Dia membuka mata. Di depannya terbentang pemandangan yang sangat dia kenal, kamarnya sendiri. Kamar yang telah ditempatinya selama bertahun-tahun. Aroma yang menguar dari kamar itu sudah lekat di dirinya dan begitu pula sebaliknya. Percikan noda merah saos sambal di atas seprai kasur yang berwarna putih. Cipratan coklat tua akibat kopi di dinding dekat meja komputernya. Semuanya selalu dia rasakan sewajarnya.
Dahinya berkerut. Hari ini, detik ini, dia merasa ada sesuatu yang salah. Ini bukan kamarnya, dan entah mengapa dia berpikir seperti ini. Dia mengerjapkan matanya, mengharapkan perasaan itu hilang. Namun, semuanya tidak ada yang berubah. Sama, seperti sedia kala. Seperti saat tadi malam dia masuk dan berinteraksi dengan kamarnya itu seperti biasa.
Apa ada yang mengubah letak perabotannya? Namun, dia tidak bisa melihat perubahannya. Semua sama saja, tiada beda. Dia menggelengkan kepalanya dan menutup matanya lekat-lekat. Itu hanya perasaannya, dan dia memutuskan itulah yang dirasakannya. Ini pagi seperti biasanya.
Dia menggeliat, meregangkan setiap inci tubuhnya dengan rasa nikmat yang luar biasa. Menghilangkan kemalasan dan kekakuan karena gerakan pasifnya saat tidur. Dia menyingkap selimutnya dan berseru tertahan.
“Apaan nih?” gumamnya, melihat seluruh tubuhnya dipenuhi percikan noda sewarna darah. Dia mencoba mengingat-ingat apa yang telah dia lakukan tadi malam sebelum tidur. Dia mengusap badannya. Noda itu hangat, seakan baru saja keluar dari peraduannya. Jantungnya berdebar kencang. Hanya tubuhnya yang dipenuhi noda itu, kamarnya sama sekali bersih. Dia meloncat bangun dari tempat tidurnya dan segera masuk ke kamar mandinya.
Dia segera membuka baju dan celananya dan mencuci tubuhnya dari noda itu. Noda itu tidak mungkin darah, pastilah sesuatu yang lain. Mungkin dia lupa telah menumpahkan saos ke tubuhnya dan terlalu letih untuk membersihkannya. Noda itu tidak segera menghilang, namun dengan gosokan keras dan berulang, akhirnya tubuh itu bebas dari noda itu.
Tanpa bisa dicegah, dia melirik baju dan celananya yang teronggok di sudut pintu kamar mandinya. “Tanya mama aja, deh…,” sahutnya kepada dirinya sendiri.
“Ma!” serunya, begitu keluar dari pintu kamarnya. Aneh, batinnya. Rumahnya jarang sekali terdengar sepi seperti ini. Rasanya seluruh keluarganya telah hilang ditelan bumi. Biasanya, setiap pagi dia akan dibangunkan oleh teriakan ibunya, yang memaksanya untuk bangun. Begitu keluar kamar, dia akan disambut dengan paduan suara yang merdu nan tinggi dari kedua adik kembarnya. Namun, suasana rumah lengang, hanya suaranya sendiri yang bergaung menyahut-nyahut panggilannya.
Jantungnya berdebar semakin kencang. Dia menggertakkan rahangnya yang terasa kaku. Tiba-tiba perasaan takut menyergapnya begitu rupa, membuat kakinya terasa berat. Seakan pakaian besi telah menyekapnya dalam penjara tubuh yang berat dan dingin. Dia perlahan mendekati ruang makan. Seperti biasa, biasan sinar matahari pagi membekas panjang dari pintu tanpa daun pintu itu. Dia tidak ingin memasukinya, tetapi ada yang memaksanya masuk ke sana, mendorong-dorongnya, menarik-nariknya.
“Aaaaaaa…!!!” Teriakannya memecah keheningan yang menyelimuti rumah itu.
“Daniii…!!!”
“Hah??!”
Dani terkejut dan menggeragap bangun. Dia terlonjak lagi saat berhadapan dengan wajah ibunya yang melihatnya dengan dahi mengernyit.
“Mama…?!”
“Iya, mama… Emang kenapa? Kok kaget gitu, sih?” Dia menegakkan punggungnya, melihat anaknya dengan berkacak pinggang.
“Hah?” Dia melihat ke sekelilingnya. Kamarnya, sudah rapi seperti biasa. Dia menaikkan alisnya dan mendesah panjang.
“Udah, cepetan sana bangun… Udah siang, masih aja tidur…” Pemandangan seperti biasa. Ibunya, memanggul tumpukan bajunya yang belum dicuci. Dani mengikuti langkah ibunya dengan pandangan matanya hingga beliau menghilang. Sayup terdengar suara pekikan dan tawa kecil yang melengking tinggi. Adik kembarnya. Kedua adik kembarnya. Dia tersenyum geli pada dirinya sendiri.
