Bekas sabetan rotan di lenganku masih terasa perih. Pak Durman, orang yang menyantuniku, atau, orang yang seharusnya menyantuniku, sungguh tidak memberi ampun ketika mengayunkan rotannya ke tubuhku. Tapi tidak apa-apa. Malam ini akan menjadi malam terakhir. Pukulan rotan tadi juga akan menjadi pukulan terakhir. Tekadku sudah bulat. Aku akan melakukannya.
Dulu, aku tinggal di desa yang terpencil. Tidak ada sekolah di sana. Walaupun sebetulnya ada sekolah di kampung sebelah, namun Abah tetap tidak sanggup meyekolahkanku. Jadi sehari-hari aku membantu beliau untuk membuat anyaman dari rotan untuk dijual. Begitulah kegiatanku sehari-hari, membantu Abah. Abah sebenarnya sangat ingin menyekolahkan aku. Tetapi mengingat beliau tidak mampu mendapat penghasilan yang cukup, beliau selalu terkadang merasa kasihan pada aku. Sebetulnya aku tidak sedih karena tidak sekolah. Melihat abah yang merasa selalu bersalah karena tidak mampu menyekolahkanku, yang membuat aku merasa pilu.
Lalu tibalah hari yang menentukan itu. Seorang pria yang terlihat sangat santun mengunjungi rumah kami. Dia mengaku sebagai seorang relawan yayasan. Dia akan membantu saya untuk bersekolah. Tetapi tidak sekolah di sini. Tidak tanggung-tanggung, aku akan disekolahkan di Jakarta! Katanya di Jakarta banyak orang-orang kaya yang bersedia membantu kami-kami yang kurang mampu ini. Tetapi tentu saja, mereka hanya akan mengantar aku ke Jakarta apabila orang tua menyetujui.
Mendengar itu Abah sangat senang sekali. Abah langsung mengijinkan aku untuk pergi. Aku sebenarnya tidak begitu ingin ke Jakarta. Tetapi melihat abah lebih senang jika aku bersekolah, jadi akupun mengiyakan.
Ketika berada di Jakarta, pemuda santun itu menyerahkan saya kepada seorang pria botak. Orang itu terlihat sungguh menyeramkan. Walaupun terlihat menyeramkan, tetapi ternyata dia tidaklah jahat. Dia selalu memberi saya dan teman-teman sebaya makanan enak. Lalu tiba-tiba beberapa hari kemudian si pria botak itu mengantar aku bertemu dengan seorang pria paruh baya. Dia mengenakan pakaian yang indah sekali. Dia pasti kaya, gumamku saat itu.
"Nah mulai hari ini, kamu akan tinggal bersama bapak ini yah. Jangan takut, kerja yang dengan baik yah."
Aku kurang mengerti maksud pria botak itu. Bukannya saya akan disekolahkan? Mungkin salah omong kali. Aku mengabaikannya.
Rumah Pak Durman sangat besar dibanding gubuk di kampungku. Dan rumah sebesar itu hanya ditinggali Pak Durman dan Ibu Durman. Sungguh mubazir, batinku.
Pak Durman sama sekali tidak baik. Dia sangat jahat dan kejam. Dia sangat sering marah-marah. Aku juga disuruh melakukan pekerjaan berat dari mengurus kebun mereka, menyapu, mencuci, menyemir sepatu dan setumpuk pekerjaan lain. Pada saat awal aku mengira ini mungkin merupakan sebuah balas budi. Beliau akan menyekolahkanku. Jadi sebagai ganti, aku harus membantu keluarganya.
Ternyata setelah sebulan bekerja aku masih tidak mulai sekolah. Aku tetap disuruh kerja ini itu. Malah setiap kali melakukan kesalahan, aku selalu dipukul, kadang dengan tangan, kadang dengan rotan. Jika Pak Durman selalu marah besar, dia akan menggunakan tali pinggang. Ah! Lebih baik tidak menyinggung itu. Ibu Durman sebenarnya cukup baik. Hanya saja beliau tidak berani melawan Pak Durman. Bagaimana berani. Orangnya begitu galak!
Hari berganti hari. Minggu berganti minggu. Dan bulan berganti bulan. Aku sudah berada di keluarga Durman selama enam bulan. Tetapi tidak ada tanda-tanda aku akan disekolahkan. Jadi aku memberanikan diri untuk bertanya kepada Pak Durman, kapan aku akan disekolahkan. Dengan wajah yang penuh tanda tanya dia menatapku.
