SINDIKAT PENULIS
Silakan login dahulu, biar lebih asyik.
Kalau belum bisa login, silakan daftar dahulu.
Setelah itu, selamat bersenang-senang...
SINDIKAT PENULIS
Silakan login dahulu, biar lebih asyik.
Kalau belum bisa login, silakan daftar dahulu.
Setelah itu, selamat bersenang-senang...
SINDIKAT PENULIS
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.


Kami adalah penulis, dan kami tidak butuh persetujuan dari siapa pun!
 
IndeksLatest imagesPencarianPendaftaranLogin
"Jika ada buku yang benar-benar ingin kamu baca, tapi buku tersebut belum ditulis, maka kamu yang harus menuliskannya." ~ Toni Morrison

 

 Kayaknya perlu diramein, nih...

Go down 
2 posters
PengirimMessage
de_wind
Penulis Sejati
Penulis Sejati
de_wind


Jumlah posting : 3494
Points : 3669
Reputation : 52
Join date : 29.03.11
Age : 39
Lokasi : Bekasi

Kayaknya perlu diramein, nih... Empty
PostSubyek: Kayaknya perlu diramein, nih...   Kayaknya perlu diramein, nih... EmptyFri 20 Jan 2012 - 3:16

Cklik. Cklik.

Bunyi itu membuat Kirana mendecakkan lidahnya, tidak sabar. Sudah berapa kali dia harus menunggu seperti orang bodoh, selalu dipunggungi orang yang disebutnya sebagai seorang "kekasih"? Sudah berapa kali dia harus mengalah pada pemandangan di luar dirinya, suatu nirwana tak terbatas yang berasal dari persepsi sebuah kerangka otak yang berputar-putar. Dia meliuk-liuk tak tentu arah, hingga hilang tak terkendali. Menyerah pada kebesaran semesta.

Kali ini pun semesta menguarkan pesonanya yang tanpa banding. Awan commulus berarak di tengah lautan langit biru cerah. Kendatipun mereka hanya sedang menepi di halte bus Kwitang, Jakarta Pusat, keindahan itu tidak mati oleh desing suara kendaraan bermotor atau debu-debu yang menghiasi keramaian lalu lintas ibukota Jakarta. Panas terik oleh matahari pada waktu tengah hari ini juga tidak menghentikan Doni dari kekagumannya akan pemandangan itu. Hanya Kirana yang mulai menggoyang-goyangkan kakinya sembari menunggu di tempat duduk halte bus sementara Doni asyik bercengkerama dengan lautan awan yang memesona itu.

"Doni...!" tegurnya ketus. Bibirnya tak lagi menunjukkan keriaan. Hanya kemuraman oleh emosi yang memuncak. Lelaki yang dipanggilnya dengan nama Doni itu menoleh. Berlawanan dengannya, lelaki berpakaian sederhana dan casual itu tersenyum merekah. Mabuk akan kebahagiaan.

"Apa, kira...?"

"Iih, gue gak suka lo manggil gue sama nama itu!" Kirana melemparinya dengan sebatang korek gas yang sedang dipegangnya. Doni terbahak dan menangkap korek itu dengan ringan. Dia merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebungkus rokok yang sudah penyok-penyok di samping-sampingnya. Dia mengeluarkan sebatang rokok Djisamsoe kretek dan membakarnya.

"Aaah, polusi udara, niiih..." Kirana mengibas-ngibaskan sebelah tangannya.

"Lo ngelemparin korek ke gue... Berarti lo ngebolehin gue ngerokok, dong?" Doni menghembuskan nafasnya yang sudah bercampur oleh asap rokok yang putih pekat. "Lagian, apa bedanya, coba? Lah kita lagi dikelilingin sama polusi udara," tambah Doni sambil melambaikan tangannya ke arah mobil dan motor yang berlalu-lalang dengan kecepatan sedang.

"Sialan lo! Kebanyakan sepik! Udah yuk, pulang!"

"Kenapa marah-marah gitu sih, sayang? Bukannya ngedukung hobi pacar lo sendiri? Siapa tau ini bisa jadi penghasilan utama gue... Kan lo juga yang kebagian..." Doni mengecek kamera Nikon D300 yang sedang dipegangnya. Melihat-lihat hasil fotonya sendiri.

"Gak butuuuuh..." Kirana mencibir. "Gue mau kerja dan ngidupin diri sendiri aja..." Kirana melengos.

"Bener, ya... Nanti kalo gue dapet proyekan, trus dapet honor banyak, jangan minta traktir, ya..." tantang Doni.

Kirana tersenyum manis, merayu. Sambil menggandeng tangan Doni, yang keduanya disibukkan oleh benda-benda yang tak terpisahkan darinya, dia meluncurkan kata-kata manis, "Ah ayang, mau lah... Masa gak mau..."

"Huuu dasar lo, matre!"

"Kalo gak matre gak bisa idup, tau!" Kirana mencibir lagi. Tangannya tetap menggandeng lengan Doni. Matanya menatap pergelangan tangan Doni yang dililit oleh tali pengaman kamera, dia sendiri menggenggam kameranya dengan erat. Kedua ujung bibirnya kembali tertarik ke arah bawah, betapa dia cemburu akan kecintaan Doni pada kedua hal di tangannya, kamera dan rokok.

Doni mulai berkomentar tentang gambar yang baru saja diambilnya. Dengan lensa berukuran wide, Doni menghasilkan siluet atap gedung dilatari oleh langit biru berhias awan. Dengan focal length* 18 mm, Doni berhasil menciptakan distorsi* gambar sehingga menimbulkan efek cembung pada gambarnya itu. Dengan mengukur tingkat kenormalan pada background dan menyetel diafragma pada bukaan yang paling kecil, efek landscape dan siluet yang diinginkannya sukses berada di layar kecil kameranya.

Sekalipun Kirana kurang menyukai kamera, dia memperhatikan setiap detil kata yang diucapkan Doni. "Ini konsep standar sih, ki... Tapi kita harus tetep bisa mempertahankan teknik-teknik dari konsep-konsep standar buat latihan dan biar gak tumpul juga keahlian motret kita. Nah, sebenernya walaupun foto gue ini termasuk konsep yang standar banget, ini bisa diubah jadi konsep unik cuma dengan ngubah angle*-nya. Bisa juga dengan ngubah focus of interest* waktu motret. Jadi kan foto kita gak ngebosenin dan tetep bertahan pada teknik dasar motret. Nah, kalo lo motret landscape kayak gini, yang focus of interest-nya luas banget, lo mesti pake diafragma* paling kecil, 22. Soalnya itu bakalan memperluas depth of view* pada gambar, jadi meskipun gambar lo luas, semua detilnya tetep fokus."

Kalau Doni sedang berkoar-koar dengan teorinya tentang teknik memotret, Kirana hanya mendengarkan dan mengangguk-angguk. Entah sampai mana pengetahuan Kirana tentang memotret hanya dengan mendengarkan Doni, tetapi dia tetap melakukannya. Kirana sadar, toleransi itu yang membuat mereka bertahan selama 4 tahun tanpa ada waktu yang terputus antara mereka. Sekalipun, memotret bukan hobi Kirana, dia tetap ingin menghargai kecintaan Doni pada kamera.

"Coba motret dong, Ki...," ucap Doni untuk kesekian kalinya. Deru motor mengiringi mereka saat Doni melajukan motornya di jalan protokol Senen. Untuk kesekian kalinya pula Kirana mengeluh.