Suara langkah kakinya teredam oleh teriakan-teriakan kedua adiknya. Dia memutuskan untuk tidak membuang-buang tenaga seperti yang sedang dilakukan ibunya saat ini yang sedang mencoba mengalahkan serangan teriakan ganda dari kedua anak bungsunya.
Dia mengusap matanya perlahan, bersyukur apa yang dilihatnya dalam mimpi. Dani tertegun. Matanya yang menutup mencoba menggali kembali kilas balik mimpinya yang semakin lama semakin memburam jauh meninggalkannya. Apa yang kulihat dalam mimpi, ya? Dia tidak bisa menarik kembali ingatan itu, seakan-akan ingatan itu sebegitu takut untuk mendekati alam pikirannya.
“Ah sudahlah…,” gumamnya pelan saat si pikiran tidak mau berkompromi dengannya.
Dia membuka matanya dan jatuh terduduk. Pemandangan ini yang ada dalam mimpinya! Kini dia bisa mengingatnya dengan jelas, terlalu jelas. Ayah dan ibunya terkapar bersimbah darah. Darah yang juga memercik ke seantero ruangan. Tubuhnya bergetar.
“Ini mimpi… Ini pasti mimpi…” Dani merapalnya berulang-ulang seolah sedang membisikkan mantra yang bisa membuatnya terbangun. Dia mengangkat tangannya yang bergetar hebat dan meninju kepalanya sendiri, lalu menutup kedua matanya selekat mungkin. “Mimpi… Ayo, bangun…” Dia mengangkat wajahnya. Biasan sinar mentari pagi hangat menyentuh wajahnya yang kini berkeringat dingin. Jasad ayah dan ibunya tetap tergeletak dengan posisi yang sama. Ayahnya tertelungkup dengan tangan kanan menggenggam salah satu kaki kursi. Dia pastilah hendak menopang dirinya dengan kursi itu. Kabur, dari siapapun atau apapun yang menyerangnya. Ibunya tergeletak miring dengan mata dan mulut terbuka, seolah menunjukkan kengeriannya, sesaat sebelum meregang nyawa.
Dani tak sanggup berdiri. Dia menopang tubuhnya dengan kedua tangannya dan merangkak mendekati jasad keduanya. “Kalian bercanda, ya?” Dia menyentuh tangan ibunya, masih hangat. Tangannya yang bergetar mendekati hidung ibunya. Dia tidak merasakan apapun. “Ma… Ma!” serunya, menggoncang-goncangkan tubuh ibunya yang terbujur kaku.
Dia beralih ke tubuh ayahnya. “Pa!” serunya, membalikkan tubuh pria paruh baya itu. Dia berseru tertahan melihat banyaknya luka tusukan di dadanya.
“U…uh.” Dani memalingkan wajahnya, dan muntah seketika. Dia mengingat mimpinya tadi, saat dia terbangun dengan baju penuh noda berwarna merah. Telinganya berdenging, memenuhi ruang di setiap inci otaknya, dia sama sekali tidak bisa berpikir dengan jernih.
“Kak…” Salah satu adik kembarnya berdiri di depan pintu dengan wajah yang ketakutan. Tubuhnya bergetar hebat.
“Ilyas…”
“Kakak apain mama sama papa!” serunya. Dani terkesiap. Dia membeku, sadar akan pemandangan yang mengerikan di belakangnya. Dia berdiri dan mendekati adiknya, yang mundur perlahan.
“Bukan kakak yang…”
“Aaaaa….!!!”
Telinganya semakin sakit berdenging saat dia tersadar salah satu adik kembarnya sedang berteriak di telinganya. Dani melihat kamarnya lagi. Keringat dinginnya mulai mengucur. Apakah dia tadi sempat tertidur sejenak dan melanjutkan mimpinya?
“Kakak kok diem aja sih??? Ayo bangun, sekolaaaah…,” sahut Ilyas, salah satu adik kembarnya, menarik tangannya. Tubuhnya masih lemas dan dia terhuyung jatuh begitu saja dari tempat tidurnya. Ilyas terpaku, melongo melihat kakaknya jatuh tanpa perlawanan. “Iiih, kakak masih belom ngumpul nyawanya…” Dia tergelak sambil berlari keluar dari kamar Dani, menghindari pembalasan kakaknya.
Dani memegang dadanya. Jantungnya masih bertalu-talu hingga dadanya terasa sakit. Apa maksud semua ini? Dia melihat kedua tangannya, bersih tanpa sesuatupun. Dia menarik bajunya untuk mengecek apakah ada noda merah seperti di mimpinya itu. Bersih, kecuali sablon lidah merah besar di tengah-tengah baju berwarna putih itu. Itu jelas tidak terhitung, bukan?