"Kamu sudah gila ya? Untuk apa kamu sekolah? Sana kerja saja!"
Aku langsung tahu. Pak Durman sama sekali tidak berniat menyekolahkanku. Aku telah ditipunya. Apa aku harus melewati seumur hidup di sini? Aku tidak mau dipukul. Aku tidak mau kerja lagi. Aku tidak mau sekolah lagi. Aku mau pulang.
Jadi dengan penuh tekad, pada malam ketika sekeluarga Durman keluar untuk acara keluarga, aku bersiap-siap melarikan diri. Mereka sengaja mengunci pintu depan. Ya, aku rasa itu untuk mencegah maling masuk, sekaligus mencegah aku kabur. Tetapi tekad saya sudah bulat. Aku akan kabur dari jendela lantai dua.
Suara gemuruh mulai terdengar. Dengan perlahan-lahan aku memanjat keluar jendela. Aku berjalan menyusuri pijakan kecil di tembok. Lalu meraih dahan pohon. Dan perlahan-lahan aku turun dengan memanjat pohonnya. Ya! Rintangan pertama telah berhasil kulalui.
Aku berlari menuju jalan besar. Jalan raya sangat sepi. Maklum di sini merupakan kawasan yang cukup jauh dari pusat keramaian. Tiba-tiba dari kejauhan ada sebuah mobil yang datang. Bentuk mobilnya sangat familiar. Ah! Itu mobil Pak Durman. Gawat! Mereka akan melihat aku! Aku harus lari.
Aku berlari menuju ke jalan raya. Aku berpacu secepatnya. Aku melesat menjauhi mobil Pak Durman. Menuju ke ujung jalan raya besar. Aku tidak tahu harus menuju ke mana. Yang pasti lari sejauh mungkin darinya. Jalan raya sedemikian gelap gara-gara tidak ada penerangan di jalanan sama sekali. Namun, aku tidak peduli!
"Hei! Mau kemana kau!" Aku mendengar teriakan marah Pak Durman dari kejauhan. Bagus! Mereka tidak akan bisa menangkap aku! Saya mendengar pintu mobil dibanting dan suara setiran mobil menyala. Aku berlari lebih cepat lagi. Mereka serius ingin saya kembali. Apa yang akan dilakukan Pak Durman jika sampai aku tertangkap? Aku merinding membayangkannya.
Aku tidak boleh sampai tertangkap!
Tiba-tiba rintikan air mengenai wajahku. Pertama-tama setetes, dua, tiga. Dan selanjutnya hujan turun deras sekali. Tetapi aku masih bisa mendengar suara deruman mobil semakin mendekat. Aku berlari dan berlari terus. Ini sinting! Seorang pria paruh baya mengejar seorang bocah berumur dua belas tahun dengan mobil di tengah hujan deras! Dengan napas yang tersengal-sengal aku terus berlari. Kalau sampai aku berhenti, habislah aku. Suara mobil semakin dekat.
Hosh. Hosh. Napas aku semakin tidak beraturan. Setiap tarikan di dada terasa begitu berat. Paru-paruku bagaikan ada beton yang menimpa. Tidak. Tidak mungkin aku sanggup berlari lebih cepat daripada mobil. Aku akan terkejar. Tamatlah aku. Pak Durman pasti akan mencambuk saya dengan tali ikat pinggang habis-habisan.
Aku sudah pasrah sampai akhirnya kejadian yang tidak terduga terjadi. Benar-benar terjadi.
Terdengar suara hantaman yang sedemikian kerasnya, bahkan di tengah derasnya deru hujan. Telingaku masih terasa berdenging. Entah bagaimana mobil Pak Durman menghantam tiang listrik di samping trotoar. Apakah dia berniat menabrak aku sehingga dia sengaja mengemudi mobilnya di trotoar? Apakah karena gelapnya jalan dan derasnya hujan sehingga dia tidak sempat melihat adanya tiang listrik? Aku tidak mengerti.
Aku memberanikan diri untuk mendekat dan melihat kondisi orang di dalam. Ibu Durman kepalanya berdarah. Dia nampak masih sangat syok. Apalagi Pak Durman yang ada di sebelahnya tidak sadarkan diri. Dia berdarah. Berdarah sangat banyak sekali. Aku merasa ngeri. Apakah... apakah dia tewas?
