SATU
KEAJAIBAN KECIL
Aku adalah Si Bocah Lumpur
Aku duduk terdiam menatap desaku yang tenggelam oleh lumpur. Sesekali meletup mengeluarkan asap yang membumbung bagai cita-citaku yang hilang sebelum disapa oleh permukaan langit. Aku adalah si bocah lumpur.
Aku tidak pernah berharap akan menjadi seperti ini. Aku dulu adalah si anak tukang genting. Sidoarjo tempatku, di suatu Titik Gelap Sidoarjo bermukimku. Sedih jika membayangkannya. Getir jika aku menceritakannya. Tapi bisakah kau mendengar dan memahami suara hatiku, kalian yang besar di kota-kota besar sana, kalian yang bersimbah keringat dan darah hanya demi beberapa nilai rupiah yang kalian kejar tanpa ampun.
Bisakah kalian paham. Aku bisu. Tetapi hatiku tidak sebisu kalian yang menjadi bisu oleh kegelimangan harta dan cerita fantasi yang hebat-hebat. Inilah aku Legam si bocah lumpur. Aku dulunya bersekolah, sekolah biasa seperti kalian. Namun sekolahku terpinggirkan oleh komunitas minor yang sangat pandai dalam berbohong dengan hati. Katanya perbaikan, tetapi malah pengrusakan. Sekarang keadaan menjadi tambah parah.
Aku disini sekarang. Memandangi lautan lumpur luas yang hitam legam, panas dan menghisap semangat dan harapan orang-orang di desaku. Sedih ketika aku mengingatnya. Getir ketika aku membicarakannya. Semula aku berpikir ini adalah kutukan Tuhan kepada desaku. Tetapi kenapa desaku. Bukankah masih banyak daerah lain yang lebih pantas untuk dikutuk oleh Tuhan. Daerah-daerah yang penuh dusta dan menjauhkan diri dari pelukanMu. Namun sudahlah, ini sudah terjadi. Jika aku terus berpikir seperti itu, diriku juga akan menjadi habis. Aku tidak hanya menjadi jauh dari pelukan Tuhan Yang Maha Agung, namun ditendang jauh-jauh ke neraka yang lebih mengerikan daripada lumpur panas penghisap harapan ini.
Hei, teman-teman. Para anak-anak bangsa ataupun kalian yang sekarang sudah menjadi bapak dan ibu bangsa, kita ini Indonesia bukan. Kita ini saudara bukan. Kita ini... maaf aku kehabisan kata-kata.Maafkan aku. Terkadang aku terlampau emosi jika sedang menyesali takdirku yang berubah mengenaskan sedemikian cepat ini. Jika sedikit ingin bercerita, aku dulunya ingin menjadi seorang petani udang yang sukses. Alasannya sederhana, karena aku suka udang. Karena hal itu, aku terkadang juga dipanggil si bocah udang oleh teman-temanku. Namun itu sudah tidak mungkin lagi terjadi. Cita-citaku tenggelam bersama desaku yang tenggelam oleh lumpur. Sekarang aku lebih pantas dipanggil si bocah lumpur.
Ah, desaku. Desa kecil di Jawa Timur, yang dulu hanya sedikit orang yang tahu kini menjadi salah satu desa yang terkenal menghiasi surat-surat kabar daerah dan nasional. Namun itu tidak mengubah desaku menjadi lebih baik, yang terjadi justru sebaliknya. Aku tidak ingin menceritakannya, karena biarlah para penduduk yang memiliki kenangan akan desa kami. Indah.
Beruntung aku tidak begitu mengingat kejadian ketika lumpur ganas itu datang menjambangi rumah-rumah desa kami. Jika aku ingat, mungkin itu akan menjadi pemandangan buruk seumur hidupku. Tuhan memang Maha Baik kepadaku. Dia tidak ingin hal-hal yang buruk terekam dengan jelas diotak kecilku. Setidaknya untuk saat ini. Yang aku tahu hanyalah rumahku yang hilang, tempat tidur kapukku juga hilang, televisi tempatku menonton bola juga hilang, baju sekolahku yang cakap itu juga hilang dan yang paling sedih adalah boneka kayu pemberian pamanku juga hilang.
