Kami adalah penulis, dan kami tidak butuh persetujuan dari siapa pun! |
"Jika ada buku yang benar-benar ingin kamu baca, tapi buku tersebut belum ditulis, maka kamu yang harus menuliskannya." ~ Toni Morrison |
|
| Minta kritik dan sarannya, para suhu :D | |
| | Pengirim | Message |
---|
Horker Pendatang Baru
Jumlah posting : 3 Points : 7 Reputation : 0 Join date : 10.06.12
| Subyek: Minta kritik dan sarannya, para suhu :D Sun 17 Feb 2013 - 11:01 | |
| Saya udah capek melototin naskah saya selama berbulan-bulan..... temen-temen saya udah baca dan ngasih masukan sih, tp rasanya perlu lebih banyak masukan lagi Ini chapter 1-5 dulu biar nggak kebanyakan.... heheee - Spoiler:
PROLOG
Dua ratus tiga puluh empat tahun lalu, saat kedengkian, kecurigaan, dan keserakahan memorak-porandakan dunia, penghuni planet melukai Ibu Pertiwi, Planet Moringa. Ibu Pertiwi menangis pilu, terluka parah karena perbuatan anak-anaknya sendiri. Ingrimm, sang iblis kejahatan, iblis yang terlahir dari kegelapan hati penghuni planet, muncul dan meneror Planet Moringa. Tiga puluh empat tahun para penghuni menderita di bawah kejahatan Ingrimm, yang mereka sebut sebagai perwujudan rasa sakit planet. Penghuni planet memperbaiki diri, membenahi segala yang telah terjadi. Ibu Pertiwi pulih kembali. Dan… Ingrimm berubah menjadi empat patung dan bersemayam dalam empat menara di Planet Moringa. Tidak ada lagi iblis meneror Planet Moringa setelah dua ratus tahun berlalu… Hingga…
1: Ciel
Ciel mendecak sebal, menjauhi seorang kondektur menyebalkan dan para penumpang kereta uap. Dia tidak mengerti dengan jalan pikiran kondektur berperut gentong itu. Ciel telah menawarinya uang tunai sebagai ganti biaya tiket karena tiket telah habis, tetapi dia tidak mau. Percuma saja Ciel terus memohon kepadanya seperti anak anjing memohon sekeping biskuit dari majikannya. Ini hari sial bagi Ciel Hearth Liver XVII, pangeran Negeri Liver, pewaris tunggal tahta kerajaan karena semua saudaranya perempuan. Adat Negeri Liver yang bodoh, dan Ciel menyesalkannya. Pagi tadi dia menerima ceramah panjang lebar dari ayahnya mengenai kunjungan mingguannya ke ibukota. Ciel telah menyisipi rencana tersebut dengan rencana mengunjungi Hutan Fillorius, sebuah hutan misterius di barat Negeri Liver. Ciel ingin melihat dunia luar lebih dari sekedar mengunjungi ibukota seminggu sekali, atau melihat laut dan gunung dari jendela kamarnya saja. Leonard Liver, ayahnya yang galak dan keras kepala mengekang keras keinginan putra kesayangannya pergi ke hutan mengerikan itu.
Bukan hanya karena keinginan Ciel pergi ke Hutan Fillorius saja yang membuat pemuda tujuh belas tahun tersebut menerima ceramah panjang lebar. Ciel juga membawa pedang warisan turun temurun keluarga Liver, Seadius, dalam rencana kunjungannya ke Hutan Fillorius. Tentu Leonard mengamuk mirip gorila gila. Bahkan pria tua itu sendiri belum pernah membawa Seadius keluar dari kamarnya sebelum mewariskannya kepada Ciel.
Sauve Cantus tiga tahun lebih tua dari Ciel. Dia adalah pengawal—pelayan pribadi sang pangeran. Sauve punya alasan kuat tersendiri mengapa dia lebih suka menyebut dirinya sebagai pengawal daripada pelayan. Sauve seorang Elve, bangsa pengadu nasib berasal dari Negeri Slateria di barat Negeri Liver yang dipisahkan oleh Pegunungan Sandarkha. Elve memiliki telinga runcing, berkulit kekuningan, dan berbola mata coklat. Seperti Elve lainnya, Sauve menyukai warna hijau dan rambut panjang. Dia selalu mengenakan rompi hijau gelap di atas kemeja putih, dan menguncir rambut coklat kayu panjangnya. Kejadian tadi pagi membuat Sauve harus membawa Ciel, yang hampir berhasil keluar dari wilayah istana, kembali ke dalam istana. “Jangan selalu mematuhi ayahku, Sauve,” Ciel menggerutu, mempengaruhi Sauve yang berjalan mulus di depannya, menggiring kuda putih Ciel, dan memimpinnya ke pintu utama istana. Sial. Jika saja ayahnya tidak mengetahui rencana kunjungannya ke Hutan Fillorius, Ciel pasti telah berada dalam perjalanan menggunakan kudanya, bukannya menapaki halaman luas istana menuju pintu utama. “Kau bisa botak!” “Ini adalah kewajiban saya, Yang Mulia,” jawab Sauve datar. Ciel memutar bola mata biru langitnya dan mendecak sebal. “Kau tidak ingin pergi ke Hutan Fillorius?” dia menyahut, menggaruk kepalanya yang berambut coklat penuh cabang di sana-sini. “Berburu, menangkap ikan, memetik buah liar, bertemu Naga, dan hal-hal menantang lainnya. Pikirkanlah, Sauve!” “Tidak, Yang Mulia,” jawab Sauve datar. “Hutan Fillorius dihuni banyak hewan buas, makhluk ganas, ada Naga bermukim di sana, dan lagi, tempat itu dulu adalah rumah para penyihir hitam.”
Penyihir hitam, Magus, bangsa manusia yang diberkahi kemampuan mengendalikan elemen planet menjadi senjata, atau yang lebih dikenal sebagai sihir hitam. Ayah Ciel selalu memberitahunya Magus adalah pendusta, pembawa sial, pembunuh, dan pemakan Manusia. Ciel tidak pernah mempercayai ucapan ayahnya. Gagasannya didukung oleh kakek Ciel, Ciel Hearth Liver XVI. Dia menegaskan Magus tidak seperti apa yang Leonard bilang. Bahkan pada masa kepemimpinannya, seorang Magus cerdas disewa menjadi pemimpin pasukan penyihir kerajaan sebelum Leonard Liver diangkat menjadi raja. Sesaat setelah upacara pengangkatannya, para penyihir di istana diusir ke kota, menjadi penduduk biasa. Ciel mendengar kisah ini dari kakeknya juga. Sayang sekali kerajaan kehilangan pasukan penyihir yang dapat melindungi negeri dari serangan musuh. “Apakah ayahku juga menceritakan dongeng yang sama kepadamu? Tentang Magus orang jahat, pembunuh, dan lain-lain?” Ciel menyeletuk. Dia sungguh merasa dungu menanyakannya kepada Sauve karena dia tahu Sauve tidak tumbuh di istana. “Itu bukan dongeng, Yang Mulia,” jawab Sauve datar lagi. “Para Elve membenci Magus sejak ratusan tahun lalu karena mereka adalah pencuri sihir.” “Oh? Pencuri sihir?” “Dulu Elve adalah penguasa sihir hitam, tetapi sejak Magus datang ke Planet Moringa, kami kehilangan kekuatan sihir kami. Karena itu, kami Elve membenci Magus.” Ciel mencibir. Alasan Sauve membenci Magus terdengar aneh—bodoh! “Kau bicara seolah sihir bisa berpindah tangan seperti barang.” “Tidak sama,” balas Sauve datar lagi. “Tidak seorang Elve pun menyukai atau mempercayai Magus. Anda juga seharusnya begitu, Yang Mulia. Sungguh mengecewakan Anda dan kakek Anda tidak membenci mereka.” Ciel berhenti melangkah dan melotot. Dia kurang menyukai gagasan Sauve. Ciel tidak mungkin membenci seseorang sebagaimana Sauve membencinya. Itu bodoh, sangat bodoh. “Saya sarankan, sebaiknya Anda tidak mengunjungi hutan bekas rumah Magus,” lanjut Sauve. Namun, absennya jawaban Ciel membuat Sauve membalik badannya. Mata coklat mudanya memindai remaja Manusia yang berdiri mirip patung di sana. Ciel memegang gagang Seadius, pedangnya yang diselipkan pada ikat pinggangnya, kemudian menggaruk kepala menggunakan tangan kanan, dan mendongak menatap langit biru cerah. Wajah berbentuk berliannya tertiup angin, sangat sejuk seolah dia belum pernah merasakan angin meniup wajahnya. Dia menghembus napas kencang, lalu segera menatap Sauve tajam-tajam. “Aku mau pergi ke hutan itu, Sauve!” katanya tegas, dan berbalik cepat. Sauve terkesiap. Dia mengulurkan tangan canggung mencoba meraih sang pangeran yang telah berbalik. Pemuda berkemeja putih kaku dan bersepatu bot coklat itu berlari kencang ke arah gerbang istana, menoleh Sauve dan terkikik mirip tawanan lolos dari penjara. “Aku pergi! Titip salam untuk ayahku, ya?” seru Ciel, disambung dengan tawa lebar. Sauve meninggalkan kuda Ciel dan berlari mengejar sang pangeran. Dia berteriak memperingatkan para penjaga gerbang yang sedang menatap garang ke luar. Mereka berbalik, mendapati sang pangeran berlari ke arah mereka. Sauve berteriak lagi, memerintah mereka untuk menangkap sang pangeran. Empat belas penjaga gerbang merentangkan tangan mereka seperti akan menangkap seekor ayam gila.
Ciel memajukan bibirnya sebal. Dia memiringkan badan seolah hendak mendobrak pintu. Barisan penjaga gerbang berhamburan ketika Ciel mendorong keras tubuh-tubuh berpakaian besi mereka. Ketidakseimbangan membuat Ciel terjatuh bersama beberapa penjaga gerbang. Pemuda tersebut merangkak bangkit, berusaha kembali berlari. Namun tangan Sauve berhasil meraih kerah belakang pakaiannya—agak mencekik leher Ciel. “Kembalilah, Yang Mulia!” “TIDAK!” Ciel berteriak, menarik kerah pakaiannya. “Biarkan aku pergi! Aku tidak mau ditahan seperti ini!!” “Anda tidak tahu bahaya apa yang ada di hutan itu! Raja melakukan ini semua demi Anda sendiri, Yang Mulia,” balas Sauve. Kali ini dia berbicara dengan nada tinggi. “Demi aku, kaubilang!?” Ciel meronta bebas dan berbalik menatap Sauve. Dia memperbaiki kerahnya dan mengelusi lehernya. “Mengisolasiku di istana, memaksaku membaca buku-buku tebal seperti balok kayu, dan akhirnya aku akan dipaksa menikah dengan gadis asing dari negeri tetangga dengan alasan perdamaian negeri. Itu mengerikan!” Ciel menjerit. Dia menarik napas dan menghembuskanya perlahan. “Dengar, aku hanya akan jalan-jalan dan berburu hewan kecil. Setelah itu aku akan segera kembali ke istana,” tambahnya, dan menunjukkan dua jari kepada Sauve. “Janji seorang pria sejati!” Ciel melihat Sauve memejamkan mata dan mengangguk-angguk sendiri mirip orang sinting. Tangannya dilipat di depan dada, telunjuk kanannya mencuat dan mengetap lengan kirinya. Pria yang aneh. Dia berpikir dalam pose seperti orang tertidur sambil berdiri.
Sauve membuka matanya, dan memandang para penjaga gerbang. Mereka berbisik-bisik, sesekali melirik Ciel. Ciel tahu benar apa yang sedang mereka debatkan: membiarkan dirinya pergi atau tetap di istana. Sauve kembali memejamkan matanya seperti tadi, menandakan Elve itu sedang berpikir. Penjaga gerbang masih sibuk berbisik sendiri, sementara Sauve memejamkan mata. Perlahan, Ciel mundur, berbalik, dan berlari mirip badut menggunakan ujung kakinya. Gerbang istana didorong menggunakan kedua tangan, menimbulkan suara derit pelan. Selama si Elve masih berpikir dan penjaga gerbang masih mengoceh, Ciel bisa pergi dengan mudah. “Pangeran!” Sahutan keras Sauve menyadarkan Ciel si Elve menyelesaikan sesi berpikirnya. Dia berjengit kaget, kemudian memacu gerak otot-ototnya untuk berlari kencang meninggalkan wilayah Istana Liver. “Kejar dia!”
***
Kejar-kejaran itu membawa Ciel berakhir di stasiun kereta uap Kota Liver. Dia duduk lesu pada salah satu bangku panjang di peron stasiun sambil memandang kondektur gendut menangani penumpang-penumpang. Tadi Sauve dan para penjaga mengikutinya, tetapi mereka tidak—belum tahu Ciel berada di stasiun yang luas dan penuh sesak. Dalam peta rencana yang tergambar dalam benaknya, Ciel akan naik kereta menuju pemberhentian terdekat dengan Hutan Fillorius.
Seadius akan dia gunakan sebagai senjata berburu. Pedang warisan tersebut sangat tajam, gagangnya berwarna emas, bilahnya berwarna putih kebiruan dan diukiri huruf-huruf aneh. Lempeng emas mengkilat dijajar membentuk semacam pembatas antara bilah dan gagang, dan sebutir safir dipasang pada pangkalnya. Lebih mirip pedang pajangan daripada pedang untuk bertarung. Namun, pedang pajangan tidak akan diwariskan turun temurun kepada putra mahkota.