"Gak tertarik, ayang..." Doni terbahak, sadar kalau Kirana mulai berkata manis, itu caranya untuk menyuruh Doni diam. "Gue suka sih liat foto-foto lo, cuma gue mana bisa sih motret kayak gitu? Jadinya malah ancur, buang-buang jepretan kamera aja. Kalo kamera digital semakin banyak jumlah jepretannya, makin gak bagus kan?"

"Gak juga... Pengetahuan kadang butuh pengorbanan, sih... Itu kan cuma kalo gue mau ngejual kamera gue. Tapi, gue gak mungkin lah jual kamera gue."

Kirana membayangkan dirinya membidik gambar dengan kamera SLR* Doni dengan lensa panjang hingga 200 mm. Dia tiba-tiba merasa maskulin dengan hanya membayangkan hal itu. Dia tidak pernah berolahraga, dia bahkan lebih suka meminta tolong Doni untuk membawakan ranselnya yang terlalu berat apabila mereka sedang bepergian. Kamera jelas bukan sesuatu yang feminine seperti sifat Kirana. Untuk memastikan gambar tidak goyang atau blur pemotretnya harus memegangnya dengan kuat dan itu bisa berarti push-up setiap hari. Jangankan push-up, bahkan lari pagi bukan sesuatu yang biasa dikerjakan oleh Kirana.

---------------------------------------------

SLR : Single-Lens Reflection
focal length : panjang fokus pada lensa
distorsi : efek penyimpangan pada gambar sehingga menghasilkan gambar yg kelihatan cembung
focus of interest : objek utama pada foto
diafragma : bukaan pada lensa,berfungsi mengatur jumlah cahaya yg masuk ke kamera
depth of view : daerah ketajaman foto, daerah yg terlihat fokus/tajam di foto


Terakhir diubah oleh de_wind tanggal Mon 23 Jan 2012 - 1:58, total 2 kali diubah
Kembali Ke Atas Go down
de_wind
Penulis Sejati
Penulis Sejati
de_wind


Jumlah posting : 3494
Points : 3669
Reputation : 52
Join date : 29.03.11
Age : 39
Lokasi : Bekasi

Kayaknya perlu diramein, nih... Empty
PostSubyek: Re: Kayaknya perlu diramein, nih...   Kayaknya perlu diramein, nih... EmptyFri 20 Jan 2012 - 4:09

Kirana membuka matanya. Ini saatnya dia pergi ke pembukaan acara pameran fotografi di ANTARA. Kirana adalah salah satu anggota didik dari pelatihan GFJA* dan hari ini adalah kali pertamanya dia memajang hasil potretnya, hasil latihannya selama 6 bulan. Dia bersiap-siap dan memakai kaos oblong berwarna hitam yang jadi ciri khas para anggota pelatihan ANTARA tersebut. Kirana yang dulu biasa memakai cardigan berwarna pastel, entah itu merah muda, hijau tosca, dan sebagainya, kini hanya memiliki dua warna dalam hidupnya, hitam dan putih. Dia mengikat rambutnya yang lurus sebahu, menguncirnya hingga membentuk sanggulan kecil. Tidak untuk mengikuti trend saat ini, hanya untuk memberikan ruang yang lebih leluasa untuknya untuk bergerak.

Matanya bergerak ke arah kiri atas cermin yang ada di hadapannya. Selembar foto tertempel di sana, sebuah foto siluet seorang lelaki bertubuh kurus dan tinggi sedang. Siluet dengan kegelapan yang sempurna, dengan latar belakang putih terang polos. "Hebat,"sebuah suara menggema di kepala Kirana. Suara yang sedikit tinggi dan serak. Dia berdiri dengan senyum lebar, bergantian antara memandang Kirana dan memandang gambar di kamera digitalnya. Kirana hanya mengangkat bahu.

"Ki, keren lho... Gue aja mesti nyoba beberapa kali buat ngasilin siluet sempurna kayak gini. Lo kok bisa sih sekali epret doang?" Dia terkesima dengan gambar yang dihasilkan oleh jari-jemari Kirana. Kirana sendiri tampak kurang bersemangat menanggapinya.

"Kebetulan doang, lagian itu kan kamera digital... Gampang bikin siluet."

"Salah lo... Justru kalo sama kamera digital lebih susah... Kamera digital kan serba otomatis, walaupun di setting manual juga perhitungan cahaya yang masuk ya tetep otomatis. Enakan pake kamera jadul kayak FM2* kali..."

"Ya udah makin kebetulan tuh gambar jadi kayak gitu."

"Menurut gue, lo punya bakat."

"Mesti latihan motret terus-terusan, panas-panasan, mana kamera berat gitu... Ada juga tangan gue berotot semua. Sayang kali, buat cewek lemah-lembut kayak gue."

"Najis lo!"

Dia mendeking melengking saat Kirana mencubit perutnya dan memelintirnya dengan gemas. "Lo itu pacar gue bukan sih, ngomongnya sembarangan..." Doni hanya tertawa. Dia kembali menekuni kameranya dan Kirana sadar dia sudah kalah lagi. Oleh kamera, benda mati yang hanya bisa bergerak di tangan manusia.

Kirana menghela nafas panjang. Jantungnya berdebar sedikit lebih kencang daripada biasanya. Dia tidak berharap banyak pada pameran foto ini. Dia hanya ingin menyelesaikan pendidikan fotografinya di sana. Pameran foto kali ini bertema "Keadilan bagi Seluruh Umat," tema yang diselenggarakan untuk memperingati peristiwa Poso yang terjadi tahun 2005 lalu. Pameran ini diselenggarakan pada bulan Oktober, bulan yang sama dengan peristiwa Poso kala itu. Peristiwa Poso yang merupakan perselisihan antar Agama Islam dan Kristiani itu peristiwa yang sangat memilukan bangsa Indonesia. Pameran yang kebetulan diadakan pada bulan Oktober ini akhirnya diberi tema tersebut.

ANTARA merupakan kantor berita Indonesia, jelas pendidikan di sana juga berhubungan dengan berita. Pendidikan fotografi di ANTARA dititikberatkan pada bidang jurnalistik, demi menelurkan generasi-generasi baru fotografer jurnalis di Indonesia. Bidang yang jauh dari bidang fotografi yang ditekuni Doni, yaitu fotografi landscape. Kirana menginjak keras-keras pedal motornya dan melaju bersama motor itu.

Sesampainya Kirana di sana, dia memarkir motornya. Sebelum masuk ke dalam pintu gedung itu, Kirana terdiam membeku di depannya. Kantor pusat ANTARA berada di Jakarta Pusat, tepatnya di Pasar Baru. Hanya beberapa meter dari gedung tersebut, ada gerbang bertuliskan "Passer Baroe" salah satu peninggalan jaman Belanda tempo dulu. Seperti namanya, Pasar Baru ini salah satu pusat jual-beli berbagai macam produk, terutama produk fashion di Jakarta. Mungkin, karena letaknya yang amat dekat dengan kantor pusat ANTARA, di dalamnya juga terdapat pusat perdagangan dan reparasi kamera yang cukup besar.

Dia membetulkan letak tas kameranya yang cukup berat dan melangkah masuk. Di dalam beberapa rekan seperjuangannya sudah mulai mendekorasi ruangan untuk pameran. Beberapa sedang menyiapkan perlengkapan proyektor dan laptop untuk persiapan pembukaan pameran yang biasa didahului oleh seminar singkat tentang fotografi. Semacam kata sambutan, hanya lebih bersifat spesifik dalam bidang fotografi dan biasanya berisi pengetahuan-pengetahuan di bidang fotografi.

