Setelah baca cerpen Rui yang berjudul
Raven, gue jadi inget sama cerpen lama gue yang berjudul mimpi. Monggo dicicipi
MIMPIKarya: Noor H. DeeAku tahu saat ini aku sedang bermimpi. Itu sebabnya aku tidak terlalu terkejut ketika menyaksikan perempuan itu merobek sepasang telinganya dan menyerahkannya kepadaku.
Perempuan itu berkata, “Ambillah sepasang telingaku ini, sayang. Dengarlah segenap suara yang tersimpan di dalamnya. Suara-suara itu adalah suara-suara yang pernah aku dengar di sepanjang perjalanan hidupku. Tentu saja suara serakmu juga tersimpan di situ. Sebab, bukankah kamu memang sering membisikkan kalimat sayang di telingaku?”
Aku menatap perempuan itu dengan pikiran yang kacau. Suaraku memang serak, tetapi sungguh mati aku tidak pernah sekalipun membisikkan kalimat sayang kepada perempuan itu. Aku tidak mengenalnya. Jangankan mengenal, melihat wajahnya pun tidak pernah. Wajahnya tampak begitu asing di sepasang mataku. Itu sebabnya, mana mungkin aku membisikkan kalimat sayang di telinga seorang perempuan yang sama sekali tidak pernah aku kenal?
“Lekas, ambillah sepasang telingaku ini, sayang. Aku ingin kamu mendengar suara-suara yang pernah aku dengar. Aku ingin kamu mengetahui lebih banyak tentang diriku.”
Hmm. Baiklah. Apa salahnya mendengar suara-suara di sepasang telinga milik seorang perempuan? Toh, semua ini cuma mimpi. Aku langsung meraih sepasang telinga milik perempuan itu. Tidak ada setetes pun darah yang mengalir. Aku tempelkan telinga kirinya di telinga kananku dan telinga kanannya di telinga kiriku. Setelah itu, aku mendengar suara-suara di telinga itu.
“Apa yang kamu dengar, sayang?” tanya perempuan itu sambil mengulas senyum ke arahku. Aih, manis betul senyumannya itu.
“Aku mendengar suara-suara,” jawabku sambil membalas senyumannya.
Ya. Aku memang mendengar suara-suara di sepasang telinga milik perempuan itu. Semesta suara yang begitu riuh. Aku mendengar suara angin yang bertiup, suara langkah kaki yang berlari, suara gemericik air, suara derit pintu ditutup, suara gemeretak api, suara napas yang memburu, suara jantung berdetak, suara jerit tertahan, suara desah napas perempuan yang amat menggoda, suara tikus berdecit, suara jangkrik berderik, suara orang-orang tertawa, suara percakapan yang berbisik, suara piring dan sendok yang bersentuhan, suara kipas angin, suara, suara, suara, begitu banyak suara-suara yang berasal dari sepasang telinga milik perempuan itu. Dan, ah, bukankah suara serak ini milikku? Aku mendengar suaraku berkata seperti ini, “Aku mencintaimu semenjak matahari masih tertidur. Aku mencintaimu. Selalu. Dari waktu ke waktu.”
Aku langsung tersenyum. Hmm. Betapa gombalnya aku.
“Ya, kamu memang seorang penggombal yang mahir. Tetapi, entah mengapa, aku sangat menikmatinya,” ujar perempuan itu tiba-tiba.
Busyet. Ternyata perempuan itu bisa mendengar suara hatiku!
Setelah itu, aku langsung menyerahkan kembali sepasang telinganya itu kepadanya. Tetapi, ia menolak.
“Simpan saja untukmu, sayang. Aku ingin menyerahkan sebagian tubuhku kepadamu. Sebagai bukti betapa aku sangat mencintaimu.”
Aku semakin tidak mengerti. Mimpi ini benar-benar keterlaluan. Bagaimana jadinya jika perempuan seperti itu benar-benar ada di dunia nyata? Kalau pun memang ada, apakah aku bisa menghadapinya? Tetapi, baiklah, bukankah semua ini cuma mimpi? Aku segera memasukkan sepasang telinga milik perempuan itu ke dalam saku celanaku.
“Sekarang, perkenankanlah aku untuk memiliki tubuhmu,” ujar perempuan itu tiba-tiba, sambil melepas gaun hitamnya. Aku menelan ludah. Meskipun wajahnya sudah tidak lagi bertelinga, ia masih tampak begitu menggoda. Tubuhnya bagus sekali. Aku seperti tersihir akan pesona sepasang payudaranya yang mirip balon berisi air itu. Ia berjalan mendekatiku, mendorong tubuhku, memeluk tubuhku dengan lembut, mencium leherku dengan begitu bernafsu.
Kini aku sudah tidak lagi berpakaian. Aku dan perempuan itu sudah seperti sepasang api yang membara. Saling membakar. Saling terbakar. Saling menyulut. Saling tersulut. Kami pun bercinta di keheningan semesta. Hmm. Mimpi yang model begini adalah mimpi yang tentu saja sangat menyenangkan.
*
Aku tahu saat ini aku sedang bermimpi. Itu sebabnya aku berani saja merobek sepasang telingaku untuk kuserahkan kepada lelaki itu.
Aku tersenyum melihat sikap lelaki itu. Ia tampak begitu bingung dan kaku. Sorotan matanya penuh dengan tandatanya. Sebenarnya aku ingin tertawa, namun sebisa mungkin aku tahan. Ia bertanya-tanya dalam hati tentang siapa aku sebenarnya. Memang, kami memang tidak saling mengenal. Kami hanyalah sepasang manusia yang terperangkap di alam mimpi. Aku dapat mendengar dengan jelas suara-suara hatinya yang selalu menuntut jawaban akan sebuah kepastian. Dasar lelaki bodoh, sepertinya ia belum betul-betul memahami akan sebuah keajaiban yang selalu bergentayangan di semesta mimpi.