“Temukan dia!” Suara datar Sauve terdengar. Telinga Ciel berkedik seperti telinga kucing ketika mendengar suara cicit tikus. Dia segera bangkit dari bangku dan berbalik. Sauve dan beberapa pasukan istana terlihat di antara kerumunan penduduk berrompi dan bermantel. Ciel nyengir takut, dan segera berlari ke arah kondektur gendut tadi yang kebetulan baru saja mempersilakan penumpang terakhirnya naik ke kereta. “Kumohon biarkan aku naik kereta!” Ciel memohon memelas—benar-benar seperti anak anjing memohon kepada majikannya. Kondektur menaikkan alisnya. “Sudah kubilang, tidak ada tiket, tidak boleh naik. Itu adalah peraturan yang berlaku di seluruh Liver, Nak!” “Dengar…” Ciel melirik-lirik sekitar, berharap dirinya tidak akan segera ditemukan oleh mata jeli Sauve. Keramaian stasiun cukup menyamarkan keberadaannya. “Aku… akan bayar—” Ciel merogoh saku bajunya. “Sudah kubilang, aku tidak mau uangmu, bocah tukang suap!” si kondektur menyembur, membuat Ciel terlonjak kaget. “Ayolah, Pak!” Ciel memohon lagi. Kesan mencurigakan dapat dirasakan oleh kondektur gendut yang memainkan kumis hitam tebalnya. “Mengapa kau bersikeras naik kereta, sementara kau tidak punya tiket?” si kondektur semakin sebal, memelototi Ciel galak. “Kau tidak bisa menunggu besok atau lusa?” “Tidak bisa! Aku sedang dikejar oleh orang asing!” Ciel berteriak dan menatap memelas mata kondektur sehingga pria tersebut menjauhkan wajahnya dari wajah Ciel. “Mereka akan memenjarakanku jika aku tertangkap!” “Mengapa mereka mengejarmu dan akan memenjarakanmu??” “Itu…” “Itu dia!” salah seorang prajurit istana berseru sambil menuding Ciel. Sauve dan para pasukan lainnya menatap arah tudingannya. Tengkuk Ciel berkeringat, hawa dingin menaikkan bulu halus tubuhnya. “Pak, kumohon biarkan aku naik! Jangan biarkan aku tertangkap!”
Kondektur itu melongok melalui kepala Ciel. Kerumunan penduduk tampak menoleh ke satu arah. Raut wajah mereka mengerikan, beberapa terkesiap, beberapa menutup mulut. Bahkan pasukan istana ikut memasang wajah seram sambil menerobos kerumunan penduduk. “Lihat, Nak, pasukan istana datang. Mereka pasti akan membantumu,” kata kondektur dengan nada dibuat-buat santai. Ciel menoleh. Sauve dan para pasukan lainnya semakin mendekat. “Tidak, Pak! Aku harus pergi! Tolonglah, Pak!” Ciel bersikeras. Mata birunya dilebarkan dan dibuat seolah dia hampir menangis. Ini memalukan! Di luar dugaan, perbuatan memalukan Ciel sepertinya berhasil mempengaruhi si kondektur. Wajah lebar dan lembeknya kehilangan warnanya. Ciel menerka pria itu sedang membayangkan berbagai kejadian mengerikan dalam benaknya. Tiba-tiba pria gendut tersebut menepi, mempersilakan Ciel naik ke kereta melalui pintu yang hampir sama lebar dengan tubuhnya sendiri. “Masuklah, Nak! Kita akan segera berangkat!”
Mata Ciel berkaca-kaca dalam kebahagiaan—yah, ini sangat memalukan! Dia segera naik dan menutup pintu. Kondektur berlari ke gerbong lain cepat-cepat—meskipun sebenarnya lamban karena tubuhnya yang selebar pintu kereta. Dari balik kaca buram pintu kereta, Ciel dapat melihat Sauve dan para pasukan istana berlari ke arahnya. Ciel tersenyum jail dan melambai. Sauve tampak berteriak kepadanya, diikuti oleh para pasukan. Mereka berlari mengejar ketika kereta berjalan meninggalkan stasiun. Sayang, Sauve dan yang lainnya tidak dapat berlari menyamai kecepatan kereta uap.
2: Roanna
Ciel selalu mendengar dari ayahnya dan Sauve bahwa Hutan Fillorius dihuni banyak hewan buas, makhluk ganas, dan Naga. Namun selama hampir sejam dia berjalan tanpa arah, Ciel belum melihat apa pun selain pohon tinggi dan semak belukar. Dia curiga ucapan dua orang menyebalkan itu hanyalah bualan untuk menakut-nakutinya. Atau mungkin para makhluk belum menampakkan diri kepada Ciel? Mungkin mereka ingin memberinya kejutan dengan muncul secara bergerombol dan menerkam sang pangeran bersama-sama. Ya ampun. Ciel tidak mau hal itu terjadi. Dia harap salah seekor serigala atau babi hutan akan muncul, dan dengan sigap Ciel akan menusuk dada mereka. Tidak sulit, seharusnya. Ciel sudah berlatih pedang dan beladiri sejak usianya masih enam tahun. Menghadapi seekor serigala atau babi hutan tidak akan menjadi masalah baginya.
Angin lembap membawa aroma dedaunan menyergap hidung Ciel dan meniup dedaunan pepohonan. Sinar matahari menembus celah-celah dedaunan pepohonan, menerangi seisi hutan. Hanya suara gemerisik dedaunan terdengar dan mengiringi langkah tanpa arah Ciel. “Halo?” dia berseru keras. Suaranya dipantulkan kembali oleh dedaunan dan batang-batang pohon. Ciel merasa sangat lucu sekarang. Pasalnya ini pertama kalinya dia menerima balasan dari dedaunan dan batang pohon. Alam memang sangat indah dan unik. Ciel mencintai alam. Sesaat setelah pantulan suara Ciel, seekor makhluk kecil muncul dari balik semak buah bulat kecil yang bergerombol seperti lada. Makhluk tersebut mirip seekor monyet berambut merah jambu, tetapi bertelinga lebar seperti telinga gajah, dua lubang sebagai hidung, dan bermata bulat besar seperti mata ikan salmon. Ciel meringis lebar-lebar padanya, dan menghunus pedangnya cepat-cepat. Makhluk itu ketakutan melihat pedang Ciel—atau mungkin senyumnya. Dia kabur ke dalam semak buah. “Hei, tunggu!” Ciel berseru. Dia melesat dan merangkak menerobos semak. Kepala Ciel menyembul keluar dari semak buah. Ranting dan dedaunan kering menempel pada rambut coklat bercabang-cabangnya. Mata biru langit Ciel tertuju pada makhluk aneh tiga meter di hadapannya. Ciel meringis lebar, membuat hewan itu makin ketakutan dan memanjat pohon tinggi di dekatnya. “Sial!” Ciel menyumpah dan berdiri cepat-cepat. Makhluk itu sangat lihai memanjat pohon. Dalam waktu singkat dia telah berada dua meter di atas kepala Ciel. Ciel mendongak ke atas. Makhluk aneh itu memunggunginya dan menggerak-gerakkan ekornya seperti sedang mengejek Ciel. Ciel mencoba memanjat pohon. Semeter, semeter setengah, dan dia terjatuh. Debaman keras terdengar ketika bokongnya mendarat ke tanah berselimut dedaunan kering. Suara kikik mengejek terdengar dari atas pohon, mengalihkan perhatian Ciel. “Makhluk tengik pesek!” dia menyumpah, dan berdiri perlahan. “Aku akan pastikan kau ikut bersamaku ke istana. Aku akan mengawetkan tubuh kecilmu dan memajangnya di kamarku.” Ciel mengangkat pedangnya tinggi-tinggi, berniat mengagetkan hewan kecil itu dengan menggetarkan pohon. Tidak jauh dari tempat Ciel berada, seorang gadis melangkah sambil menenteng sebuah keranjang bambu berisi beberapa buah lonjong berwarna oranye dan ungu. Dia meringis menatap kanopi hutan, merasakan angin meniup rambut warna mentega sepanjang pinggulnya. “Rasakan!!” Ciel menjerit dan menghantamkan pedangnya pada batang pohon. Gadis tadi terlonjak di tempat. Jantungnya berdebar kencang tak karuan. Dia berkeringat, merapat ke salah satu pohon terdekat. Batang pohon terkelupas, kulitnya yang kasar dan kering berterbangan ke mana-mana. Semangat Ciel tidak pudar meskipun sedikit kulit pohon terbang mengenai wajahnya dan masuk ke mulutnya yang dibiarkan terbuka lebar. Getaran yang tercipta membuat makhluk kecil di atas pohon gemetaran dan memeluk dahan. Gadis itu bersembunyi di balik pohon, memberanikan diri mengintip ke arah sumber suara. Mata birunya melebar ketika melihat sosok di balik semak sedang menghancurkan salah satu batang pohon. “Manusia serigala?” dia berbisik—dan sangat, sangat salah. Ciel bahkan tidak bertelinga serigala dan berbulu lebat seperti manusia serigala sungguhan. “Ini masih siang. Mustahil!” Dia mengangkat tangan setinggi dada. Kilatan petir keemasan merayapi tangannya. “Apa pun itu, aku harus…”
Ciel menjerit sebelum berhenti membacoki batang pohon. Batang pohon telah terkelupas cukup dalam sehingga menciptakan sebuah cekungan cukup besar pada permukaannya. Dia terengah-engah, kemudian meludah. Namun makhluk kecil di atas pohon semakin mengejeknya dan memanjat makin tinggi. Sadar dirinya gagal, Ciel menghela napas panjang dan menyarungi kembali pedangnya. Mungkin hewan kecil itu bukan buruan yang tepat baginya. Masih banyak hewan lain di hutan ini. Ketika dia membalik badan, seberkas cahaya keemasan menyambar tubuhnya. Ciel seketika terpental jauh. Dia terguling-guling di tanah, hampir kehilangan kesadaran diri. Gulingannya terhenti ketika tubuhnya menabrak batang pohon lain. Kejang, kaku, dan nyeri luar biasa mendominasi tubuh Ciel. Pandangannya seketika mengabur dan pendengarannya melemah. “Demi Dewi Celesta!” Suara seseorang, seorang gadis. “Kau manusia! Oh, aku sungguh ceroboh!” dia merintih. “Maaf, maafkan aku…” Ciel mencoba melihat wajah gadis tersebut, tetapi kabut hitam menyelubungi seluruh korneanya.
***
Silau. Perlahan Ciel membuka kedua matanya. Matanya perih seperti sudah tidak dibuka untuk waktu cukup lama. Setelah menyesuaikan mata dengan jumlah cahaya yang ada, Ciel bangkit dan melirik sekeliling. Dia bergumam, “Kamar siapa?” Dia berada di kamar tidur seseorang yang lusuh. Rak bukunya agak lapuk, dinding kayu berlubang, dan di samping kirinya ada sebuah jendela besar tak berdaun. Pedangnya berada di sudut ruangan. Ciel bersyukur mengetahui pedangnya masih ada. Jika pedang itu hilang, tamatlah riwayatnya. Tetapi, sudah berapa lamakah Ciel tertidur? Dia memperhatikan lengan dan betisnya. Untung waktu itu Ciel mengenakan kemeja berlengan panjang—yang masih menempel pada tubuhnya hingga sekarang—dan sepatu bot, sehingga tidak terdapat luka serius pada tubuhnya. Masih kagum, dia meregangkan punggungnya. Pasti dia tidur sangat lama sampai tubuhnya terasa cukup bugar seperti ini.
Satu-satunya pintu di ruangan tersebut dibuka dari luar. Seseorang masuk, membawa sebuah nampan berisi sebuah botol porselen, sebuah mangkuk kayu, dan sekuntum bunga merah. Postur tubuhnya kecil, mengenakan jubah hitam kebesaran yang panjangnya hingga pertengahan betis. Kerudung hitam kumal menutupi kepala dan separuh wajahnya. Ada liontin bongkahan batu safir sebesar genggaman tangan dewasa bergelantungan di depan dadanya. Ciel tahu orang asing tersebut adalah seorang gadis dilihat dari lekuk tubuh dan dadanya.
Ciel belum sempat bicara; gadis itu menurunkan kerudung dan menatapnya, menampakkan wajah bulat, mata biru, dan rambut pirang sepanjang pinggulnya. Wajah Ciel memerah seketika. Jantungnya berdebar kencang tak sengaja, bagaikan sedang bernyanyi solo. Ciel belum pernah merasa secanggung ini bertemu dengan seorang gadis. Biasanya dia akan bersikap sok elit dan tampan, tetapi sekarang, rasanya semustahil menelan bulu babi!