Boneka kayu itu aku beri nama Masto.
Aku mendapatkan boneka bertampang lucu itu ketika berumur enam tahun. Hadiah ulang tahun yang istimewa untuk anak desa sepertiku. Masto adalah boneka kayu yang dibuat oleh paman untukku. Terinspirasi oleh boneka dongeng legendaris, Pinokio. Sesuai inspirasinya boneka itu memang mirip dengan Pinokio. Meskipun diberi cita rasa Jawa dengan pemberian belangkon di kepalanya. Bajunya juga tidak seperti baju yang dipakai oleh Pinokio yang ada di film kartun, oleh pamanku Masto dipakaikan baju tradisional lelaki Jawa yang bernama beskap, lengkap dengan kain sarung batik coklatnya yang meriah.
Masto selalu tersenyum untukku. Di saat sesusah apapun dia tetap tersenyum untukku. Bagi aku yang bisu, dialah adalah kawan yang paling bisa mengerti aku. Mungkin karena Masto juga bisu. Terkadang aku suka bermimpi jika aku dan Masto bermain layang-layang di pantai yang penuh dengan hamparan pasir putih. Diiringi oleh suara desir daun pohon kelapa yang tertiup oleh angin laut yang membawa aroma garam yang gurih. Nikmatnya.
Tetapi kini Masto tak ada lagi dalam pelukanku. Dia tidak lagi menungguku di tempat tidurku. Dia kini tenggelam bersama lautan lumpur yang menenggelamkan segalanya itu. Oh, Tuhan lindungilah Mastoku. Jika sedang berpikir begini. Apa yang sedang terjadi pada Mastoku saat ini ya. Apakah dia tetap selamat di dalam lautan lumpur yang pekat itu. Apakah badan dia terlepas dari tangannya yang ringkih itu, atau mungkin justru kepalanya terlepas dan hilang entah kemana. Aku ngeri membayangkannya.
Seandainya aku ini Gatot Kaca yang berotot besi, aku pasti sudah berenang di lautan lumpur itu mencari Mastoku. Seandainya aku ini Nobita, aku pasti sudah meminta bantuan Doraemon untuk membersihkan lumpur dan menyelamatkan Mastoku. Seandainya aku Presiden, aku pasti sudah menyuruh orang-orang yang pintar untuk mengatasi masalah lumpur ini dan menyelamatkan
Mastoku. Oh, Masto. Kasihan sekali dirimu.
Aku masih disini, menikmati semilir angin yang juga membantu mengusir asap-asap buas itu menghilang ke angkasa. Aku melihat orang-orang itu, pekerja itu, para ahli itu bekerja keras berbasuh keringat dengan semangat yang hampir padam itu. Siang malam mereka menanggulangi lumpur yang tampak tidak pernah bosan meluap dari perut bumi yang tua ini.
Aku juga melihat, traktor-traktor besi, alat pengebor dan alat-alat canggih lainnya yang berjuang menyapu lumpur itu sekuat tenaga. Spesifikasi hebat dari mesin logam itu tampak menjadi onggokan besi tak berguna ketika berhadapan dengan cobaan Tuhan yang maha dahsyat ini.
Aku tidak pernah menyalahkan mereka. Aku juga tidak menyalahkan ayahku yang hanya tukang gali, aku juga tidak menyalahkan ibuku yang hanya penjual sayur, bisa durhaka aku jika menyalahkan mereka. Daripada itu aku lebih menyalahkan diriku yang tidak bisa berbuat apa-apa. Seorang bocah kecil berusia 12 tahun yang bisu, hitam legam dan sangat jawa ini.
Aku ingin berbuat sesuatu. Menciptakan harapan dari tanganku yang kecil ini. Menyebur ke dalam lumpur itupun aku mau. Disembelih untuk pengorbananpun aku mau, seperti mitos-mitos jawa kuno yang aneh namun masih banyak yang percaya. Seandainya pengorbananku bisa menenangkan lumpur yang sedang mengamuk itu, aku akan melakukan segalanya. Untuk desaku di Titik Gelap Sidoarjo.
