“Ah, Kakak sudah pulang!”
Malam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Hatiku masih tetap kebat-kebit dan aku menanti di depan jendela. Menanti lelakiku. Menanti ksatria yang selalu memperlakukanku bak seorang Putri. Sudah semalam ini tapi dia belum pulang juga.
Aku melirik pada jam dinding bulat tua di ruang tengah itu, satu-satunya jam dinding yang masih terus berdetak ketika begitu banyak jam lainnya teronggok tanpa nyawa karena kehabisan baterai.
“Di mana dia?” aku mencoba menerka-nerka. Menenangkan diriku sendiri. Biasanya sebelum makan malam dia pasti sudah pulang. Padahal malam ini aku memasak makanan spesial. Ikan sarden kalengan yang ku dapat dari seorang Caleg yang sedang berkampanye ke kampung kami. Kemarin aku juga dapat beras dan uang sebesar gaji sehari dari ksatriaku itu.
Lantas teringat pada percakapan ibu-ibu di tempat antrian sembako tadi…
“Akhir-akhir ini suamiku jarang pulang.”
“Wah, hati-hati, Kak. Itu tanda-tanda selingkuh. Atau mungkin tanda-tanda minum-minum tuh. Laki aku aja kayak gitu. Orang duit gaji dia nggak terpakai soalnya udah ada dapat sembako dari sana sini. Sama dia duitnya, digunain minum-minum.”
“Terus kau apain dia?”
“Mau aku apain? Suka-suka dia aja di situ. Toh aku juga nggak peduli lagi. Suami kakak itu yang perlu kakak pertanyakan.”
Aku menggeleng cepat. Ah, pemikiran bodoh macam apa itu? Ksatriaku hanya mencintaiku. Aku hanya berharap tidak terjadi apa-apa dengannya saat bekerja. Semoga batu bata dan pasir bekerja sama dengan baik bersamanya hari ini. Semoga tidak ada apa-apa.
Aku ingin bercerita sedikit tentang lelakiku itu.
Dulu kami satu organisasi di tempat kuliahku. Kami sama-sama anak pecinta alam. Dia seorang senior, 3 tahun di atasku. Tubuhnya atletis, langkahnya sigap, kuat, dan ya…jika kau tanya mengapa aku begitu mencintainya, aku akan bertanya balik, “Memangnya aku punya alasan apa untuk tidak mencintainya?”
Aku masih sangat ingat, ketika pertama kali kami mendaki gunung dari kampus bersama. Aku masih semester 2 sedangkan dia sudah mulai menyusun skripsinya. Aku yang saat itu sedang dalam kondisi kurang enak badan, terus saja dihujani beribu perhatian dan pertolongan darinya.
Sampai ketika aku terperosok dan tak sadarkan diri, teman-teman bilang dia berlari menuruni lembah untuk menangkap tubuhku dan membawaku kembali ke atas.
Aku ingat sekali, malam itu, dia membawakan makanan untukku ke tenda perawatan. Menyuapiku makan. Dan melihat dengan jelas betapa gugupnya aku ketika perlahan ia menyentuh tanganku yang hampir membeku.
“Rany, tangan kamu kok dingin banget?”
“Euhm…kan emang dingin Kak Aksara,” aku tersenyum kecil menutupi kegugupanku.
Dia menyilangkan syalnya ke leherku dan kemudian meniup tanganku dan menggosokkannya ke kedua telapan tangannya yang besar dan hangat.
Namun aku masih tetap kedinginan, meski jujur saja jiwaku serasa dibakar api yang sangat panas. Ketika akhirnya ia memelukku. Di saat ntah bagaimana akhirnya bibirnya telah melekat di bibirku. Dan di waktu tanpa sadar kami kehilangan kontrol diri dan hanyut dalam indahnya malam. Merasakan begitu hangat tanpa sehelai benang pun di malam yang dingin di puncak gunung.
Aku tersenyum kecil, “Ah…malam itu,” aku menyentuhkan telunjuk kananku ke bibirku, dan berhasil merasakan kembali lembut bibirnya 2 tahun yang lalu itu.
Aku sama sekali tidak menyesal, ketika akhirnya aku hamil dan kami terpaksa ‘kawin lari’. Karena ke mana saja pun dia membawaku, aku tak akan pernah mau melawan. Aku akan diam dan mengikuti setiap langkahnya.
Bahkan meski itu berarti aku harus meninggalkan keluargaku. Meninggalkan ketenaran di kampusku. Meninggalkan teman-teman sepermainanku. Untuk dia apa saja aku rela. Karena toh dia juga melakukan hal yang sama. Di hari dia akan disidang demi kelulusannya, pagi itu…
Aku ingat menghadang langkahnya dan berkata, “Kak Aksara, aku hamil…”
Aku ingat jelas mimiknya sama sekali tidak menunjukkan kemarahan atau sekedar sinyal tidak suka. Sebaliknya, dia menghapus air mataku dan berbisik lembut, “Kita pergi dari sini. Kamu bersedia ikut denganku, Rany?”