“Ya, Tuhan!” gadis itu berseru. “Kau sudah sadar!” Ciel diam. “Bagaimana keadaanmu?” gadis itu menanyai Ciel. Dia meletakan nampan di meja di samping ranjang. “Ba-baik,” jawab Ciel canggung. Wajah gadis itu lucu dan mata birunya besar. Ciel belum pernah melihat gadis semanis ini. Dia hampir mirip boneka putri cantik milik kakak ketiga Ciel. Ciel masih ingat paras boneka lucu yang berakhir di perapian karena ulah kakak kedua mereka. Sejujurnya, Ciel mencintai boneka itu. “Aku membawa madu dan sup jamur lezat yang telah kuhaluskan,” lanjut gadis itu, diikuti sebuah senyuman. Sungguh mengagumkan. Ciel hampir tidak percaya dirinya sekarang masih hidup di Planet Moringa. Mustahil ada senyum secerah mentari seperti senyum gadis itu di dunia nyata. Dia bukan bidadari, dia hanya manusia biasa. Manusia biasa dengan senyum luar biasa. “Karena sekarang kau sudah sadar, kau tidak keberatan menghabiskan sup sendiri, bukan?” Ciel tersentak. Jantungnya berdebar kencang lagi. Dia menatap gadis itu, berkedip beberapa kali. “Tidak.” Si gadis tersenyum lagi. “Baiklah.” Dia menyerahkan mangkuk sup kepada Ciel. Gadis itu menarik sebuah kursi tanpa sandaran dari samping kasur dan menatap Ciel. Tangan Ciel gemetar memegang mangkuk, mengocok isinya perlahan. Mengapa gadis itu malah duduk menghadapnya? Seolah dia ingin menyiksa Ciel dengan paras manis tak berdosanya. Wajah Ciel semakin memerah, berkeringat, dan dia menerawang sup dalam mangkuk tanpa makna. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Dia khawatir setiap perbuatannya akan tampak aneh di depan gadis itu. “Aku ingin minta maaf.” Kalimat si gadis membuat Ciel segera menatapnya heran. “Mengapa?” dia bertanya. “Karena…” Gadis itu menggigit bibirnya dan melirik-lirik sekitar. “Aku yakin kau tidak melakukan hal bodoh kepadaku.” “Itu…” Dia melirik-lirik makin tak jelas. “Waktu itu aku tidak sengaja…” Ciel ingat apa yang telah terjadi padanya. “Aku disambar petir.” Gadis di hadapannya tersentak. “Dan aku berguling-guling di tanah. Kau pasti yang telah menolongku, bukan?” Dia meringis lebar, senyum khasnya yang telah meluluhkan hati beberapa putri bangsawan saat mereka berkunjung ke istana. Dia tidak berharap senyum anehnya yang mirip senyum kuda akan meluluhkan hati gadis pirang ini. “Jangan minta maaf. Ini bukan salahmu. Kau malah telah menolongku.” Ciel memperlebar senyum kudanya. “Lihat, aku baik-baik saja. Jangan khawatir.” Gadis itu terpana melihat senyum kuda Ciel. “Aku heran,” Ciel bergumam, “bagaimana bisa ada petir di hari cerah? Aneh.” “Itu bukan petir!” si gadis tiba-tiba berseru. Menyadari aksinya, dia segera membekap mulutnya. Ciel terdiam, memelototi si gadis pirang. “Itu…” Si gadis menurunkan tangannya, menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. “Aku melemparmu dengan bongkahan-bongkahan batu…” Tidak percaya. Itulah kesan pertama Ciel. Gadis itu, gadis pemilik senyum secerah mentari itulah yang telah menyebabkan dirinya berguling-guling di tanah dan hampir mati. Mustahil! “Aku pikir kau adalah manusia serigala yang sedang mengamuk, jadi aku melemparmu dengan batu supaya kau pergi…” Si gadis menundukkan kepala. “Sekarang kau pasti membenciku, tetapi itu adalah hakmu. Setelah sadar kau Manusia, aku membawamu ke sini dan mengobatimu… Maafkan aku…” Ciel diam, menerawang menembus tengkorak si gadis. Dia tidak tahu harus berkata apa. Bukan salah si gadis jika dia menganggap Ciel sebagai manusia serigala. Salah Ciel menerobos hutan sendirian dan membacoki pohon berharap makhluk kecil sialan itu akan terjatuh dari pohon. “Maafkan aku. Aku tidak keberatan membuatkan makanan dan merawatmu hingga sembuh total karena ini salahku—” “Tidak,” Ciel menyela. “Ini bukan salahmu. Waktu itu aku sedang… agak naik pitam. Tidak heran jika kau menganggapku seperti itu.” Ciel tersenyum lebar. “Kau tidak bersalah. Kau hanya mencoba mengusirku karena, aku yakin, aku pasti tampak sangat mengerikan,” katanya. “Kau gadis yang baik dan bertanggungjawab.” Wajah si gadis berseri-seri. Matanya melebar penuh kebahagiaan. Dia tersenyum lebar dan mengangguk kuat. “Omong-omong, aku Ciel. Seorang… err… petualang!” Ciel berbohong. Ada baiknya menyembunyikan identitasnya sebagai pangeran Liver dari gadis manis itu. Ciel tidak ingin terjadi kesalahpahaman di antara mereka. Gadis itu tersenyum. “Aku Roanna Vesalius. Hanya seorang pengumpul hasil hutan. Ini rumahku, letaknya agak di tengah Hutan Fillorius.” “Kau pasti seorang gadis pemberani! Bahkan ayahku takut menginjakkan kaki di sini!” Roanna tersenyum malu-malu. “Ah, tidak. Tidak juga. Aku tinggal bersama kedua orangtuaku, tetapi sekarang mereka sedang pergi ke… kota lain.” Roanna agak canggung. “Bagaimana denganmu? Apakah keluargamu tidak akan khawatir? Sudah dua hari kau tertidur.” Seulas senyum jail muncul pada bibir Ciel. “Tidak. Aku seorang petualang, keluarga tidak akan mengkhawatirkanku.” Dia terkikik. “Kurasa, aku akan tinggal di sini lebih lama lagi. Kau tidak keberatan?” Roanna memandang lekat mata biru Ciel, tetapi kemudian dia tersenyum. “Tidak.” Ciel tertawa. “Aku akan pergi setelah mengetahui apa saja yang ada di hutan ini. Jangan khawatir, aku janji tidak akan bertingkah aneh!” katanya ceria. Dia mulai menghirup sup dari mangkuknya. Roanna mengangguk setuju. “Oh, setelah ini,” dia menyahut, meraih sekuntum bunga merah berkelopak tujuh dan menyerahkannya kepada Ciel. “Kau harus cium aroma bunga ini agar cepat bugar.” Ciel melirik bunga melalui mangkuk kayunya—hmm, sup yang lezat. “Bunga apa itu?” “Maria Emas. Hanya tumbuh seratus tahun sekali di rawa Hutan Fillorius. Aromanya dapat membuat siapa pun yang menciumnya kembali bugar,” balas Roanna. “Kemarin aku membaukan bunga ini padamu.” Ciel meletakkan mangkuk kayu pada meja, mengambil Maria Emas dari tangan Roanna. Dia mendekatkan bunga pada hidungnya, dan… ambruk seketika. Apanya yang bisa membuatnya kembali bugar? Aromanya seperti tumbukan dedaunan busuk dicampur liur kuda! Paru-paru Ciel seperti hampir meledak total. Roanna terkejut hebat, mengoncang tubuh Ciel.
Ciel membuka matanya cepat-cepat, tersenyum hambar pada Roanna. “Aku baik-baik saja,” katanya, mengangkat Maria Emas. “Aku hanya perlu menyesuaikan diri.” Kemudian dia tertawa lepas. Roanna membentuk sebuah senyum pada bibirnya. Ciel kembali mencium Maria Emas, dan bergidik ngeri seperti sedang menahan muntahan dalam lambungnya. Roanna tertawa lirih melihat usaha Ciel. Suasana ini agak aneh, tetapi sangat menyenangkan. Ciel memang baru mengenal Roanna beberapa menit lalu, tetapi dia merasa telah mengenalnya sejak ratusan, ribuan tahun lalu. Sesuatu terbentuk dalam hatinya, sesuatu yang sulit dijelaskan.
3: Pemuda Berambut Perak
“Hutan Fillorius dihuni oleh banyak jenis hewan. Beberapa di antaranya buas dan haus daging manusia. Naga juga sering bermukim di sini,” Roanna menjelaskan ketika dia dan Ciel berjalan-jalan di hutan. Si gadis berambut pirang panjang itu sangat pengertian. Dia menyanggupi permintaan Ciel berkeliling hutan. “Ada makhluk ganas, tetapi jika kita tidak mengganggunya, dia tidak akan mengganggu kita.” Sementara Ciel tampak seperti seorang pemburu kawakan, Roanna tampak seperti seorang penjarah. Gadis itu membawa sebuah keranjang bambu jelek—anyamannya kasar, mencuat di sana-sini, dan warnanya pudar—yang dia gunakan untuk mewadahi buah-buahan dan rumput herbal yang menurutnya berguna. Ciel tidak mengerti bagaimana dia membedakan buah dan herbal berguna dari yang beracun. “Aku sering melihat Naga berseliweran di langit,” sahut Ciel, mendongak memandang kanopi hutan. “Mungkin salah satu naga yang bermukim di Hutan Fillorius.” “Apakah kau tidak takut?” tanya Ciel sambil menggaruk kepalanya sendiri. “Maksudku, kau tinggal hanya bersama kedua orangtuamu, tidak ada tetangga, tidak ada desa, dan jika mau kabur ke kota harus jalan kaki sangat lama. Ditambah lagi sekarang orangtuamu tidak ada di rumah. Hutan ini seram dan berbahaya.” “Aku akan melempar mereka dengan batu,” Roanna menjawab lugu sambil menoleh Ciel. Seolah rongga kepalanya baru saja diterangi oleh lentera, Ciel terlonjak. “Ah, aku tahu sekarang!” Roanna tersenyum. “Jadi, apakah ada hal aneh lain di hutan ini?” Ciel melenguh. Dia menghunus pedangnya yang selalu dia bawa dan mengamati permukaannya. “Hutan ini sepertinya biasa-biasa saja.” “Umm, ada.” “Apa itu?” “Rumah penyihir,” Roanna berkata pelan, hampir berbisik. Ciel mengalihkan pandang dari permukaan pedang bagusnya pada Roanna. “Oh, ya, aku ingat. Magus, bukan?” “Iya. Tetapi sekarang hutan sudah bukan rumah Magus lagi, melainkan makam para Magus.” Hawa dingin seketika menyeruak masuk melalui celah kerah pakaian Ciel. Seketika otot tubuhnya menegang tak karuan dan keringat terbentuk pada tengkuknya. “Mereka semua telah dibantai oleh orang tidak dikenal. Tragis sekali…” Wajah Roanna kehilangan cahayanya saat berkata. Seolah kematian para penyihir telah membuat hatinya sakit tak karuan—seperti kehilangan keluarga. Ciel tidak tega melihat wajah manis itu kehilangan cahayanya. Dia menyarungi kembali pedangnya dan memposisikan dirinya di depan Roanna. “Jangan sedih!” Roanna tersentak, memandang Ciel ragu. “Aku tahu kau memiliki hati sangat lembut selembut salju. Bahkan mendengar kematian orang yang bukan keluargamu sesungguhnya telah membuatmu sedih,” kata Ciel agak cepat sambil memegang bahu Roanna. “Ciel, kau tidak mengerti…” “Aku mengerti, Roanna. Aku mengerti rasanya kehilangan orang yang kaucintai,” balas Ciel cepat. Dia menundukkan kepala, kemudian memandang lekat wajah Roanna. “Aku tahu kau menganggap semua penghuni hutan sebagai keluargamu, bukan?” Roanna melirik sekitar sejenak, kemudian mengangguk pelan. “Aku tidak suka ada penghuni hutan terbunuh atau diburu… Seperti para penyihir dan hewan-hewan.” “Ah, sudah kuduga!” Ciel meringis. Sebersit rasa bersalah menyergap hatinya bersamaan dengan teringatnya Ciel pada perburuan hewan aneh mirip monyet ketika tiba di hutan pertama kalinya. “Jangan khawatir aku akan melindungi hewan-hewan di hutan ini. Aku akan menyuruh semua orang menjauhi hutan!” “Tetapi orang-orang memang sudah menjauhi hutan,” Roanna memotongnya. Merasa bodoh, Ciel tertawa lebar. “Ah, kau benar!” Roanna ikut tertawa melihat Ciel yang salah tingkah. Setidaknya Ciel berhasil membuat gadis itu tertawa. Rasanya sangat ngilu melihatnya sedih. Ciel tidak akan mengakuinya, tetapi dia ‘menyukai’ Roanna.
***
Sebuah sungai beraliran cukup kencang terdapat di tengah hutan. Ikan-ikan sesekali melompat, menciptakan cipratan besar. Rerumputan tinggi berjejer di sekitar sungai, menyembunyikan koloni jamur-jamur payung merah dan putih. Bebatuan terpencar tak rata, menambah nilai keindahan sungai.
Ciel dan Roanna duduk di salah satu batu besar yang ada, mengamati riak air. Mereka dapat melihat pantulan wajah mereka pada permukaan air yang bergelombang. “Lucu!” Ciel berseru. “Wajahmu juga jadi makin cantik, Roanna!” Roanna tertawa lirih malu-malu. Dia segera mengalihkan pandang dari pantulan wajahnya dan wajah Ciel ke seberang sungai. “Aku akan pergi ke sana sebentar. Ada banyak buah liar tumbuh di seberang sungai.”
Tanpa sepatah kata lagi Roanna menyeberangi sungai dengan melompati batu-batu kecil yang tersusun rapi pada badan sungai. Aliran air yang cukup kencang membasahi sepatu botnya, tetapi dia tidak goyah. Roanna sepertinya telah terbiasa. Dia dapat menjaga keseimbangan tubuhnya di atas batu-batu kecil, menggoyang-goyangkan keranjang bambu jeleknya, dan melompat-lompat lihai hingga berhasil mencapai seberang sungai. Dia melambai kepada Ciel, tersenyum. “Tunggu aku di sana, ya?” dan berlari menghilang ke dalam semak bunga.
Ciel hanya ternganga tak percaya. Dia pikir Roanna tidak bisa melompat atau menjaga keseimbangan tubuh karena dia memakai jubah kebesaran, tetapi dia salah. Menghela napas lega dan menunggu adalah hal yang bisa Ciel lakukan sekarang. Mendadak Ciel teringat pada rumah. Pasukan Liver tidak terlihat sekali pun di hutan ini sejak Ciel sadar. Mungkinkah mereka tidak mencarinya? Tidak mungkin! Ayah Ciel pasti akan kalang kabut setengah mati jika putranya hilang. Namun keabsenan pasukan adalah sebuah keberuntungan tersendiri bagi Ciel. Jika mereka datang, Ciel bisa diseret meninggalkan gadis pemilik senyum mengagumkan itu.
