DIAM
Oleh: Iin Yakub
Diam, aku amat menyukainya. Kata orang diam itu emas, tetapi bagiku diamku kekal. Aku tak terbiasa bicara. Selalu saja menyimpan semuanya baik-baik di sini, di rongga dadaku. Aku tak terbiasa menulis. Selalu saja mendokumentasikan semuanya baik-baik di sini, di rongga dadaku. Kutulis dengan mata venaku yang tajam. Lalu aksara-aksara itu kubiarkan mencair dan leleh berpendar di semua sudut jiwaku. Bagiku diam adalah mendengar. Mendengar angin menangis, mendengar hutan tertawa, mendengar sungai berlari, dan mendengar ayahku mendongeng.
Saat bapakku meninggal karena kecelakaan di pabrik tempatnya bekerja, aku diam. Orang-orang mengelus kepalaku dan berkata, “Jangan menangis, Bujang.” Aku diam. Aku pun tak menangis saat bapak dengan tubuh kaku bersimbah darah diantarkan orang ke rumah kami yang sempit, lalu dimandikan, dibungkus dengan kain kafan harum. Aku tak menangis meskipun jenazahnya mulai ditimbun perlahan dengan gundukan tanah. Aku tak menangis. Aku diam. Menyimpan semuanya baik-baik di sini, di rongga dadaku. Bagiku bapak tidak pernah mati. Dia diam bersamaku. Di sini, di rongga jiwaku.
Bagiku diam adalah kekekalan untuk melawan semuanya. Melawan luapan kegembiraan agar tak meluber, melawan duka yang dapat mematikan akal, melawan tatapan sinis mereka yang terganggu dengan diamku, juga melawan kemarahan saat air mata emakku tumpah karena kaleng beras di dapur kami kosong. Aku diam karena kaleng beras itu sudah terlalu sering kosong, di bulan puasa atau bulan-bulan tanpa puasa.
* * *
Empat tahun setelah kematian bapak, aku tak bisa lagi membiarkan semuanya. Tak bisa lagi hanya mengangguk menuruti keinginan emak untuk terus diam di bangku sekolah yang kian tua dan gedungnya semakin reot. Aku benci berdiam di sana dan membiarkan jemari emakku semakin keriput terendam air sabun cucian sepanjang hari. Bagiku diam adalah perlawanan, termasuk melawan nasib yang menggerogoti kehidupan kami. Aku nekad bekerja apa saja. Jadi kuli panggul di pasar, tukang bangunan, bahkan pembersih sampah pasar. Aku tak bisa membiarkan tanganku diam menyaksikan kesulitan emak. Cukuplah lidahku saja yang memilih diam. Setelah dua tahun bekerja serabutan, aku akhirnya memutuskan untuk menulis sebuah surat lamaran pekerjaan.
“Kita tidak akan pernah kaya dengan uang, Bujang. Kau bersabarlah sebentar lagi hingga sekolahmu selesai. Kalau kau punya cukup ilmu, kau akan bekerja dengan otakmu bukan dengan tanganmu yang ceking itu.”
Aku diam. Memasukkan surat lamaran dan fotokopi ijazah lusuh dalam amplop coklat ukuran besar.
“Kalau saja bapak kau masih hidup, mungkin kita tidak akan semelarat ini, Bujang.” Emakku menerawang lagi, mengingat bapak yang berperang melawan cacing-cacing di kuburnya. Aku diam membuang tatap ke jendela. “Kalau saja, pabrik itu bersedia bertanggung jawab dan memberikan dana kompensasi atas kecelakaan bapak kau itu, Bujang, mungking kau punya biaya sekolah yang lebih baik.”
Aku diam. Benci mendengar emak meratapi masa lalu.
“Kau jangan ikut-ikutan bapak kau bekerja di pabrik, Bujang. Emak tak mau melihat kau merasakan susah yang sama seperti bapak kau dulu.”
Aku diam. Tertunduk meremas map coklat berisi surat lamaran kerja karena ke pabrik itulah aku akan melangkah. Bagiku diam adalah penolakan absurd terhadap larangan-larangan emak agar aku tak harus menjadi Malin Kundang yang terkutuk melawan nasihat emaknya. Bagiku diam adalah permohonan maafku atas pembangkanganku pada emak yang tak dapat membaca.
* * *
“Anak Pak Saipul kah kau ini?” Kepala pabrik membaca sekilas surat lamaran pekerjaanku. Menggeleng-gelengkan kepala melihat ijazahku yang hanya bertuliskan nama sebuah SMP negeri. Aku menganggukkan kepala saat dia menyebut nama bapakku dengan kesalahan penyebutan huruf f.
“Aiii… mau kerja di sini pula kau, Bujang?”
Aku mengangguk.
“Sayang, bapak kau yang bodoh tu tak cakap menggunakan mesin pemotong. Sudah kusuruh mandor mengajarnya baik-baik, tapi kepalanya yang bebal tu ternyata tak cepat tanggap dengan teknologi. Jadilah teknologi tu yang makan die.”
Aku diam. Menatap mata sipitnya tajam-tajam. Bagiku diam adalah perlawanan, termasuk perlawanan atas penghinaan terhadap almarhum bapakku.
“Kau mau kerja di sini juga, Bujang?” Ia terkekeh. Menatapku dari ujung kepala seolah hendak membaca tingkat kecerdasanku dengan otak culasnya. “Aiiii… Mesin pemotong tu memanglah dapat bekerja sendiri, tak perlu kau ajak bercakap, Bujang. Tapi kau mestilah tanggap dengan semua yang harus dilakukan terhadap mesin tu. Pencet tombol ini, pencet tombol itu, matikan ini, matikan itu. Kau bisa belajar mengoperasikan mesin berteknologi macam tu?”
Dia menatapku ingin tahu. Dibumbui rasa meremehkan yang kental. Namun, aku diam. Tak mengangguk, tak pula menggeleng.
“Hei, Bujang. Kalau kau mati karena mesin pemotong tu, alangkah tak eloknya cerita keluarga kau nanti. Bapak—anak mati karena menjalankan mesin pemotong. Alangkah tak eloknya kalau orang-orang tahu bahwa orang macam kau dan bapak kau itu terkutuk oleh mesin berteknologi. Ditambah lagi, kalian bisu pula. Nanti orang-orang pikir, orang bisu bodoh dan tak cakap mengoperasikan mesin.”
Aku diam. Mengisap semua oksigen di ruangan itu. Melawan otakku yang mendidih. Tanganku meraba sebuah badik yang selalu terselip di pinggangku. Bagiku diam adalah penghormatan. Penghormatan untuk bapakku yang bisu. Bagiku diam adalah pemahaman. Memahami semua kata yang hendak bapak ucapkan padaku sejak masa kanak-kanakku. Bagiku diam adalah pengertian. Mengerti bapak yang hanya menyampaikan semangat dan kasih sayangnya hanya lewat mata, senyuman, dan telapak tangannya. Bagiku diam adalah bapakku. Adalah jiwaku.
“Aku tidak bisu, Bodoh!!!”
Sebuah belati bersarang tepat di ulu hati lelaki tambun yang mengejek romantisme diam antara aku dan bapak. Lelaki itu melotot menatap mataku. Entah terkejut untuk rasa sakit mahadahsyat yang sekarang menggerogoti tubuhnya atau mendengar suaraku yang mendesis tajam.
Setelah ini, diam bagiku adalah pengakuan.
* * *