Ibu Durman melihat aku, dengan gemetaran mengatakan sesuatu. Suaranya terlalu kecil, tertelan gemuruh hujan. Aku tidak mampu mendengarkannya. Jadi aku dengan hati-hati berjalan ke arahnya. Mendekatkan telinga ke arahnya.
"To..Tolong.. Ter..Terje..pit"
Aku terkesiap. Memang di daerah sini sangat sepi sekali. Aku bingung. Benar-benar bingung sekali. Mencari bantuan di mana? Aku harusnya lari. Ini adalah kesempatan baik. Tetapi... tetapi ini... Jika tidak ada yang bantu keluarga Durman segera, maka mungkin mereka akan dalam bahaya besar. Namun, mengapa aku harus menolong orang yang selalu menganiaya aku?
Aku pun berpaling. Lari sejauh-jauhnya. Menjauhi mobil itu. Aku terus berlari. Dan berlari.
****
Hari ini, akhirnya aku kembali lagi ke kampungku. Aku senang sekali bisa melihat Abah lagi. Dia bingung ketika aku balik bersama beberapa pemuda yang mengantarkanku. Seorang pemuda mengaku dirinya seorang polisi. Abah langsung takut.
"A..Apa yang dilakukan anakku, pak?"
Dengan tersenyum sang polisi menjelaskan, "Jangan khawatir pak. Anak bapak sangat berjasa karena membantu kami mengungkapkan sindikat perdagangan anak-anak."
Akhirnya polisi itu bercerita panjang lebar, bahwa pemuda yang dulunya mengaku sebagai relawan yayasan adalah salah seorang anggota sindikat penjahat. Mereka menggunakan modus menyekolahkan anak-anak untuk mendapat izin orang tua, kemudian menjualnya menjadi pembantu atau protistusi.
Sang polisi pun menceritakan kembali. Pada malam itu, di tengah hujan aku terus berlari sambil berteriak tolong mencoba mengalahkan suara hujan. Tidak ada seorang pun. Namun untungnya ada mobil patroli polisi yang kebetulan lewat. Di situlah aku meminta mereka menolong keluarga Durman.
Ketika di rumah sakit, aku ditanya polisi. Akupun menceritakan kembali bagaimana kisahku sehingga bisa sampai berada di keluarga Durman. Para polisi sungguh terkejut ketika mereka menyadari ternyata saya adalah korban perdagangan. Dari cerita akulah, mereka akhirnya mendapat petunjuk yang sangat penting. Pak Durman dikarena kehilangan terlalu banyak darah, akhirnya meninggal dunia. Sedangkan Ibu Durman sendiri tidak mengalami luka yang terlalu parah.
Sang polisi cukup menyesal karena Pak Durman meninggal, namun dia memuji keberanian aku untuk bertindak. Jika saja aku tidak kabur, maka tidak mungkin sindikat modus baru ini akan terungkap. Aku hanya tersenyum simpul ketika disebutkan demikian. Pak polisi kali ini datang juga dengan berita gembira untuk Abah.
Ada seorang donatur yang sangat bersedia menyekolahkan aku. Polisi meyakinkan Abah bahwa donatur ini bukan tipuan lagi. Abah ragu, tetapi aku segera bercerita "Jangan khawatir Abah! Kali ini aku pasti akan sekolah. Abah akan memiliki seorang anak sarjana. Aku sudah mengunjungi sekolahnya bahkan bertemu kepala sekolahnya. Katanya biaya sekolah aku sudah ditanggung semua."
"Oh, siapa orang yang begitu baik?"
"Oh namanya Ibu Elis. Aku belum bertemu dengan beliau langsung. Kalau sudah ketemu nanti aku akan cerita ke Abah ya."
"Baiklah. Hati-hati di Jakarta yah nak. Abah khawatir."
"Baik, Abah. Aku akan sering-sering pulang untuk mengunjungi Abah."
Dan demikianlah kisah diriku yang akhirnya tertolong dan bisa belajar. Sungguh merupakan petualangan besar waktu itu. Aku selalu merasa malam di bawah guyuran hujan itulah, itulah kejadian yang memutar hidupku. Karena aku memutuskan untuk berlari mencari pertolongan bukan melarikan diri.