(tulisan lamaku... masih berantakan dan tidak punya alur.. huhuhu)
Seorang janda kaya menikah lagi dengan seorang perjaka yang tak punya apa-apa. Seorang janda kaya yang cantik rupawan lagi berharta memilih seorang perjaka (yang entah masih perjaka sungguhan atau hanya sekedar krisis keperawanan) yang tiada daya. Seorang janda kaya yang punya segalanya meninggalkan segalanya untuk lelaki yang dia anggap segalanya. Ironi.
Si janda menjadi janda akibat ditinggal mati suaminya. Tiadalah mereka berharta selama berumah tangga. Namun semua keperluan cukup bahkan bersisa, meski tidak banyak. Anak-anak sejahtera. Mampu sekolah di sekolah swasta yang mahal. Sandang apik dan berupa warna. Pangan terpenuhi empat sehat ima sempurna. Rumah besar meski tak serupa istana. Mobil punya meski tak mewah. Semua ada. Hidup seolah tak menjadi momok di masa depan mereka.
Lalu sang suami meninggal mendadak karena serangan jantung. Seisi keluarga terkejut dibuatnya. Si istri mendadak menjadi janda dan anak-anak otomatis menjadi yatim karena kehilangan ayah mereka. Rumah tangga perlahan semakin kelihatan ruwetnya karena tak ada lagi kepala keluarga. Tak ada lagi yang mencari nafkah. Untung saja si almarhum suami sudah menyiapkan segalanya. Seolah ia tahu akan mati segera. Segala tabungan dan asuransi dicairkan. Si istri yang tadinya hidup sederhana mendadak menjadi kaya raya. Hidup bergelimang harta. Ah, seakan si istri lupa. Segala uang dan apa yang ia punya dibayar dengan nyawa suaminya.
Entah pilu hati yang mendorongnya ataukah keinginan untuk menyenangkan putra-putrinya, direnovasilah rumah mereka. Menjadi terlihat laksana sebuah istana. Indah. Nyaman. Dibuatkannya taman bermain kecil di halaman rumah. Tujuannya agar putra bungsunya terhibur dan bangkit dari kesedihannya. Ada ayunan, perosotan, segala mainan. Dibuatnya pula bangku-bangku kecil layaknya sebuah taman. Sehingga ketika sore datang, mereka bersama-sama duduk di halaman. Menikmati senja yang segera datang.
Mobil lama mereka bukan mobil mewah. Hanya sebuah mobil tua yang masih layak pakai. Maka dijualnya mobil itu oleh si janda. ‘Aku tak ingin membawa mobil yang dipakai suamiku. Aku selalu mengingatnya bila ada di dalam mobil itu’. Alasannya. Lalu digantinya mobil peninggalan suaminya, yang tentu saja dibeli dengan keringat dan kerja kerasnya, dengan sebuah mobil yang cukup mewah.
Kebutuhan anak-anaknya kontan dipenuhi semua. Apapun yang direngek sang anak, pasti akan ada di rumah di keesokan harinya. Hampir setiap hari si janda membawa anak-anaknya berbelanja. Apapun keinginan mereka, akan segera diturutinya.
Kehidupan mereka mewah seketika. Seolah semua kesedihan tidak pernah ada. Lalu rumah yang tadinya diselimuti duka, berubah suka-cita. Segalanya seperti indah. Seperti biasa saja. Seolah tiada pernah ada mayat tertidur disana. Ya. Jenazah sang pencari nafkah. Yang melimpahi mereka dengan kekayaan begitu nyawanya diambil Tuhan. Ironi.
Tak ada lima bulan berselang, si janda memutuskan menikah. Keluarga menggelar sidang paripurna. Bagi mereka, tak pantaslah seorang janda yang belum setahun ditinggal suaminya, memutuskan akan menggelar pernikahan kedua. Belum jua bunga dan tanah kubur itu kering adanya, mengapa pula kau sudah terburu-buru menikah? Tanya mereka. Namun si janda tak peduli. Meski si sulung menentang keputusan ibunya yang dinilainya sebagai sebuah pengkhianatan besar-besaran terhadap almarhum ayahnya, diteror untuk segera memberikan restunya. Si sulung bimbang karena keluarga melarangnya memberikan restu bagi pernikahan sang ibu.
