Ver. pendek dari
Nyx and JailAku lupa di mana, tapi pernah ada yang minta...
whatever lah --"
____________________________________________________________________________________________
Mimpi yang Nyata
Oleh: Kuu Ikuya
Kebebasan dan norma agama hilang. Lenyap bersama kemanusiaan yang terbeli hanya dengan beberapa berita burung. Scarnet membenci kenyataan itu. Kenyataan bahwa dunia yang ia kenal hancur hanya dengan beberapa kalimat.
‘…emas tanpa batas...’
‘…serbuk sewarna poppy liar. Searoma garam laut...’
‘…kekayaan dari serbuk peri...’
‘…philosopher stone…’Gadis itu ingat setiap detail berita yang terdengar olehnya. Disampaikan dari mulut ke mulut. Memintal benang kusut seperti apa pun sudah menjadi mustahil baginya menemukan ujung pertama. Berita yang menyebar dan berkembang…
Kejatuhan bagi apa yang selama ini dipelajari dan dipercayai.
***
“Aku… ingin mencoba hidup di
dunia nyata sekali lagi,” Scarnet bergumam pelan. Antara mengucapkan angan atau doa yang salah. Memandang tinggi pada sang ratu malam yang mengintip dari balik jeruji besi. Hanya terpaku memperhatikan dari ketinggian, kanvas yang saat ini diwarnai oleh kepekatan malam dengan kelip manik-manik samar nan lemah.
“Mungkin yang kau maksud hidup di I?” parau dan serak. Sepasang azure kembar mengintip dari kelopak mata yang menyipit. Legam mengitari
azure di sisi kanan sementara aliran merah, darah yang mengering, terlihat samar di sisi kiri.
Gadis itu terkikik sebentar. Kaki-kaki telanjangnya bergerak, menapak pada lantai batu yang ditumbuhi lumut hijau, lembab dan pengap khas penjara bawah tanah. Gaun putih yang sudah dikenakannya selama lebih dari dua minggu menyentuh permukaan lantai. Semakin kotor dan menggelap pada setiap langkah yang diambilnya.
“Tidak. Dunia nyata menolakku,” ujarnya. Berjinjit sebentar untuk melihat lebih jelas sang ratu dari jendela kecil, satu-satunya tempat di mana cahaya berasal. “Sekarang aku tinggal di dunia mimpi. Dunia mimpi buruk.” Seulas senyum terukir di wajah Scarnet. Memberi respon pada kilatan cepat yang sempat terpantul dalam
onyx kembarnya. “Tak kusangka masih sempat melihat bintang jatuh.”
Eislen mendengus pelan. Menutup kelopak matanya yang terasa berat. Terbuka pun tak akan ada gunanya, pandangannya sama sekali tidak fokus. “Harusnya kau mengucapkan permintaanmu setelahnya,” suaranya yang serak kembali terdengar. Berusaha mengindahakan rasa besi berkarat yang berkumpul di dalam mulutnya, seharusnya dia memuntahkan darah dari mulutnya tadi sore sebelum mengering.
“Harapan apa?” ujar Scarnet. Seolah lupa pada pinta yang sempat ia ucapkan sebelum berjalan mendekati ventilasi.
“Agar Chronos memutar ulang waktu?” Ada nada menyindir di sana, dan Eislen hanya bisa tersenyum dengan bibirnya yang pecah mendengar komentar teman satu selnya itu.
“Memindahkanmu ke dimensi yang lain…” Menghela nafas pelan. “Kalau teori itu memang benar adanya.”
Scarnet tertawa sebentar. Menutupi mulutnya dengan dua jemari, menggantikan kipas lipat yang dulu ia pakai, terlihat anggun sekali pun penampilannya lebih mirip tikus jalanan.
“Aku lebih percaya bahwa ada dua dunia dalam hidup, mimpi dan nyata,” ujarnya. Lagi suara berderik rantai bergema mengikuti Scarnet yang berjalan mendekati Eislen. “Lalu neraka dan surga dalam kematian.”
Onyx bertemu dengan
azure yang kosong dan hampa. Mengulurkan tangannya tanpa ragu, Scarnet menyingkirkan helai pirang yang lengket dan dipenuhi darah kering. Penuh kehati-hatian untuk tidak menyentuh luka di kening.