Sebuah teriakan melengking memecah lamunan Ciel. Dia terlonjak seketika, memandang seberang sungai ngeri. Itu teriakan Roanna. Hanya ada satu makna dari teriakan tersebut: gadis itu memerlukan bantuannya. “Roanna! Roanna, kau mendengarku!?” Tidak ada balasan. Jantung Ciel berdebar tak wajar. Cepat-cepat dia mengambil ancang-ancang dan melompati batu-batu pada badan sungai. Buru-buru dia menerobos semak bunga yang tadi Roanna lewati.
Seekor anjing besar berambut coklat kemerahan dan berkepala tiga bernapas cepat sambil menjulurkan ketiga lidahnya. Kepalanya yang diapit dua kepala lain memiliki sebuah rubi bulat berpendar pada dahinya. Dia menggoyangkan tiga lidahnya, menatap lapar Roanna. Gadis itu ketakutan, gemetar dan menggenggam erat keranjang bambu jeleknya.
Kaki depan anjing berkepala tiga bergerak ke depan bersamaan dengan setetes liur mengalir dari ketiga lidah anjing. Roanna semakin gemetaran, mundur beberapa langkah. Dia meletakkan keranjang bambu jeleknya di tanah, dan menaikkan kedua tangannya setinggi dada. Merapal perlahan, dia berharap anjing menyeramkan itu tidak akan mendekat lebih dari ini. Anjing itu menggonggong—tiga kepalanya menggonggong bersamaan. Roanna tidak tahan lagi. Kedua telapak tangannya diselubungi cahaya merah menyala.
“Roanna!” Jeritan Ciel terdengar. Pemuda tersebut melompat keluar dari semak bunga ungu yang ada, membuat Roanna melenyapkan cahaya merah terang pada tangannya. Dia berjengit memandang anjing berkepala tiga itu. Anjing berkepala tiga beralih pada Ciel dan menggonggong saat pemuda berambut coklat itu menudingkan pedangnya padanya. Roanna mundur selangkah, menempel pada semak rimbun. Seandainya tadi Ciel tidak datang, pasti dia telah… “Anjing kudisan!” Ciel mengejek, mengesampingkan rasa takutnya. “Aku akan… mencincangmu!” Si anjing menggonggong marah, dan mulai melesat. Ciel terkejut, menghindar ke kanannya dan mengayunkan pedang menggores pinggul anjing. Sebuah luka gores panjang menganga pada pinggul kiri anjing itu. Ciel mengerem, bersamaan dengan anjing berkepala tiga itu. “Wow!” seru Ciel agak aneh. “Kupikir kau hebat!” Dia tertawa terbahak-bahak. Anjing berkepala tiga berbalik cepat pada Ciel, menggeram. Asap tersembur keluar dari tiga mulutnya, mengepul seolah ada segulung api disembunyikan dalam tiga mulutnya. Ciel melotot mengejek, masih tertawa. Dia tidak sadar anjing itu mengangkat ketiga kepalanya dan menyembur api dari mulutnya. “Awas!” Roanna memperingatkan, mengacungkan kedua tangannya. Dia berharap melakukan hal berguna, tetapi tidak ada yang terjadi, tidak ada yang keluar dari tangannya. Roanna terlalu takut… Dia malah merunduk ketakutan.
Ciel merunduk menghindari semburan api. Semburan api tidak cukup panjang untuk membakar deretan pohon beberapa meter di belakang Ciel, dan lenyap bersama angin. Meski demikian, hawa panas dari api masih tersisa. Anjing itu mengatupkan kembali ketiga mulutnya, menatap garang Ciel saat pemuda tersebut bangkit kembali. Keringat terlihat jelas membasahi dahinya. Dia mendecak sebal sebelum mengambil ancang-ancang menyerang lagi. Bersamaan dengan derap kaki anjing besar berkepala tiga, Ciel melesat ke depan. Dia hendak menusuk rubi bulat pada dahi anjing itu, tetapi si anjing malah melompat tinggi. Ciel tidak sempat mengubah serangannya, melongo konyol. Anjing itu mendarat di atas kepalanya, mencoba menggigit rambut coklat bercabang-cabang Ciel.
Ciel ambruk keras. Si anjing mencoba mengoyak rambutnya dan mendidihkannya dengan napas panasnya. Kedua tangan Ciel dijepit kuat hingga berlubang oleh cakar-cakar besar anjing, sehingga sulit bagi si Manusia bergerak memukulnya. Cakar belakang anjing menusuk kedua pahanya hingga berdarah, membuatnya sulit menendang. Ah, sial! Ciel hanya dapat berbaring mirip orang konyol akan mati!
Roanna berlari cepat-cepat ke arah si anjing besar. Dia menarik ekor panjang berbulu lebatnya, berusaha membuatnya mengalihkan perhatian dari Ciel ke dirinya sendiri. Dua kepala di samping kepala berrubi bulat menoleh padanya, menggonggong galak. Namun Roanna tidak mau menyerah pada ketakutan. Dia tetap menarik ekor anjing itu.
Wajah Ciel telah basah oleh liur anjing. Dia menyembur-nyembur dan mengerjap berkali-kali. “Enyahlah!!” “Hentikan, Cerbero!” Suara asing terdengar. Terkejut, Roanna berbalik. Seorang pemuda berambut perak dikuncir dan mengenakan baju zirah sederhana melompat keluar dari salah satu semak. Roanna terkesima melihatnya. Pemuda itu berlari mendekati Roanna dan anjing berkepala tiga. “Kembali!” Seolah sebuah perintah, anjing besar melepas Ciel. Dia menggeram sejenak sebelum berlari pada pemuda berambut perak. Ciel bangkit perlahan, mengusap wajahnya yang tergores sedikit, dan mengelus tangan serta pahanya yang berdarah. “Anak nakal!” si pemuda berseru. Anjing berkepala tiga menguik takut. Si pemuda menoleh Roanna, mengernyit melihat wajah takut Roanna. Dia bertanya, “Kau tidak apa-apa, Nona?” “Iya,” jawab Roanna lirih. Mata Roanna melebar melihat pemuda berambut perak meraih tangannya dan memeriksanya. Wajah Roanna memerah seketika, dan jantungnya berdebar kencang. Pemandangan yang menyebalkan. Pemuda sinting itu berani sekali menyentuh Roanna! Bahkan Ciel sendiri, yang telah mengenal Roanna lebih dari sehari, belum pernah menyentuhnya. Hatinya panas seolah baru saja terbakar oleh semburan api anjing berkepala tiga. “Sudah cukup!!” dia menjerit. Si pemuda asing menyeringai dan menurunkan tangan Roanna. “Siapa kau!?” Ciel menyalak dan menarik Roanna ke sampingnya. “Sebenarnya aku bisa membebaskan diri sendiri meskipun kau tidak datang. Dasar sok jagoan!” Roanna menarik lengan pakaian Ciel. “Ciel, jangan berkata demikian…” “Tidak, Roanna. Orang asing yang entah datang dari mana dan tiba-tiba berlagak sok jagoan,” sergah Ciel. “Lihat, dia majikan anjing gila itu! Dia pasti dalang semua ini!” Si pemuda berambut perak menyeringai makin lebar dan mengelus tiga kepala anjingnya. “Memang aku majikan anjing ini. Tetapi anjingku tidak gila, asal kau tahu. Dan aku tidak tahu dia akan menyerang orang idiot sepertimu. Mungkin keidiotanmu membuatnya geram.” Dia tertawa lirih mengejek. “Seharusnya kau berterimakasih padaku, idiot,” tambahnya. Pemuda itu berbalik dan menjauh bersama anjingnya. “Dah!” “Terima kasih!” Roanna berseru dan membungkuk. Pemuda itu melangkah agak aneh. Mungkin pinggulnya terluka atau semacamnya. Roanna menelengkan kepala heran.
Ciel geram. Kepalanya serasa beruap dan wajahnya memerah. Pemuda berambut perak itu telah mempermalukannya di depan Roanna, membuatnya terkesan sangat lemah. Jika mereka bertemu lagi, Ciel pasti akan membuat perhitungan padanya.
Chapter berikutnya..... | |
| | | Horker Pendatang Baru
Jumlah posting : 3 Points : 7 Reputation : 0 Join date : 10.06.12
| Subyek: Re: Minta kritik dan sarannya, para suhu :D Sun 17 Feb 2013 - 11:10 | |
| Chapter berikutnya 4-5 - Spoiler:
4: Menara
Luka pada tangan dan paha Ciel telah diobati menggunakan kumpulan herbal Roanna. Tubuhnya yang sakit kembali bugar setelah mencium Maria Emas. Baunya mengerikan, memang, tetapi dapat melenyapkan rasa lelah dan sakit. Ciel mendengkur di bangku panjang keras di ruang tamu rumah Roanna. Ciel menggeliat, dengkurnya menghilang. Tidur di bangku memang tidak menyenangkan, dan ini pengalaman pertamanya. Namun jika tidak tidur di bangku, mau tidur di mana lagi sang pangeran?
Roanna Vesalius mengendap-endap melewati ruang tamunya sambil menenteng sebuah lentera mati. Saat melihat Ciel tidur pulas di bangku panjang dan keras itu, dia tersenyum dan mengendap ke luar rumah. Suara derit pintu reot tercipta saat dia mendorongnya. Terganggu oleh suara derit pintu, Ciel membuka mata perlahan. Dia setengah bangkit, melihat punggung Roanna dan nyala api di balik pintu sebelum gadis tersebut menutup pintu rapat. Ciel bangkit dari bangku, duduk sambil memandang pintu.
“Roanna mau ke mana?” bisiknya. Dia menoleh ke luar jendela. “Ini masih terlalu pagi untuk memetik buah,” dia menyimpulkan. Ciel berdiri memungut pedangnya dan mengendap mengikuti Roanna.
Hutan Fillorius di subuh hari tampak sangat menyeramkan. Pepohonan lebat berubah keabu-abuan, tanah seperti lubang hitam tak berujung, dan Ciel yakin melihat beberapa titik kuning menyala di balik semak-semak. Dengan bantuan nyala lentera Roanna, dia melihat gadis itu menerobos semak perlahan dan berjalan hampir tanpa suara. Roanna seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Ciel merasa asing dan jantungnya berdebar kencang. Apakah Roanna tidak mempercayainya sehingga tidak memberitahu ke mana dia akan pergi dan mengapa? Oh, tentu! Tidak akan ada gadis mempercayai seorang pemuda yang baru dikenalnya selama dua hari.
Ciel menjaga jarak sekitar empat meter dari Roanna, tidak terlalu jauh agar dirinya sendiri tidak kehilangan si gadis dan nyala lenteranya. Gadis tersebut sesekali berhenti berjalan, membuat Ciel harus ikut berhenti dan bersembunyi di balik salah satu pohon atau berlutut di balik rimbunnya semak belukar. Ketika dia kembali berjalan, Ciel akan segera mengikutinya lagi.
Ciel hampir kehilangan Roanna ketika gadis berjubah hitam, berkerudung hitam, dan membawa lentera tersebut merapat memasuki celah-celah akar pohon raksasa. Tubuhnya yang kecil membuatnya mudah melewati akar dan menghilang cepat. Nyala lenteranya hampir tidak terlihat karena rimbun akar pohon. Ciel segera berlari ke arah yang dia yakini telah dilewati oleh Roanna, dan memaksa dirinya merapat memasuki celah pohon meskipun tubuhnya sakit luar biasa. Hitam pekat adalah satu-satunya yang dapat dia lihat di balik akar rimbun, dan bernapas sangatlah sulit. Setelah mencapai ujung celah akar, Ciel melompat keluar dan terengah-engah.
Di balik rimbun akar adalah sebuah lembah luas berjurang. Sinar bulan subuh memandikan seluruh lembah, membuatnya dapat melihat Roanna lebih jelas. Gadis tersebut menerobos deretan pepohonan lagi. Ciel segera mengikutinya. Namun Roanna dapat merasakan keberadaannya. Ketika dia berada di tengah hutan lagi, dia berhenti mendadak, seketika memaksa Ciel berhenti dan memeluk pohon terdekat.
“Keluarlah!” Roanna berseru, masih memunggungi Ciel. Ciel mengangkat alis kanannya. “Apakah dia menyuruhku keluar? Atau orang lain?” “Aku tahu kau di sana, Ciel.” Tersentak, Ciel menyembulkan kepala dari batang pohon. Roanna telah berbalik menghadapnya, meskipun tatapan matanya tidak tertuju pada Ciel. Sudah tidak ada gunanya lagi bersembunyi. Ciel menyerah dan keluar dari persembunyiannya. Roanna segera menatapnya, meletakkan tangan kirinya pada pinggang. “Kau mengikutiku.” Ciel nyengir ragu. “Yeah, aku melihatmu pergi diam-diam, jadi kupikir kau mau bersenang-senang tanpa diriku.” Roanna tersenyum sebal. “Aku tidak akan bersenang-senang, Ciel.” “Yeah, setidaknya aku ingin tahu ke mana kau pergi.” Roanna menurunkan tangannya. “Baiklah, aku akan mengajakmu ke tempat yang kutuju.” Wajah Ciel berseri-seri, matanya berkilat penuh kebahagiaan. “Oh, benarkah? Baik, aku akan mengikutimu ke mana pun kau pergi. Dan jangan lupa, aku akan melindungimu, Tuan Putri!” Jantung Roanna berdebar hebat. Wajahnya memerah seketika. Dia tersenyum malu, membuang wajah dari tatapan mata bekilat Ciel.
