Gelap sekali, di mana aku sekarang? Di sini juga dingin dan sepi. Dan rasa apa ini? Ini perasaan jijik? Jijik pada diriku sendiri?Aku ingin melempar tubuhku ini ke tempat sampah. Bercampur dengan limbah yang dihinggapi ribuan kuman. Menjadi sesuatu yang tak dianggap oleh manusia. Pokoknya aku mau diriku ini dibuang saja. Dibuang sejauh-jauhnya dari pandangan manusia. Ya, karena aku ini menjijikkan.
Huh, kenapa aku jijik pada diri sendiri? Kehidupanku kan sempurna? Istriku cantik, baik di hati maupun wajahnya. Anakku ada dua, laki-laki dan perempuan. Mereka selalu terdepan di bidang akademik. Ya, seperti Ayahnya, seperti aku. Otakku yang jenius menurun kepada anak-anakku. Pekerjaanku sebagai ilmuwan juga sangat cukup untuk memberi makan Istri dan anak-anakku. Bahkan uang dariku selalu berlebih, membuat gaya hidup kami juga berlebih. Pakaian bermerek untuk anak-anakku dan perhiasan mewah untuk istriku hanyalah sedikit dari materi yang kuberikan pada mereka.
Tapi jangan kira kalau hubunganku dan keluargaku dingin es. Meskipun aku sangat berdedikasi pada pekerjaanku dalam hal meneliti. Waktu untuk keluargaku adalah yang paling utama. Bila aku sedang tenggelam dalam teori-teori dan angka-angka dalam penelitianku. Aku pasti akan meluangkan waktu sejenak untuk sekedar menelepon mereka. Kami juga selalu pergi berekreasi sebulan sekali. Pokoknya aku selalu memberikan perhatian kepada istri dan anak-anakku. Karena aku sadar, keluargaku ini adalah alasanku untuk tetap bernafas di dunia ini, merek lah faktor yang memberiku semangat untuk hidup.
Tapi kenapa aku merasa jijik pada diriku ini ya?
Gelap. Ugh, kok gatal? Loh kok lama-lama tambah gatal? Tapi bagian mana yang gatal? Argh, gatal Sekali! Lebih baik kugaruk saja seluruh bagian tubuhku.
Loh? Mana tanganku? Tangan, tanganku tidak ada! Apa aku sudah jadi buntung? Mana tangan? Mana tanganku!? Berikan tanganku! Gatal sekali ini, cepat berikan tanganku! Cepat! Aku sudah tidak tahan!
SLAP!
Mataku mendadak terbuka sendiri di luar kemauanku. Cahaya yang menyilaukan memasuki kedua bola mataku, menembus retinaku. Seharusnya aku segera menutup kelopak mataku, dan melindunginya dengan tanganku. Tapi tidak, mataku tetap terbuka lebar. Dan karena aku tidak mempunyai tangan, aku tidak bisa melindungi tanganku dari cahaya yang sangat menyilaukan ini.
“Gatal...,” rintihku.
Loh kok mulutku ada di kening? Segera kupegang bagian keningku. Eh tapi kan aku tidak punya tangan. Oh iya, mana tanganku!?
Perlahan kadar kesilauan sinar yang memasuki retinaku berkurang. Tapi pemandangan di mataku terlihat seperti lukisan abstrak yang samar. Pandanganku sangat kabur.
Sayup-sayup kudengar suara keramaian seperti di pasar.
“Sakit....sakit....sakit....sakit!” terdengar rontaan seorang perempuan.
“Tolong!” sekarang suara teriakan seorang lelaki yang mampir ke telingaku.
“Anuku! Kemana anuku!” ada suara banci juga.
Banyak terdengar suara manusia. Ada yang meronta, ada yang merintih, bahkan ada yang bersenandung. “Yesterday, all my troubles seemed so far away...” Suaranya mencicit seperti tikus.
Suara-suara tersebut semakin terdengar jelas di telingaku. Aku tidak tahu siapa yang mereka, karena pandanganku sangat kabur. Tapi ramai sekali di sini, padahal aku tidak suka keramaian. Ah, lebih baik aku keluar saja dari sini. Eh, kok aku tidak bisa merasakana kakiku? Jangan bilang kalau kakiku juga hilang seperti tanganku. Seketika kulihat kakiku yang seharusnya ada di bawah. Tapi kepalaku tidak bisa menunduk, hanya mataku yang melirik ke bawah.
Leherku juga tidak ada.
Tiba-tiba pandangan di mataku bergerak-gerak cepat dengan sendirinya. Ke atas, ke bawah, ke samping, memutar. Ugh, seharusnya ini bisa membuat kepalaku pusing. Tapi nyatanya aku tidak pusing. Bola matakukah yang berputar? Atau tubuhku yang jungkir balik?
Mendadak kedua bola mataku terhenti, dan sekarang pandanganku sudah menjadi sangat jelas. Mulut yang berada di keningku kini melongo. Kulihat kotak-kotak bersegi sama yang ditata seperti kotak penyimpanan bank. Kotak-kotak seperti laci, yang jaraknya hanya sekitar tiga meter dari tempatku berdiri. Ah, aku tidak tahu sekarang aku tidak bisa berdiri atau tidak. Tidak ada gagang yang biasa digunakan untuk menarik seperti laci pada umumnya. Yang tertempel di kotak-kotak itu adalah bola mata dan mulut tak berbibir di atasnya. Bola mata-bola mata itu ada yang menatap lurus, ada yang melirik dan ada juga yang berputar-putar. Sementara mulut dari kotak-kotak itu komat-kamit, ternyata merekalah sumber dari keributan ini. Seharusnya pemandangan ini membuat jantungku berdetak lebih cepat. Tapi aku baru sadar, jantungku pun tak ada.
Gatal.
Kukedipkan mataku. Aneh, hanya kelopak mata bagian bawah yang menutup. Pemandangan di mataku kabur lagi, tanpa sadar airmataku keluar sendiri. Namum aku tidak bisa merasakan air mata itu mengalir di pipi.
“Woi, jangan nangis! Jadi basah tahu,” seru seorang lelaki yang ada di bawahku.
Jijik.
Mendadak kepalaku dipenuhi permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan bidang ilmuku. Kecepatan otakku serasa bertambah. Aku sedang dipaksa oleh sebuah kekuatan misterius untuk berpikir memecahkan masalah-masalah tersebut.
"Bunuh! Bunuh saja aku! Gatallllll...."
Purwokerto 19:55 12 Oktober 2012