Berusaha buat cerita dengan tema yang lain yang lebih berani. dan belajar pakai sudut pandang orang ketiga pencerita.
Baca dan kasih saran, yang pedas ya.. #Maklum baru belajar bikin cerita begini..
Gadis kecil itu menatap nyalang
gambaran dirinya di cermin yang kabur. Menatap rabut hitam ikalnya yang
berantakan, menatap gaun putihnya yang kini mulai berubah jadi kecolatan,
menatap tubuh kurusnya serta kulitnya yang terpanggang, dan menatap wajahnya yang
sudah tak lagi memiliki senyuman. Sama sekali.
Sejak kapan dia jadi begini? Sejak kapan
kesempurnaan itu berganti cela yang memalukan? Di mana dia? Siapa dia? Di mana
keluarganya? Siapa keluarganya? Mungkinkah dia memiliki keluarga? Pernahkah dia
memilikinya?
Gadis mungil itu tak lebih dari
seonggok sampah tak berguna di masyarakat. Entah kenapa, entah bagaimana, dia
sama sekali tidak mengingatnya. Apa yang terjadi padanya, dan apa apa dengan
dirinya, dia tak tahu. Dia bahkan tidak tahu namanya. Dan dia juga tak memiliki
kesempatan untuk bertanya. Bukankah sudah kukatakan tadi, dia tak lebih dari
seonggok sampah tak berguna? Memangnya ada kesempatan buat seonggok sampah ini
untuk mempertanyakan dirinya, mempertanyakan keberadaannya? Hahaha. Tidak ada,
kawan. Bahkan dia dan keberadaannya saja sudah bukanlah hal yang layak untuk
ada. Dia seharusnya tidak perlu ada, dia hanya sampah! Dia tak berguna!
Dengar dan camkan ini baik-baik,
kawan. Kalau kau melihat seorang gadis dengan tampang lusuh dan pakaian compang
camping di luar sana, jika kau melihatnya, melihat dia yang sibuk memandangi
dirinya di cermin kabur dari bangunan tua yang ditinggal pemiliknya karena
sengketa tanah, lebih baik kau pergi saja. Pergi saja, menghindarlah. Kalau tidak
dia akan mendekatimu dan meminta uang hasil jerih payahmu! Pergi saja, pergi! Kau
tak perlu mempedulikannya, sampah macam dia terlalu banyak di sini.
Apa gunanya buatmu mempedulikan
seonggok sampah? Tidak ada, kawan. Tidak ada. Kau justru hanya akan rugi. Kau tak
mengenalnya. Dan kukatakan, kau sama sekali tak perlu mengenalnya. Bagaimana bila
dia sakit jiwa? Bagaimana jika dia memiliki virus aneh yang dapat menyebabkanmu
mati? Jadi kawan, cepat pergilah! Pergi saja!
Lihat, gadis itu.. lihat! Dia mulai
menangis! Dia sudah gila! Hahaha. Aku benar, kan? Dia gila. Lihat saja caranya
memegangi rambutnya.. lihat bagaimana dia, sambil terus menatap nyalang
bayangan dirinya yang kotor itu mulai sesenggukan membelai wajahnya sendiri. Nah,
kau lihat? Sekarang dia beralih membelai bibir keringnya yang pucat.
Pipinya telah penuh debu, oh ,
sudahlah! Lupakan dia! Lihat bagaimana debu yang menutupi wajahnya itu kini
mengalir bersamaan dengan airmatanya? Lihat kawan, lihat! Bahkan kini airmata
itu telah ikut jadi kotor oleh debu – debu yang selama ini melekat di wajahnya.
Jadi dia punya apa lagi sekarang? Dia
cuma punya airmata itu yang selalu ada, karena selain itu, yang tersisa hanya
gaun Tuan Puterinya yang konyol, gaun bodoh yang cepat atau lambat akan koyak
seluruhnya dan tak akan bisa dipakainya lagi. Dan dia bahkan tidak punya alas
kaki, kawan. Hahaha. Sungguh seonggok sampah yang malang.
Tapi apa? Kenapa kau menatapnya
begitu iba? Telah kukatakan kau tak perlu mendekat padanya! Pergi saja, pergi…
Sama sekali bukan urusanmu mengapa ia harus menangis sedih. Oh, kawan… Ayolah!
Menjauh, menjauh! Kau mau apa
mendekatinya? Kau ingin menyentuhnya? Oh, aku tak bisa percaya ini. Bagaimana bisa
seorang gadis yang punya intelektualitas tinggi sepertimu mau menyentuhnya? Astaga,
aku tak bisa melihat semua ini.