Roanna memimpin di depan, setengah meter dari Ciel berjalan. Gadis tersebut tampaknya sangat mengenal jalan yang harus dia lewati untuk mencapai tempat yang dia tuju. Roanna tidak memberitahu Ciel tempat apa itu. Dia hanya meminta Ciel berjalan di belakangnya dan tidak bertingkah aneh, seolah tahu lambat atau cepat Ciel akan bertindak aneh. Dia mengerti Ciel sangat bersemangat dan penuh rasa ingin tahu, tetapi di Hutan Fillorius subuh hari, semangat dan rasa ingin tahu dapat mengantar menuju ajal.
Matahari meninggi dan bersinar terang. Puncak menara asing tampak dari balik celah dedaunan pohon. Menara tersebut terbuat dari bata putih dan ditumbuhi sulur-sulur hijau berbunga merah muda. Rerumputan ilalang tumbuh liar di pelatarannya, menambah kesan misterius pada menara tinggi itu. “Aku tidak tahu ada tempat seperti ini di hutan,” Ciel berbasa-basi ketika dia dan Roanna telah berada di depan pintu ganda menara. Namun Roanna tidak menghiraukan basa-basi Ciel. Dia melesat ke depan pintu dan meletakkan lenteranya di samping pintu. Gadis itu menatap gagang pintu panjang berujung kepala besi makhluk aneh bertelinga runcing lebar, berhidung lancip, dan berpipi lembek—goblin—selama beberapa detik. “Roanna, apakah tempat ini yang kautuju? Apakah kita akan masuk ke sana?” Ciel menghampiri Roanna, masih sambil melirik-lirik dinding menara. “Bukan kita, tapi aku,” Roanna menjawab enteng, menarik perhatian Ciel untuk mengangkat alis dan merengut. Tanpa sepatah kata lagi, gadis itu merentangkan kedua tangannya dan mengangkat kepala. Dia melangkah perlahan menempel pada pintu. Permukaan keras pintu tiba-tiba melembek seperti permukaan air. Tubuh Roanna ditelan masuk, tetapi dia tidak mengaduh sakit atau meronta sama sekali. “Roanna!” Ciel mencoba meraih bahu Roanna, tetapi gadis tersebut ditelan sangat cepat. Sekarang Roanna ada di dalam menara, di balik pintu sialan yang kembali menjadi keras. Pikiran Ciel berkabut, ketakutan menyelubunginya. Dia menggedor permukaan pintu. “Roanna!! Pintu sialan, kembalikan Roanna!” Tawa lirih terdengar. Ciel terkejut setengah mati. Dia melirik-lirik sekitar, berputar-putar mencari pemilik suara tawa lirih penuh ejekan tersebut sambil bergidik ngeri. Tawa lirih lain terdengar. Ho, jadi ada dua orang sialan yang berani menertawainya, pikir Ciel. “Tunjukkan wujud kalian, pecundang!” serunya sambil menghunus Seadius. “Aku akan pastikan hidung kalian terbelah dua!” “Dasar bodoh!” “Idiot!” Ciel masih berputar-putar mencari-cari pemilik suara. “Ini kedua kalinya kalian mengejekku. Aku tidak akan membelah hidung kalian menjadi dua, tetapi empat!” serunya lagi, mengacung tinju ke udara. “Keluarlah, pecundang!” “Kami di sini, Idiot!” Ciel berbalik. “Benar-benar otak lamban.” “Menyedihkan.” Ciel terkejut setengah mati. Kepala goblin pada ujung gagang pintu, yang tadinya terbuat dari besi, sekarang telah berubah menjadi kepala selayaknya. Mereka sedang bercakap-cakap satu sama lain, tertawa dan mengejek. Ciel mendelik pada dua pengejeknya. “Hantu!?” Seruan Ciel menarik perhatian dua kepala goblin. “Tidak mungkin ada gagang pintu bisa bicara!” dia membentak, menudingkan pedang ke hidung goblin itu. “Kami bukan monster, kepala coklat sinting,” kepala goblin di sebelah kiri mengelak. “Kami goblin yang ditakdirkan menjaga pintu ini.” “Dan itu membuktikan kalian juga adalah penculik!” jerit Ciel. Ujung pedangnya ditempelkan pada ujung hidung goblin. “Kembalikan Roanna!” “Tenangkan dirimu, Bung,” si goblin merengek. “Kami bisa menjelaskannya.” “Kami menjaga Menara Ingrimm,” goblin satunya menambahkan. “Menara siapa?” Ciel akhirnya menurunkan pedang dari hidung si goblin, dan menyarunginya kembali. “Ingrimm, sang wanita iblis. Dia menghancurkan Moringa dua ratus tahun lalu dan disegel—ups! Lupakan bagian itu.” Si goblin melirik goblin di sisi kiri Ciel. “Kami para goblin disihir menjadi gagang pintu untuk menjaga menara ini. Aku yakin kau tahu itu, bukan?” “Aku tidak mengerti.” Ciel memandang para goblin bergantian. “Guruku memang pernah bercerita tentang sejarah Moringa dan Ingrimm—duh, aku tidak pernah benar-benar mendengarkannya. Aku hanya tahu Ingrimm adalah iblis.” Ciel menggaruk kepalanya. “Tidak penting! Biarkan aku masuk! Aku tidak bisa membiarkan Roanna sendirian di dalam.” “Di dalam sangat berbahaya, Bung. Kau bisa mati. Gadis itu juga.” “Apa peduliku dengan kematian jika tidak dapat melindungi temanku?” Ciel menjerit. Para goblin memejamkan mata, telinga lebar mereka melembek ke bawah. “Sudahlah. Buka pintu ini dan biarkan aku masuk.” Kedua goblin bertatapan, kemudian mengangguk. “Kami sudah putuskan. Silakan masuk, idiot,” kata goblin di sisi kiri Ciel Permukaan keras pintu melembek seperti genangan air, sama seperti saat Roanna masuk ke menara. “Kau sama idiotnya dengan gadis itu dan banyak orang idiot lainnya. Kami tidak akan bertanggung jawab atas kematian kalian, idiot.”
Ciel mengangkat bahu dan mendecak sebal. Dia menyentuh permukaan lembek pintu, merasakan dirinya ditarik masuk. Dalam sedetik Ciel telah ditelan oleh pintu dan berada di sisi lain secara ajaib. Pintu di belakang Ciel menghilang, digantikan oleh batu bata putih seperti seluruh dinding. Ketika Ciel menyentuh dinding yang dia yakini sebagai area tempat pintu seharusnya berada, dia hanya dapat merasakan keras dan dinginnya batu. Dia berbalik, memindai seluruh ruangan tabung yang disebut sebagai Menara Ingrimm. Dengan bantuan obor-obor aneh berisi bola pijar biru dingin mengkerut, Ciel dapat melihat sebuah tangga batu melingkar menuju lantai berikutnya. Dia menghunus Seadius dan meniti tangga batu.
Segerombol laba-laba hitam bergelantungan pada dinding lantai berikutnya. Mereka seketika menyerang Ciel secepat pemuda tersebut menampakkan diri. Refleks, Ciel mengayun-ayunkan pedang menebas tubuh-tubuh hitam laba-laba. Mereka lenyap menjadi asap hitam dan sirna di udara. Ciel mendesah lega atas kemenangannya. Dia melanjutkan meniti tangga berikutnya, tangga batu yang disambung dengan tangga kayu melingkari sisi lingkaran menara. Tangga ini membuatnya pusing. Dia heran mengapa Roanna mau masuk ke tempat mengerikan ini.
Ciel menjerit dan melompat mundur. Seekor serigala biru menerkamnya begitu dia mencapai lantai berikutnya. Dia tidak sempat menghalau serangan, tanpa sengaja membiarkan dirinya terjatuh ke belakang… ke tangga kayu melingkar. Tangan kiri Ciel menggapai pinggiran tangga kayu setelah melewati beberapa tingkat tangga melingar, menyelamatkan dirinya dari terjatuh. Serigala biru mengamatinya dari atas. Dua serigala lain muncul dan ikut mengamati Ciel. Susah payah, Ciel merangkak ke atas, dan melesat kembali ke tempat para serigala. Dia tiba di lantai tersebut telah siap dengan Seadius teracung. Tiga serigala melompat ke kepalanya bersamaan, mencoba mengoyak wajahnya dengan taring-taring mereka. Ciel menggetok tengkuk salah satu serigala terdekat dengannya menggunakan pangkal Seadius, menyebabkan makhluk berbulu itu sirna menjadi asap hitam. Pasti iblis. Tidak mungkin makhluk hidup bisa berubah menjadi asap hitam. Ciel mendengus sebal memikirkannya. Satu serigala lain ditendang jatuh dari tangga dan menghilang ditelan kegelapan. Namun Ciel lengah. Serigala terakhir melompat ke punggungnya, menancapkan cakar-cakarnya pada daging punggung Ciel. Darah merembes keluar. Terpaksa, Ciel membanting tubuhnya sendiri ke lantai batu. Serigala itu menyadari rencana Ciel. Dia melompat menjauh sebelum tubuhnya gepeng, dan merapat pada tangga menuju lantai berikutnya. Mata birunya yang dingin memandang ngeri Ciel. Ciel berdiri perlahan, mengernyit ngilu sambil mengusap darah pada punggungnya. Walaupun terluka, setidaknya sekarang dia telah bebas meniti tangga menuju lantai berikutnya.
***
Roanna telah berlutut dan mencakupkan tangan selama hampir sejam. Dia lelah, tempurung lututnya lebam beradu dengan lantai batu keras dan kasar. Namun gadis itu tidak mau berhenti memohon kepada jiwa Ingrimm yang terbelenggu dalam patung batu putih mengkilat dengan sebuah batu safir bulat terpasang kuat pada dahinya. Ada sebuah legenda mengenai patung Ingrimm yang dibangun sekitar dua ratus tahun lalu. Siapa pun yang berdoa kepadanya dan menyerahkan benda berharga kepadanya akan mendapatkan apa pun yang dia inginkan.
“Aku… mohon bicaralah kepadaku…” Roanna merintih. Sebutir air mata meleleh dari sudut mata kirinya. “Makhluk Fana, aku telah mendengar keluhanmu.” Roanna seketika mendongakkan kepala, memandang patung putih mengkilat berwajah cantik dan berambut sepanjang pergelangan kaki. Bulatan safir pada dahi patung menyala terang. Roanna menurunkan tangannya, tersenyum hambar. “Ingrimm?” “Ya, Makhluk Fana. Aku Ingrimm. Dua ratus tahun aku terkurung dalam batu. Sungguh hina karena aku hanya dapat menggunakan kekuatanku dalam menara ini. Dua ratus tahun aku telah mendengar berbagai permohonan, dan dua ratus tahun pula aku telah mengabulkannya. Tetapi aku yakin kau tahu apa yang harus kau berikan sebagai ganti setelah aku mengabulkan permohonanmu.” “Aku tahu. Aku telah mendengarnya dari orang-orang tersesat di Hutan Fillorius yang bertujuan mengunjungimu di sini untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Aku harus… memberimu… persembahan.” “Gadis pintar. Beritahu aku, apakah permohonanmu, gadis Magus?” Roanna menelan ludah mendengar sebutan yang sudah sangat lama tidak dia dengar. Dia seorang Magus, penyihir hitam. Namun dia tidak memedulikan panggilan tersebut, berdiri perlahan. “Sepuluh tahun lalu para Magus di Hutan Fillorius, termasuk ayah, ibu, dan nenekku, dibunuh. Mereka melindungiku, menyembunyikanku di sebuah gua. Walaupun aku selamat, tetapi aku kesepian, sangat kesepian,” kata Roanna pelan dan gemetaran. “Aku ingin… aku ingin… kau me-menghidupkan… menghidupkan keluargaku kembali…” Nada suara gadis itu tak terkontrol. Dia sesenggukan, mengusap air mata yang mengalir deras menuruni pipi putihnya.
Pintu ganda di belakang Roanna berderit terbuka. Ciel melangkah masuk lugu sambil mengerling seisi ruangan. Ruangan tersebut hanya diterangi oleh bola-bola pijar biru dan kunang-kunang biru mengambang di sekeliling ruangan, membuat ruangan agak sempit itu terkesan dingin. Matanya melebar melihat Roanna berdiri di depan patung seorang wanita berambut sangat panjang. “Roanna?” Panggilan Ciel membuat telinga Roanna berkedik pelan. Dia menoleh dan terkesiap. Wajahnya memucat seketika. “Apakah dia persembahan untukku, gadis Magus?” Roanna terkejut mendengar kalimat Ingrimm, dan suara Ingrimm mengejutkan Ciel. Si gadis menoleh patung, lalu cepat-cepat kembali lagi pada Ciel. “Apa? Siapa yang bicara?” Ciel panik, memegang erat pedangnya dan mengawasi sekitar. “Roanna, apakah sebenarnya yang terjadi di sini? Siapakah yang bicara?” dia menuntut Roanna, tetapi gadis tersebut bungkam saking takutnya. Lantai batu yang sedang Ciel pijak tiba-tiba berubah lembek seperti pintu menara tadi. Gulungan asap merah kecoklatan berbentuk tabung panjang menyembur keluar, mengikat setiap kaki dan tangan Ciel, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi. Penampakkannya memang asap, tetapi padat dan cukup kuat untuk meremuk tulang kering Ciel. Dia berteriak, meronta seraya semakin banyak gumpalan asap membelit tubuhnya kuat-kuat. “Ciel!” Roanna berteriak. Dia segera berbalik menghadap patung Ingrimm dan berlutut. “Dia bukan persembahan. Ingrimm, kumohon lepaskan dia! Yang ingin kupersembahkan kepadamu sebagai ganti setelah kau menghidupkan kembali keluargaku adalah…” Ciel melotot mendengar permohonan Roanna. Menghidupkan kembali? Maksudnya keluarga Roanna telah mati? Bukankah orangtua Roanna hanya pergi ke kota lain? Roanna berbohong? “…kau boleh mengambil setengah usiaku sebagai jaminan menghidupkan kembali keluargaku dan… membebaskan Ciel. Aku… tidak keberatan. Sisanya akan kubawakan kepadamu secepatnya…” tambah Roanna, membiarkan lebih banyak air mata menuruni pipinya.
