Andri Penulis Muda
Jumlah posting : 264 Points : 311 Reputation : 13 Join date : 19.02.12 Lokasi : Sewer Speedway
| Subyek: Cerpen dadakan terus nih ._. Thu 24 May 2012 - 21:27 | |
| ide dadakan, langsung bikin cerpen dan lagi gak ada judulnya XD hmm, masalah batin sih, cuma, ya nikmatin aja (tapi aku gak tahu ini bisa dinikmatin atau nggak XD ) oh, iya, dan rasanya baru kali ini bikin cerpen yang agak ke-Indonesiaan, kebanyakan baca novel terjemahan sih, jadi kalau karya sastraku kebanyakan agak gaya-gaya barat ._. ___________________________________________ “Itu yang harus bapak lakukan, maaf.” Kulihat matanya berbinar, seolah ingin mengatakan ”Tidak! Jangan pergi!” bola matanya yang kecil benar-benar membuatku semakin bingung untuk memilih pekerjaan atau menetap di rumah dan bersamanya.
Sudah kuhitung, ini sudah ribuan kalinya aku harus meninggalkannya untuk sebuah pekerjaan. Memang jika kau ingin menjadi penambang kau harus melakukannya dengan sungguh-sungguh, kan? Lagipula uang tak bisa datang dengan mudah, terkadang aku harus menginap tiga hingga empat hari untuk mendapatkan hasil maksimal, memang karena tempat yang bisa kugali itu cukup jauh dari rumahku.
Ibunya sudah meninggal karena sakit kanker empat tahun lalu, tepat saat dia berumur lima tahun. Dan selama empat tahun itu aku harus mengurus seorang anak yang juga harus mementingkan pekerjaan. Begitulah jika kau adalah seorang yang sederhana, tidak, sangat sederhana!!
Dunia ini memang menyebalkan, jika kau mampu, maka kau akan mendapatkan kursi yang tinggi, jika tidak? Jangan harap kau bisa mendapatkan sesuatu dari dunia ini. Bahkan dia tak akan mengeluarkan satu tetes air matapun jika kau sudah tiada! Benar-benar tak adil! Satu orang yang berhasil memalingkan dunia hilang dari dunia ini sampai dikenang bertahun-tahun? Berpuluh-puluh mungkin? Bahkan beratus tahun! Sedangkan kami? Yang mencoba menghidupi mereka? Mati sama saja dengan kuburan!
Aku melangkah keluar, menatap sekilas anak berumur sembilan tahun itu dengan baju ungunya yang menarik. Entah apa yang kurasakan, aku hanya merasa bahwa aku telah memilih jalan yang salah, meninggalkannya sendirian di rumah dan melupakannya. Tapi apa dayaku? Ini memang sudah menjadi tanggung jawabku.
Hanya berbekal alat tambang dan alas kaki, aku menuju pos penambangan dengan jarak tujuh belas kilometer dari sini, sekarang kau tahu, kan alasan pastinya aku jarang pulang ke rumah? Berjalan kaki, dan harus mulai bekerja pagi. Masih beruntung aku dapat pulang seminggu dua atau tiga kali, setidaknya itu cukup, kan?
Berjalan dibawah terik matahari memang terasa panas, tak perlu ditanya lagi, jika aku boleh memilih, tentu saja aku lebih memilih tinggal di rumah dan mencari pekerjaan lain, tapi aku tak mempunyai keahlian lain. Sialnya aku!
Daerah tambang sudah di depan mata, kurasa aku sudah menghabiskan waktu sekitar tiga jam untuk sampai ke sini. Yah, tiga jam memang terasa lama jika kau melewatinya dengan terik matahari. Aku tidak mengerti, padahal aku pergi sekitar jam delapan pagi? Dunia memang semakin kejam.
”Telat setengah jam.” seseorang di depanku segera menyapaku dengan kasar.
”Jalan itu capek, ngerti kagak?” kubalas lagi dengan sentakan yang lebih keras, menandakan bahwa aku sedang tidak ingin diberi komando dengan kasar.
”anakmu ditinggal lagi?”
”iyalah, kalau kagak, mau ngapain aku di rumah?”
”Gak apakan dia?”
”Udah biasalah, dia bisa mandiri, Cuma gak bisa cari duit, makanya aku yang cari.” Kami berdua tertawa, menertawakan candaanku yang sebenarnya sebuah realita, realita mengerikan.
”Ayolah kita langsung masuk aja, yang lain udah duluan nungguin kamu.” Kulihat lubang tambang yang hitam dan tampak mengerikan.
”Sekarang?”
”Kapan lagi?”
”Okelah.” Sebenarnya ada rasa enggan dalam diriku, entahlah, aku rasa aku ingin kembali ke rumah dan memeluk anakku itu dengan erat dan mengatakan. ”aku baik-baik saja.”. Tapi aku sudah sampai sini? Apa yang bisa kulakukan?