Namun anak tetap anak. Si sulung tiada hati untuk menolak. Terlebih melihat sang adik begitu menyayangi calon ayah baru mereka. Si sulung pasrah. Diberinya restu pada sang ibu meski dengan balasan hati yang terkoyak. Pernikahan pun terjadilah. Si janda berbahagia. Dengan kubu penentang yang murka. Termasuk si sulung yang menahan derita.
Si janda mendadak jadi gosip hangat di kalangan tetangga. Ibu-ibu cerewet itu mulai mengatai bahwa si janda cantik kena pelet si pemuda. Tentu saja tiada salah mereka menerka. Selain karena pernikahan itu begitu tiba-tiba, si pemuda juga bukan lelaki yang pantas dibanggakan. Bahkan tak pantas dipersandingkan dengan almarhum suaminya.
Si janda, sekali lagi dengan tiba-tiba, memutuskan berhijrah ke kampung halaman suami barunya. Tanpa pemberitahuan, ia telah menjual rumahnya dan bersiap berangkat meninggalkan kota tempat suaminya tertidur panjang. Si sulung terkejut bukan kepalang. Begitu pula keluarga besarnya. Keputusan itu dinilai kurang bijaksana. Mengingat rumah itu adalah hak anak-anaknya. Tiada hak baginya untuk menjual rumah yang sudah susah-payah dibangun suaminya. Yang sudah melindunginya selama bertahun-tahun dari panas dan hujan. Namun omongan tinggal omongan. Mengambang. Menghilang. Ia tetap berangkat.
Dan, ironi dimulai. Tragedi. Di tanah orang, si janda kehilangan segalanya. Hartanya. Tabungannya. Segala kemewahan yang menyertainya selepas kepergian suaminya. Yang tersisa hanya rumah kecil, tabungan yang kritis, anak-anaknya yang manis, juga suaminya yang bikin miris. Benar-benar ironis. Si suami baru sangat berbeda jauh dengan almarhum suaminya. Sang mantan suami bekerja tetap di sebuah bank milik pemerintah, sementara ia sehari-hari hanya duduk di beranda, menikmati secangkir kopi dan berbatang-batang rokok. Si janda mulai kelimpungan. Harta sudah habis-habisan. Sementara perut-perut masih butuh diisi makan. Si sulung juga harus masuk ke perguruan tinggi. Ini amanah almarhum suaminya. Ia harus menunaikannya. Ia harus menguliahkan si sulung. Bagaimanapun caranya.
Namun uang sudah kritis. Entah kemana milyaran uang yang diterimanya tatkala suaminya meninggal dunia. Habis sudah. Ia pasrah. Lalu si janda kaya menggadaikan segala yang ada. Berhutang kesana-kemari. Lalu ujung-ujung, menggadaikan segala pada rentenir. Namun kebutuhan tetap banyak. Tak tercukupi. Terlebih ketika seorang bayi lahir ke dunia, buah pernikahannya dengan si pemuda pengangguran. Semakin pusinglah si janda dengan segala tekanan yang datang.
Namun si suami kedua tetap saja malas-malasan. Hobinya tidur dan begadang ketika malam. Terkadang berkumpul bersama kawan-kawannya, tertawa di tengah malam, sambil bermain kartu bahkan minum minuman. Ah. Benar-benar persis preman.
Si sulung tak kalah pusing karena ulah ayah tirinya. Orang itu benar-benar Hitler bagi hidupnya. Ia dilarang bepergian, dilarang berpacaran, dilarang ini, itu, bla-bla-bla. Aduh! Aku bisa gila. Batin si sulung. Ia tidak tahan. Ia benar-benar benci pada ayah tirinya. Berbeda dengan si adik yang begitu menghormati si ayah tiri seolah ayah sendiri. Si sulung benar-benar tak suka dan selalu berencana meninggalkan rumah.