Aku adalah Si Traktor besi
Perkenalkan, aku si traktor besi yang dikirim dari jauh untuk membantu mengatasi bencana lumpur yang kalian kenal dengan lumpur Sidoarjo. Aku juga sering dibilang sebagai excavator. Jika aku punya nama, panggil saja aku Penggusur. Begitu rekan-rekan traktor memanggilku. Sebelum ini aku memang ditugaskan selama bertahun-tahun untuk membantu penggusuran bangunan-bangunan kumuh di kota Surabaya.
Sebuah aktifitas yang sangat dibenci oleh orang kecil dan lemah di negeri ini. Namun apalah dayaku, aku memang bisa menghancurkan batu karang, aku juga bisa menghancurkan gedung bertingkat dengan mudah, namun aku tidak mempunyai kemampuan untuk menghancurkan keinginan orang yang mengemudikanku.Entah sudah berapa rumah kumuh yang sudah aku hancurkan dengan cakar besiku. Entah sudah berapa banyak tempat yang aku garuk dan hancurkan hingga rata selaras dengan tanah. Aku meminta maaf.
Itu merupakan cerita pahit dalam hidupku. Hingga sekarang aku masih terbayang akan tangisan orang-orang yang terluka hatinya ketika rumahnya dihancurkan olehku, ataupun cacian dan makian orang-orang yang marah atas perbuatanku. Istana kecil mereka. Rumah kecil mereka. Gubug mereka. Tempat peraduan mereka. Sekali lagi, aku meminta maaf.
Jika mengingat hal itu lagi, aku merasa sangat berdosa telah melakukannya. Dalam sesat aku langsung terbawa akan kekejamanku ketika ditugaskan untuk menggusur rumah keluarga Pak Samin di Surabaya.
Waktu itu, Pak Samin adalah pemulung di dearah minor kota Surabaya. Namun sejatinya beliau adalah sang pahlawan yang terlupakan. Beliau mempunyai istri yang baik dan dua orang anak, satu laki-laki dan seorang perempuan. Yang laki-laki terlihat sangat tegar dan berjiwa besar, jika dilihat mungkin dia masih berumur sembilan tahun. Yang perempuan masih terlalu lugu dan tampak tidak mengerti keika melihat semua kejadian ini, wajar saja dia masih balita, yang jika aku tidak salah, saat itu dia masih berumur lima tahun.
Mereka menjerit ketika aku menggilas rumah mereka yang tidak lebih kuat dari pohon kacang. Setidaknya itulah yang kurasakan. Dalam hitungan detik rumah itu luluh lantah olehku hantaman cakar besiku. Terpancar wajah sedih dari keluarga Pak Samin, sangat sedih.
Tak lama setelah itu Pak Samin terjatuh dan langsung tewas seketika, beliau terkena serangan jantung. Penyakit ganas yang biasa diderita oleh manusia. Sang istri menjerit histeris melihat kejadian itu, semua orang yang ada di tempat itu juga begitu. Hanya satu orang yang tidak menjerit melihat kejadian itu. Dia adalah anak laki-laki itu, anak Pak Samin. Bocah tegar bermata tajam seperti elang itu menatapku dengan tajam. Matanya penuh dengan pandangan kebencian yang mendalam. Maafkan aku bocah kecil, maafkan aku. Maafkan aku yang telah membuat iblis merasuki matamu yang indah itu.
Tetapi Tuhan maha pemberi maaf dan maha pengampun. Sekarang Dia memberiku kesempatan untuk menebus kesalahan dan dosa-dosaku yang telah lalu. Sekarang ini aku dikirim untuk membantu menanggulangi bencana lumpur Sidoarjo, salah satu bencana terdashyat yang pernah dialami negeri bekas Majapahit ini.
Aku mempunyai lengan besi yang kokoh, tenaga yang lebih kuat dari gajah dan didukung oleh kemajuan teknologi para ahli pintar dari negeri di seberang sana. Aku cukup percaya diri ketika akan menghadapi bencana itu. Namun ternyata itu semua tidak cukup membantu.