Kulangkahkan kakiku pada bebatuan yang kasar dan terasa sakit, tapi semua ini sudah kujalani hampir lima belas tahun, aku sudah kebal untuk urusan seperti ini, bahkan sudah menjadi makananku sehari-hari. Tidak setiap hari sebenarnya, karena tiap hari Sabtu aku tidak ke lubang ini untuk pergi ke rumah dan mengecek keberadaan putriku.
Makin ke dalam, terasa hawa panas menyelimuti, mungkin karena ruangan di dalam sini sangat sempit dan semakin menuju inti bumi? Entahlah, yang bisa kukatakan hanya kata ’Panas!’ tapi sama seperti alas bumi yang sering kuinjaki, ini sudah makananku sehari-hari.
”Mau mulai?” temanku itu berkata.
”hm, iya mungkin?” kau tahu, kan? Mungkin itu kata lain dari kata ’Tidak.’ Hanya dibuat lebih halus agar yang mendengarnya tidak kecewa.
”Mulailah, Nunggu apa lagi?”
”Oke.” Kucoba, satu kali, dua kali, tiga kali. Masih baik-baik saja, tak ada masalah.
”Yang lainnya mana?” Aku bertanya pada temanku itu.
”Entah, tadi kan ada dua tiga lubang lain, masuk ke lubang lain lagi mungkin?”
”Mungkin.” Sudah beberapa kali aku mencoba menggali lubang ini, berharap menemukan besi yang menjadi penghidupan kami, sebagai orang yang menghidupi orang lain tapi tersingkirkan.
”Kamu gak takut?” takut? ”Pekerjaan kayak gini, kan bahaya, kamu gak takut ninggalin anakmu itu sendiri?”
”yah, kalau disuruh milih juga susah, aku gak bisa ngapa-ngapain lagi.”
”Makanya, mending kayak aku saja, gak usah ninggalin orang lain, kerja juga lebih tenang.” kuhentikan galianku sesaat untuk menatapnya yang berada di sebelah kananku. ”Maksudmu?”
”Ya, maksudku, mending dilupain aja daripada harus ninggalin seseorang.” seseorang? Apakah itu semacam istriku yang meninggalkanku? ”Kau nyindir aku ya?”
”Nah, itu kau tahu.” kutatap dia semakin tajam. ”Aku cuma mau kasih tau kau saja, orang kayak kita tuh dipake terus dilupain, gak lebih dari itu, jadi buat apa punya keturunan?” mendengar ucapannya rasanya aku ingin memukulnya! Tapi kurasa dia ada benarnya? Benar menurut umum atau pandangan aku saja? Entahlah.
Kulanjutkan galianku sambil melamunkan apa yang ia katakan, pikiranku sama sekali tak fokus pada barang tambang yang seharusnya kucari, otakku terus diselimuti kata-katanya yang begitu memasuki hatiku. Seolah berjalan-jalan dan menunggu untuk sebuah keputusan.
”Hayoo, jangan ngelamun kamu.” dia menepuk pundakku.
”Lah? Ini gara-gara kaulah! Kau ini buatku bingung saja.”
”Aku, kan Cuma ngomong kawan.”
”ya, tapi ngomong tuh tentang duit kek, hasil kek, lah kamu?”
”Lama-lama bosen ngimpi terus.”
”Itu kau, kan? Aku ingin anakku besar dan dapet sekolah layak, dia bisa nerusin ke jenjang pendidikan yang tinggi, gak kayak aku ini, Cuma tukang gali.”
”Aku harap kau bisalah, kalau bener gitu, kan aku juga ikut seneng.”
”yeh, kalo gitu mah, situ juga coba aja, biar makin seneng.” Kami berdua tersenyum, sungguh hari yang dilalui dengan penuh kata-kata, berbeda dari biasanya. Biasanya.
Tiba-tiba tanah kurasakan bergetar, begitu kuat, bahkan sangat kuat! Membuatku sempat terjatuh, dan kulihat temanku juga merasakan hal yang sama. Gempa bumi? Ini pasti gempa bumi!!
Sekitar enam belas detik kurasakan tanah ini berhenti, sesaat kuperhatikan sekelilingku, gelap, sangat gelap, bahkan lampu yang tadi kubawa untuk penerangan entah kemana, mungkin rusak?
”Kamu masih disini, kan?” Kurasakan sebuah lengan menggenggam kakiku.
”Kau gak apa-apa?”
”Gak tahu aku, kakiku sakit, mungkin ketimpa reruntuhan.”
”hei hei, beneran? Gak bercanda kau?”
”Ngapain bercanda di gelap-gelapan gini, gak ada gunanya.” Kurasakan sebuah benda encer yang terasa sedikit kental setelah aku mencoba meraba-raba temanku itu, dari baunya dapat kupastikan bahwa itu adalah darah. ”kamu luka? Kamu gak apa, kan?” kucoba untuk menggoyangkan tubuhnya.
