Aku melihat matanya, Disinari rembulan yang memerah. Matanya menusuk tajam melihat ke arahku. Seolah mengatakan 'kau akan mati! lihat saja nanti!' tapi tentu saja kalimat itu tidak keluar dari mulutnya karena aku sudah menempelkan tiga lapis lakban pada mulutnya.
Tubuhnya yang tersimpan di kursi itu membuatnya semakin terlihat seperti film dalam layar-layar televisi klasik yang masih berwarna hitam putih. Paduan antara malam dan cahaya bulan yang menerpanya seolah-olah membuat tubuhnya hanya diisi dengan warna hitam dan putih.
Bisa kuketahui detak jantungnya semakin mengeras ketika aku mendekat. Keringat dinginnya bercucuran menemani cahaya putih yang menerpanya. Dapat kulihat gertakan giginya sangat keras tapi terhalau oleh lakban yang sudah kuberikan dan menghiasi mulutnya.
Pemandangan yang sangat indah. Ya, khusus untukku, tapi pastinya tidak untuknya. Aku tahu, pasti adrenalinnya sangat keluar begitu aku menyekapnya disini, di rumah kosong yang sangat jarang, atau mungkin tidak pernah dikunjungi seseorang. Berada di ujung gang, tanpa cahaya, dan kosong.
Aku melihatnya, tatapan matanya semakin tajam dan mencoba untuk menghindari kontak empat mata denganku. Dasar, dia duluan yang melakukan kriminal. Aku hanya meneruskan tugas pengadilan yang membebaskan orang ini karena dikatakan tak ada bukti yang kuat. Memangnya aku salah?
Aku membuka perekatnya, dan seketika ia terengah-engah sambil menundukkan kepalanya. Tangannya mengepal dan sedikit bersumpah-sumpah, Tapi tetap tidak terdengar.
"Lega?" Aku bertanya, mencoba membuatnya semakin panik. Dia tetap tak menjawab, masih sibuk mengatur hela nafasnya. "telingamu masih ada, kan? Kau masih bisa mendengar, kan?" Dia tetap tak menjawab, dan terus saja sibuk mengatur hela nafasnya.
Kukeluarkan pisau lipat yang sudah kusimpan pada saku celana kananku. Kuacungkan padanya dan kulihat matanya melotot melihat kilauan ketajaman pisau ini.
"Apa?" Dia berteriak padaku, masih dengan nafas yang tersengal-sengal.
"Mau serius?" Kucoba untuk mengancamnya, dan dia tetap tak menjawabnya. Semakin kudekatkan benda yang baru kukeluarkan itu menuju wajahnya. Aku melihat reaksinya yang spontan, mencoba menjauh. Tapi tetap saja tak bisa karena aku sudah mengikat tangan dan kakinya pada kursi yang sedang ia duduki.
"Apa?" Pertanyaan yang sama, begitu buruk. "Mau apa kau?" Masih dengan matanya yang melotot dan kata-katanya yang tercekik, dia mencoba menjauh dariku.
"Hmm, tidak." kucoba menjawabnya dengan santai, mencoba membuat ketakutannya semakin menggebu. "Aku cuma ingin tanya, tadi kau di persidangan untuk apa?"Tetap tak ada jawaban. Aku mencoba mengambil pergelangan tangan kirinya dan memotong telunjuk kirinya.
"Ah!!" Dia meringis sambil berteriak, memejamkan matanya dan tangan kanannya mencoba meraih tangan kirinya.
"tenang, kau punya sembilan yang lainnya, kan?" Aku terus mencoba santai sambil melihatnya menggeliat kesakitan. Teriakannya sangat keras, untung saja ini adalah rumah paling ujung dan paling terpencil, jadi tidak masalah bagiku. "Bisa jawab sekarang?"
Dia masih meringis kesakitan, tapi sudah mencoba untuk membuka matanya dan melihat telunjuk kirinya yang sudah tiada. "tanganku!?"
"Sudah kubilang kau masih punya sembilan yang lainnya, tenang dong." Tapi aku yakin, dua kata terakhir itu malah akan membuatnya semakin panik.
"Kau mau apa!?" Dia berteriak padaku.
"Aku kan sudah bertanya, tadi di persidangan kau untuk apa?"
"Oke, aku terlibat dalam kasus pembunuhan, puas?" dan sesungguhnya dalam hatiku aku hendak mengatakan 'sangat belum.'