"Kirana, dateng juga lo! Telat!" tegur salah satu teman sesama anggota GFJA, Amir. Amir adalah salah satu anggota yang memiliki silsilah keturunan Timur Tengah, tepatnya Yaman Selatan, bermarga Basyarahil. Hidungnya besar dan bengkok seperti ciri khas orang Timur Tengah, sifatnya juga cukup keras. Kirana hanya melempar senyum simpul kepadanya.

"Pasti ketiduran lagi, deh. Gila, kebo banget sih lo... Padahal kan lo mesti solat shubuh..." Kali ini dia ditegur oleh temannya, gadis bernama Anita. Kirana hanya menganggukkan kepalanya. Anita mulai berkicau tentang pameran ini. Dia sendiri salah satu warga Tionghoa yang beragama Kristiani, berbeda dengan Kirana yang beragama Islam. Akan tetapi, mereka akrab, jauh dari provokasi peristiwa semacam kerusuhan Poso.

Kirana mengeluarkan kamera D70*-nya. Anita berhenti berbicara dan memperhatikan gerak-gerik Kirana. "Lo gak ganti kamera lo? Nikon kan baru ngeluarin D300 tuh... D70 kan udah jadul, na..."

"Ah, gue suka sama kamera ini. Lagian kira-kira dong ngasi saran... D300 harganya berapaan?"

"Ya, worthed laaah... Titik fokusnya 51 AF*, trus sensornya baru pula, sensor CMOS*. Yang namanya kita mau kerja pake kamera ya mesti kamera bagus."

"Ini tuh jurnalistik, ta... Asal nilai berita tinggi, lo pake kamera HP juga jadi."

"Iya, tapi gak jelas, tetep aja nilai beritanya jatoh. Bayangin kalo kita moto udah gak mikirin soal fokus, tingga jepret, tapi hasilnya maksimal..."

"Woi, jangan ngobrol aja lu bedua! Bantuin!" tegur anggota GFJA yang lain. Mereka sedang mengangkat satu dus yang tampaknya berisi frame-frame foto.

"Yaelah... Masa cewek disuruh bantu ngangkat-ngangkat barang, sih???" sahut Anita sok manja. Semua anggota yang sedang menyiapkan ruang pameran menyorakinya dan mengata-ngatainya. Kirana tersenyum mengejek ke arah Anita yang cemberut. Setelah mengamankan letak kameranya, Kirana bergabung dengan anggota lain. Segera saja mereka terlibat dalam kesibukan menyiapkan ruang pameran.


---------------


GFJA : Galeri Fotografi Jurnalistik ANTARA
FM 2 : jenis kamera Nikon versi manual produksi tahun 1982
D70 : jenis kamera Nikon versi digital produksi tahun 2004
AF : pengaturan titik fokus pada kamera digital
Sensor CMOS : sensor untuk mengatur cahaya tambahan pada kamera digital


Terakhir diubah oleh de_wind tanggal Fri 27 Jan 2012 - 5:11, total 2 kali diubah
Kembali Ke Atas Go down
de_wind
Penulis Sejati
Penulis Sejati
de_wind


Jumlah posting : 3494
Points : 3669
Reputation : 52
Join date : 29.03.11
Age : 39
Lokasi : Bekasi

Kayaknya perlu diramein, nih... Empty
PostSubyek: Re: Kayaknya perlu diramein, nih...   Kayaknya perlu diramein, nih... EmptyFri 20 Jan 2012 - 4:24

istirahat bentar ah...
waktuny shalat shubuh nih, jgn ampe kayak kirana haha...
Kembali Ke Atas Go down
de_wind
Penulis Sejati
Penulis Sejati
de_wind


Jumlah posting : 3494
Points : 3669
Reputation : 52
Join date : 29.03.11
Age : 39
Lokasi : Bekasi

Kayaknya perlu diramein, nih... Empty
PostSubyek: Re: Kayaknya perlu diramein, nih...   Kayaknya perlu diramein, nih... EmptyMon 23 Jan 2012 - 1:44

Kirana menatap sebuah gambar di hadapannya. Sebuah foto portrait BW* yang menggambarkan dua orang saling berangkulan. Kalung berbandul salib memantulkan cahaya dan membentuk efek flare tergantung di dada seorang pria berbaju hitam dengan kerah yang di tengahnya berhiaskan warna putih, sementara pria berjanggut hitam kelam memegang sorbannya. Mereka berdua tertawa terbahak-bahak oleh suatu sebab yang tidak diketahui musababnya.

"Gue paling suka foto lo yang ini, na...," sahut Aditya, bernama lengkap Adityawarman, berciri khas anggota Hippies dengan gaya semrawut dan urakan. Dengan standar orang hippies, dia mondar-mandir dengan ikat kepala bermotif abstrak berwarna-warni. Rambutnya yang panjang dikepang hingga mencapai pinggang. Dia adalah orang paling senior yang mengikuti pelatihan GFJA.

"Masa, bang?" Kirana menaikkan alisnya.

"Feelnya dapet, sih menurut gue. Yah, konsepnya standar, sih...tp gak masalah kalo orang-orang bisa ngerasain feel dari foto lo..." Dia mulai menunjukkan gaya ceramahnya, dengan satu tangan bertumpu di pinggang dan satu tangannya lagi menggerak-gerakkan tangan saat menjelaskan foto tersebut. Kirana hanya melongo dan mengangguk-anggukan kepalanya.

"Sotoy lu, baaang!" sela Bowo, orang dengan logak Jawa Tengah yang kental.

"Heh, brengsek lu!" Aditya pun mengikuti langkah Bowo yang semakin cepat. Kirana hanya mendecakkan lidah dan kembali menatap foto di hadapannya. Konsep ini dia dapat dari mencuri. Bayangan Doni kembali memenuhi pandangannya, dia menunduk sedih saat membaca koran. Mereka duduk berdua di depan pintu gedung kampus mereka. Dikelilingi oleh orang-orang yang kenal dengan mereka, tetapi tidak memedulikan mereka. Dia menutup korannya.

Doni menerawang. Bibirnya bergumam, "gila banget, ya..."

"Kenapa?" Kirana mengernyitkan dahi, lalu merebut koran yang tadinya dipegang oleh Doni. Dia mengamati headline* koran tersebut. Sebuah foto yang menampakkan polisi anti huru-hara diam di dekat kerusuhan yang terjadi tepat di hadapan mereka. "Kok polisi begini, sih? Bukannya ngelerai..."

"Itu masalahnya... Polisi aja gak berani... Parah banget kan, berarti?" Dia mendengus. "Kenapa ya masyarakat kita? Gila... Parah..."

Kirana melipat korannya. Dia diam, tidak berpendapat, tidak menyuarakan apapun tentang itu. Baginya, peristiwa itu terasa begitu jauh dari kehidupannya yang damai dan tentram. Baginya, kerusuhan itu hanya sebuah kejadian yang asing, yang hampir tidak dia percaya kenyataannya. Begitu berbeda dengan kehidupannya, udara yang dia hirup, jerit yang dia dengar sehari-hari yang begitu berbeda maknanya. Mereka sekumpulan orang asing, Kirana prihatin, tetapi tidak pernah benar-benar membayangkannya. Bukankah masalah hidupnya sendiri sudah begitu rumit? Dengan orangtua yang menuntut kesuksesan kuliahnya, dengan tugas-tugas kuliah yang menumpuk, dengan kekasihnya yang lebih tertarik dengan kamera? Bukankah itu jauh lebih penting daripada kejadian yang entah berapa mil jauhnya, seperti peristiwa Poso?