”Sakit sih, tapi masih mending daripada sakit finansial.”
”Kita gak bisa lanjut kalau gini! Kita balik dulu saja.” balik? Bodohnya aku! Mau kembali kemana? Kenapa aku baru sadar bahwa tambang ini sudah tertutup gundukan batu yang besar-besar? Kenapa aku baru menyadarinya!? Cahaya yang tadi kulihat semua berubah menjadi kegelapan!
”Kau coba panggil bantuan saja, aku gak bisa keluarin kakiku ini.”
”yaudah, kau tunggu disini, sebentar ya.” Aku mencoba mencari-cari jalan yang tadi kulewati, tapi percuma, semua sudah hilang, jejak kami semua sudah tidak tersisa sedikitpun. Semuanya sekarang hanya batu dan batu.
“Gak bisa aku, teriak juga gak akan kedengeran, tebel banget batu yang nutupinnya.”
”Yaudah, kamu ambilin aja itu batu-batu.”
”Mana bisalah? Kalau aku ambilin itu batu-batu, bisa-bisa malah seluncuran tuh batu, kena kamu lagi.”
”Ya gak apalah, kayak yang aku bilang, kalau aku mati aku gak akan ninggalin siapa-siapa.” sesaat kucerna kata-katanya.
”...”
”Yaudah, sana kamu pergi.”
”...”
”Nunggu apa lagi kamu?”
”...” Aku mendekatinya, dalam kegelapan yang semakin panas. ”Kamu benar, ini semua salahku, harusnya aku gak ninggalin anakku sendirian.” kuhela nafasku. ”aku gak bisa ninggalin kamu Cuma gara-gara kata-katamu itu, kamu tetep temanku, itu artinya kalau kamu mati, kamu juga ninggalin seseorang.” Biarpun aku tak melihatnya, tapi aku bisa mendengarnya bahwa ia terpaku ditengah guyuran keringatnya.
”hah?”
”Aku lupa, kalau kita mati, kita emang bakal dilupain, tapi kalau salah satu dari kita mati, maka temennya gak bisa ngelupainnya.”
”Kamu serius?”
”Iya.” Keheningan menyelimuti kami setelah itu. Mungkin kami merasakan hal yang sama? Kematian mungkin? Bukan, mungkin rasa sedih? Ada hal dalam diri kami yang belum kami ceritakan satu sama lain. sebenarnya aku rasa, tapi aku yakin.
”Kamu tahu gak?” aku hendak memberitahu sesuatu padanya, tapi terlambat sampai dia melontarkan pertanyaan itu. ”Aku sebenernya kepingin banget nikah, sayangnya aku takut.”
”lah? Takut kenapa?”
”Aku, kan gak sekolah tinggi, udah gitu penghasilan rendah lagi, mana mungkin ada yang mau?”
”Lah? Kalau gak gitu, kita-kita pasti udah tinggal di rumah mewah dan tinggal tidur aja, kan?” kita berdua tertawa. ”Tapi kamu bener.” aku melanjutkannya. ”Ternyata aku takut ninggalin anakku sendirian, sekarang aku yakin, dia pasti akan rindu padaku jika kita terkurung disini selamanya, sekarang aku bener-bener takut bayangin itu.” alisku mulai menggantung, air mataku mulai menetes, semua hal itu akhirnya dapat kurasakan, ternyata ucapannya itu benar-benar nyata, bukan main-main, rasanya hatiku ini sudah terbenam sangat dalam. ”Aku bener-bener takut, gak tahu harus ngapain.”
”Kalau gitu sampaikan saja pesan padanya.” aku melihatnya dengan tanganku menyeka mataku. ”Aku yakin dia denger biarpun gak langsung.” apakah dia benar? Apakah benar air mata ketakutanku itu akan sampai padanya biarpun tidak bertatapan langsung?
”Kita gak tahu kita bisa keluar atau nggak, kalau ada yang tahu kita kekurung disini, ya sukur sukur, kalau nggak, mau gimana lagi?” ucapannya memang aneh, tapi sebelumnya dia selalu benar. Apakah dia juga benar kali ini?
...
...
”Kau bisa mendengarku? Aku harap kau baik-baik saja, mungkin aku tak akan kembali, yaah, karena kecelakaan ini memang tidak terduga dan sepertinya aku tak bisa kembali. Tapi hanya beberapa yang ingin kusampaikan, jadilah orang yang berguna bagi orang lain dan jadilah seseorang yang bisa memberikan pada seseorang sebuah kebahagiaan, jangan hanya sebuah materi. Itu saja, aku harap kau bisa mendengarku.”
_________________________________________ Original : Andri Inspired by : Sovereign - MacLeod [Piano] 21:26 WIB | |
|