Ciel meronta liar. Dia tidak suka mendengar ucapan Roanna. Mengorbankan setengah usianya untuk keluarganya yang telah mati dan dirinya adalah hal terbodoh yang pernah dia dengar. Walaupun Roanna telah membohonginya—mengesampingkan dirinya sendiri juga telah berbohong—Ciel tidak ingin Roanna melakukan hal bodoh demi sesuatu yang sama bodohnya. “Setengah usia seorang Magus lebih berharga daripada seluruh usia seorang Manusia.” Suara ngeri wanita bernama Ingrimm seolah memerintah gumpalan-gumpalan asap untuk melepas korbannya. Ciel terjatuh ke lantai bersama Seadius. Dia mendongak pada Roanna. Apakah patung itu baru saja memanggil Roanna dengan sebutan Magus? Penyihir hitam? “Kemarilah, Magus. Biarkan aku mengambil setengah usiamu. Aku akan menghidupkan kembali keluargamu, tetapi kau masih harus membawa tiga tumbal agar keluargamu dapat hidup selayaknya Magus seharusnya, dan tiga pedang pusaka.” Roanna menoleh Ciel melalui bahunya dan tersenyum lega melihat pemuda tersebut telah bebas. Gumpalan asap merah kecoklatan tiba-tiba muncul dari punggung patung. Tubuh Roanna direnggut, dibelit kuat. Gadis tersebut diam dan membiarkan tubuhnya diangkat tinggi. Gumpalan asap menghisap sinar hijau terang dari tubuh si gadis. Bulatan safir pada dahi patung bersinar makin terang seolah bulatan tersebut adalah penanda kekuatan patung. Ciel menggertak gigi. Cepat-cepat dia menyambar pedangnya di lantai, dan berlari ke arah gumpalan asap yang terus menghisap sinar hijau dari tubuh Roanna. Dengan sigap, dia menebas gumpalan-gumpalan asap itu. Asap sirna di udara, menggagalkan proses penghisapan sinar kehidupan dari tubuh Roanna setelah gadis tersebut tersungkur pada lantai batu. Ciel mendelik pada patung sebelum mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. “Aku tidak peduli kau Ingrimm atau hantu! Aku tidak akan membiarkanmu merenggut usia Roanna!!”
Seadius yang berwarna putih kebiruan, berukir huruf-huruf ganjil, dan bergagang emas menyala putih. Ciel terkejut. Namun dia menganggap keanehan Seadius sebagai bentuk dukungan baginya untuk menyerang patung. Nyala putih semakin terang dan membentuk sebuah lingkaran pada ujung pedang. Saking terangnya nyala Seadius, ruangan sempit itu dibanjiri cahaya putih. Lingkaran cahaya pada ujung pedang membentuk sebuah kerucut putih. Kekuatan mistik terkumpul pada ujung kerucut. Menyeringai, Ciel mengarahkan ujung kerucut pada wajah patung. Tembakan sinar putih melesat tepat ke arah bulatan safir pada dahi patung, kemudian menghilang bagai ditelan. Ciel heran, menurunkan Seadius, tetapi tidak mengalihkan pandang dari patung. Ruangan berbola pijar biru kembali seperti semula selama sedetik sebelum sinar putih dari pedang dipantulkan kembali oleh bulatan safir pada dahi patung. Seketika ruangan dibanjiri kembali oleh cahaya putih. Suara tawa Ingrimm tiba-tiba terdengar. “Bocah Manusia, aku akan mengingatmu!” Ciel panik dan takut serangan aneh dari pedangnya tidak berhasil menyebabkan kerusakan apa pun pada patung. Dia menyumpah sebal. “Berengsek!”
Suara tawa Ingrimm semakin keras, makin memekakan telinga. Dia terdengar bahagia menerima tembakan sinar putih dari Seadius, seolah pedang tersebut telah memberinya kebahagiaan terbesar selama dua ratus tahun. Roanna mundur beberapa langkah dari Ciel. Dia menangis antara sedih tidak dapat menghidupkan kembali keluarganya dan bahagia karena Ciel melindunginya.
Sinar putih lenyap beberapa detik kemudian bersamaan dengan suara runtuhan pelan. Bongkahan-bongkahan patung berserakan di lantai, menggenaskan bagai korban mutilasi.
Ciel menyarungi kembali Seadius dan melangkah mendekati pecahan patung. “Patung sialan ini hancur!” serunya penuh kemenangan. Dia menyeringai dan menjejak bongkahan kepala patung. “Rasakan itu, anjing betina!” kutuknya sebal. Dia kemudian menoleh Roanna. “Roanna, semua sudah berakhir. Jangan menangis lagi.” Roanna menghapus air matanya dan tersenyum meskipun agak dipaksakan. “Terima kasih.” Suara ledakan tiba-tiba terdengar. Atap batu ruangan berbola pijar tersebut runtuh perlahan. Bebatuan menghujani kedua remaja. Roanna berteriak saat Ciel menghampirinya. “Aku tahu makhluk itu memang berengsek!” jerit Ciel. Bola matanya bergulir ke arah pintu ganda. “Ayo keluar dari sini!” Dia menggenggam tangan Roanna dan berlari keluar melalui pintu ganda.
Runtuhan batu juga terjadi di luar ruangan patung. Ciel cepat-cepat menuntun Roanna menuruni tangga spiral. Mereka harus melompat menghindari hujan batu atau melompati lubang besar pada tangga spiral. Roanna terlalu panik dan terperosok. Untungnya dia sempat berpegangan pada pinggiran tangga. Ciel segera menghentikan langkahnya dan membantu Roanna bangkit. Gadis tersebut memang akan mencapai lantai dasar lebih cepat, tetapi dalam keadaan pecah seperti sebuah mangga jatuh dari pohon. Pintu menuju ke luar tidak ada! Keduanya berhenti di tengah lantai dasar sambil panik setengah mati. Kegelisahan menyergap hati Ciel. Dia melepas genggaman tangannya dan meraba-raba area dinding yang dia yakini sebagai tempat pintu seharusnya berada. Sial, perabaannya kurang beruntung. Hanya kasar dan dingin dinding batu Ciel rasakan.
“Ciel!” Jeritan Roanna dibarengi dengan debaman batu. Ciel berbalik dan mendelik kaget. Roanna telah tergeletak pada lantai batu dengan kedua kakinya tertindih sebongkah batu besar. Gadis tersebut berusaha membebaskan diri, tetapi gagal. Kegelisahan semakin besar dalam hati Ciel. Dia mencoba mengangkat batu dari kedua kaki Roanna, mengerahkan seluruh tenaganya. Saat itulah pintu ganda menuju luar menara membentuk dirinya sendiri pada dinding batu. Roanna berseru sambil menunjuk pintu ganda, “Ciel, pintunya kembali!” Ciel menoleh pintu, tetapi tidak berhenti berusaha mengangkat batu dari kaki Roanna. “Pergilah! Tinggalkan saja aku!” Roanna menyarankan keras-keras. Bongkahan batu lain meluncur hampir menimpa kepala berambut pirangnya. “TIDAK!” Ciel menjerit dan memeluk Roanna. Bongkahan batu menimpa punggungnya yang memang telah terluka. Pakaiannya robek dan kulitnya bonyok.
Roanna meneteskan air mata melihat pengorbanan Ciel. Pemuda tersebut tampak sangat menggenaskan. Darah meleleh keluar dari sudut kiri bibirnya, wajahnya merah padam, dan napasnya berat. Meskipun punggungnya terluka, dia tidak berhenti mencoba mengangkat bongkahan batu dari kaki Roanna.
Otot-otot pada leher dan wajahnya menegang saat dia mengerahkan lebih banyak tenanga untuk mengangkat batu besar itu. “Aku sudah janji akan melindungimu! Aku tidak akan meninggalkanmu!” Batu besar berhasil terangkat sedikit dan digulingkan cukup jauh sehingga kaki Roanna terbebas. Air mata membasahi pipinya, sedangkan keringat deras membasahi seluruh tubuh Ciel. Pemuda tersebut memperhatikan luka parah pada kaki Roanna. Tanpa menunggu kalimat gadis itu lagi, dia menggendongnya dan berlari menuju pintu ganda.
Menara runtuh seluruhnya di belakang Ciel dan Roanna. Kepulan asap membumbung tinggi, burung-burung, yang bertenger pada dahan pohon di sekitar menara, terkejut dan melarikan diri ke langit. Sekujur tubuh keduanya dipenuhi luka akibat hujan batu dalam menara. Ciel berlutut dan menurunkan Roanna. Kali ini tenaganya benar-benar ludes. Dia ambruk tertelungkup pada tanah. Roanna segera menggoyangkan tubuh Ciel saking takut kehilangan pemuda tersebut. Ciel membalik badannya perlahan, memandang Roanna dan tersenyum. “Kita berhasil,” katanya lirih. Wajah Roanna memerah, air mata menetes-netes ke pipi Ciel. “Ciel… mengapa…” “Aku sudah bilang, aku akan melindungimu, Tuan Putri,” jawab Ciel lirih sambil tersenyum makin lebar. Kedua tangannya meraih belakang kepala Roanna dan mendekatkan bibir gadis tersebut pada bibirnya sendiri.
5: Sauve
“Apakah kau menemukan sang pangeran?” Sauve sang Elve, pengawal—pelayan pribadi Ciel Hearth Liver XVII, memelototi deretan pepohonan Hutan Fillorius bersama teman-teman Elve dan Manusia-nya ditemani kuda-kuda istana. Berkali-kali dia menanyai teman-temannya barangkali mereka melihat sang pangeran, tetapi jawaban ‘tidak’ selalu dia dapatkan.
Sauve tidak sempat memberitahu raja bahwa putranya pasti kabur ke Hutan Fillorius. Pria tua itu terlalu terbawa emosi, dan mengirim pasukan menyisir seluruh kota tanpa mendengar penjelasan lebih lanjut Sauve. Sauve baru sempat memberitahunya untuk berhenti menyisir kota kemarin—dan sedikit banyak sang Elve merasa bersalah.
Sauve dan teman-temannya telah menjelajahi bagian utara dan timur Hutan Fillorius. Namun sayangnya tidak ada tanda apa pun mengenai keberadaan sang pangeran, dan tidak ada seorang pun mereka temui. Dia khawatir sang pangeran telah menjadi santapan hewan buas atau mengalami kecelakaan maut, seperti terjatuh dari tebing, terperosok ke lubang kelinci, atau lainnya. Sang raja dan seluruh Liver pasti akan berkabung jika sang pangeran benar-benar telah tidak bernyawa.
Suara ledakan terdengar. Burung-burung berterbangan panik dari balik rimbun dedaunan. Sauve menoleh legiun burung yang ketakutan, dan melihat kepulan asap hitam membumbung tinggi ke langit. “Sesuatu terjadi di sana. Ayo periksa!” komandonya. Mereka tergesa-gesa menghampiri sumber kepulan asap. Debu menyeruak tebal, menghalangi pandangan semuanya. Sauve merasa sangat cemas di sela-sela dirinya terbatuk dan mengerjap berkali-kali. Dia sangat berharap akan menemukan pangeran di sana. Reruntuh batu. Menara setinggi dua puluh meter yang tadinya berdiri tegak di sana—dan hanya beberapa orang tertentu tahu ada menara di sana—telah menjadi tumpukan puing hampir rata dengan tanah. Bebatuan berserakan di tanah, debu berterbangan ke mana-mana.
“Apa yang terjadi di sini?” Sauve berseru sambil menutupi hidung dan mulutnya. Di balik kepulan debu, mata Sauve menangkap bayangan sosok dua manusia. Cepat-cepat dia mengibas-ngibaskan tangannya menyibak kepulan debu. Bayangan sosok dua manusia tampak semakin jelas seiring semakin tipisnya kepulan debu. Seorang remaja laki-laki berambut coklat, mengenakan kemeja robek sedang berbaring kaku sambil memeluk seorang gadis berambut pirang panjang yang menderita luka parah pada kedua kakinya. Sauve mengenal remaja laki-laki itu seperti adiknya sendiri. “Demi Sang Pencipta!” dia berseru. “Aku menemukan sang pangeran!” dia berteriak. Teman-temannya segera berlari menghampirinya. “Ya ampun, aku sungguh kasihan pada Pangeran,” salah seorang prajurit menyahut. Para prajurit segera menaikkan kedua remaja ke kuda mereka. Tidak ada waktu berbasa-basi lagi. Mereka bisa saja tiba-tiba kehilangan detak jantung dan mati. Para prajurit dan Sauve berharap kedua remaja itu akan bertahan hingga mereka mencapai Istana Liver.