Kirana menggamit lengan Doni. "Kita makan, yuk..." Satu frase itu begitu menghenyakkan Doni, kekecewaan begitu membayang hingga sakitnya menghunjam hati nurani Kirana. Akan tetapi, lelaki itu tidak membantah. Hanya mengangguk lemah, lama dia baru berbicara lagi dengan Kirana.

Apa arti sebuah perdamaian? Entah mengapa kalimat tanya itu menjadi judul foto itu. Apa yang ingin ditonjolkan Kirana? Apa dua orang yang saling tertawa bersama dalam ideologi fundamental yang berbeda? Kirana membantah dirinya sendiri. Bukan. Perdamaian adalah sesuatu yang seharusnya menembus hati setiap orang. Dengan itu, tidak hanya di sini, tetapi di sana dan dimana-mana seharusnya perdamaian itu ada. Perdamaian tidak hanya terjadi antara dua orang. Perdamaian harusnya dapat ditularkan. Kalau di sini damai, seharusnya di sana juga damai.

Kirana menoleh untuk melihat jajaran fotonya yang lain. Salah satu dia gantung agak ke bawah daripada yang lain, menunjukkan perbedaan unik dari ciri khasnya. Ciri khasnya dia cetak lebih besar daripada yang lainnya, menunjukkan kalau seniman seperti apapun harus menunjukkan karakternya. Salah satu mentornya di pelatihan ini mengajarkannya hal tersebut.

"Udah siap, na?" Anita merangkul bahunya.

"Siap gak siap." Kirana nyengir.

Seminar singkat itu terasa berlangsung dengan lambat. Kirana menahan dirinya untuk tidak menguap. Acara ini dimulai jam 7 malam, sedangkan sudah beberapa hari ini dia begadang untuk menyelesaikan karyanya sesempurna yang dia bisa. Kantuknya menyerang sangat hebat. Dia memutuskan untuk mengalihkan perhatiannya dari seminar singkat yang dilaksanakan para mentornya itu. Salah satu sesepuh dunia fotografi jurnalistik, Oscar Matulloh, tidak dapat hadir. Dia yang diagung-agungkan oleh dunia jurnalistik sebagai satu-satunya fotografer yang memiliki karakter unik di Indonesia, tidak menghadiri pembukaan ini. Kirana semakin tidak tertarik.

Dia mengamati foto-foto rekan seperjuangannya yang lain untuk menyudahi kebosanan dan rasa kantuk yang menyengat. Hanya dia dan Anita yang merupakan anggota GFJA tahun ini yang berjenis kelamin wanita. Hal itu tampak dalam foto-foto mereka. Kirana menyadari perbedaan besar antara pria dan wanita dalam dunia fotografi. Teknik yang sulit dikuasai oleh wanita dan koherensi yang jarang dimiliki wanita dalam memotret tampak dalam hasil foto mereka berdua. Kirana mengakui hal ini, terserah apabila seluruh feminis berniat untuk mengutuknya. Dia dan Anita hanya akan memenangkan pertarungan gender ini apabila berhadapan dengan amatiran.

Dia mulai memikirkan alasan dia bergabung dengan pelatihan ini. Terngiang di telinganya keluhan dan serentetan protes yang dikemukakan oleh kedua orangtuanya.

Papa : "Papa itu bingung sama kamu, Ki... Kok bisa-bisanya kamu sekarang pengen latihan foto-foto segala? Buat apa? Kamu ini kan jurusan accounting, harusnya ya kerja sana jadi akuntan." Beliau menggeleng-gelengkan kepalanya yang mulai ditumbuhi uban. Yang berubah demi putri semata wayangnya.

Mama : "Kalo kamu masuk pelatihan itu kamu mau jadi apa? Kerjaannya kan moto-moto doang, mana menghasilkan sih, Ki? Apalagi kalo fotografer itu kan mesti panas-panasan... Mesti kerja di luar kota berbulan-bulan. Aduuuh, anak Mama jadi apa nantiii???"

Kirana bersikeras tanpa mengerti untuk apa dan mengapa. Alasan yang seenaknya diputuskan oleh ibunya. Pada satu malam setelah perselisihan pendapat antara mereka bertiga, beliau masuk. Mengetuk pintu dengan pelan dan hati-hati, seakan-akan sedang mengetuk hati anak manjanya yang mudah rusak.

"Ki... Mama ngerti kamu sedih karena kamu kehilangan Doni... Tapi gak gini caranya... Dunia foto itu dunia Doni, bukan kamu... Kalo kamu sedih, ya nangis aja, tapi gak usah jadi hilang akal sehat gini..." Suara ibunya lembut, tetapi menggelegar menusuk-nusuk jantung Kirana. Dentumnya terdengar bertalu-talu di telinganya. Dia tidak menjawab, tetapi bersikeras. Dan kedua orangtuanya yang tak sampai hati, menyetujui dengan setengah hati. Menyetujui dengan kekhawatiran yang bertumpuk-tumpuk hingga menyesakkan dada tua mereka. Seakan mereka sedang menyiapkan diri akan kehilangan anak mereka.

Pada akhirnya, di sini, dia merasa kembali terasing. Ini bukan dunianya, mungkin benar, ini dunia Doni. Tidak pernah dia masuki walaupun secelahpun, mungkin dia hanya ingin merasakan kehadiran Doni di dunia ini. Akan tetapi, adakah tempat untuknya di sini? Dirinya mulai merasa kecil, terpisah dari kaos-kaos hitam yang berjejer di hadapannya, terpisah dari raungan-raungan idealisme fotografer yang mengindoktrinasi anak didik mereka. Kirana terbangun dari alam khayalinya.


---------------------------


BW : Black & White (Hitam-putih)
Kembali Ke Atas Go down
de_wind
Penulis Sejati
Penulis Sejati
de_wind


Jumlah posting : 3494
Points : 3669
Reputation : 52
Join date : 29.03.11
Age : 39
Lokasi : Bekasi

Kayaknya perlu diramein, nih... Empty
PostSubyek: Re: Kayaknya perlu diramein, nih...   Kayaknya perlu diramein, nih... EmptyTue 24 Jan 2012 - 0:35

lagi sepi amat ya forum SP?
bump dlu aja deh... Wink
Kembali Ke Atas Go down
de_wind
Penulis Sejati
Penulis Sejati
de_wind


Jumlah posting : 3494
Points : 3669
Reputation : 52
Join date : 29.03.11
Age : 39
Lokasi : Bekasi

Kayaknya perlu diramein, nih... Empty
PostSubyek: Re: Kayaknya perlu diramein, nih...   Kayaknya perlu diramein, nih... EmptyWed 25 Jan 2012 - 3:34

Puluhan mata sedang menatap dirinya. Sebuah telunjuk menghadap langsung ke arahnya. Kirana mengangkat alisnya saat matanya bertemu dengan sepasang mata coklat tua yg kelam dengan garis keriput di pinggiran matanya. Salah satu mentornya di GFJA sedang menatap dan menunjuk dirinya. Segera saja jantungnya berdetak cepat, dan otaknya berputar untuk mengucapkan kata-kata untuk menyelamatkannya dari situasi ini.

"Kamu Kirana, kan?" ucapnya dengan mikrofon masih mengudara di depan mulutnya, menghasilkan suara yang 2x lipat lebih menggelegar daripada biasanya. Akhirnya Kirana hanya memutuskan untuk tersenyum. "Gua mau tau apa karya yg lo tampilin di sini."

