“
Alchemy?”
Ada tanya terucap. Mengalun lembut dari bibir merah muda tipis. Menghantarkan banyak tanya dengan satu istilah asing, seolah kata yang baru pertama terucap dan sekilas ada salah pelafalan di sana.
Reno reflek mengangkat tangannya. Memenuhi pandangan Sana dengan garis nyata mau pun samar, garis yang banyak dikatakan berguna dalam membaca nasib seseorang.
“Reaksimu itu sudah memberi jawaban,” dengus remaja laki-laki itu. Kali ini tangannya terkepal, membiarkan sepasang kristal hijau mampu memantulkan sosoknya. Warna hijau milik pucuk daun baru itu bertemu dengan
onyx kelam.
Onyx sekelam mineral yang menyusun
Schwarzer Trauerschmuck.
“Kau mendengar istilah itu darimana?”
“Bisa tidak panggil aku kakak? Aku lebih tua darimu.”
Sana mengedik, memberi jawaban tanpa kata akan protesan Reno. Gadis itu memutar kursinya, memunggungi Reno untuk mengetik beberapa deret kalimat.
“Matamu bisa makin rusak,” sengit Reno. Diraihnya kacamata Sana yang ada di atas monitor, memperhatikan dari berbagai sudut pandang sebelum mencoba untuk memakai alat bantu melihat itu. Setidaknya dia tidak terlalu pusing dengan ukuran minus yang dipakai Sana.
Layar menghitam. Serena Sana bangkit dari tempat duduknya, berjalan melewati Reno sebelum akhirnya menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur yang penuh dengan buku-buku, baik
soft cover atau pun
hard cover, dan juga lembaran kertas yang entah diisi dengan catatan macam apa.
“Oi! Kau membuat laporan dan ringkasanku kusut semua kalau begitu.”
Membenarkan posisi kacamata yang ia kenakan dengan jari tengah, Reno menduduki kursi yang tadi dipakai Sana. Memperhatikan bagaimana gadis itu menggeliat berusaha menyamankan diri, tentu, seperti ada yang bisa merasa nyaman berbaring di atas tempat tidur seperti itu.
“Kau tidak menjawab pertanyaanku tadi. Kau dapat darimana istilah
alchemy?” sungut Sana. Menyerah untuk bisa merasa nyaman dan hanya berbaring dengan rambut hitam panjangnya tersebar acak, terlihat agak kusut.
“Panggil aku kakak.”
Ada nada menuntut dalam ucapan Reno. Kali ini Sana memincing, menjawab tuntutan dari Reno dengan sebuah dengusan pelan.
“Ada aliran yang menyatakan bahwa yang lahir belakangan adalah kakak yang sebenarnya,” gumam gadis itu. Berusaha mengingat dari kepercayaan mana istilah itu pernah didengarnya, dibaca untuk lebih tepat lagi. Walau pada akhirnya ia hanya mendesah pelan, sama sekali tidak bisa mengingat. Antara Yunani atau Romawi… atau mitologi yang lain?
“Jadi kau memintaku memanggilmu kakak?” tebak Reno seraya menaikkan kedua alisnya. “Aku memanggil gadis tujuh belas tahun yang masih diatur oleh ibunya dalam hal berpakaian dengan panggilan kakak?”
Reno mengejek samar, berusaha menahan ledakkan tawa. “Bicara begitu pun kau mengidap
oedipus complex.” Ia berjengit dengan sindiran telak dari Sana. Sungguh, bukankah Sana memiliki setengah dari gejala kelainan itu? Dengan berbagai macam ide sadis yang bertujuan untuk kematian sang ayah.
“Baik, tidak ada satu pun dari kita yang adik atau pun kakak.”
Sana menyeringai penuh kemenangan, meraih salah satu kertas yang bisa dijangkaunya. Revolusi Prancis. Apa tidak sebaiknya mereka berdua tukar kelas saja?
“Jadi, mau menjawab pertanyaanku sekarang?”
“Aku dengar dari Kevin, si jenius rumus terbalik,” gerutu Reno. Berjalan gontai ke arah tempat tidur, lagi merasa lemas karena kalah debat dengan kembarannya itu. “Pindah ke kamarmu sana.”
“Kau saja, aku mau tidur siang di sini.” Sana tersenyum kecil sebelum menjulurkan lidahnya. “Menjawab perihal
alchemy, kau bisa mencarinya di kamus.”
“Kamus bahasa asingku kan kau bakar beberapa hari yang lalu.” Sedikit bergumam akan kata-kata yang tidak koheren sama sekali, Reno berbalik, berniat keluar dan pindah ke kamar Sana. Kamar yang dipastikan jauh lebih rapi dan nyaman ketimbang kamar Reno yang dipenuhi kertas.