***
Ciel tertelungkup tak sadarkan diri di kasurnya yang besar, dan dikelilingi oleh tabib-tabib istana dan keluarganya. Dia terluka pada punggung, tidak baik membiarkannya berbaring. Leonard Liver sangat gemetaran, hampir menangis melihat kondisi putra tunggalnya yang telah empat hari tak sadarkan diri. Kakak-kakak perempuan Ciel menangis melihat kondisi mengerikan adik mereka. “Ciel yang malang. Padahal aku sudah melarangnya pergi ke hutan itu,” sang raja melenguh, kemudian memandang para tabib. “Apakah tidak ada cara lain agar Ciel cepat sadar?” Tabib-tabib istana berbisik-bisik dan melirik satu sama lain, hingga akhirnya kepala tabib istana menjawab sang raja, “Kita hanya bisa menunggu, Yang Mulia. Pangeran terluka tepat pada tulang punggungnya. Dia bisa saja kehilangan kesadaran sangat lama, atau yang lainnya. Masih dapat bernapas sudah merupakan berkah tak ternilai.” “Aku mengerti,” desah sang raja. Dia mengelus rambut putranya lembut. “Ciel, cepat sadar. Ayah dan kakak-kakakmu sangat mencemaskanmu.” “Ciel, kau memang bodoh, tetapi jika kau mati siapa yang akan aku jahili lagi?” Jacqueline, kakak kedua Ciel, mencicit. “Sadarlah, Ciel!” kakak ketiga Ciel berseru walaupun sesenggukan. “Seandainya Leonora ada di sini, dia pasti akan menangis juga!” sang putri sulung menangis keras. “Ibu juga akan sangat sedih!” Jauh di alam sadar Ciel, dia mendengar berbagai macam suara. Ada suara ayahnya, suara kakak-kakak perempuannya, dan suara-suara lain. Mereka mengusik tidurnya yang nyenyak setelah mengalami hal-hal mengerikan di Hutan Fillorius. Secepat kedipan mata, dia mendengar tangis Roanna. Mengapa dia menangis? Memorinya bersama Roanna sebelum dan sesudah menara runtuh kembali berputar. Tiba-tiba Ciel melotot, dan berguling memandang langit-langit kamarnya. “Dia sudah sadar!” sang ketua tabib istana beseru girang. “Ciel, kau bisa dengar suara ayah?” Leonard memanggilnya. “Ciel!!” kakak-kakak perempuannya juga memanggilnya dengan suara cengeng mereka. Heran, Ciel melirik-lirik orang-orang di sekitarnya. “Ini kamarku, ya? Aku masih hidup?” “Ya, Sayang, kau masih hidup,” balas Leonard dengan nada bahagia. “Dan ini bukan mimpi?” “Bukan, bukan, Putraku,” balas Leonard lagi, semakin bahagia.
Pemuda itu bangkit perlahan. Punggungnya serasa baru saja ditusuk dengan garpu rumput sebanyak seribu kali—bukan berarti dia memang benar-benar pernah merasakannya. Tubuh bagian atasnya dililit perban, tangan, dan pahanya juga. Semuanya membantunya bangkit, memapahnya, mengelus tubuhnya, dan berusaha memberikan kenyaman terbaik baginya. Oh, Ciel suka diperlakukan seperti anak bayi—eh, apa? “Apa yang terjadi? Bukankah seharusnya aku sudah mati?” Dengan lugu, Ciel menggaruk kepala berambut coklatnya. Ya ampun, kepalanya sangat sakit ketika digaruk. “Ciel bodoh,” Leonard mendesah. “Sauve bilang, kau tergeletak di depan puing-puing Menara Ingrimm di Hutan Fillorius. Dia dan para pasukan yang kukirim untuk mencarimu segera membawamu kembali ke istana.” “Oh, begitu.” Ciel memandang kedua tangannya yang diperban. “Ada seorang gadis bersamamu waktu itu. Siapa—” Kalimat Leonard tidak akan pernah selesai, karena Ciel memotongnya, “Roanna!” Semua orang yang sedang memperhatikannya terlonjak heran. “Di mana dia? Dia masih hidup juga, bukan?” “Ya, dia masih hidup. Dia ada di bangsal pusat kesehatan istana.”
Jawaban Leonard membuat Ciel menerobos turun dari kasur. Ayahnya dan para tabib menghalangi, tetapi Ciel ngotot. Mereka tidak berusaha menghalanginya lagi, sehingga pemuda itu dapat berlari bebas ke luar kamar. Tubuhnya masih sangat sakit, tetapi Ciel ingin memastikan Roanna masih baik-baik saja.
Roanna Vesalius meremas ujung selimut dengan tangan mungilnya. Tubuhnya sakit, tetapi tidak sesakit kedua kakinya yang tertimpa bongkahan batu besar. Roanna sempat tidak bisa berjalan selangkah pun sendirian dan harus dipapah oleh perawat, tetapi untungnya sekarang dia sudah bisa berjalan sendiri meskipun masih terpincang-pincang.
Orang-orang istana sangat baik kepadanya, membiarkannya memakai gaun tidur warna putih yang bersih dan harum, merawatnya tulus seperti bayi, dan juga menyediakan makanan terbaik untuknya. Dia belum pernah menerima perlakuan layaknya seorang tuan putri seperti ini. Tetapi dia tidak bahagia. Ciel telah mengetahui rahasianya memohon kepada Ingrimm, dan rahasianya bahwa dia adalah seorang Magus, penyihir hitam. Orangtuanya selalu memberitahunya bahwa orang Liver membenci Magus. Sejak pertama melihat Ciel, Roanna tahu pemuda tersebut berasal dari Liver. Yah, Roanna sebenarnya tidak tahu ada negeri apa saja di luar hutan selain Liver, jadi tentu saja kesimpulannya seperti itu. Dia tidak yakin Ciel akan menganggapnya lagi. Memikirkannya membuat hati Roanna sakit tak karuan.
Orang-orang selalu bergosip tentang Ciel, sang pangeran Liver—bagaimana dia ditemukan di dekat puing Menara Ingrimm dan bertahan hidup serta bagaimana sang raja beserta para putri mengkhawatirkannya sampai menangis semalaman. Roanna tidak pernah menyangka Ciel yang ceria dan sangat penuh rasa ingin tahu adalah sang pangeran Liver. Hatinya semakin sakit tak karuan. Pintu bangsal terjeblak terbuka. Ciel terengah-engah di ambang pintu. Roanna kaget, membuang wajah darinya.
“Roanna!” panggil Ciel keras sambil melangkah perlahan menghampiri gadis yang masih duduk di ranjang. Ciel duduk di sampingnya, memandang wajah Roanna. “Bagaimana keadaanmu?” Roanna tersenyum hambar dan menarik selimut yang menutupi kedua kakinya. Ciel mendelik memandang perban terlilit pada kedua betis si gadis. “Kakiku sudah agak baikkan.” “Syukurlah.” Ciel menghela napas lega. “Tabib istana memang cekatan. Tadi aku sempat berlari ke sana-ke mari mencari bangsalmu. Untungnya seorang perawat memberitahuku.” “Ini Istana Liver, bukan?” tiba-tiba Roanna bertanya takut-takut. “Benar,” jawab Ciel singkat. “Dan kau adalah pangeran Liver.” Kalimat Roanna seolah mematikan seluruh usaha Ciel bicara lagi. Dia membuang wajah, menunduk dan merasa seperti seorang bocah lima tahun tertangkap basah hendak mencuri sekotak kue manis. “Maaf. Tadinya aku berniat agar kau tidak salah paham, tetapi kurasa aku salah…” “Orangtuaku tidak pergi ke kota lain,” Roanna melanjutkan cepat. “Mereka dan nenekku telah tewas dalam pembataian sepuluh tahun lalu.” Ciel memandang gadis itu lekat-lekat. Wajah Roanna pucat, matanya berkaca-kaca. Menceritakan kejadian yang telah menimpa keluarganya pasti sangat menyiksa hati lembutnya. Ciel tersadar mengapa Roanna sangat canggung ketika mengatakan hal tentang orangtuanya sebelum mereka mengunjungi Menara Ingrimm. “Kau juga sudah tahu aku adalah seorang Magus, penyihir hitam,” Roanna melanjutkan dengan nada pasrah. “Kudengar orang-orang Liver membenci Magus.” “Tidak!” Ciel menyentak keras. Kedua tangannya berperbannya menangkup kedua pipi Roanna, mengelus, tapi juga meremas lembut. “Aku tidak benci Magus—orang Liver juga tidak. Tidak ada alasan untuk membenci Magus. Kau temanku, aku tidak mungkin membencimu,” katanya tegas, dan tersenyum ramah.
Wajah Roanna seketika memerah hebat. Tangan Ciel berpindah ke punggungnya, mendorongnya ke pelukan sang pangeran. “Apa pun dirimu, aku janji akan selalu berada di sampingmu dan melindungimu. Aku janji meskipun kau seorang Magus atau apa pun.” Roanna tidak dapat menahan air matanya mengucur deras, dan merembes ke baju tidur Ciel. Pemuda tersebut mengelusi kepala Roanna, meskipun tidak sadar Roanna menangis. Namun kemudian Roanna melepas pelukan Ciel dan memandang lekat bola mata birunya. Ciel panik melihat wajah Roanna telah basah oleh air mata. “Kau menangis?” Canggung, pemuda tersebut menggunakan kedua tangannya menghapus air mata Roanna. Roanna menggeleng. “Aku terharu. Belum pernah ada seorang pun berkata demikian kepadaku. Kau yang pertama.” Ciel tersenyum cerah secerah sinar matahari siang itu. “Aku senang menjadi yang pertama. Dan aku akan menjaga rahasiamu sebagai seorang Magus jika kaumau.” Air mata kembali mengucur deras dari sudut mata Roanna. Dia mengangguk kuat dan tersenyum bahagia. “Waktu itu, aku tidak melemparmu dengan batu. Aku menggunakan sihir petir untuk menyerangmu,” sambung Roanna setelah anggukannya yang kesekian kalinya. Ciel terlonjak kaget. “Sihir!?” Kemudian dia tertawa lebar. “Tetapi untungnya kau cepat bertindak, jadi aku tidak mati gosong.” “Sihirku hanya tingkat dasar, tidak dapat membunuh. Tidak ada yang mengajarkan sihir kepadaku setelah keluargaku meninggal,” jawab Roanna ramah. “Aku pergi menemui Ingrimm untuk…” Dia bungkam. Ingatan saat berada di Menara Ingrimm kembali berputar dalam benaknya. Namun pintu bangsal dibuka dari luar, menarik perhatian Ciel dan memotong kalimat Roanna. Sauve sang Elve muncul, membungkuk melihat sang pangeran dan gadis asing—yang dia ketahui hanya sebagai gadis desa tak tahu apa-apa. “Ayah Anda memanggil, Yang Mulia,” katanya datar. Ciel melambai kepadanya, memanggilnya, “Sauve, ada yang ingin kutanyakan.” Sauve menghampiri sang pangeran, melirik-lirik gadis asing di samping Ciel. “Duduk, duduk.” Ciel menarik sebuah kursi tanpa sandaran dari samping kasur Roanna. Sauve duduk di kursi tanpa curiga. “Sauve, ini Roanna, temanku. Roanna, ini Sauve, temanku.” Sauve dan Roanna bertatapan. Penampilan Sauve agak aneh di mata Roanna. Telinga runcing Sauve hampir membuat Roanna bertanya keras-keras. Tetapi tatapan dingin pemuda Elve itu membungkamnya. Cepat-cepat gadis tersebut membungkuk. “Aku Roanna,” katanya canggung. Namun Sauve hanya mengangguk pelan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Alis kanan dan sudut kanan bibir Ciel diangkat naik. Sauve seharusnya bisa menjadi sedikit lebih ramah. Dia menghela napas dan melanjutkan pertanyaannya, “Yang ingin kutanyakan kepadamu adalah… siapa itu Ingrimm?”
Pertanyaan sang pangeran membuat Sauve agak mendelik ke arahnya. Sebelumnya, selama dia mengenal Ciel, pemuda tersebut belum pernah menanyakan hal semacam itu. Ciel biasanya cuek dengan sejarah dan pelajaran selain beladiri dan seni pedang. Bahkan gurunya sampai bosan mengajar sejarah dan geografi kepada sang pangeran pemalas yang selalu tidur atau menggelitiki lubang hidungnya sendiri dengan pena bulu saat pelajaran berlangsung.
“Uh, ini serius, Sauve,” Ciel merintih setelah sekian lama Sauve tidak menjawabnya. Sauve tersentak, lalu mengangguk. “Ingrimm adalah wanita iblis yang menghancurkan Moringa dua ratus tahun lalu. Dia muncul karena para penghuni Moringa telah hilang akal. Setelah para penghuni sadar dan memperbaiki diri, Ingrimm berubah menjadi patung-patung mistik yang bersemayam dalam menara-menara di empat titik Moringa. Salah satu menara berada di Hutan Fillorius.” “Umm, sebenarnya,” Ciel menelan ludah, “aku dan Roanna sempat pergi ke Menara Ingrimm di Hutan Fillorius—ya ampun, aku tidak akan bermalas-malasan lagi saat jam pelajaran berlangsung.” “Ya, kami menemukan Anda dan Nona Roanna di reruntuhan menara. Apakah yang telah terjadi di sana, Yang Mulia. Mengapa menara bisa hancur? Yang kudengar, menara dan patung Ingrimm tidak akan pernah hancur meskipun dihantam menggunakan palu raksasa atau disembur napas api Naga.” “Aku menggunakan pedang warisan untuk menghancurkan patung Ingrimm,” jawab Ciel lugu. “Pedang warisan turun temurun?” Sauve mendelik. Ciel mengangguk. “Namanya Seadius. Kau ingat, bukan?” Sauve mengangguk cepat. “Saya tidak mengerti bagaimana bisa pedang tersebut menghancurkan patung Ingrimm. Mustahil.” “Aku juga tidak mengerti,” Ciel berbisik pelan. “Pedangku menyala putih dan tiba-tiba patungnya hancur… Waktu itu aku sangat marah…” “Beberapa orang percaya Ingrimm dapat mengabulkan permohonan apa pun jika mereka mempersembahkan tumbal atau benda pusaka. Namun mereka harus memohon sangat lama agar Ingrimm, jiwa iblis itu, terbangun. Orang-orang yang tidak sabar malah mengamuk dan berusaha menghancurkan patung. Bukan hancurnya patung yang mereka dapatkan, tetapi kutukan. Saya khawatir, Anda dan Nona Roanna akan dikutuk,” kata Sauve cepat. Tatapan dinginnya berpindah dari Ciel ke Roanna dan sebaliknya bagaikan sebuah peringatan.
