Setiap penulis, alangkah baiknya, menulis apa yang ia tahu. Bukan hanya untuk menghindari anakronisme dan kesalahan-kesalahan yang tidak perlu, melainkan juga untuk memudahkan si penulis itu sendiri. Dan Benny Arnas telah melakukan hal itu.
Dalam buku Bulan Celurit Api (selanjutnya BCA) yang berisi 13 cerita pendek, terlihat sekali penulis menguasai apa yang ia tulis. Ia mengangkat cerita dengan sentuhan lokal yang berkembang di tanah kelahirannya, Lubuklinggau (tempat tinggal si penulis), daerah yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Mulai dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat Lubuklinggau yang diceritakan dengan begitu lancar, seting tempat yang digarap dengan baik, sampai diksi yang terdapat dalam narasi dan dialog pun terasa kental sekali “Lubuklinggau”nya.
Ngomong-ngomong soal diksi, sejujurnya saya katakan bahwa diksi yang terdapat dalam BCA itu cukup kaya. Beragam diksi yang jarang saya jumpai ada di buku itu. Meskipun sempat mengerutkan kening, tapi setidaknya saya masih bisa menangkap inti dari setiap cerita. Sebagai contoh, Benny Arnas mengganti kata “warna” menjadi “kelir”, “air sepat(?)” menjadi “air kelat”, “usai” menjadi “tunai”, “tetangga” menjadi “jiran”, “setelah” menjadi “bakda”, dan lain sebagainya. Bukan hanya menjadikan kata-kata itu terasa unik, melainkan juga terasa bertenaga sebab masih jarang dipakai orang banyak. Perkara apakah itu upaya penulis untuk bergenit-genit dalam diksi, saya tidak tahu.
Namun saya tahu cerpen bukan hanya terdiri dari diksi semata. Diksi hanya sebagian kecil dari beberapa unsur yang terdapat dalam sebuah karya fiksi—meskipun kita sama tahu bahwa diksi kadang bisa juga menjadi penolong untuk sebuah cerita yang, katakanlah, biasa-biasa saja.
Begitulah. Saya tidak mau berlama-lama tersihir oleh pesona yang terpancar dari setiap diksi yang terdapat dalam BCA. Saya ingin menyelam ke ceruk yang lebih dalam (halah!): tema cerita, konflik, plot, dan penggambaran karakter. Apakah sama kuatnya dengan diksi yang Benny Arnas paparkan?
Entah kenapa, saya merasa sebagian besar cerita pendek yang ada dalam BCA ini tidak sejajar dengan kekuatan diksinya. Tengoklah cerita Bulan Celurit Api, Percakapan Pengantin, Hari Matinya Ketib Isa, Malam Rajam, Surat-Surat yang Mengantarmu Pulang, dan Dilarang Meminang Gadis Berkereta Unta.
Dalam Bulan Celurit Api saya seperti menemukan logika cerita yang kurang terbangun dengan baik. Peristiwa bekacuk (berhubungan badan) yang dilakukan oleh Iyut dan Rusli menurut saya kurang masuk akal. Bagaimana mungkin mereka melakukan perbuatan zina di kebun ubi, di dekat tempat hajatan sedang berlangsung? Sehorny-horny-nya orang, menurut saya tidak mungkin mereka bersetubuh di tempat yang berdekatan dengan pusat keramaian (hajatan). Kecuali jika mereka memang memliki fantasi-fantasi liar, itu tidak jadi soal dan akan membuat cerita itu menjadi masuk akal. Masalahnya, apakah Iyut dan Rusli memiliki fantasi yang liar? Kalau iya, mengapa sebelumnya tidak ada gambaran mengenai hal itu?
