaanmu. Biarpun cintaku adalah misteri yang menggelora. Tetap saja, bisa melihatmu lagi adalah hadiah tak ternilai.
Kerianganku tak mampu kusembunyikan, aku memekarkan bungaku yang semenjak lama tak mampu kulakukan, pasti karena energi yang kau bawa, pasti! Kali ini, biarlah kumbang-kumbang itu menyecap saripatiku yang biasanya tak pernah kuberi, kali ini semuanya kuberikan. Kau hanya melaluiku, sedikitpun tak menoleh. Tak mengapa ... ah, esok kau pasti datang lagi kan Bulan? Walaupun tidak aku sudah cukup bahagia. Malamnya aku melanggar janjiku. Aku berdoa supaya bisa bertemu lagi denganmu.
Benar saja, kau datang lagi pagi ini. Doaku dikabulkan. Tidak hanya bisa bertemu denganmu, sekarang bahkan Tuhan pun menyayangiku dengan membiarkan aku tetap hidup untuk melihatmu lagi. Tapi kebahagiaanku ternodai olehmu.
Bulan. Kenapa kau tampak bersedih begitu, senyuman sabitmu sama sekali tak nampak. Tatapanmu kosong kearahku. Kaukah itu? Apa yang terjadi? seseorang melukaimu. Mungkin tepat perkiraanku, seseorang telah menculikmu, lebih dari itu ia telah ’memperkosa’ semua keceriaanmu. Kau menitikkan air mata tepat didepanku. Rintik air mata, menusuknusukku, menerkam benakku. Aku tidak pernah marah walaupun kau tidak membawa air untuk menyiramiku, atau bubuk ajaib itu, lalu kenapa kau bagi kesedihanmu. Sungguh, aku sangat menyesal berdoa untuk bertemu denganmu. Jika saja aku tahu kesedihan sedang menggelutimu. Melilitmu bak anakonda lapar, dan lebih buruk dari itu bahwa aku tak punya kuasa apapun untuk menarikmu lepas darinya.
Kau pergi setelah melepaskan pandangan pilu yang tak kumengerti. Tas ransel yang penuh itu masih setia menggantung di punggungmu. Sesuatu yang aneh menyerangku ketika kau berlari-lari kecil menjauhiku. Sesuatu di dalam ransel itu menyeruak-berkelebat menyerangku. Mengingatkanku pada wajah histeris dalam mimpi. Apa itu?
***
SUARA gemuruh ini tak seperti gempa bumi, atau badai yang mendekat. Belum pernah kekacauan yang seperti mengeruk langit ini di awali dengan suara ledakan yang begitu dahsyatnya. Sesuatu yang tak kutahu itu tidak terjadi disini, cukup jauh namun getarannya luar biasa hingga menjalari tempatku berdiri. Membuat gedung-gedung roboh, kaca berserabut pecah, orang-orang berteriak histeris, dan percikan api menjilat-jilat langit. Sekitar dua ratus meter dari tempatku berdiri. Ke arah yang tadi kau tuju. Sebuah kafe yang biasa dipenuhi turis-turis yang lapar selepas berkeliling pasar.