"Pembunuhan siapa?" Kucoba untuk berpura-pura tidak tahu.
"Seorang anak kecil, aku tidak tahu namanya." Kulihat dia mulai sedikit tenang. Bisa dipastikan dari nafasnya yang mulai teratur dan sudah mulai dapat menahan kesakitan akibat kehilangan telunjuk kirinya.
"Lalu kau tahu anak kecil itu siapa?" Aku bertanya padanya.
"Tidak." Masih dengan nafas lelah yang sedikit tersengal.
Aku mendekatkan mulutku pada telinganya. Sekitar tiga sentimeter jarak yang tersisa. Aku tahu matanya melihat ke arahku, tapi dia tak bisa menggerakkan kepalanya. Takut melihat wajahku, mungkin?
"Dia keponakanku." Mendengar itu spontan dia terlonjak kaget. Entah kaget karena mendengar ucapanku atau karena aku berbicara terlalu keras dekat telinganya. Yang pasti aku tahu dia kaget.
"A, aku tidak tahu itu." Ucapnya terbata-bata.
"ya, kalaupun kau tahu, aku juga ragu kau tidak akan melakukannya." Kucoba untuk mengusap daguku di depannya. Seolah memberikan alarm 'Aku tidak ragu untuk mengintrogasimu semalaman, kau mau?'
"Maafkan aku." Dia memelas sambil terkadang memejamkan matanya. huh? maaf? pembunuh?
"Maaf, tidak bisa kumaafkan." Kataku sambil tersenyum sinis padanya. Dia semakin memelas, tapi rasa kebencianku padanya malah semakin tinggi. Ingin sekali rasanya aku langsung menghajarnya, tapi itu tidak cukup untuk membuat rasa keingintahuanku akan motifnya membunuh keponakanku itu.
"Lalu? Kamu mau apa?" Oh, yang benar saja. Bukankah rasanya tadi aku sudah mengatakan bahwa aku bertanya mengapa dia ada di persidangan? yah, walaupun sudah terjawab sedikit. Tapi itu belum cukup.
"Untuk apa kau membunuhnya?" Aku langsung memasuki inti pertanyaanku. Dia hanya menelan ludah, tanpa menjawabnya sedikitpun. "Kau tak ingin punya telinga lagi, ya?" Kucoba untuk mulai mengancamnya. Jujur, kesabaranku yang digambarkan dengan caraku yang santai seperti tadi sudah mulai hilang. Dan, bodohnya dia, mungkin dia tetap diam karena merasa aku main-main, ya?
Kusayat telinganya sedikit, seolah membuktikan bahwa aku tidak bercanda.
"Aaahh!!" Dia kembali berteriak dengan keras. Mungkin dia merasakan kesakitan yang tak kalah dari kesakitan yang tadi.
"Kau percaya sekarang bahwa aku tidak bercanda, kan?"
"Oke, oke, aku ingin mendapatkan uang, cukup!?" Jawabnya sambil mencoba menggapai luka di telinganya.
"Uang?"
"Seseorang mengatakan kalau membunuh anak itu maka aku akan diberi sejumlah uang, oke? sudah, kan? lepaskan aku! tolonglah!" Dia terus saja berteriak.
"Siapa itu?"
"Aku tidak tahu! ayolah! lepaskan saja aku!" Aku mendekatkan pisauku ke telinganya dan membuat dia bergeming sesaat. Terlihat ketakutan kembali menerpa dirinya.
"Mau main-main lagi?" Aku kembali mengancamnya.
"Sungguh! aku tidak tahu!"
"Kalau begitu? kenapa kau melaksanakannya?"
"Karena aku ingin uang! itu saja! cukup, kan? tolonglah." Suaranya tidak menandakan sebuah kebohongan atau sesuatu yang disembunyikan. Apa mungkin dia memang mengatakan semuanya? berarti penyelidikan, eh, ekesuki yang kulakukan mungkin hanya cukup sampai sini.
Aku menatapnya dengan sombong, melihat wajahnya yang ketakutan dan mencoba mengedepankan dadaku untuk memberitahu siapa yang berkuasa. Kuacungkan pisauku menuju tepat ke arah jantungnya. Mencoba untuk memfokuskannya, dan menusuknya.
...
...
...
Terkadang manusia terbaik sekalipun bisa menjadi setan karena pengaruh lingkungannya.
Original by : Andri
Inspired By : Calabria - Drunkenmunky
17:37 WIB