Dia menarik nafas lega.
“Parah banget mimpinya…,” gumamnya kepada dirinya sendiri. Diapun menyiapkan perbekalannya ke sekolah. Seusai mandi, dia turun ke lantai dasar rumahnya yang bertingkat dua. Begitu masuk ruang makan, dia disambut decakan lidah ibunya dan seperti biasa, paduan suara adik kembarnya.
“Lama banget, sih? Mama jadi nyuruh adek kamu yang ngebangunin,” omelnya sambil berkacak pinggang. Tiba-tiba saja dia merasakan kelegaan dan kasih sayang teramat besar kepada ibunya. Dia tersenyum senang dan mencium pipi ibunya.
“Kamu kenapa, sih?” Ibunya melongo memandangnya, sama sekali tak paham akan maksud anak sulungnya itu. Ayahnya yang kelewat gemuk, sampai-sampai menghentikan aktivitas makannya yang beliau sukai itu. Dia tersenyum pada ayahnya yang juga melongo menatapnya.
“Pagi, Pa… Papa juga mau Dani cium?” Dia mengatakannya dengan lugas sembari tersenyum lebar.
“Nggak deh, makasih…” Dia kembali makan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Yaaah, kok papa gitu sih?” Dani menyahut dengan suara manja. Dia bergerak menuju ayahnya dan menciumnya dengan paksa.
“Aaah, kenapa sih kamu, dan? Udah, udah… Kalau mau di bibir, nih…”
“Iiih, itu baru males Dani ngelakuinnya,”cibir Dani.
“Udah, udah. Kayak anak kecil aja, sih…,” tegur ibunya, walau berhias senyum.
“Ilyas juga mauuuu……”
“Ilyasa juga mauuuuu…….”
Kedua adik kembarnya menyerbu ayahnya, dan berebut ingin menciuminya. Ibunya tertawa melihat ayahnya ditarik ke kanan dan ke kiri sambil tergeragap. Dani ikut tertawa. Lega, dia merasa lega sekali kalau kejadian itu hanya mimpi. Ini dia yang biasa, keluarganya yang biasa.
***
“Dani pergi dulu ya, ma…” Dia melambaikan tangan sebelum keluar dari pintu rumahnya. Saat melewatinya, dia merasa gamang dan oleng. Tubuhnya jatuh seketika. Pakaiannya yang seharunya berwarna putih dan abu-abu berganti dengan kaos oblong hijau dan celana pendek coklat. Derap langkah kaki bergaung ke seluruh ruangan. Dia sedang berdiri di pintu ruang makan, memandang Ilyas yang berlari ke arah pintu rumahnya. Dia terkesiap.
Kakinya bergetar, tetapi tanpa sadar mengikuti jejak langkah adiknya. Dia berlari dan mendekap adiknya yang berteriak-teriak ketakutan.
“Ilyas!” bentaknya, berusaha memegangi adiknya yang memberontak keras.
“Gak mau! Gak mau! Kakak udah bunuh mama sama papa!!!” jeritnya sekuat tenaga sambil menangis meraung-raung.
“Bukan kakak, Ilyas!”
“Bohooooonng…!!!”
“Ilyas! Ilyas, diem!!!” bentaknya semakin keras. Telinganya semakin berdenging keras, seakan ingin menghancurkan gendang telinganya. Matanya berkilat-kilat karena amarah dan emosi yang tak kunjung mencair. Jeritan pilu dari Ilyas sama sekali tidak membantunya untuk tenang.
“Aaaaaaaarrrggghh…!!!”
Dani membeliak tak terkendali, dia membanting adiknya ke dinding. Nafasnya memburu, jerita Ilyas sudah tidak sampai ke telinga dan hatinya, dia terus membantingkan kepala Ilyas ke dinding. Suara derak menyeramkan berulang kali bergaung di seantero rumah.
“Aaaaaarrrggghh…!!!”
Dani melenguh panjang, kehilangan kendali dirinya. Keheningan yang mencekam. Suara jeritan Ilyas menghilang. Yang tersisa hanya jasadnya yang terbujur kaku dengan noda darah besar terpercik di dinding rumahnya. Dani tidak mampu berpikir, tidak mampu bergerak ataupun berkata-kata. Dia melangkah gontai. Kosong, kekosongan yang nyata memenuhi setiap sudut pikirannya.
***
“Kakaaaaakkk…” Ilyas dengan antusias mendorong tubuh Dani hingga terjatuh dari teras. Dia terkekeh-kekeh. Dani menoleh ke arahnya, membuatnya terdiam. “Kak… Kak Dani kenapa?” tanyanya ragu-ragu melihat pandangan liar Dani yang tidak biasanya. Dani menerjang Ilyas seketika itu pula.
tamat