Keberadaanku disini ternyata tidak mampu menghentikan luapan lumpur yang beringas itu. Entah apa yang harus kuperbuat. Jujur saja, keputus-asaan sudah mulai menggerogoti tembok-tembok semangatku. Keputus-asaan juga sudah mengendurkan baut-baut besi tubuhku. Keputus-asaan juga sudah melemahkan raungan mesin tuaku. Dan aku tak tahu, sejauh mana aku dapat bertahan. Ya Tuhan, tolonglah negeri ini.
Aku bingung. Dengan mematuhi instruksi dari pengemudi yang mengemudikanku aku mengangkat pasir dan batu untuk dijadikan tanggul. Tapi sejauh mana tanggul ini dapat bertahan. Setiap hari tembok pasir yang kubuat perlahan-lahan dihisap oleh kekuatan lumpur yang menghancurkan. Oh, aku hampir putus asa.
Aku melihat seorang bocah.
Seorang bocah kecil dari kejauhan terlihat pucat pasi menatap lautan lumpur yang luas ini. Sama denganku. Matanya kehilangan sinar kebahagiaan. Matanya kehilangan sinar cita-cita. Matanya kehilangan sinar harapan. Dosalah para pemimpin negeri ini yang membuat anak-anak bangsa menjadi seperti itu. Kehilangan cita-cita dan harapan.
Aku tidak tega melihatnya. Seandainya aku adalah pemimpin negeri ini, akan kubasuh dia dengan air ilmu agar ia pandai, kubasuh harinya dengan air kegembiraan agar ia bersemangat, kubasuh imajinasinya dengan air mimpi-mimpi dan cita-cita yang dapat menyesakkan langit agar ia menjadi besar. Tetapi aku bukanlah pemimpin negeri ini. Aku hanya traktor besi tua yang tak berkepentingan.
Jika aku mempunyai kendali atas tubuh besiku yang gagah ini, aku akan menerjang lautan lumpur dan menyumbatnya dengan tubuhku. Biarlah aku sekarat. Biarlah tubuh besiku hancur. Biarlah aku mati. Tetapi kematianku akan menghidupkan kembali api cita-cita dan harapan anak-anak korban lumpur ini. Memanaskan semangat mereka untuk meraih cita-cita dan kehidupan yang lebih baik. Maafkan bocah, aku tidak bisa. Ingin sekali aku membantumu. Tetapi aku tak bisa.
Aku adalah Boneka Kayu Masto
Dimana ini. Berhari-hari aku dikelilingi oleh cairan hitam pekat, panas dan sangat tidak mengenakkan ini. Hei, Bocah udang. Tolong aku. Selamatkan aku. Peluk aku lagi dalam tidurmu. Aku tidak mau sendirian disini. Aku takut. Aku ingin bermain lagi denganmu. Berbincang dan bermimpi bersama lagi. Menyanyi dan tersenyum bersama lagi. Selamatkan aku. Tolong, selamatkan aku.
Aku tidak mau mati dalam keadaan seperti ini. Cairan menakutkan ini begitu erat mendekapku. Menyedot energi kehidupanku. Menghisap saripati hidupku. Tanganku sudah terlepas hilang entah kemana. Entah berapa lagi hingga jiwa ku juga ikut terlepas dari tubuh kayuku yang mungil ini.
Aku Masto. Boneka kayu buatan paman si Bocah udang anak tukang genting. Jika boleh bercerita aku akan menceritakan asal-usulku. Aku berasal dari daerah yang jauh di Jawa Barat sana, tepatnya Majalengka. Ketika aku masih bersatu dengan indukku pohon kayu jati di pedalaman hutan daerah Majalengka.
Aku masih ingat ketika aku masih bersatu dengan induk dan saudara-saudaraku di hutan sana. Di sebelah kami ada pohon karet, pohon nangka dan pohon–pohon hutan tropis lainnya. Di rangkaian dahan kami bergantung burung-burung dan monyet-monyet yang bercanda dengan sesamanya. Oh, aku rindu saat-saat itu.