Ciel dan Roanna tersentak bersamaan. Mereka berkeringat dan jatung berdebar kencang. Mengerikan sekali mengetahui hal ini dari Sauve. Mereka tidak pernah menyangka kutukan akan menjadi hadiah setelah menghancurkan patung wanita itu. “Orang-orang yang telah terkena kutukan memohon ampun kepada patung Ingrimm lain, yang belum pernah mereka coba hancurkan, dengan memberikan persembahan berupa senjata pusaka. Kudengar mereka berhasil lolos dari kutukan,” Sauve menjelaskan lagi. “Ini gosip, Anda boleh mempercayainya atau tidak.” Benak Ciel menyala terang. Sauve memang selalu penuh pengetahuan! Elve muda tersebut selalu mendengar banyak gosip dan berita—duh, apakah Sauve sebenarnya suka bergosip? Ciel menepuk tangan dan meringis lebar. “Baiklah kalau begitu!”serunya, dan berdiri cepat. “Sauve, siapkan senjata pusaka untuk iblis itu. Aku tidak mau ada yang tertimpa kutukan!” Sebenarnya, Ciel lebih mengkhawatirkan Roanna daripada dirinya sendiri. Kasihan gadis itu, tertimpa kutukan karena hal yang tidak dia perbuat. Rasa tanggung jawab dalam darah Ciel meluap-luap berlebihan. “Di mana patung lainnya? Satu sudah hancur, jadi masih tersisa tiga. Untung saja, ya? Kita akan pergi ke…” “Menara Ingrimm di Negeri Gastro adalah yang terdekat dan termudah dicapai,” Sauve melanjutkan kalimat Ciel. “Gastro! Kita akan pergi ke Gastro secepatnya!” seru Ciel. Tangannya diangkat naik, menunjuk ke luar jendela kamar seperti seorang kapten kapal memerintah anak buahnya. Roanna tertawa pelan, dan Sauve mengangguk-angguk. “Tapi sebelumnya, Anda harus istirahat banyak sebelum pergi ke Gastro, Yang Mulia,” sahut Sauve enteng. Ciel melongo di tempat. Dia sadar tubuhnya masih sakit dan perlu istirahat sangat lama. “Tabib istana akan segera menyembuhkan luka-luka Anda, dan setelah sembuh saya akan menemani Anda ke Gastro. Untuk sekarang, lebih baik Anda kembali ke kamar karena ayah Anda memanggil.” Ciel menurunkan tangannya dan memandang Roanna. “Aku harus pergi. Tetapi aku akan datang lagi.” Roanna mengangguk dan tersenyum. “Aku akan menunggumu, Ciel.” “Dan kita akan pergi ke Gastro bersama-sama! Ingat, aku akan selalu berada di sampingmu dan melindungimu!” katanya keras. Ciel meringis lebar sebelum melangkah keluar dari bangsal Roanna bersama Sauve.
Wajah Roanna memerah padam. Kalimat manis itu, senyum itu, dan semangat Ciel membuat dirinya sendiri dipenuhi semangat. Roanna belum pernah pergi ke mana-mana. Sehari-hari hanya berkeliling di hutan mencari buah-buahan atau bermain bersama hewan-hewan hutan. Berada di Liver bersama orang lain seperti sekarang adalah pengalaman tak ternilai baginya. Roanna tidak sabar pergi ke Gastro bersama Ciel. Tetapi mereka pergi ke Gastro bukan untuk bersenang-senang. Ada hal sangat serius harus mereka laksanakan, menyangkut keberlangsungan hidup keduanya. Roanna sangat takut jika Ciel tertimpa kutukan. Dia yang menghancurkan patung, pastinya dia juga yang akan menderita paling parah daripada Roanna yang tidak hanya diam saja di menara. Roanna berjanji kepada dirinya sendiri akan menemani Ciel hingga kapan pun.
***
Mata Roanna berbinar-binar. Luka lebar pada kakinya telah tertutup rapat. Ciel sendiri telah sehat kembali, bersorak, menyalami dan berterima kasih kepada seorang pendeta tua. Dia tidak tahu bagaimana mengungkapkan kebahagiaan dan rasa terima kasihnya kepada seorang pendeta—mengingatkan Ciel pada pendeta yang memberinya ramuan penyembuh sepuluh tahun lalu—yang telah menyembuhkan lukanya dan luka Roanna menggunakan sihir penyembuh.
Sang pendeta diundang langsung dari Negeri Yarkiy oleh Leonard. Sebelumnya, Leonard tidak mempercayai sihir sama sekali. Bahkan dia mati-matian membenci Magus, penyihir hitam, tanpa alasan jelas. Tetapi setelah mendengar kepayahan para tabib istana, yang tidak tahan menerima ancaman Leonard untuk menyembuhkan putranya cepat-cepat, Leonard akhirnya menuruti saran ketua tabib mengundang salah seorang Angelus dari Negeri Yarkiy. Angelus adalah satu-satunya bangsa berkemampuan sihir penyembuh, jauh lebih hebat daripada tabib. Sekitar empat hari Ciel dan Roanna menerima penyembuhan sihir, dan mereka sekarang telah sembuh total!
Sang pendeta kembali ke Negeri Yarkiy setelah dijamu makan malam besar oleh Leonard. Awalnya dia menolak, tetapi karena permohonan Ciel dan para putri yang bersuara memelas, dia akhirnya setuju. Setelah sang pendeta pulang, Ciel mengungkapkan kepada ayahnya mengenai keinginannya pergi ke Menara Ingrimm di Gastro untuk memberikan persembahan kepada sang iblis saat menikmati makanan penutup. “Gastro? Menara Ingrimm??” Suara cemas Leonard mengaung.
“Yeah, Ayah. Aku telah menghancurkan patung Ingrimm menggunakan Seadius saat aku berada di menaranya yang ada di Hutan Fillorius. Siapa pun yang berusaha menghancurkan patungnya pasti akan tertimpa kutukan Ingrimm. Benar bukan, Sauve?” Sauve yang berdiri di belakang Ciel sambil sesekali memandangi meja penuh makanan, tersentak. “Ah, ya, benar, Yang Mulia.” “Jangan membual.” Leonard cuek, mengunyah makanannya tanpa dosa. Ciel menggembungkan pipi kirinya. “Aku serius!” “Lagi pula itu mustahil. Seadius baik-baik saja jika kau mengaku menggunakannya untuk menghancurkan patung,” balas Leonard masih sama cueknya. “Seadius tidak kugunakan untuk membacok patung, tapi sinar putih aneh muncul dari ujung pedang! Sinar itulah yang membuat patung hancur!!” “Mengapa kaulakukan itu? Bukankah itu hal yang bodoh?” “Aku…” Ciel bungkam. Dia tidak dapat mengungkapkan kejadian sebenarnya di Menara Ingrimm saat itu. Leonard akan tahu Roanna telah berhubungan dengan iblis sejak lama dan juga seorang Magus. Sudah pasti pria tua itu akan memusuhi Roanna. Ciel menoleh-noleh, mendongak, dan ternganga bodoh. “Itu karena Ciel sudah punya pacar. Jadinya dia agak gila!” Jacqueline Liver, sang putri kedua, menyeletuk tajam. “Aku tidak punya pacar, Jacqy!!” Ciel menyembur sambil mengetuk keras garpu dan pisau makannya ke permukaan meja. “Pacar, pacar. Ciel kecil sudah punya pacar!” Jacqueline mengejek, kemudian dia tertawa lepas. “Gadis pendek itu pacarmu, bukan? Dia yang dirawat di bangsal pusat kesehatan istana. Tubuhnya kerempeng, rambut pirangnya kusut, wajahnya jelek, kulitnya kasar, dan dia bau tengik! Aku yakin kau pasti memungutnya di Hutan Fillorius saat kau kabur, karena kau kasihan padanya. Menyedihkan. Aku tidak percaya, Ciel yang hebat selalu mengunjungi gadis jelek itu setiap hari dan pacaran di bangsal pusat kesehatan istana. Aku tidak tahu betapa mesum dan rendahnya selera adik laki-lakiku satu-satunya ini.” Ciel bangkit dari kursinya cepat dan menggebrak meja. “Katakan hal buruk tentang Roanna sekali lagi, kau akan berakhir di lahan eksekusi, Jacqy!!” Semua orang terdiam. Leonard sekalipun tidak berani angkat bicara. Jacqueline melirik-lirik canggung, berusaha bersikap biasa. “Aku tidak suka saat kau bicara buruk mengenai Roanna. Aku sudah terbiasa dengan kalimat kotormu tentangku, tetapi tentang Roanna… Aku akan…” “Sudahlah, Ciel!” Leonard menyela dan menghela napas. “Dari dulu kalian tidak pernah akur.” Dia menenggak minuman dari pialanya. “Aku akan ijinkan kau pergi ke Gastro besok atau kapan pun kaumau.” Wajah merengut Ciel seketika berubah seratus delapan puluh derajat. Dia menoleh ayahnya, menatapnya penuh tanda tanya. “Benarkah, Ayah?” “Ya, karena kaubilang hal-hal aneh mengenai kutukan, aku takut terjadi sesuatu padamu. Aku akan siapkan kapal kerajaan untuk membawamu ke Gastro. Lebih baik lewat jalur air daripada harus melewati negeri musuh,” balas Leonard. “Dalam beberapa hari, kurasa, kau akan tiba di Negeri Gastro.” Mata Ciel berkaca-kaca, sungguh bahagia. Dia berlari menghampiri ayahnya, memeluknya erat meskipun pria tersebut sedang duduk. “Ayah, terima kasih banyak! Ayah baik sekali! Aku sayang Ayah!” serunya. Agak bodoh, Ciel mengecup pipi ayahnya. “I-iya, tentu saja, Sayang.” Leonard dapat melihat putri-putrinya—kecuali Jacqueline—dan para pelayan tertawa pelan. Ciel melepas pelukannya, menatap Sauve. “Sauve, siapkan persembahan untuk Ingrimm!” Sauve tersentak lagi. “Ba-baik, Yang Mulia!” jawabnya cepat. Elve muda tersebut segera berlari ke luar ruang makan. “Aku akan memberitahu Roanna mengenai kabar baik ini,” kata Ciel dibarengi senyum lebarnya, kemudian melesat ke luar ruang makan. Leonard menghela napas, sementara putri-putrinya berbisik-bisik ria. Ciel mengetuk pintu bangsal Roanna. Dia mendengar suara Roanna memintanya masuk, dan mendorong pintu terbuka. “Besok pagi kita pergi ke Gastro, Roanna,” kata Ciel ceria, menghampiri Roanna. Roanna terkesiap. “Benarkah?” “Benar. Ayahku telah mengijinkan kita menggunakan kapal kerajaan menyeberangi laut untuk mencapai Gastro lebih mudah dan cepat. Perjalanan ini akan memakan waktu cukup lama, kurasa, dan setelah memberikan persembahan kepada Ingrimm, aku akan mengajakmu jalan-jalan di Gastro. Jadi kuharap kau bisa mengemasi barang-barangmu sekarang,” kata Ciel ramah. Senyum lebarnya menyala seperti matahari dalam gelap. Wajahnya berseri-seri, mata birunya memantulkan sinar bulan dari luar jendela. Pemuda tersebut sangat bahagia mengantarkan pesan keberangkatan ke Gastro kepada Roanna seolah perjalanan tersebut akan penuh kebahagiaan dan sesuatu yang manis. “Tetapi jubahku sudah robek-robek, dan sepatu botku sudah dibuang oleh perawat,” balas Roanna. “Gaun tidur ini juga diberikan oleh para perawat.” Dia menarik lengan gaun tidurnya. Ciel melongo. Dia lupa Roanna tidak membawa barang apa pun saat mengunjungi Menara Ingrimm selain pakaian yang menempel pada tubuhnya. “Aku akan meminta pelayan menyiapkan pakaian untukmu,” katanya memberi solusi. Wajah Roanna bersinar cerah. “Terima kasih!” Ciel mengangguk dan tersenyum lebar. “Baiklah, kalau begitu.” Dia berbalik dan menghampiri pintu. “Selamat malam, Roanna.” Tanpa menoleh lagi, dia keluar dari bangsal. Roanna tersenyum. “Selamat malam, Ciel."
Sekian dulu. Kritik dan sarannya ditunggu yaa Terima kasih banyak :DDD | |
| | | Ruise V. Cort Penulis Parah
Jumlah posting : 6382 Points : 6522 Reputation : 45 Join date : 28.04.11 Age : 31 Lokasi : *sibuk dengan dunianya sendiri jadi nggak tahu sekitar*
| Subyek: Re: Minta kritik dan sarannya, para suhu :D Tue 19 Feb 2013 - 17:31 | |
| Save dulu @.@ besok agak malaman (Rabu, 20 FEB) Rui kasih commentnya~~ Nggak seru kalau baca di rumah (nah kan, erronya kumat) | |
| | | Blassreiter Penulis Senior
Jumlah posting : 537 Points : 591 Reputation : 8 Join date : 27.07.12 Age : 33
| Subyek: Re: Minta kritik dan sarannya, para suhu :D Sat 23 Feb 2013 - 15:46 | |
| - Ruise V. Cort wrote:
- Save dulu @.@
besok agak malaman (Rabu, 20 FEB) Rui kasih commentnya~~ Nggak seru kalau baca di rumah (nah kan, erronya kumat) Di sana belum tanggal dua puluh ya kakak? | |
| | | Sponsored content
| Subyek: Re: Minta kritik dan sarannya, para suhu :D | |
| |
| | | | Minta kritik dan sarannya, para suhu :D | |
|
Similar topics | |
|
| Permissions in this forum: | Anda tidak dapat menjawab topik
| |
| |
| |
|