Ketika ia duduk di bangku kuliah, tersebar berita di desanya bahwa si sulung menjalin hubungan dengan salah seorang pemuda di desa tetangga yang kebetulan kuliah di kota yang sama dengannya. Keluarga di desa geger. Seolah hubungan seperti itu paling hina sejagad raya. Padahal begitu bayak gadis desa yang lebih gila tindakannya. Padahal si sulung berniat menikah dengan si pemuda begitu si pemuda sanggup untuk menikah. Sanggup mental dan financial. Namun hubungan itu keburu ditentang. Bahkan si ayah tiri yang pengangguran menyumpah-serapahi si sulung. Lalu tertanamlah akar-akar kebencian yang mendalam di hati si sulung. Dan ia bersumpah, sampai mati pun tak akan memaafkan suami kedua ibunya.
Lalu tiba-tiba berita baik datang. Bank tempat almarhum suami si janda mengatakan bahwa masih ada sisa tabungan sang almarhum suami yang tersimpan di deposito rahasia. Ketika dulu semasa hidupnya, sang almarhum suami sudah mempersiapkan semuanya bagi keluarganya. Ia menitipkan tabungan itu pada bank tempatnya bekerja. Dan ia berpesan pada seorang rekannya. Katanya, kalau terjadi apa-apa pada dirinya kelak, uang tabungan itu berhak dicairkan atas kuasa istrinya. Namun ia meminta agar disisakan seperdelapannya. Sebagai penjagaan sewaktu-waktu apabila terjadi apa-apa pada keluarganya di masa depan. Oh! Sungguh seolah si suami tahu bahwa akan terjadi hal tak mengenakkan pada anak-anaknya di masa mendatang. Dan ternyata benar adanya. Anak-anaknya hidup susah. Karena harta yang ditinggalkan si ayah, yang sedianya digunakan untuk membiayai kehidupan dan sekolah mereka, habis ditilep si janda dan suami barunya. Entah buat apa.
Lalu sisa warisan yang tak seberapa jumlahnya itu menjadi perkara rumit selanjutnya. Pihak keluarga tak ingin uang itu diserahkan pada si janda dan meminta kuasa pada salah seorang dari mereka saja. Atas persetujuan si sulung, jadilah mereka memindahkan sisa tabungan itu atas kuasanya. Entah ada pandangan apa dari suami baru si janda begitu tahu uang masih ada. Namun si sulung tak bersedia memberikan sepeserpun untuk si ayah tiri. Ia hanya memberikan sesuai pembagian agama kepada ibunya. Ia tidak ingin uang itu habis entah kemana seperti yang selama ini terjadi pada warisan almarhum ayahnya.
Dan begitulah kisahnya. Tentang sebuah warisan. Terkadang tak seberapa jumlahnya. Namun menjadi polemik dalam kehidupan. Seperti si janda yang menjadi kaya raya karena warisan sang suami, kehilangan segalanya akibat si suami kedua. Anak-anak yang terbengkalai hidupnya karena harta habis begitu saja. Sebuah warisan. Selalu saja menyisakan perdebatan. Tentang sebuah sejarah panjang mengapa warisan bisa diturunkan. Tetap saja banyak orang menghabiskannya dengan senang-senang. Oh. Lupa adanya mereka. Bahwa warisan tak pernah diturunkan bila tak ditukar dengan sebuah nyawa.
Ah. Warisan. Tabungan kematian. Ketika tabungan itu sudah cukup penuh adanya, maka Tuhan akan mengambil nyawa si empunya harta, lalu warisan itu turun sebagai ganti nyawanya. Ah. Warisan. Penggal demi penggal tubuh si pemilik harta dihambur-hamburkan dengan percuma. Desah demi desah nafas si pencari nafkah terputus tercekik menghilang begitu saja. Ah. Warisan. Sungguh aku tak ingin dapat warisan bila harus kehilangan.