“Di mejaku ada kamus bahasa Indonesia, cari saja kata alkimia…” Jeda sesaat. “Atau alkimis, aku lupa yang mana untuk istilah bidang yang dimaksud.”
***
Kevin Prananta Gustavani bersenandung kecil dengan nada rendah serta naik turun. Remaja yang ada dalam balutan putih-abu itu terlihat asik dengan soal-soal fisikanya. Sesekali ia akan melirik pada yang Reno Prasetya yang mendelik tajam ke arahnya. Satu-satunya hal yang membuat remaja itu tidak nyaman dengan suasana kelas yang sepi di pagi hari, menemukan Reno sudah duduk manis satu jam sebelum bel masuk adalah hal yang sangat salah.
“Kau memberiku istilah yang tidak ada sangkut pautnya dengan sejarah,” pada akhirnya remaja itu membuka suara. Menyapa Kevin dengan salam selamat pagi yang berbeda jauh dengan salam yang seharusnya.
“Oh? Soal apa nih?” Meletakkan pensil mekanik hitamnya ke atas meja. Kevin berdiri, berjalan ke arah Reno yang mengawasinya secara lekat.
“
Alchemy, aku tidak punya ketertarikan dengan hal-hal berbau mistis dan magis seperti itu. Pada hidup abadi?”
Menyeringai kecil, Kevin memutar jari telunjuknya di udara kosong. Lalu duduk di meja Reno dengan kaki menyilang. Setidaknya Reno tidak memprotes dengan sikap teman sekelasnya itu dan hanya memasang ekspresi masam, baik… apa itu bisa dibilang setidaknya?
“Oh? Tapi alkimia bukan perihal itu saja. Lagipula kan ini punya nilai sejarah.” Kembali bersenandung.
“Menyontek tugas kimia lagi kan?” tebak Kevin setelahnya. Menunjukkan buku tulis miliknya dan dibalas dengan anggukan pelan dari Reno seraya menerima buku itu.
“Sana mungkin akan tertarik dengan sejarah penuh sihir dan fantasi seperti ini. Tapi aku tidak,” mengedikkan bahu sesaat, Reno membuka buku milik Kevin. Sedikit mengerutkan keningnya.
“Oh?” Jujur, Reno sama sekali tidak suka dengan satu patah kata yang disuarakan oleh Kevin. Seperti ada sesuatu yang salah dan mengawali hal yang tidak menyenangkan. “Tapi Newton dengan hukum gravitasi, ranah fisika, dan Albert Boyle dengan hukum boyle, ranah kimia, itu seorang alkimis lho.”
Reno bungkam, menghindari tatapan yang dipenuhi oleh kilat-kilat menyindir milik Kevin. Sampai kapan pun dia tidak akan mau menanggapi Kevin yang seperti ini.
“Tulisanmu mirip cacing yang mempertemukan kedua ujungnya,” cibiran akan gaya tulisan berisi rumus di dalam buku.
“Maksudmu
Ouroboros?” Kedua alis Reno terangkat. “Itu naga, tapi bisa juga ular sih, yang memakan ekornya sendir. Perlambang awal dan akhir dalam ilmu kimia kuno ini.”
“Rasanya tadi aku mengalihkan pembicaraan.”
Kevin hanya menunjukkan sebuah cengiran di wajahnya.
***
- Penjelasan istilah-istilah:
Alchemy (Alkimia) : Kimia abad pertengahan yang mendambakan obat kekekalan hidup dan mengubah logam merah menjadi emas.
Alchemist (Alkimis) : Orang yang berkecimpung dalam Alkimia.
Schwarzer Trauerschmuck : Salah satu nama perhiasan dari jet yang dipoles sedemikian rupa yang pada abad ke 19 disebut “mourning jewelry”.
Oedipus Complex : Kelainan akan cinta berlebih pada ibu kandung sendiri, dalam artian sebagaimana cinta laki-laki dan wanita tanpa ikatan darah dan disertai harapan untuk menyingkirkan sang ayah, lebih berindikasi dengan membunuh sang ayah untuk bisa memiliki sang ibu.
Ouroboros : Simbol kuno yang menggambarkan ular atau naga memakan ekornya sendiri. Menggambrkan akan lingkaran berulang dari kehidupan dan tanpa batasan, konsep dari kebadian dan lingkaran tanpa akhir, juga menyimbolkan hidup, mati dan reinkarnasi, tertuju pada keabadian.
Lala~~
I'm bored =="
jadi bikin aja cerpen (?) nonsense satu ini~~
Lala~~