Dan itulah awal dari perjalanan panjang kami ini.
Dengan modal sisa uang di ATM yang kami satukan, kami sampai di kota ini. Tempat di mana akhirnya aku melahirkan anak kami. Seorang malaikat kecil bernama Paul.
Terkadang memang, aku merindukan keluargaku, merindukan semua yang ada di masa lalu. Tapi aku tak mau berlarut-larut karena toh bersamanya saja aku sudah sangat bahagia. Aku tak bisa membayangkan hidup tanpa ksatria dan malaikat kecilku itu.
Aku kembali menoleh ke arah jam dinding, menemukan dia telah berlari sejauh hampir satu jam dan saat ini nyaris tepat tengah malam.
“Ksatriaku, di mana kamu?”
Andai saja ada hal lain yang bisa aku lakukan untuknya selain hanya sekedar menunggu. Dulu sebelum anak kami lahir, aku sempat menjadi seorang pelayan toko. Kau tahu, itu hal terindah yang pernah terjadi dalam hidupku.
Toko tempatku bekerja sebagai pelayan berada bersebrangan jalan dengan ruko yang sedang dibangun oleh salah satu pekerjanya, yaitu ksatriaku. Kadang aku bisa membuang sampah keluar dan mengedipkan mata pada kstariaku yang sedang mengaduk semen di ujung jalan sana, dan di sambut dengan gesture ‘LOVE’ berbentuk hati dari kedua tangan kokohnya.
Kadang juga, ketika jam makan siang aku akan menyebrang dan makan bekal bersama dengannya. Di antara debu dan pasir. Di tengah tumpukan beribu batu bata. Tertawa bersamanya dan rekan sekerjanya. Mereka begitu kuat sekaligus begitu lembut. Setiap hari terasa indah, terlebih ketika kami bisa pulang bersama dan berjalan kaki bergandengan tangan menuju rumah kecil kami di ujung jalan.
Tapi kesenangan itu tidak berlangsung lama. Suatu hari seorang pelanggan menggodaku dan dengan lancangnya menyentuh perutku yang membesar itu. Ksatriaku melihatnya dari seberang sana dan segera datang memukuli lelaki kurang ajar itu.
Dan kami salah besar karena semua itu. Lelaki itu ternyata seorang dokter ahli kandungan yang hanya singgah sesekali ke desa ini. Aku sudah terlalu bodoh sampai meneriakinya sementara yang dia katakan hanya, “Sepertinya bayi Anda sangat sehat dan kuat, Nona.”
Dan kemudian aku dipecat. Lalu melahirkan. Saat Paul berusia hampi 9 bulan, aku mulai merasa aku perlu membantu ksatriaku. Dengan adanya Paul, upah hariannya saja tidak mencukupi kebutuhan kami. Sementara dia selalu memaksaku untuk mengkonsumsi buah-buahan dan makanan yang mahal selama aku memberi ASI pada malaikat kecil kami.
Aku menerima cucian. Orang-orang kaya akan datang dan membawakan baju-baju bagus mereka untuk kemudian kubersihkan. Semua karena aku tak tahan, ketika suatu hari ksatriaku datang dengan tubuh penuh luka. Dia bekerja terlalu keras sampai-sampai tidak memperhatikan kondisinya sendiri.
Ya, aku tahu dia sosok yang kuat. Teguh dan kokoh. Aku tak pernah mengganggapnya lelaki lemah bahkan meski masa lalunya begitu mudah. Apa pun dilakukannya untuk keluarga kecil kami. Menjadi kuli, buruh angkat, supir angkot. Semua dia kerjakan. Sehingga kecelakaan seperti yang terjadi hari itu sudah seolah jadi makanannya sehari-hari.
Dia tak pernah menganggap ada bila tangannya berdarah dan terluka. Baginya hanya luka kecil. Hanya saja dia begitu terganggu ketika melihat tanganku melepuh oleh detergen.
“Rany kamu nggak perlu pake acara nyuci segala. Cukup urus malaikat kecil kita dan ajari dia caranya terbang. Aku masih sanggup membiayai semuanya dan memberikan apa yang kamu minta. Walau kamu memang harus sedikit bersabar dan menunggu, tapi aku masih sanggup. Jadi tolong berhentilah bekerja seperti ini…” dan dia mengakhiri kalimatnya dengan satu kecupan lembut di punggung tanganku.
Aku begitu merindukannya.
Melihat kembali jam dinding, yang sudah menunjukkan hari telah berganti dan sekarang sudah hampir jam 2 dini hari. Aku mulai merasa tak enak. Paul menangis dan aku segera berlari untuk kembali menidurkannya.