Dalam Percakapan Pengantin, ada beberapa pertanyaan di dalam benak saya. Pertama, mengapa dan untuk apa penduduk kampung tiba-tiba mengerumuni rumah pengantin baru itu? Apakah pasangan yang yatim piatu tidak boleh menikah? Mengapa setelah menikah penduduk kampung baru mengepung rumah pasangan itu, bukan pas ketika acara H-nya, untuk kemudian membatalkan pernikahan sepasang pengantin yang ternyata bisu itu? Kedua, ya, saya terkejut mengetahui bahwa ternyata pasangan pengantin itu bisu. Keren, begitu kata saya dalam hati. Tapi lagi-lagi saya bertanya, di awal cerita penulis menulis begini: “...Mereka masih bisa mendengar dengan jernih,...” (hal 28). Setahu saya, orang bisu itu biasanya tuli alias telinganya pekak. Belum pernah saya temui orang bisu yang telinganya masih beres, apalagi masih bisa mendengar dengan jernih.
Dalam Matinya Ketib Isa saya pun menemukan logika cerita dan penggambaran karakter yang kurang tergarap dengan baik. Menurut saya penusukan yang dilakukan Komar dan Zul terhadap Mak Zahar, ibu mereka, bisa dibilang terlalu tergesa-gesa. Konflik belum mencapai titik klimaks, tapi penusukan itu telah terjadi. Sepreman-premannya seseorang, membunuh orangtua adalah tindakan yang tak mungkin dilakukan. Kecuali jika seseorang itu benar-benar psikopat atau si orangtua memang terlampau menyebalkan, mungkin hal itu bisa terjadi. Tapi, karakter Komar dan Zul belum digarap maksimal. Mereka memang preman, brandal, penjahat, copet, dan pemerkosa, tapi mereka bukan psikopat. Bahkan mereka (Komar dan Zul) tidak pernah membunuh seseorang. Jadi, menurut saya, penusukan yang mereka lakukan terhadap ibu mereka sampai meninggal, masih terlalu tergesa-gesa. Pembaca belum sempat disuguhkan sugesti bahwa Komar dan Zul itu memang psikopat yang paling bejat.
Dalam Malam Rajam, Surat-Surat yang Mengantarmu Pulang, dan Dilarang Meminang Gadis Berkereta Unta, menurut saya hampir mirip dengan drama-drama percintaan pada umumnya. Saya tidak bisa berkata banyak mengenai cerpen-cerpen itu, kecuali untuk cerpen Surat-Surat yang Mengantarmu Pulang. Di cerpen itu diceritakan bahwa sang “aku” yang mahir membuat puisi sedang berada di depan televisi, menyakiskan berita kecelakaan pesawat yang “kekasihnya” juga berada di dalam pesawat itu. Yang saya heran, ketika sang “aku” mendatangi pesawat yang sudah menjadi puing itu, ia masih melihat “kekasihnya” di sana, terkapar dengan bercak merah di sekujur tubuh. “Kekasihnya” itu belum juga dievakuasi! Apakah jarak antara rumah “aku” dan lokasi kejadian itu memang sangat dekat? Kalau iya, mengapa tidak diceritakan?
Demikianlah laporan pandangan mata saya terhadap buku Bulan Celurit Api karya Benny Arnas. Untuk cerita-cerita yang belum saya bahas (Tentang Perempuan Tua dari Kampung Bukit Batu yang Mengambil Uang Getah Para dengan Mengendarai Kereta Unta Sejauh Puluhan Kilometer ke Pasar Kecamatan, Bujang Kurap, Tukang Cerita, Dua Beranak Keturunan, Anak Ibu, dan Perkawinan Tanpa Pengantin) mungkin bisa dilanjutkan kapan-kapan. Yang pasti, di antara cerpen-cerpen yang termaktub dalam BCA, saya paling menyukai Tukang Cerita, Anak Ibu¸dan cerpen yang memiliki judul paling panjang itu.
Sebelum mengakhiri tulisan yang anggap saja resensi ini, saya ingin mengatakan bahwa tulisan saya ini bersifat subjektif. Apa yang saya rasakan, belum tentu sama dengan yang dirasakan oleh orang lain. Yang pasti, Bulan Celurit Api adalah buku yang sangat layak untuk dibeli. Bravo buat Benny Arnas! Semoga saya segera bisa pandai mengarang sepertimu ^_^. Aamiin....
Salam
Tukangtidur