Aku menyerahkan sepasang telingaku kepada lelaki itu. Sebelumnya ia sempat ragu untuk menerimanya. Tetapi, setelah ia sadar bahwa semua ini hanyalah mimpi, ia pun mau menerimanya dan mau mendengarkan segenap suara yang tersimpan di dalam sepasang telingaku.
“Aku mendengar suara-suara,” begitu katanya sambil tersenyum ke arahku. Aku ingin tertawa saja rasanya menyaksikan kepolosan lelaki itu. Seandainya kami berjumpa di dunia nyata, tentu ia sudah aku tinggal dari tadi. Aku adalah seorang perempuan yang tidak menyenangi lelaki polos dan bodoh. Aku menginginkan lelaki yang cerdas, yang pandai beradaptasi dengan keadaan. Tetapi, beginilah dunia mimpi. Dunia yang menihilkan segala ketidakmungkinan. Aku akan terus meladeni lelaki polos dan bodoh yang terlihat sedang asik mendengarkan suara-suara di sepasang telingaku itu. Aku ingin bermain-main dengannya sebentar. Setidaknya, setelah mimpi ini selesai, kami tidak akan pernah bertemu kembali.
Aku bisa mendengar suara-suara yang terucap di dalam hatinya. Ia berkata betapa dirinya gombal sekali. Tentu saja ia berkata seperti itu setelah ia mendengar suara seraknya di telingaku.
Aku bilang saja kepada lelaki itu betapa ia memanglah seorang penggombal yang mahir dan aku menikmati segala kegombalannya. Dan, sepertinya ia percaya begitu saja akan perkataanku itu.
Ketika lelaki itu hendak mengembalikan sepasang telingaku, aku langsung menolaknya.
“Simpan saja untukmu, sayang. Aku ingin menyerahkan sebagian tubuhku kepadamu. Sebagai bukti betapa aku sangat mencintaimu.”
Lelaki itu tampak semakin bingung dan mengatakan bahwa mimpi ini sudah benar-benar keterlaluan baginya. Ia bertanya dalam hati, bagaimana jadinya jika seorang perempuan seperti aku ini benar-benar ada di dunia nyata. Kalau pun memang ada, apakah aku bisa menghadapinya? Begitu tanyanya dalam hati. Aku tertawa mendengarnya. Tentu saja ia tidak akan bisa menghadapinya. Aku tahu itu. Ia hanya seorang lelaki polos yang bodoh.
Hmm. Sudahlah. Sepertinya aku harus segera menyelesaikan mimpi ini. Aku ingin tahu seperti apa rasanya bercinta dengan lelaki itu. Aku belum pernah bercinta dengan lelaki polos dan bodoh.
“Sekarang, perkenankanlah aku untuk memiliki tubuhmu.” Begitu ujarku sambil melepas gaun hitamku. Aku melihat ia menelan ludah. Ia tampak begitu terpesona melihat tubuhku. Sepasang matanya tidak pernah lepas dari sepasang payudaraku. Aku berjalan mendekatinya, mendorong tubuhnya, dan kami pun bercinta.
“Mari bercinta, lelaki bodoh,” ujarku dalam hati.
*
Lelaki dan perempuan itu terbangun dari tidurnya. Keduanya saling berpandangan dengan tatapan mata bertanya-tanya, dan secara bersamaan mereka langsung melompat dari tempat tidur.
“Siapa kamu? Bukankah kamu yang tadi berada di dalam mimpiku?” tanya mereka secara bersamaan.
“Mengapa kita bisa berada di sini?” tanya si perempuan.
“Mengapa sepasang telingamu masih utuh?” tanya si lelaki.
“Dasar bodoh! Tentu saja telingaku masih utuh. Yang tadi itu hanya mimpi. Bukan kenyataan. Ternyata di dunia nyata pun kamu tidak berubah. Tetap saja bodoh.”
“Wah, ini tidak masuk akal! Mengapa aku bisa tidur bersamamu? Aku sudah memiliki istri!”
“Aku juga sudah punya suami.”
“Tapi kita telah bersetubuh! Kita telah bersetubuh! Ini tidak boleh terjadi! Tidak boleh! Oh, aku telah mengkhianati istriku!”
“Jangan berteriak-teriak seperti itu, lelaki bodoh! Kita tidak pernah bersetubuh! Tidak pernah! Itu hanya terjadi di dalam mimpi! Ingat, di dalam mimpi! Lihatlah, kita masih berpakaian lengkap. Kita tidak sedang telanjang. Lagi pula, aku tidak akan pernah sudi bersetubuh dengan lelaki bodoh macam kamu!”
“Tapi, mengapa kita bisa berada di sini? Mengapa kita bisa tertidur di ranjang yang sama? Apakah semalam kita habis pergi ke suatu pesta, lantas mabuk, dan secara tidak sadar kita berdua tidur di sini?”
“Entahlah. Aku juga tidak mengerti. Lagi pula, kamar siapakah ini?”
“Kamar ini bukan milikku.”
“Bukan milikku juga.”
Tiba-tiba, pintu kamar terbuka. Seorang gadis cilik berusia sepuluh tahun yang rambutnya dikepang dua masuk ke dalam kamar itu.
“Kenapa, sih, Ayah sama Ibu selalu bertengkar? Hari ini kita jadi kan ke rumah nenek yang di Bogor?”
Lelaki dan perempuan itu langsung saling berpandangan.[]
Depok, 23 Desember 2006
Sumber: Sepasang Mata untuk Cinta yang Buta. Depok: Lingkar Pena Publishing House, 2008