Inilah yang menarik dari para jurnalis. Biasanya para jurnalis memang bukan komunitas yang berpakaian dan berkomunikasi dengan rapi dan cermat. Mereka adalah orang-orang yang harus bisa menyesuaikan diri dengan situasi apapun karena pada dasarnya mereka harus bisa berinteraksi dengan orang macam apapun demi mendapatkan secuil informasi sebagai data-data dan dasar fakta untuk tulisan mereka. Bahkan, orang yang dituakan dalam dunia jurnalis tetap membawa sifat-sifat ini bersama mereka, menjadikan mereka orang yang keras namun tetap santai.

Kirana mengangguk pasrah. Ruangan ANTARA itu sebenarnya tidak terlalu besar, jadi Kirana tidak menunggu mikrofon sampai ke tangannya. "Seperti pada tema, bang, "Keadilan bagi Seluruh Umat"... Jadi menunjukkan persahabatan dan kedamaian antara umat2 dgn agama yg berlainan."

"Lu serius gak sih buat pelatihan ini?" gelegar itu menghantam Kirana lagi. Dia duduk bersila di depan, dengan tangan memegang mikrofon dan tangan satu lagi bertumpu pada lututnya. Dia menatap Kirana tajam dan kurang bersahabat, tampak amat sangat tidak puas dengan jawaban Kirana. "Lu mau tau pendapat gua soal foto lu, hah? Begini." Mentornya yang bernama Dewa itu membalikkan jempolnya ke arah bawah. "Gua bisa ngerasain lu punya bakat di sini, tapi lu gak berusaha cukup keras. Itulah jadinya foto-foto lu, sampah."

Muka Kirana memerah, lebih karena marah daripada karena merasa malu. Dia memilih untuk diam karena itu yang diharapkan darinya, diam dan menerima saja. Dewa sedang melampiaskan emosinya kepada Kirana, sesi penilaian seharusnya ada pada akhir acara pameran. Artinya, masih berhari-hari lagi sebelum penilaian itu divonis atasnya. Penilaian itu juga akan menjadi penentu kelulusannya dalam kursus ini. Dewa kembali berbicara seakan-akan pembicaraannya mengenai foto Kirana sekadar hiburan lalu. Semua orang juga kembali menatapnya, tetapi banyak perasaan berkecamuk yang tertinggal di dada Kirana. "Sampah." Itulah penilaian yang pantas bagi fotonya.

Kirana menangis dalam hati. Pendapat Doni ternyata memang berat sebelah, hanya karena dia ingin Kirana terjun dalam bidang ini. Kirana mulai bertanya-tanya, apakah pendapat ibunya atas dirinya benar. Apa mungkin keputusannya ini hanya sekadar mengunci kenangan akan Doni dalam hatinya, menyimpannya baik-baik agar tidak hilang. Agar sosok lelaki itu tidak pernah lepas dari bayangannya.

---

Kirana memakai sarung tangannya, yang sebenarnya sama sekali tidak diperlukan karena dia tidak akan menghadapi matahari saat ini. Waktu telah menunjukkan pukul 01.00 WIB saat Kirana memutuskan untuk pulang, sementara beberapa teman yang lainnya masih berkumpul dan nongkrong bersama para mentor mereka. Kalau Kirana mengikuti mereka, dia yakin dia harus menginap di kantor ini. Dia melihat Anita mendekat dan dia mengeluh dalam hati. Biasa, basa-basi pertemanan. Kalau ada teman yang baru saja mengalami kesusahan, seorang teman yang baik harus menghibur dan menemaninya dalam kegelisahannya. Kirana benar-benar tidak memerlukannya sekarang ini.

"Lo baik-baik aja?" Benar saja. Kirana hanya tersenyum lemah. "Bang Dewa itu gak bermaksud jahat kali sama lo." Ini lagi. Apa maksud temannya ini? Menghiburnya atau sedang membela mentornya?

"Oke, kok. Gak masalah, itu biasa kali di sini. Palingan uji mental," tukas Kirana. "Ta, gue pulang duluan ya, sumpah ngantuk gila..." Kirana menaiki motornya tanpa menunggu jawaban dari Anita. Jelas itu membuat gadis itu kesal.

"Ya udah," desahnya, merasa kalah.

"Gue pulang ya. Daaah."

"Dah."

Sebelum dia memasuki jalan protokol, Kirana melirik kaca spionnya. Dewa sedang menghampiri Anita, dan melempar pandangannya sekilas ke arah Kirana. Mereka tampak membicarakan sesuatu. Kirana mengeluh lagi dalam hati. Kalau dia bermaksud untuk menjadi mentor yang baik hati dan peduli akan kemajuan anak didiknya, Kirana benar-benar tidak membutuhkan itu. Dia melajukan morotnya hingga kecepatan 100 km/jam di jalan raya yang hampir kosong. Biasanya dia menghabiskan waktu satu jam lebih untuk sampai ke rumahnya, kali ini dia hanya menempuh waktu selama setengah jam. Dia benar-benar lelah dan ingin kembali ke kamarnya, yang walaupun tidak terlalu rapi, merupakan sanctuary-nya. Room sweet room.

Saat dia sampai ke rumah, jelas rumah itu tampak amat sepi. Seluruh penghuninya sudah tidur dan hanya lampu teras yang masih menyala. Kirana masuk dengan menggunakan kunci cadangan yang khusus dibuatnya agar tidak mengganggu orang rumahnya yang sedang tidur kalau-kalau dia pulang terlalu larut. Pekerjaan jurnalis memang tidak mengenal waktu. Waktu buat para jurnalis berarti saat berita mencapai telepon seluler mereka. Saat itu jam mulai berdentang. Dia menghempaskan diri ke tempat tidurnya. Meninggalkan ritualnya setiap malam, membersihkan lensa kameranya agar tidak berjamur, dia terlelap begitu saja. Bahkan, tanpa sempat berganti baju.

"Lo begadang lagi, ya?" Suara Kirana terdengar kesal. Dia mendesah. "Ngapain, sih begadang-begadang kayak gitu? Bikin rusak badan doang yang ada..."

"Yah, gimana dong... Gue lagi ngerjain portfolio* gue, nih... Tugas kuliah dan gue cuma punya waktu ya, malem-malem doang. Kan siangnya gue hunting* gambar..."

"Emang hunting mesti seharian, ya?" Kirana mencoba mendesak lagi. Doni tersenyum kepada telepon selulernya.

"Ya iyalah, sayaaang... Kalo foto-foto still life* sih enak, bisa kita atur jadwalnya. Tapi, kan sekarang gue lagi nyari foto jurnalistik, sama aja kayak nyari berita. Nyari momennya itu yang susah banget..."

"Kenapa gak bikin feature* aja sih? Kan gak usah berita langsung* juga..."

"Gue malah lagi pengen ngasah kemampuan gue di berita langsung soalnya gue rada lemah di situ... Biasanya kan ngandelin feature mulu..."

"Kenapa?"

"Kenapa apanya?"

"Ya, lo kan sukanya foto-foto landscape. Ngapain lo seriusin foto jurnalistik, sih?"

Doni terbahak. Kirana hanya mengernyitkan dahi tidak senang, merasa disepelekan. "Kira... Tetep aja gue anak komunikasi..."