“Dan ini dunia mimpi?” Eislen bertanya pelan. Seolah berusaha meringankan suasana yang berat, dia tidak butuh suasana mencekam yang berbaur dengan kepengapan udara di sekitarnya. “Kupikir dunia mimpi itu indah. Penuh bunga dan bentuk-bentuk imajiner yang tak bisa dikatakan dalam beberapa lembar kertas puisi, atau sesuatu yang menyamainya.”
“Aku sudah bilang ini dunia mimpi buruk. Kau menyebutkan dunia mimpi milik anak-anak,” Scarnet bersungut-sungut kesal. Duduk di sisi Eislen dan merapat pada dinding, memeluk kedua kakinya erat. “Apa telingamu juga tidak bekerja?” lanjutnya. Menengadah menatap langit-langit sel.
Bayang samar mengisi kegelapan. Sekelebat kenangan akan mereka yang sudah berpindah dimensi, antara kematian dan kehidupan. Satu tersenyum, menangis, marah, kesal, dan semua emosi yang tidak bisa Scarnet uraikan satu demi satu. Berkumpul dan tertuju padanya.
Kemudian berhenti secepat bayangan-bayangan itu muncul. Menyisa rasa menekan dalam diri Scarnet, seperti mengaduk-aduk isi perutnya secara kasar dan dipenuhi pecahan kaca. Menyumbat jalur pernapasannya.
Scarnet masih mengingat jelas kesenangan apa yang mengisi benaknya, ayahnya, dan adik laki-lakinya hari itu. Saat Eislen dan ayahnya berhasil membentuk serbuk itu. Serbuk yang mampu mengubah logam biasa menjadi emas. Pencapaian tertinggi para alkimis…
…juga penghancuran diri mereka sendiri. Kegilaan para bangsawan yang menginginkan harta lebih. Keserahakan manusia yang sudah tak bisa dibendung lagi. Dan mimpi alkimis yang terwujud justru menjadi katalis yang menghapus makna kebebasan, norma agama dan lain sebagainya dari kehidupan bangsawan.
Mengubah dunia mimpi yang damai menjadi dunia nyata yang kejam.
“Kau lupa… neraka dalam kehidupan sudah menelan separuh diriku.” Eislen memecah keheningan. Tersenyum sendu. Tubuh yang sebelumnya tegap terlihat kurus, kekurangan asupan gizi. Wajah yang tadinya tampan kini tirus, menyamai wajah mayat. Dahulu Scarnet senang mengatai Eislen sebagai mayat hidup, tapi kini gadis itu tidak berkomentar apa pun dengan sosoknya yang menyerupai tulang dibalut kulit. Berkomentar dan ia akan mulai merindu pada masa di mana ia akan bergelayut pada lengan pria itu untuk mengelabui orang lain. Membuat kesan bahwa mereka adalah sepasang kekasih.
Menyandarkan kepalanya pada pundak kiri Eislen, Scarnet mendesah pelan. Menutup kelopak matanya. “Sebentar lagi kita akan ditelan neraka dalam kehidupan bila itu bisa menenangkanmu.”
“Secara harafiah?” Jemari kurus membelai helai hitam panjang milik Scarnet. Tidak tahu ke mana tangannya bergerak. Apa yang ia yakini adalah jemari kurusnya terjalin dengan helai-helai panjang.
“Secara harafiah.”
Warna merah pudar mengisi kegelapan. Bau arang berbaur dengan udara pengap.
“Kau melihat bintang jatuh atau apa?” Eislen terkekeh pelan. Seluruh tubuhnya berontak dengan reaksi yang ia ambil. Tapi pria itu mengabaikannya. Hanya ingin tertawa di akhir. Tertawa sepuasnya di penghujung kehidupannya yang berjalan terlalu singkat.
“Panah api,” jawab Scarnet. Membuka kelopak matanya saat rasa menyengat mulai terasa di tubuhnya. “Panah api untuk bangsawan yang terbuai serbuk peri.” Seulas senyum terukir di wajahnya, sebuah seringai yang ia pergunakan sebagai sambutan bagi Ifrit. Memasrahkan diri untuk terlahap oleh sang peguasa api.
***