Gadis mungil itu tersentak ketika
di cermin kusamnya dia melihat sesosok bayangan lain. Jelas itu bukan bayangan
dirinya, atau bayangannya di masa yang akan datang. Jelas bukan. Itu bayanganmu
kawan!
Mata bulat si gadis sampah itu kini
beralih menatapmu. Tatapannya menyeramkan, bukan? Tatapannya begitu haus…dia
haus kasih sayang dari orang-orang sepertimu! Dan kau masih ingin tetap di
sana?
Kini jemari lentik milikmu mulai
menari membelai rambutnya yang kusam dan kasar. Sementara sang gadis sampah
terus menatapmu sambil sesenggukan. Matanya penuh tanya. Bibir kering dan pucat
miliknya bergetar, seolah dia ingin mengatakan sesuatu padamu. Atau dia mungkin
ingin bertanya? Mungkinkah kau mengenalnya? Mungkinkah kau bagian dari masa
lalunya, sehingga kau begitu berhasrat mendekatinya? Dia sampah, kawan! Dan kau
berdiri di sana bersama sampah itu!
Dan kau tersenyum demikian rupa. Ah,
aku tahu. Kau mau menjadi malaikat rupanya. Lupakah kau tidak ada malaikat di
dunia ini? Tapi kau tak mau mempedulikanku. Kau tersenyum padanya. Membuat sampah
itu menggigit bibirnya yang menyedihkan.
Kau bahkan menghapus airmata kotor
di pipinya. Membiarkan dia melihat secercah harapan. Membuat gejolak di jiwanya
bangkit seketika, kau melakukan kesalahan dengan semua tindakanmu ini, kawan! Kau
biarkan jiwa kanak-kanaknya kembali memiliki mimpi!
Gadis mungil, sampah itu, kini
mengamatimu dari atas sampai bawah. Dan dia balas menyentuhmu. Membelai lembut
pipimu sebagai mana yang kau lakukan dengan wajah kotor miliknya. Dan saat kau
akhirnya membelai lagi rambutnya yang bau, dia balas membelai rambut lurus dan
indah milikmu.
Kau biarkan jiwanya seketika
menyatu denganmu, dan kau tetap terus tersenyum padanya. Kau tersenyum pada seonggok
sampah. Dan, demi Tuhan! Untuk apa kau memegang tangannya? Biarkan dia di sana,
biarkan saja dia di istana bangunan tua itu! Dia Tuan Puteri dari Negeri
Sampah! Hei, dengarkan aku, kawan!!
Mau ke mana kalian? Kau ingin memberinya
makan? Untuk apa kau biarkan dia masuk ke mobilmu yang begitu wangi dan bersih?
Untuk apa kau melakukan semua ini?!
Dan kalian turun di sana, di sudut
kota yang sepi. kalian berhenti dan kau memandang lembut padanya. Kau dengan bodohnya membukakan pintu mobilmu untuknya. Dan saat kau menuntunnya turun dari mobil bagusmu itu baru lah
aku mengerti tujuanmu sebenarnya. Hahaha. Kau mengiringnya dengan sebilah pisau
di tangan kananmu, pisau yang masih ingat untuk kau ambil sebelum kau turun dan
menuntunnya keluar dari mobil. Pisau yang telah berkali-kali kulihat kau
gunakan untuk hal-hal semacam ini.
Dan kau menyeringai lebar ke
arahnya, ke arah gadis sampah yang sama sekali tak menyadari adanya bahaya. Dan
ya, kau melakukannya. Begitu cepat. Seperti yang telah terjadi
sebelum-sebelumnya. Ah, kau memang hebat dalam hal ini, kawan!
“Aku melakukan ini untuk
kebaikanmu, aku tak tahan melihat gadis kecil spertimu terlantar di jalanan
sana. Aku hanya tak sanggup membiarkanmu menangis seorang diri di luar sana,
ini sungguh hanya untuk kebaikanmu..” kau berucap sambil menangisi seonggok
sampah itu.
Sampah tak berguna. Sampah yang
debu di sekujur tubuhnya kini telah berganti jadi darah. Kau berhasil lagi,
kawan! Dan mata Sang Gadis sampah itu tetap terbuka, mata dengan begitu banyak
tanya, mata yang mulai memiliki mimpi di dalamnya.
Sementara kau terus berlalu,
meninggalkannya dengan suatu rasa puas. Memutar arah mobilmu kembali ke jalanan
utama. Ah, entah sampai kapan kau akan terus melakukannya!