Kirana terbangun. Dia melayangkan pandangnya ke sekeliling kamar, seakan-akan mencari sesuatu. Pembicaraan itu tepat 4 tahun yang lalu di kamar ini. Kirana bermandikan keringat dan menyadari dia masih memakai jaket dan dalam kondisi berpakaian lengkap. Bahkan, dia belum melepaskan kaos kakinya. Kamarnya terasa begitu pengap dan panas. Dia mencari-cari remote AC dan menyalakannya.

Tiba-tiba saja dia merasa tidak begitu mengantuk lagi. Dia berganti pakaian sekenanya, membiarkannya tergeletak di lantai kamarnya. Dia lalu mengeluarkan sekeping CD dari tas kameranya dan mulai menyalakan laptopnya. Dia mengamati slide show foto-foto hasil karya teman-temannya satu per satu. Bergantian satu sama lain, menampilkan karya-karya dengan makna yang mendalam tentang penghargaan antar umat beragama. Foto yang menampilkan sebuah gereja atau mesjid, kelontong yang terdapat di daerah kota tua. Garis-garis keriput yang tampil begitu nyata dan detil yang menunjukkan seorang tua yang sedang bersembahyang. Dia bergidik. Kirana menunduk, mulai menangis. Menangis, menangis, dan menangis.


---------------------------------------------------


Portfolio : Kumpulan hasil karya seseorang
Hunting : mencari objek foto
Still Life : Foto yang menunjukkan benda-benda mati
Feature : berita "laporan khas" berjangka waktu lama, biasanya berupa human interest
berita langsung : atau straight news, berita dengan jangka waktu pendek, bila tidak segera diterbitkan cepat menjadi berita basi.
Kembali Ke Atas Go down
de_wind
Penulis Sejati
Penulis Sejati
de_wind


Jumlah posting : 3494
Points : 3669
Reputation : 52
Join date : 29.03.11
Age : 39
Lokasi : Bekasi

Kayaknya perlu diramein, nih... Empty
PostSubyek: Re: Kayaknya perlu diramein, nih...   Kayaknya perlu diramein, nih... EmptySun 29 Jan 2012 - 5:57

"Bang..." Kirana menyapa Dewa yang sedang nongkrong dengan anggota-anggota GFJA dan mentor-mentor yang lainnya di pelataran parkir gedung Antara. Dia menengadah. "Ada yg mau kuomongin, bang..."

"Napa lu? Serius amat." Dia nyengir, memperlihatkan deretan giginya yang sedikit menguning akibat rokok. Kirana mendecakkan lidahnya.

"Bentar aja, bang..." bujuk Kirana lagi. Dewa memperhatikannya sebentar, lalu menghisap rokoknya dalam-dalam sebelum mematikan rokok yang sedang bertengger di antara jari-jemarinya yang kurus. Dia mengikuti Kirana ke dalam gedung Antara diikuti suitan-suitan jail dari teman-temannya. Dewa hanya mengacungkan jari tengahnya ke arah mereka.

Kirana berhenti di depan foto yang sedang dipajangnya. Saat itu masih pagi dan pameran itu masih sepi dari pengunjung. Dewa mengangkat alisnya. "Apa menurut abang, gue mendingan berhenti motret?"

"Hah?"

"Foto gue, bang. Gue ngerasa gue gak berbakat di bidang ini, bang..."

"Walah, sesi curhat nih?" ejek Dewa, menyengat hati Kirana. Kirana menatap tajam mentornya, sedikit kurang ajar.

"Gue gak mau nyia-nyiain hidup gue sama sesuatu yg gak bakalan ngasi gue apapun. Kalo emg menurut abang gue gak berbakat, gue mau berhenti aja."

"Kenapa lu minta keputusan ke gua?" Dewa mengerutkan dahinya. Matanya berkilat, menunjukkan emosinya yang mulai memuncak. Dia berkacak pinggang dan menatap Kirana dengan tajam.

"Ya, gimanapun kan lo mentor gue. Lo lebih tau dimana kekurangan dan kelebihan gue soal motret. Gue cuma minta pendapat lo aja, bang."

"Jangan kasih gua alesan macem-macem, ya. Lu sebenernya tersinggung sama omongan gua kemaren, kan? Cemen banget lu." Nada suaranya memuncak, Kirana menunduk. "Kalo lu minta alesan buat berhenti dari keputusan lu sendiri cuma karena lu gak cukup kuat, jangan bebanin ini ke gua, dong..."

"Bukan gitu, bang..."

"Kalo lu mau kabur, jangan bawa-bawa gua. Gua udah cukup ngajarin lu banyak hal, kan? Jangan ngerepotin gua lah sama masalah lu sendiri." Dewa mengibaskan sebelah tangan dan beranjak pergi.

"Gue cuma mau lo analisa foto gue, bang," seru Kirana, mencoba menghentikan langkah Dewa. "Apa foto gue cukup bisa ngewakilin masa depan gue di bidang ini? Bang!" Dewa tidak mengacuhkan panggilan Kirana. Kirana tinggal sendirian dikelilingi foto-foto yang terpajang sunyi di dinding, seakan menatapnya, seakan mencemoohnya.

Kirana memutuskan untuk pulang. Dia mengambil motornya dari tempat parkir. Dia sadar beberapa mata sedang memandangnya dalam diam.

"Na! Lu mau kemana?!" panggil salah satu temannya sesama anggota GFJA. Kirana tidak mengacuhkannya dan langsung melesat dengan motornya. Dia melampiaskan kekesalannya dengan mengebut di jalan yang ramai. Dia mengerem secepat yang dia bisa saat sebuah taxi tiba-tiba menyalip dari samping kanannya, hingga tubuhnya sedikit terhempas ke depan. Nafasnya memburu, terlambat sedetik saja mungkin dia sudah menabrak taxi itu. Dia membuka tutup helm nya dan meneriaki pengemudi taxi yang sudah melesat maju. Kirana menghela nafas dan mulai menurunkan kecepatannya saat dia mulai mengikuti arus kendaraan bermotor yang hilir-mudik di sebelahnya.

-----

Kirana memandang sebuah rumah berlantai 1 dengan bentuk bangunan yang melebar. Halamannya tergolong luas, gaya bangunan yang sedikit konvensional dengan sebuah pohon jambu yang tumbuh di depannya, sedikit menutupi bagian kiri depan rumah tersebut. Di sekelilingnya tumbuh rumput gajah mini yang tertata dengan baik, terpangkas dengan baik. Di sebelah kanannya, terdapat sebuah garasi, yang sekarang kosong. Apa mereka sedang pergi? pikir Kirana. Dia mendekati rumah itu dan menekan bel rumah yang ada di dekat pagar putihnya. Kirana menunggu.

"Eh ini kan namany rana*..." Doni menunjuk bagian dalam kamera yang berupa persegi panjang berwarna hitam yang terapit di antara kedua rongga, yang salah satunya terdapat sebuah batangan bulat kecil. Dia menunjukkan sebuah kamera semi-profesional yang masih menggunakan roll film kepada Kirana. Kirana hanya mengernyit.

"Berarti dalam nama lo ada nama bagian kamera, ki..." Doni terkekeh. Kirana mengambil salah satu jambu biji yang disediakan di atas meja kecil di teras rumah Doni dan mengamati pohon yang ada di depan rumah Doni. Kirana selalu menyukai rumah ini. Rumahnya yang sederhana dengan halaman yang luas membuat rumah ini sangat nyaman, terutama dengan lingkungan hijau yang dipelihara dengan baik oleh ibu Doni. Dia adalah seorang pecinta tanaman, tidak hanya bunga, tetapi bisa dibilang seluruh tanaman, termasuk pohon buah. Rumahnya selalu terlihat asri dengan pangkasan rumput yang rapi, bedeng-bedeng bunga yang ditata dengan baik, melengkapi nilai estetika rumah ini.

