Siang hari ketika matahari memancar terik, anak-anak sedang berlarian di pinggir taman bermain frisbee bersama anjing mereka. Aku memandang ke arah mereka sambil tersenyum. Betapa menyenangkannya jika aku juga punya tuan. Bukankah akan menyenangkan jika kita bisa bermain bersama, berlari di taman, main lempar-lemparan bola, berguling-guling di tanah ataupun berenang di pantai.
Perutku lapar dan aku ingin makan, kira-kira ada makhluk apa yang bisa kutangkap hari ini, tikus got rasanya tidak enak. Aku lebih suka burung atau makanan yang dibuang manusia di tempat sampah. Oleh karena terlalu lemas dan lapar, aku berjalan dengan lamban ke seberang sana untuk tidur siang sebentar. Aku menunggu di pinggir jalan, berharap benda melingkar yang dinaiki manusia ini segera menghilang. Aku mau tidur siang di bawah pohon favoritku itu. Aku menunggu sambil merasakan angin sepoi menerpa wajahku.
Akhirnya benda melingkar dua itu sudah tidak ada, aku bisa menyeberang. Namun tiba-tiba ada sesuatu yang melintasi tubuhku. Aku merasakan sakit luar biasa, dan sepertinya tulangku ada yang patah. Aduh sakit sekali, apakah itu? Aku merasa ada manusia yang mendekat dan mencoba mengangkat tubuhku. Aku tidak suka disentuh-sentuh, aku mau menggeram dan tubuhku terlalu sakit untuk menggeram. Ah lebih baik tidur saja.
Ketika terbangun, segala sesuatu tampak terlalu silau. Aku mengejap-ngejapkan mata, berusaha menyadari keberadaanku. Apakah aku sudah di surga? Sepertinya tidak demikian karena aku masih merasa lapar dan tubuhku sakit semua. Duh, aku tidak bisa menggerakkan tubuhku. Apa yang terjadi? Seingatku terakhir ada sesuatu yang melindasku, dan aku kesakitan lalu tertidur. Aku bisa melihat ada manusia di atasku. Ia tampak baik hati dan berbulu sedikit di wajahnya. Ada lagi yang berkaca mata dan berbaju panjang. Mereka tampak senang melihatku sadar, aku pun ikut tersenyum. Aku selalu suka manusia.
Manusia yang sedikit berbulu itu membawaku pulang ke rumahnya. Aku lapar semoga ia dengan cerdas segera memberiku makan. Aku lapar lapar lapar lapar. Ia menggendongku dengan lembut masuk ke rumahnya yang besar. Aku bisa mencium bau harum makanan di rumah ini, ada bau manusia yang lain juga. Tunggu ada bau kucing juga. Kucing, makhluk sombong tidak menyenangkan yang suka pamer dan licik. Aku tidak mengerti mengapa manusia menyukai mereka. Makanan-makanan, aku mencium bau makanan. Aku menggeliat ingin mendapat makanan semoga manusia ini tahu maksudku.
Manusia itu berusaha mendiamkanku dan membawaku ke tempat yang wangi makanannya paling kencang. Oh God.... semoga semoga semoga... Ia meletakanku di depan makananku. Yay!!! Aku berusaha berdiri tapi kaki ku lemas. Manusia itu memegang tubuhku dan menaruh sesuatu sehingga aku bisa berdiri dengan nyaman. Aku tidak terlalu paham tapi aku lebih memilih berkonsentrasi pada makanan hangat di depanku. Oh, aku terharu, ini nasi dan telur hangat yang dicampur dengan penuh cinta. Oh makanan aku begitu bahagia.
Kulahap habis makanan di mangkok itu, tanpa kusisakan sedikitpun. Aku berpikir apakah aku akan dipelihara di sini? Tentunya akan menyenangkan. Aku pun tertidur lagi karena kekenyangan. Aku bisa merasakan ada sesosok tangan yang mengelus kepalaku dan hari ini aku merasa dicintai, syukurlah.
Selama berhari-hari, gelap berganti terang, terang berganti gelap, aku menikmati hidupku di rumahku yang baru. Sekarang aku punya keluarga. Kecelakaan itu membuatku menemukan keluargaku. Saat ini tuanku adalah dia yang selalu dipanggil Ayah, lalu manusia berambut panjang bergelombang yang dipanggil Ibu, dan seorang manusia kecil yang dipanggil Kakak. Kadang Ayah mengajakku berjalan-jalan dengan Kakak. Kadang Ibu berbicara panjang lebar denganku walaupun aku tidak mengerti kalimat-kalimatnya. Kadang kami nonton kotak yang mengeluarkan gambar-gambar. Hal yang paling kusuka adalah mereka memiliki bau yang enak.
Suasana di rumahku begitu menyenangkan tapi suasana akan menjadi buruk ketika seseorang yang berbau tidak enak itu datang. Wanginya seperti gudang yang dulu sering kutinggali saat masih kecil. Manusia itu selalu mengenakan bulu yang bentuknya sama setiap saat, tidak seperti Ayah yang sering berganti-ganti bentuk bulu. Jika manusia bau apek itu datang, Ayah dan Ibu akan mengeluarkan suara-suara keras dan Kakak akan datang memelukku, mengajakku menemaninya di kamar.
Instingku mengatakan manusia bau apek itu pastilah musuh Ayah. Aku sudah dibuatkan rumah oleh Ayah di depan rumah. Aku akan menjaga Ayah, Ibu dan Kakak dari manusia apek itu. Biar kugigit dia agar tidak datang-datang lagi. Akan kuusir dia dengan suaraku yang lantang dan berwibawa ini. Kalau ia macam-macam dengan keluargaku, akan kugigit dia seperti ayam yang kumakan hari ini.
Kupikir manusia apek itu tahu aku tidak menyukainya. Ia pernah menendangku ketika aku berusaha mengusirnya. Ayah yang melihat hal itu pun memarahinya. tapi ia juga memarahiku ketika aku berusaha mengusirnya. Kami berdua tidak saling menyukai dan kami berdua menyadari hal itu. Nampaknya sebelum ia datang, Ayah selalu mengurungku di rumahku. Tapi aku tidak rela dan berteriak keras-keras menyuruhnya pergi. Sayangnya manusia apek itu terlalu bodoh, ia tidak mempedulikan aku.
Akhir-akhir ini manusia apek itu sering datang ke rumah kami. Kehadirannya membuat suasana rumah semakin tidak nyaman. Saat orang itu datang, aku menemani Kakak yang selalu memelukku dengan erat. Aku bisa merasakan kesedihannya, aku pun selalu berusaha mendekatkan diri pada Kakak. Setelah orang itu pergi pun, ketidaknyamanan masih menghadiri. Ayah dan Ibu bertengkar dan berteriak satu sama lain. Jika sudah demikian, Kakak akan menangis. Aku pun ikut sedih.
Jika Ayah sedang ada di rumah, aku akan mengajaknya bermain, berharap ia dapat ceria kembali. Namun Ayah sering menolak dan mengusirku. Aku mengambilkan sepatu larinya, tapi ia tetap menolakku. Aku bisa merasakan kesedihan Ayah juga. Ayah jarang berbicara dengan Ibu belakangan ini. Di meja makan pun mereka diam. Dari hari ke hari Ayah semakin tampak kurus.
Selain Ayah aku juga mengajak main Ibu. Aku datang ke kamar Ibu dan seringkali melihat matanya mengeluarkan air. Ia memanggilku dan memelukku. Aku mau mengajaknya jalan-jalan ke taman. Sudah lama aku tidak ke taman. Aku ingin menghirup udara segar. Aku kira Ibu juga memerlukan hal itu. Namun seperti Ayah, Ibu menolak pergi ke luar.
Pada suatu malam, aku mencium bau apek khas manusia itu. Aneh pikirku, ia datang ketika Ayah, Ibu dan Kakak sudah tidur. Aku menegakkan tubuhku dan berniat membangunkan Ayah dan Ibu akan kehadirannya. Namun, aku mencium bau lezat lain. Bau Daging! Manusia apek itu melemparkan daging ke arahku. Waow! Siapakah yang bisa menolak daging. Akhir-akhir ini pun masakan Ibu kurang enak. Ayo makan daging! Semakin kulahap daging itu, semakin berat mataku.
“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!” Aku terbangun, kupingku menangkap suara teriakan Ibu. Segera aku berdiri dan berusaha keluar dari kandang. Badanku terasa lemas dan aku mengantuk sekali tapi instingku bilang aku tidak boleh tidur. Aku berteriak keras-keras, menabrak pintu rumahku agar terbuka. Si Manusia Apek itu mengunci pintuku. Sial! Aku tidak berhenti berusaha, aku berteriak sekeras-kerasnya agar manusia-manusia yang lain dengar. Badanku yang terluka dulu mulai sakit lagi, tapi aku khawatir pada Ibu.
Akhirnya pintu ini berhasil terbuka, aku segera berlari keluar dan mendapati bahwa pintu depan terbuka. Aku mencium bau manusia apek itu tidak jauh dari tempatku. Dengan kecepatan tinggi aku masuk ke dalam rumah. Ayah sedang berkelahi dengan manusia apek itu. Ibu berdiri memeluk dan melindungi Kakak.
Manusia apek itu berhasil melempar Ayah. Ia mengambil benda berkilau yang besar berisi bunga-bunga plastik di atas meja dan berusaha melemparkannya ke arah Ayah. Aku meloncat cepat dan menggigit tangan Manusia apek itu dalam-dalam. Tak akan kumaafkan kau jahanam! Kau sudah melukai keluargaku yang berharga! Sedikit pun tak kulepaskan gigi ini dari tangannya yang bau lemari. Cairan keluar dari tangan manusia itu dan rasanya enak.
“Kaiiiiiing,” Aku mendapat pukulan keras di kepalaku. Segala sesuatu tampak menjadi buram. Aku terlempar ke lantai dan kepalaku sakit sekali. Aku harus melindungi Ayah. Meskipun terasa menyakitkan aku mencoba berdiri dan menyerang manusia itu lagi tapi ia menendangku. Aku menangis, tak terelakkan karena badanku sakit semua. Bau Kakak mendekat, aku samar-samar melihat Kakak datang ke arahku tapi manusia itu mengambilnya. Segala sesuatu berjalan terlalu cepat, tanpa sadar aku sudah berdiri dan mengigit kaki manusia itu. Ia menendangku sekali lagi. Aku terkapar di lantai. Aku bisa merasakan jantungku mulai berhenti memompa darah . Dan segala sesuatu pun menjadi gelap.
......................................................
Bau ini, bau rumah. Ada bau Kakak, Ibu dan Ayah. Mereka semua ada di dekatku. Badanku masih sakit, tapi aku sudah bisa membuka mata pelan-pelan. Kakak menangis tersedu-sedu, Ibu memeluknya dan Ayah mengangkat tubuhku. Sekali lagi sosok manusia ini menggendongku dengan lembut. Sama seperti saat kami pertama kali bertemu.
Ayah meletakkanku di keranjang di dapur. Aku tidak diletakkan di depan rumah. Kakak mengelus-ngelus kepalaku dengan lembut dan aku pun tertidur lagi. Selama berhari-hari aku berjalan dengan tidak nyaman. Kakiku sakit semua, badanku kaku dan leherku diberi benda aneh yang membuatku tidak bisa menggaruk telinga. Aku juga tidak bisa menjilat tubuhku yang gatal ini. Duh, benar-benar sengsara. Aku pun sering diberi makanan-makanan aneh yang tidak biasa oleh Ibu. Meskipun demikian, tubuhku terasa semakin sehat dan tidak sakit lagi.
Sejak saat itu, aku tidak pernah mencium bau manusia apek itu lagi. Keseharian kami berubah menjadi lebih sepi (bagiku) dan menyenangkan. Ayah dan Ibu tidak lagi saling berteriak. Kami duduk lagi di depan kotak bergambar itu bersama-sama. Aku menyadari Kakak tidak lagi memberiku daging diam-diam di bawah meja. Ibu tidak lagi berada di rumah seharian. Kehadirannya di rumah sama seperti Ayah, hanya pagi dan sore hari. Kakak pergi pagi dan pulang siang hari. Aku rindu sekali pada mereka. Aku ingin sekali bersama-sama dengan mereka setiap hari. Aku akan bersabar di rumah berjaga dari orang-orang jahat yang akan mengancam seperti manusia apek itu, lalu menikmati kebersamaan dengan keluargaku tercinta.