Ketika setiap pagi kami berlomba berebut matahari, berlomba menghisap air dari kaki-kaki akar kami, dan berlomba mencari humus yang berguna bagi kelangsungan hidup kami. Oh Saudara-saudaraku, dimana kalian sekarang.
Suatu ketika ada beberapa orang perambah hutan menemukan kami, pohon jati yang memang cukup langka di hutan itu. Mereka kemudian berpikir tamak dan memotong nadi kehidupan kami. Membelah-belah kami jadi beberapa bagian. Kemudian memisahkan kami ke segala penjuru untuk dijadikan meja, kursi, lemari, pintu, tiang pondasi rumah atau boneka kayu sepertiku ini.
Akhirnya mereka berhasil memisahkan kami. Aku sendiri dikirim ke tukang kayu di daerah Mojokerto yang jauh di Jawa Timur. Berbulan-bulan aku bertumpuk dengan saudara-saudara kayu jati yang berasal hampir dari seluruh Indonesia. Mereka ada dari Sumatera, Kalimantan, Bali dan sebagainya. Aku tersungkur tak berdaya bertindih-tindih dengan kawan-kawanku itu. Hingga aku akhirnya bertemu dengan paman si bocah udang.
Beliau ternyata adalah pengrajin boneka yang ulung di daerahnya. Kemudian beliau mengubahku menjadi boneka kayu yang bagus. Dengan pemahatan pada serat-serat kayu dengan halus, ukir-ukiran jawa yang indah, dan baju yang sangat pantas kukenakan. Aku menjadi boneka yang sangat bagus berbelangkon, menggunakan baju beskap yang mencitrakan Jawa, berparas Eropa seperti pinokio dan bercita rasa Indonesia seperti tokoh-tokoh wayang Jawa kuno.
Aku kemudian dihadiahkan kepada keponakannya yang ada di Sidoarjo. Bocah udang namanya. Dia tampak senang sekali ketika melihatku pertama kali. Dipeluknya diriku erat-erat. Dia bocah bisu. Tetapi dapat berbicara dengan jelas dan lantang dengan hatinya. Oh, sungguh senang diriku ketika melihat bocah ini. Aku kembali menemukan cahaya yang akan menentramkan hatiku. Dia bocah hebat yang hanya sedikit kurang beruntung. Dari dialah aku mendapat nama Masto.
Aku bernama Masto.
Itulah hal yang aku ingat dari saat aku bertemu dengan si Bocah udang pertama kali. Ini pertama kalinya aku memiliki nama sendiri. Ditulisnya nama itu dalam secarik kertas yang hingga kini aku rasa masih ada di kantung bajuku. Nama yang bagus. Dari lahir aku hanya mempunyai nama yang sama dengan indukku, saudaraku ataupun jenisku yang tersebar di penjuru Indonesia, Jati.
Aku merasa senang sekali dengan nama yang diberikan kepadaku ini. Dengan Bocah udang aku berkelana ke seluruh desa yang bernama Reno Kenongo. Bermain di pematang sawah, berenang di pinggiran sungai, berkhayal-khayal di atas batang pohon mangga yang banyak buahnya. Bersama-sama mengidolakan Cristiano Ronaldo sang pemain bola muda yang jenius. Mendengarkan cerita-cerita daerah dan kepahlawanan pahlawan nasional dari ayah bocah udang sebelum tidur. Bermimpi bermain layang-layang bersama di pantai berpasir putih. Diiringi suara desir daun kelapa yang tertiup angin laut yang membawa aroma garam yang gurih. Indahnya saat-saat itu.
Semua itu tinggal kenangan. Sekarang aku sendirian di dalam kegelapan cairan hitam pekat yang menyelimuti tubuh kayuku. Berkhayal-khayal seliweran tak jelas rupanya. Berharap ada seseorang yang menemukanku dan membawaku kembali ke pelukan Bocah udang. Oh Tuhan, tolonglah diriku. Boneka kayu yang malang ini.
[b][i][i]