Doni memasang roll film dalam kamera itu dan memotret halamannya sendiri untuk membuang beberapa frame roll film. Dia mulai asyik bercengkerama dengan kameranya, sementara Kirana menikmati jambunya sambil bersantai. "Bukannya itu namanya shutter*? Perasaan lo selalu bilang gitu, deh." sahut Kirana, setelah menelan gigitan pertama jambunya.

"Bahasa indonesianya, rana..."

"Oh gitu? Baru tau gue... Terus kenapa kalo nama gue ada di kamera?"

"Jodoh, kali, Ki..."

"Kenapa gak manggil Rana aja? Kan kayak ngobrol sama kamera," cibir Kirana, bermaksud menyindirnya. Dia juga hendak menyingkirkan pemikiran Doni bahwa dia seharusnya mencoba menekuni bidang fotografi.

Doni terbahak, paham. "Coba dong lo moto..." Doni menyodorkan kamera di tangannya. Kirana menggeleng seketika itu juga.

"Gak ah, buang-buang frame. Roll film kan mahal..." sahut Kirana. "Lagian, mau ngapain sih lo sama kamera yg masih pake film? Boros, tau..." cecar Kirana.

"Yeee, mikirnya begitu mana bisa maju."

"Ya, untung lo masih punya duit, kalo gak?"

"Mana mungkin gue nekunin fotografi kalo gak punya duit? Lagian, ini kan investasi... Gue mau jadiin ini lahan nyari duit. Kalo buat hobi doang, mah mahal..."

"Lo mau jadi fotografer?"

"Iya, dong." Doni menjawab tanpa ragu, bahkan tanpa berpikir sedikitpun.

"Kalo lo gak berubah pikiran di tengah jalan, ya..." Kirana nyengir, menggoda Doni. Doni tersenyum kepada Kirana. Matanya penuh dengan tekad, membuat Kirana terpana.

"Gue yakinin lo, kalo 50 tahun nanti pun, gue bakalan tetep jadi fotografer. Sekalipun gue udh tua renta, megang tongkat buat jalan, tp gue bakalan tetep motret..."

Keyakinan adalah salah satu kunci untuk berkonsistensi pada satu hal. Akan tetapi, keyakinan apa yang dimiliki Kirana untuk tetap meneruskan bidang ini? Kirana membutuhkan keyakinan itu, keyakinan yang dimiliki Doni. Kirana menengadah saat sebuah suara menyapanya.

"Ya?" Suara itu asing di telinga Kirana. Dia menatap seorang wanita muda dengan penampilan yang sederhana, kaos oblong berwarna biru pastel dengan rok katun bercorak bunga-bunga merah muda. Sikapnya yang bersahaja membuat Kirana menebak bahwa dia adalah seorang pembantu rumah tangga.

"Bu Amin-nya ada?" tanya Kirana dari balik pagar. Gadis itu jelas menganggap Kirana orang asing. Dia mendekati Kirana dengan ragu-ragu dan tidak membukakan pintu pagar untuknya.

"Lagi pergi, mbak...," sahutnya singkat.

"Kalo Athira?" tanya Kirana lagi.

"Semua orang lagi pada pergi, mbak..." sahutnya lagi, dengan singkat.

Kirana mengangguk dan berterima kasih kepadanya. Gadis itu kembali masuk ke rumah, meninggalkan Kirana yang termenung di samping motornya. Gadis itu hanya sedikit dari perubahan yang terjadi di rumah itu, tetapi telah berhasil mengingatkan Kirana betapa lama waktu telah berlalu. Kirana mengenakan helmnya dan meninggalkan rumah dengan halaman yang tenang dan nyaman itu.
Kembali Ke Atas Go down
tukangtidur
Penulis Senior
Penulis Senior
tukangtidur


Jumlah posting : 831
Points : 988
Reputation : 19
Join date : 30.04.10
Age : 42
Lokasi : Depok

Kayaknya perlu diramein, nih... Empty
PostSubyek: Re: Kayaknya perlu diramein, nih...   Kayaknya perlu diramein, nih... EmptyMon 30 Jan 2012 - 9:01

Bookmark dulu ya. Nanti insya Allah gue baca Smile
Kembali Ke Atas Go down
http://zonakosong.tk
de_wind
Penulis Sejati
Penulis Sejati
de_wind


Jumlah posting : 3494
Points : 3669
Reputation : 52
Join date : 29.03.11
Age : 39
Lokasi : Bekasi

Kayaknya perlu diramein, nih... Empty
PostSubyek: Re: Kayaknya perlu diramein, nih...   Kayaknya perlu diramein, nih... EmptyThu 2 Feb 2012 - 1:59

wkwkwkkk....oke bg tuti...kayak nih novel pantes aja bwt dpantengin, lah wong berangkat dri keisengan penulis yg lg gak ada krjaan... centil
Kembali Ke Atas Go down
de_wind
Penulis Sejati
Penulis Sejati
de_wind


Jumlah posting : 3494
Points : 3669
Reputation : 52
Join date : 29.03.11
Age : 39
Lokasi : Bekasi

Kayaknya perlu diramein, nih... Empty
PostSubyek: Re: Kayaknya perlu diramein, nih...   Kayaknya perlu diramein, nih... EmptySun 5 Feb 2012 - 3:27

Malam ini adalah malam minggu. Seperti biasa di monas ada pertunjukan air, cahaya berwarna-warni dibiaskan pada liukan air yang seakan-akan sedang menari, memberikan hiburan kepada pengunjung monas. Kirana memperhatikannya dari jauh, tetapi pikirannya tidak ada di situ. Dia hanya memandang kosong tarian air itu, sementara di bawahnya, orang-orang memperhatikan pertunjukan itu dengan antusias dan terkesima.

Di sebelahnya, sebuah tas kamera berlabel Nikon dengan setia menemaninya dalam kesunyian yang menenangkan. Di balik hingar-bingar suara ratusan pengunjung, Kirana menemukan kesepian yang nyata pada pelupuk matanya. Hanya ada dia dan kamera itu. Kirana menoleh ke arah kameranya. Dia tersentak menemukan sebuah sosok yang sangat dia kenal.

"Kira..." sapa lelaki itu, lagi-lagi mencoba membuat Kirana kesal. "Kira-kira lo lagi ngapain di sini?" guraunya.

"Garing, tau! Males gue dengernya!" bentak Kirana, merengut dan mengerucutkan bibirnya. Dia tersenyum melihat Kirana menanggapinya dengan kesal.

"Lagi ngapain di sini?"

"Ngeliatin itu laaah...pertunjukan air itu..."

"Air mancur joged," tambahnya dengan seringai di wajahnya. "Bukannya ada hal yang lebih penting yang mesti lo lakuin?"

Kirana termenung. "Bukan urusan lo!" tukas Kirana ketus, mengingat penutupan pameran yang seharusnya dihadirinya setengah jam yang lalu.

"Jangan lari dari masalah, ah," tegur lelaki itu. Kirana memandangi kedua bola mata yang kini terlihat hitam kelam dalam kegelapan malam. Biasanya mata itu berwarna coklat terang di bawah sinar matahari, mengapa hanya warna hitam yang dapat dilihatnya.

"Gue gak yakin bisa jadi fotografer, don... Gue gak bisa ngikutin kemauan lo..."