Paul sudah sebesar ini. Wajahnya benar-benar mirip ksatriaku. Tapi dia punya mata yang seperti mataku. Aku tersenyum mengamati Paul yang mulai pulas. Dan ketika akhirnya aku mulai mengantuk, sebuah ketukan di pintu menyadarkanku.
Aku berlari dengan senyum mengembang, membuka pintu.
“Ah, Kakak sudah pulang!”
“Rany..”
“Loh? Ada apa ini?”
Jantungku seakan berhenti melihat 2 orang berseragam polisi berdiri di depan pintu rumah kami.
“Ibu Rany?”
“Iya, ada apa Pak?” bibirku bergetar dan suaraku sangat sulit keluar.
“Suami ibu kecelakaan. Sekarang sedang di Rumah Sakit…”
Sontak aku meraung dan menangis.
“Ibu bisa ikut kami?”
Aku mengangguk dan segera menggendong Paul, menitipkannya ke rumah tetangga, bahkan meski sangat berat meninggalkannya yang merengek ingin ikut. Kepalaku serasa mau pecah dan aku tidak bisa berpikir sama sekali.
Setibanya di Rumah Sakit ternyata ksatriaku sedang dioperasi. Seorang rekan kerjanya mengaku sebagai saudaranya menjaminkan operasi suamiku.
“Bang Tigor, Kak Aksara kenapa?”
“…”
“Bang, Aksara kenapa?”
“Dia tadi jatuh waktu menyusun bata di lantai 3, Aksara. Tapi dia nggak apa-apa, kok.”
“Nggak apa-apa gimana? Kalo nggak apa-apa kenapa sampai harus operasi segala? Kenapa kalian nggak langsung nelpon aku?!”
“Maaf, Nadia. Tadi kami semua panik, dan nggak ada yang sanggup ngasih tahu kamu. Aksara bilang mau kerja lembur supaya dapat tambahan uang, katanya besok kamu ulangtahun dia mau belikan kamu cincin kawin kalian. Jadi dia kerja sendiri sampe selarut itu…cuma aku yang balik di sana karena khawatir sama dia. Pas aku datang dia udah tergeletak berdarah.”
“Ya Tuhan…” aku menangis sesenggukan.
“Nadia, maaf tapi aku udah duluan lancang menyetujui amputasi di kedua kakinya. Katanya kalo ga diamputasi nyawanya bisa terancam, jadi…”
“Ya Tuhan…”
Sepanjang malam aku terus menangis, terus berdoa semoga ksatriaku yang kuat tidak apa-apa.
Apa yang harus aku katakana mengenai kakinya?
Aku kembali menangis karena tak sanggup membayangkannya.
Andaikan ada hal yang bisa wanita lemah ini lakukan untuknya. Pasti akan kulakukan. Tapi satu-satunya hal yang terus dia minta untuk aku lakukan adalah supaya aku tidak melakukan apa pun.
Ketika akhirnya operasinya selesai dan aku duduk di sampingnya, ksatriaku membuka mata dan menangis.
“Rany…Rany maaf, hari ini kamu ulangtahun dan aku belum sempat membeli cincin untukmu, Rany…”
“…”
“Rany, tolong jangan menangis…”
Aku masuk dalam pelukannya. Pelukan hangat yang sama sekali tak ada ubahnya seperti pelukan kami di gunung pertama kali dulu.
“Rany, aku tak bisa merasakan kakiku…” dan dia menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya dan serta merta menjerit menyadari bahwa kedua kakinya sekarang hanya sebatas lutut saja.
“Rany, kakiku..”
Aku hanya bisa menangis memeluknya.
“Rany, kakiku…kakiku...”
“Iya Kakak, maafkan aku…”
Dan begitulah, semua jadi setragis itu.
Saat beberapa hari kemudian kami pulang, dan aku pergi berbelanja dari hasil mencuciku kembali, aku tak menemukan ksatriaku di rumah. Aku mencarinya ke mana-mana. Menemukannya sedang menina-bobokan Paul di halaman belakang, sambil berkata.
“Suatu hari nanti, Sang Ksatria pasti akan menemukan cara untuk memberikan cincin kepada Sang Putri. Dan mereka bisa hidup bahagia selamanya…”Aku hanya bisa menangis dan tersenyum bersamaan.
Ah, ksatriaku memang benar adalah seorang ksatria.
Kelumpuhan, kesusahan, sakit dan derita seperti apapun akan selalu berhasil dilaluinya, selama masih bersamaku dan Paul, seperti yang selalu dia katakan selama ini.
***
Dibuat dan dikirim oleh Sagitany untuk memutuskan hubungan dengan Domba - __ -.
Kejamnya Rany sampe-Sampe kaki Domba dipotong lagi. . .
Maafkan kesalahan Domba. . .