“Kenyataan adalah seperti ketika kita sedang bercermin di permukaan sendok. Atas menjadi bawah. Lurus menjadi bengkok.”
Tom meracau lagi. Malam ini Tom tidur terlentang di atas kasur. Sepasang matanya menatap langit-langit kamar. Di bibirnya terapit sebatang rokok yang abunya sudah memanjang. Sudah lebih dari setengah jam ia meracau kacau seperti itu, berucap dengan susunan kalimat yang lumayan sulit kuterjemahkan.
“Apa yang kau tahu tentang hidup, Nov?” tanya Tom kepadaku.
Aku mengangkat bahu. Sebenarnya aku ingin menjawab, “Hidup adalah perjuangan.” Namun aku khawatir Tom akan menertawaiku. Aku lebih memilih diam ketimbang menjawab, tapi menjadi korban lawakan.
“Sudah puluhan tahun hidup, tapi arti tentang hidup itu sendiri kau hanya menjawab dengan bahu. Ke mana saja kau selama ini, Nov?”
Setiapkali mengantuk dan ingin beranjak tidur, Tom memang selalu berlaku menyebalkan seperti itu. Meracau sendiri seperti orang gila.
Abu rokoknya jatuh dan mengotori kaosoblongnya.
“Tidurlah, Tom,” ujarku sambil mengambi lrokok dari bibir Tom dan segera mematikannya di asbak, “sepertinya kamu sudah mengantuk. Aku tak ingin kasur ini berlubang karena tersundut rokok sialanmu itu.”
Tom tersenyum dan kembali meracau.
“Hidup itu, Nov, adalah semacam digit angka yang terdapat di kalkulator. Kau tekan angka satu dan dua, maka yang akan muncul adalah angka dua belas.”
Tom tertawa.
Aku mengikat rambut belakangku dengan karet. “Ya, kamu benar, Tom, kamu memang selalu benar.”
Setelah itu, Tom tertidur.
***
“Bagaimana mungkin kamu bisa mencintai lelaki pemalas seperti itu, Nov?” tanya Zul kepadaku, di sebuah restoran Italia yang terletak di pusat kota, kemarin.
“Tidak mudah menjawab pertanyaan semacam itu, Zul, yang aku tahu adalah aku sangat mencintainya,” jawabku sambil mengunyah sepotong pizza.
Berbeda dengan Tom yang sering terlihat misterius, Zul adalah lelaki tertib. Ia adalah perencana hidup yang andal. Apa yang mesti ia lakukan ke depan dan apa yang mesti ia dapatkan di usia sekian sudah tersusun secara lengkap di dalam tempurung kepalanya. Aku tahu itu. Dari sorot matanya, aku juga bisa tahu, betapa ia memiliki sebuah keteraturan hidup yang amat rapi.
Zul adalah teman SMU-ku dulu. Kini ia bekerja sebagai dokter spesialis di rumah sakit swasta. Sejak SMU Zul mencintaiku. Entah cinta macam apa yang sedang merasuk di dalam dirinya, sehingga sampai sekarang pun ia masih terus memburuku. Ketika masih di SMU, aku masih ingat, setiap kali pulang sekolah Zul selalu menungguku di gerbang sekolah dengan maksud untuk mengantarkanku pulang. Tidak terhitung lagi sudah berapa banyak hadiah yang ia berikan kepadaku. Boneka beruang, kotak musik, sepasang anting, buku-buku, bunga mawar imitasi, baju, gantungan kunci, jam weker, dan lain semacamnya. Tentu saja aku tidak lantas mencintainya. Jujur saja, Zul bukanlah tipe lelaki idamanku. Ia terlalu rapi dan wangi untuk ukuran laki-laki. Aku mengagumi lelaki kusut, nakal, merokok—dan Zul sama sekali tidak menyukai rokok.
“Menikahlah denganku, Nov. Aku tidak ingin hidupmu menjadi kacau karena Tom. Pergi meninggalkan Tom adalah anugerah bagimu. Tatap mataku, Nov. Di dalam mataku ada masa depan yang cemerlang, yang ingin aku bagi bersamamu. Percayalah kepadaku.”
Aku tatap mata Zul. Tentu saja aku percaya kepadanya, tapi masalahnya adalah aku tidak mencintainya. Sama sekali.
Setiapkali aku menjalin hubungan dengan seseorang, Zul memang selalu mengetahuinya. Bukan berarti ia selalu menguntitku setiap waktu, tapi terkadang memang aku yang sengaja bilang kepadanya ketika aku sedang menjalin hubungan dengan seseorang. Termasuk ketika aku sedang menjalin hubungan dengan Tom. Seperti biasa, wajahnya akan berubah masam. Sejak dulu aku senang sekali membuat ia cemburu. Sebab, meskipun aku tidak mencintainya, diam-diam sebenarnya aku juga menikmati dicintai begitu rupa olehnya.
“Tom? Seorang penulis?” tanya Zul ketika untuk pertamakalinya aku bercerita tentang Tom kepadanya.
“Yup!” jawabku setengah meledek.
Sepotong pizzaku habis. Aku segera menenggak segelas
coca-cola. Zul tersenyum menyaksikan aku bersendawa.
“Apakah Tom sering mengajakmu ke tempat-tempat seperti ini?” tanya Zul kemudian. Aku menggeleng.
“Tom sering mengajakku ke pantai,” jawabku. “Berlari-lari mengejar kepiting, mendirikan kastil dari butiran-butiran pasir, membaca puisi keras-keras, bercinta di bawah rembulan....”
“Baiklah....” Zul memotong kalimatku, “kita pergi ke pantai sekarang.”
Saat itu Zul segera membawaku ke pantai.
Di pantai itulah Zul mengajakku berlari-lari mengejar kepiting, mendirikan kastil dari butiran-butiran pasir, membaca puisi keras-keras, tapi tentu saja kami tidak bercinta di bawah rembulan, sebab hari belumlah malam. Jika hari sudah malam, apakah aku lantas bersedia bercinta dengannya di bawah rembulan? Aku tidak bisa menjawabnya sekarang.
“Mengapa kamu begitu mencintaiku, Zul?”
“Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan semacam itu, Nov, yang aku tahu adalah aku sangat mencintaimu dan ingin sekali memilikimu.”
Aku menyandarkan kepalaku di bahu Zul. Setiap kali bersamanya, aku seperti mendapatkan keberanian dalam menatap hidup.
Aku kembali teringat racauan Tom ketika ia sedang mengantuk, “Mencintai adalah sikap para kesatria. Siap berkeringat dan siap menerima luka. Itu sebabnya, berbahagialah mereka yang hanya dicinta tanpa harus mencinta. Sebab yang mereka butuhkan hanyalah sebuah kursi kosong untuk duduk tanpa harus melakukan apa-apa.”
Zul meraih tanganku dan berkata, “Menikahlah denganku. Aku ingin kamu segera pergi meninggalkan Tom.”
“Aku ragu apakah aku bisa melakukan itu atau tidak. Aku butuh kekuatan....”
“Jadikan aku sebagai kekuatanmu, Nov. Aku tidak akan pernah membuat hidupmu terlantar. Percayalah kepadaku.”
“Aku percaya, Zul, aku percaya....”
“Kalau begitu, besok malam aku akan menunggumu di tempat kita biasa bertemu. Aku akan membawamu pergi dari Tom.”
Aku tidak berkata apa-apa lagi. Aku biarkan tanganku digenggam erat oleh Zul, dan entah mengapa aku seperti mendapatkan kekuatan—padahal sungguh mati aku tidak mencintainya sama sekali.
***
“Kedewasaan terkadang menjadikan kita seperti seorang manusia bodoh yang gemar sekali berkata, ‘untuk apa begini-begitu? Lebih baik cari uang, menikah, dan bikin anak’. Kalau sudah begitu, apa bedanya kita dengan seekor kerbau? Lahir, besar, bajak sawah, beranak-pinak, dan mati.”
Kalimat itulah yang membuatku jatuh cinta kepada Tom.
Saat itu kami bertemu di sebuah acara pembacaan puisi yang diselenggarakan di pusat kota, dua tahun lalu. Itu adalah pertemuan pertamaku dengannya.
Sepertinya Tom datang bukan sebagai siapa-siapa. Ia hanya penonton yang luput dari perhatian banyak orang. Sedangkan aku datang lantaran mendapat tugas dari kantor untuk meliput acara pembacaan puisi tersebut. Kebetulan aku dan Tom duduk bersebelahan. Setiap kali puisi dibacakan, Tom selalu menggerutu.
“Sekarang puisi sudah seperti sekotak televisi.”
Aku menoleh ke arahnya. Aku pikir saat itu ia sedang berbicara kepadaku. Ternyata tidak. Aku kembali menatap ke depan. Seorang penyair membacakan puisinya dengan posisi tubuh menggantung. Kaki di atas. Kepala di bawah. Sebagian besar penonton, termasuk aku, memberikan tepuk-tangan sambil berdiri. Dan, seperti tadi, Tom kembali menggerutu.
“Bodoh! Puisi tadi adalah puisi paling sedih yang pernah aku dengar. Mengapa mereka malah bertepuk tangan seperti sedang kesurupan?”
Aku segera duduk dan kembali menoleh ke arahnya. Tubuhnya kurus, rambutnya botak, dan wajahnya layu seperti tanaman yang tak pernah disiram. Di mataku, ia tampak seperti seorang pesakitan.
“Kamu kenapa?” tanyaku kepadanya.
Tom menoleh ke arahku.
“Kamu kenapa?” tanyanya kepadaku.
Aku tersenyum mendengar ia balik bertanya seperti itu.
“Kamu penyair?” tanyaku lagi.
Tom menggeleng.
“Aku adalah puisi,” ujarnya.
Ada sesuatu yang bergetar di hatiku tatkala Tom berkata seperti itu. Lantas, aku segera mengajaknya berkenalan. Semula ia ragu. Bukan karena curiga kepadaku, melainkan karena ia ragu terhadap dirinya sendiri.
“Namaku memang Tom, tapi aku sendiri belum tahu siapa Tom itu. Bagiku berkenalan bukan hanya sekadar bertukar nama. Apakah setelah aku mengetahui namamu Nov, dengan begitu aku langsung mengetahui dirimu yang sebenarnya? Aku yakin kamu pun tidak tahu siapa Nov itu. Maaf jika menjadi rumit seperti ini. Aku hanya ingin semua orang tahu bahwa berkenalan adalah suatu prosesi yang amat rumit. Rumit sekali. Tapi, ya, namaku memang Tom. Hanya Tom.”
Aku sempat tertawa menyaksikan kebingungan Tom. Saat itu aku merasa betapa Tom adalah lelaki unik. Setelah acara pembacaan puisi selesai, kebetulan hari sudah larut malam, aku menawarkan Tom untuk pulang bersama. Tom mengangguk. Malam itu kami pulang dengan taksi.
Di dalam taksi itulah aku dan Tom berbicara banyak hal. Tentang puisi, tentang manusia, tentang kehidupan. Kata-katanya sungguh bertenaga. Ungkapan-ungkapan yang meluncur dari mulutnya mirip sebuah puisi yang butuh sedikit waktu untuk dimengerti. Namun, anehnya, kami tidak berbicara sedikit pun tentang diri kami masing-masing.
“Gantung diri adalah perbuatan yang lebih mulia ketimbang kita harus berbicara tentang diri sendiri kepada orang lain. Lebih baik mati terpanggang api, dari pada harus hidup dalam penjara definisi yang kita ciptakan sendiri,” ujat Tom saat itu.
Aku terdiam. Seumur hidup aku belum pernah bertemu lelaki seperti Tom.
Ketika pertama kali bermain di rumah kontrakan Tom, hanya satu impresi yang menempel di benakku:
chaos. Buku-buku bertebaran di hampir setiap ruangan. Koran, kertas, dan segala macam bentuk pakaian berjejalan di mana-mana, seperti baru saja terjadi ledakan. Meskipun aku menyukai lelaki kusut, nakal, dan perokok, sejujurnya aku tidak begitu menyukai ruangan berantakan. Entah mengapa. Itu sebabnya, ketika aku memutuskan untuk tinggal bersamanya, sedikit demi sedikit aku mulai merapikan semua barang-barang yang berceceran. Menaruh buku-buku di
rak kayu, melipat koran-koran yang telah terbaca, dan menaruh pakaian-pakaian kotor milik Tom ke dalam satu keranjang. Semula Tom agak keberatan, sebab ia sudah terbiasa dengan suasana seperti itu. Namun lama-lama ia mempersilakan diriku untuk membereskan segalanya.
Tom adalah seorang penulis novel yang kesepian. Ia sudah menerbitkan lima novel, dan semuanya tidak ada yang mengalami cetak ulang. Aku sudah membaca habis semuanya, dan aku sangat menyukai kisah-kisah ganjil yang ia ciptakan. Sesekali ia juga menulis cerita bersambung, cerita pendek, puisi, dan esai, yang kemudian ia kirim ke koran-koran. Dengan alasan itulah akhirnya ia bisa bertahan hidup sampai sekarang.
“Mengapa tokoh-tokoh utama di semua novelmu selalu orang gila, Tom?” tanyaku sehabis membaca novelnya yang berjudul
Obsolet.
Tom menjawab, “Aku tidak pernah menciptakan tokoh orang gila. Aku hanya menciptakan tokoh yang selalu gelisah akan kewarasannya. Kau tahu, batas antara kegilaan dan kewarasan seseorang hanyalah sekedipan mata. Tak lebih dari itu.”
Seperti biasa, setiap kali mendengar kata-kata yang meluncur dari mulutnya, aku semakin jatuh cinta dibuatnya.
Hari-hari bersama Tom adalah energi. Ada kenikmatan tersendiri setiap kali menyaksikan Tom berkutat di depan layar monitor komputer, menatap punggungnya yang membungkuk, atau mendengarkan racauannya setiap ia ingin beranjak tidur, atau menatap matanya yang terpejam ketika kami sedang bercinta, atau memeluk tubuhnya yang kurus, atau....
***
Namun malam ini aku harus pergi.
Setelah yakin bahwa Tom sudah benar-benar tertidur, aku segera bangkit berdiri.
Aku menatap layar
handphone-ku. Sudah pukul 23:14. Aku segera mengenakan sweter merah, memakai sepatu kets, dan melirik ke arah Tom. Ia tampak begitu nyenyak. Aku harus segera pergi sekarang. Zul tentu sedang menungguku di tempat kami biasa bertemu.
Aku mengecup kening Tom dengan begitu hati-hati.
“Selamat tinggal, Tom. Aku sangat mencintaimu,” ujarku lirih.
Di luar, angin malam terasa dingin sekali.
SELESAIDepok, Juni 2008