"Emangnya lo jadi fotografer gara-gara gue?"

Kirana termenung lagi.

"Gak ada manusia yang bisa nentuin keputusan manusia lainnya. Kalo lo mikir gitu, karena lo emang cuma lari dari masalah lo. Lo jadiin gue alasan karena lo takut gagal..."

"Doni..."

Seorang pria menatapnya dengan alis terangkat. Wajah gempalnya sama sekali tidak menunjukkan kemiripan dengan wajah tirus milik Doni. Tubuhnya sedikit lebih pendek daripada Doni yang tinggi. Kirana berbalik dengan perasaan malu. Dia melangkah pergi, menjauhi pertunjuk air mancur yang kini sedang menunjukkan warna pelangi yang berputar-putar. Tidak ada lagi yang harus dia lakukan di sini.

***

"Lo telat, Kirana," tegur Dewa, yang sedang memberikan sambutan dalam acara penutupan itu. Kirana menunduk dan masuk dengan membisikkan permintaan maafnya kepada semua yang hadir di sana. Dia mendekati Anita,yang sedari tadi memberikan isyarat untuk duduk di sebelahnya. Sementara Dewa melanjutkan khutbah sambutannya, Anita berbisik,

"Kemana aja, lo? Gila, hampir sejam lo telat."

"Sori," bisiknya, lewat sudut mulutnya. Dia tidak ingin menjadi sasaran perhatian orang-orang lagi.

"Ngapain lo minta maaf ke gue?" tukas Anita mengerutkan dahi. Namun, jelas dia menunjukkan pandangan tidak suka akan keterlambatan Kirana.

"Kirana!" sahut Dewa membahana dengan mikrofonnya yang sebetulnya tidak diperlukan. Kirana mendongak, menatap Dewa.

"Seperti yang kemaren gue udah bilang, gue sedikit kecewa sama foto-foto lo. Bagi gue, lo gak serius waktu moto. Coba lo liat komposisi warna foto lo. Lo ini kan peserta GFJA, kenapa lo masih aja bikin foto sampah kayak gitu, komposisi warna gak seimbang. Lo bikin foto BW tapi gradasi warna gak dapet. Apa gue masih harus ngajarin lo suhu warna??? Dalam foto BW lo mesti dapet komposisi hitam, putih dan abu-abu yang tepat. Kalo gak, itu foto jadinya ya begitu, sampah!" cecar Dewa tanpa belas kasihan. Namun, kali ini Kirana sudah siap. Dia mengangguk, menelan rasa malu dan rasa canggung karena beberapa temannya kini jelas-jelas memperhatikan gelagatnya.

Dewa memperhatikan reaksi Kirana dengan seksama. Lalu, dia membuang muka. "Karya selanjutnya, Amir." Dia mengomentari foto-foto buatan Amir. Tak lama, gelak tawa membahana di ruang lobi ANTARA yang sempit itu. Kirana ikut tergelak oleh celotehan Amir yang dengan berani membantah Dewa. Anita menepuk bahunya dan memberikan pandangan "itu." Pandangan penuh simpati dari seorang teman. Kirana mencibir dan tersenyum. Anita ikut tersenyum lega.

***

"Akhirnya selesai jugaaaa!!!" seru Aditya di tengah keheningan malam kota metropolitan Jakarta.

"Heh, kayaknya lu seneng banget!" Dewa menendang kakinya sampai kakinya tertekuk. Dia mengaduh.

"Sialan lu, bang!"

"Masa-masa diceramahin bang Dewa udah selesaaaaiii...!" tambah Bowo, ikut berseru-seru. Mereka semua tergelak. Berkaleng-kaleng bir kosong terserak di sekeliling mereka. Ditambah lagi dengan beberapa botol Heineken, yang dibelikan para senior untuk merayakan kelulusan mereka, sekaligus penutupan pameran ini. Anita ikut menenggak sekaleng bir, bir keduanya.

Amir dan Ronald, sesama rekan seperjuangan Kirana di GFJA mulai bernyanyi-nyanyi serak dengan suara fals. Pengaruh alkohol mulai membutakan mata batin kesadaran mereka, memutuskan urat syaraf malu mereka. Kirana ikut tertawa-tawa melihat tingkah konyol mereka. Dia menyesap sedikit bir dari tangannya. Dia tidak begitu suka minuman beralkohol, tetapi dia ikut meminumnya demi menghormati rekan-rekan dan senior-seniornya. Dia menenggak habis bir nya dan bergidik, rasanya sedikit pahit. Tidak lama, dia memesan minuman dingin rasa jeruk ke penjual asongan di dekat mereka.

"Aaah, gak cihuy looo!" seru Aditya, memergokinya sedang membeli minuman. Dia mencibir.

"Udah ah, gue gak suka sama bir. Pait! Males!"

"Segini lo bilang pait! Gimana lo minum wiski??"

"Siapa juga yang mau minum gituan? Gue mau ini aja, seger, manis, sehat pula," sindir Kirana, disambut seruan "huu" dari teman-temannya. Kirana dengan acuh tak acuh menenggak minuman yang baru dia beli dan mendesah puas.

"Kirana," panggil Dewa. Jantung Kirana hampir berhenti berdetak mendengar suara berat itu. Setiap kali dia berbicara, ada saja hinaan dan cacian yang berkaitan dengan foto Kirana, keluar dari mulutnya. Mulut itu kini menguarkan aroma alkohol yang menyengat. Dia mabuk. "Lo itu gue perhatiin, punya bakat dalam moto. Tapi, gue gak tau kenapa kok foto lo jadinya begitu... Ck, sayang banget, Kirana..." Dia bicara dengan sedikit linglung, tapi kata-katanya menunjukkan kewarasannya.

"Udah, bang, minum aja. Gak usah mikirin foto gue," cibir Kirana. "Lagian, udah beres kok, masalah gue, bang..."

Dewa mengangguk-angguk seakan memahami inti perkataan Kirana. Langit malam itu cukup cerah, memperlihatkan sedikit bintang yang jarang terlihat di langit kota metropolitan ini. Dia menaungi berbagai macam penduduk kota yang belum juga terlelap, menemani mereka dalam kesunyian dan ketentraman yang hangat di hati. Malam itu, hati Kirana menemukan tempat bernaungnya, sebuah tempat yang seakan diciptakan untuknya. Akhirnya, dia menemukan ketenangan dalam hiruk-pikuk seruan-seruan teman-temannya, cacian dan makian para seniornya. Kirana yakin, pada akhirnya, malam ini, atau mungkin pagi ini, dia dapat tertidur dengan lelap. Akhirnya.

"Doni, semoga lo tenang di alam sana, ya..." bisik Kirana, menengadah ke atas langit malam yang diperciki oleh setitik cahaya bintang.

"Cheers," sahutnya lagi, mengangkat sebotol minuman rasa jeruk, kesukaan Doni.
Kembali Ke Atas Go down
Sponsored content





Kayaknya perlu diramein, nih... Empty
PostSubyek: Re: Kayaknya perlu diramein, nih...   Kayaknya perlu diramein, nih... Empty

Kembali Ke Atas Go down
 
Kayaknya perlu diramein, nih...
Kembali Ke Atas 
Halaman 1 dari 1
 Similar topics
-
» "Catatan Terakhir Gilang" (cerpen_)
» (tidak perlu judul)
» Tak perlu takut sayang

Permissions in this forum:Anda tidak dapat menjawab topik
SINDIKAT PENULIS :: Arena Diskusi :: Novel-
Navigasi: